"Apa maksudmu, Mas? Mas tak menginginkan Zahra lagi?" tanya Zahra.
Ridwan menggeleng, "Hatiku tak bisa mencumbumu dalam keadaan seperti ini, Sakit sekali, Ra!"Zahra mendengar degup jantung suaminya dan nafas berat suaminya.Zahra beranjak dan mengambil inhaler dari balik laci nakas sebelah kasurnya.Menyemprotkan pada mulut Ridwan beberapa kali.Zahra tidak ingin suaminya anfal.Ridwan hanya menurut dengan mata yang masih tertutup.Zahra mengusap pipi Ridwan, kemudian mengecup pipinya beberapa kali.Zahra tau Ridwan tengah menyembunyikan matanya.Zahra juga bisa melihat bekas air mata yang jatuh."Aku mencintaimu, Mas! Aku beruntung bisa dinikahi laki-laki sepertimu! Laki-laki yang sangat mencintaiku!" lahir Zahra di depan telinga Ridwan.Kemudian beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi.Sedangkan Ridwan meringkuk dibawah selimutnya.Mengistirahatkan hJantung Zahra dan Ridwan berpacu sangat kencang. Nyatanya Ridwan juga sangat sedih mendengar jawaban Habib Usman. Hati seorang Ayah juga tersayat saat harus mengangkat calon jabang bayinya, walaupun berawal dari idenya. Ridwan menoleh pada Zahra yang pasti sudah menunduk dalam, menyembunyikan air matanya. Ridwan buru-buru merengkuh tubuh Zahra. "Baik Habib, Terima kasih banyak!" ucap Ridwan dengan suara tercekat. Zahra tau, suaminya juga berat. Suaminya tetaplah laki-laki yang hatinya sangat lembut, Zahra mendekap Ridwan semakin erat. Habib Usman mengangguk, "Akan tetapi keputusan saya kembalikan lagi padamu, Ridwan!" "Iya, Bib! Saya permisi sekalian pamit langsung pulang ke Turki, Bib, Umi, Habib Ali!" pamit Ridwan. Mereka semua mengangguk dan mendoakan yang terbaik untuk Zahra dan Ridwan. Sejujurnya mereka juga sangat sedih, jalan yang harus Zahra lewati begitu terjal. Ridwan membawa Zahra untuk pulang ke Turki hari itu juga. Karena harus menyiapkan tubuh Zahra untuk ope
Zahra mengangguk mendengar pertanyaan Papa Ameer, namun tak ada suara yang bisa Zahra keluarkan. Membahas tentang ini, masih sangat membuatku Zahra sedih. "Apa kamu yakin, Ra? Apa ini paksaan Ridwan? Mamah hanya tidak ingin kamu menyesal!" tanya Mama Sofiya. "Mah, Pah! Aku tidak memaksa! Aku juga mencintai anak-anakku! Kenapa kalian seperti memojokkan aku!" kesal Ridwan. Mamah Sofiya menyeringai, "Memang!" "Mah, keputusan ini tidak datang dari kami! Kami menyerahkan keputusan ini pada Habib Usman!" jawab Ridwan. Papa Ameer dan Mama Sofiya mengangguk lega, walau dalam hati sangat sedih. Namun, keselamatan Zahra lebih penting. Apalagi pernah ada pengalaman yang sama dan berakhir tragis dalam keluarga. "Baiklah! Mama sedih, tapi Mama senang keputusan kalian! Mama tidak lagi berfikir tentang kakak Mamah!" jawab Mama Sofiya."Istirahatlah, Ra! Besok kami semua akan menemanimu! Kamu harus kuat!" kata
Pandangan mata Ridwan dan Zahra yang saling mengunci seolah sedang saling menyemangati satu sama lain. Dengan tangan yang saling ber genggaman erat. Hingga Akhirnya terhalang oleh pintu saat dokter menutup ruang operasi. Indikator pintu operasi berubah menjadi hijau, pertanda sedang mulai melewati sterilisasi dan penyuntikan bius total. Ridwan duduk di kursi tunggu dengan memejamkan mata terus merapalkan doa.Begitu juga Papa Ameer, Mama Sofiya, dan Oma yang sibuk dengan doa masing-masing. Berharap pelita dalam keluarga mereka bisa kembali dalam keadaan selamat. Lima jam yang sangat menegangkan, sebelum akhirnya indikator pintu berubah menjadi merah. Dan pintu ruang operasi terbuka. Bangkar tempat tidur Zahra didorong dan disambut keluarga dengan antusias. "Alhamdulillah Tuan-tuan dan Nyonya! Operasi berhasil dan pasien harus masuk ruang ICU untuk observasi pasca operasi!" kata Dokter
Ridwan kini tidak bisa tidur lagi setelah mimpi. Ridwan berfikir, mimpi itu nyata atau hanya hasil dari pemikirannya saja tentang dua anaknya. Entah itu hasil dari pemikiran atau benar putra putrinya hadir, Ridwan sangat senang bisa menatap Zahra kecil dan Fatih dalam balutan bahagia. "Semoga senyummu itu yang selalu menghiasi wajah cantikmu, Na!" batin Ridwan. Entah kenapa, Ridwan seolah langsung jatuh cinta saat pertama menatap Ena kecil dengan senyum indah itu. Hari berganti dan Ridwan masih setia di depan ruang ICU menunggu istrinya bangun. Sedangkan Papa Ameer menyusul istri dan Ibunya di ruang rawat inap. Ridwan berdiri dan menatap Zahra bari balik kaca, "Apa kamu begitu betah tidur, Sayang!" gumam Ridwan.Pagi itu Mama Sofiya, Papa Ameer dan Oma pamit harus pulang karena harus mengurus perusahaan. Ridwan mengiyakan dan menunggui Zahra seorang diri. Hingga sore hari, dokter menga
