Melihat Ridwan menggedor pintu kamar dengan brutal Pap Ameer bergegas, menepuk bahu Ridwan.
"Ada Fatih, Dia akan berfikir yang tidak-tidak pada Ibunya kalau kamu begini!"Papa Ameer memperingati Ridwan dengan tegas."Ayo ke bawah, beri Zahra waktu!" lanjut Papa Ameer.Kemudian Ridwan berhenti, Ridwan terbawa emosi hingga tidak menyadari jika ada Fatih di sini.Fatih akan sangat cemas dan bahkan Ridwan akan bingung menjelaskan pada putra geniusnya itu kenapa Ibunya menangis.Ridwan duduk di ruang tamu dengan menetralkan dadanya yang naik turun.Menatap intens pada pintu kamarnya.Berharap Zahra akan segera membuka pintunya."Ada apa, Nak? Kenapa sampai Zahra menangis! Kamu menyakitinya?" tanya Mama Sofiya khawatir.Ridwan diam sambil menutup matanya menghela nafas panjang.Mama Sofiya yang tidak mendapatkan jawaban dan khawatir dengan Zahra akhirnya naik.Mengetuk pRidwan masuk ke dalam kamarnya pelan-pelan. Dan melihat Zahra yang tengah damai dalam mimpinya. Ridwan mendekat dan duduk di lantai menatap istrinya intens. "Sayang, Aku sangat takut kehilanganmu! Nurut sama aku kali ini aja, ya?" libur Ridwan seolah sedang berbicara dengan Zahra. Ridwan bisa melihat mata Zahra bengkak. Ada bekas air mata tercetak dalam di pipi istrinya itu. "Maafkan aku, aku tau perasaanmu. Aku juga sangat mencintai anak ini! Tapi, aku tidak bisa hidup tanpamu, Ra!" lirih Ridwan sambil mengusap perut Zahra. Ridwan juga dilanda kesakitan yang sama. Siapa Ayah yang tega membunuh anaknya sendiri bahkan sebelum terlahir. Tapi, nanti setelah operasi pengambilan tumor, mereka akan bisa program dan hami lagi, pikir Ridwan. "Nak, Maafkan Ayah, Sayang! Ayah menyayangi kalian!" bisik Ridwan kemudian didepan perut Zahra. Memegang perut Zahra membuat hatinya hancur, membayangkan ada dua janin berkembang disana beserta dengan tumor. Ridwan mencium pelan perut Zahra dan
Zahra kemudian mengangguk, "Baiklah, mungkin kita memang membutuhkan penengah dan pengambil keputusan terbaik dari sisi agama!" Ridwan menatap istrinya dalam.Ridwan begitu berat dengan keputusan apa yang ada diluar kendalinya. "Berjanjilah padaku, Mas!" kata Zahra. "Apa?" tanya Ridwan pada Zahra. Zahra menggenggam tangan suaminya, "Mari kita berjanji, apapun keputusan Habib Usman kita harus menerima dan saling menguatkan!" Ridwan tersenyum dan mengangguk, "Mas berjanji! Berjanjilah kamu juga akan ikhlas!" Zahra diam merasakan dadanya. "Berjanjilah juga, tidak akan berfikir bunuh diri, jika kejadian Bibimu juga terjadi padaku!" pinta Zahra. Ridwan diam menatap mata istrinya. Mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Zahra, melumat lembut bibir ranum istrinya. Namun sensasi kali ini sangat menyakitkan, balasan ciuman Zahra membuat Ridwan dan Zahra meneteskan satu bulir air mata.
Selepas itu, Zahra dan Ridwan kembali ke rumahnya. Rumah yang bersebelahan dengan Habib Usman, hanya tersekat satu tembok. Zahra memasuki rumah yang sudah satu minggu dia tinggal. "Rasanya rindu dengan suasana di rumah, ini!" gumam Zahra sambil memasuki kamarnya. Ridwan kemudian memeluk istrinya, "Iya rindu suasana tentram ini, sebelum badai datang!" Zahra mengangguk. Zahra juga merindukan saat suaminya seperti biasa tanpa beban seperti saat ini. "Mari kita lapangkan dada kita, Mas! Serahkan saja sama Allah! Hidup mati kita!" Zahra berbalik dan menangkup wajah suaminya."Bukankah cepat atau lambat kita akan kembali?" kata Zahra. Ridwan tersenyum dan mengangguk. "Semoga Allah mengabulkan doa, Mas! Dan kita bersatu di akhirat kelak, Ra!" kata Ridwan. "Aamiin! Emang doa Mas apa semalam?" tanya Zahra sambil memainkan rahang suaminya. Ridwan mengecup bibir Zahr
"Apa maksudmu, Mas? Mas tak menginginkan Zahra lagi?" tanya Zahra. Ridwan menggeleng, "Hatiku tak bisa mencumbumu dalam keadaan seperti ini, Sakit sekali, Ra!" Zahra mendengar degup jantung suaminya dan nafas berat suaminya. Zahra beranjak dan mengambil inhaler dari balik laci nakas sebelah kasurnya. Menyemprotkan pada mulut Ridwan beberapa kali. Zahra tidak ingin suaminya anfal. Ridwan hanya menurut dengan mata yang masih tertutup. Zahra mengusap pipi Ridwan, kemudian mengecup pipinya beberapa kali. Zahra tau Ridwan tengah menyembunyikan matanya. Zahra juga bisa melihat bekas air mata yang jatuh. "Aku mencintaimu, Mas! Aku beruntung bisa dinikahi laki-laki sepertimu! Laki-laki yang sangat mencintaiku!" lahir Zahra di depan telinga Ridwan. Kemudian beranjak dari kasur dan menuju kamar mandi. Sedangkan Ridwan meringkuk dibawah selimutnya.Mengistirahatkan h
Jantung Zahra dan Ridwan berpacu sangat kencang. Nyatanya Ridwan juga sangat sedih mendengar jawaban