Selepas membeli bunga dan berziarah ke makam anak-anaknya, Zahra dan Ridwan memutuskan untuk segera pulang. Karena hari ini jadwal berkunjung ke Tarim karena akhir pekan, dan Zahra tak bisa bepergian jauh. Ridwan menyuruh Zen untuk menjemput putranya dan membawa ke Turki. Jika Ridwan dan Zahra tak bisa kesana, Fatih yang akan Ridwan boyong ke rumah selama satu hari. Ridwan ingin memberikan kejutan untuk istrinya. Saat sampai di Masion, keluarganya menyambut dengan hangat didepan. Hati Zahra selalu menghangat dengan cinta yang keluarga Kahraman berikan. Setelah makan sebentar, Ridwan membawa Zahra masuk ke dalam kamar. "Tidurlah, Sayang! Mas ada urusan sebentar dengan Papa, ya?" pamit Ridwan. Zahra mengangguk dan berbaring, dia sangat merindukan kamar mereka ini. Zahra tidur menerawang ke langit-langit kamar. "Apa benar setelah tiga bulan rahimku sudah pulih? Apa aku harus me
Dada Fatih bergemuruh hebat saat Ibunya memanggilnya dengan nama Arka. "Ini Fatih, Bu! Ibu sudah tak mengingat Fatih lagi?" kata Fatih sambil melepas pelukannya dan duduk.Jedar! Jantung Zahra meronta-ronta ingin keluar melihat tatapan putranya yang menyakitkan. Begitu pula dengan Ridwan yang merasa bersalah pada Fatih. Ridwan jelas melihat wajah terpukul Fatih, mungkin Fatih merasa tak diinginkan lagi dan Ibunya hanya mengingat sang adik. "Bukan, Nak! Fatih tau? Arka sangat mirip dengan Fatih! Senyum Fatih saat turun dari pesawat tadi juga mengingatkan Ayah pada Arka!" kata Ridwan mencoba menenangkan Fatih. Duduk dan membawa Fatih pada pahanya, "Ibu tidak tau jika Fatih akan ke sini, dan Ibu tidur! Ibu mungkin berfikir dia sedang bermimpi!" Fatih tetap diam menatap Ayahnya. Kemudian beralih menatap mata Ibunya yang berair, "Maafkan Ibu, Ibu tidak tau kamu datang, Nak!" Fatih tetap dia
Begitu pula dengan Ridwan yang tidak pernah berfikir istrinya akan berkata sepedas itu. Ridwan langsung menoleh pada istrinya yang tengah menatapnya tajam. Tatapan itu mampu membuat Ridwan menelan air liurnya sendiri, Ridwan menyadari jika dirinya menatap Delena cukup intens. Sehingga membuat sang istri terbakar rasa cemburu dan berkata se-sarkas itu. "Maaf, Nyonya! Lain kali akan saya perhatikan tatapan saya!" jawab dokter Dele. Setelah itu langsung pamit dan pergi dari kamar itu. "S—sayang! Kenapa kamu seperti itu?" kata Ridwan mendekati suaminya. Zahra menatap suaminya dengan tajam, "Lalu aku harus apa? Membiarkan suamiku terus menatap sahabat kecil yang sangat cantik dan sexy itu?" "S—sayang, Kamu semakin gak masuk akal! Kamu yang jauh lebih cantik dan sexy!" jawab Ridwan mendekati Zahra.Zahra menyeringai, "Setelah cemburu tak beralasan sekarang aku gak masuk akal, Mas?"Zahra kemu
Zahra terkejut melihat dokter Dele berdiri di dekat ruang keluarga dengan parsel buah di tangannya. Zahra kemudian menoleh pada suaminya. Ridwan yang mendapat tatapan itu hanya menggeleng pelan sambil merengkuh pinggang Zahra. "Waalaikumsalam Delena, Ada apa?" tanya Mama Sofiya berdiri mendekati Delena. Memeluk dan mencium pipinya. "Mau mengunjungi Oma, Tante!" jawab Delena sambil tersenyum. Kemudian berdehem sebentar. "Sambil meminta maaf pada Zahra, Tante!" lanjutnya. "Oh, Silahkan duduk!" ajak Mama Sofiya. Papa Ameer dan Oma yang bisa melihat perubahan wajah Zahra kemudian berdehem. Tidak ingin menganggu libur akhir pekan mereka, Papa Ameer berdiri. "Lebih baik duduk diluar yuk, Ma! Rasanya tidak pantas di ruang keluarga untuk menerima tamu! Ayo Del!" ajak Papa Ameer. Hal itu sontak membuat Mama Sofiya terkejut. Sedang Oma beranjak dan berdiri dan mengajak Zahra, "Ayo, Nak! Dele juga ingin menemuimu!" Zahra terus beristighfar dalam hati untuk menenangkan diri. Melihat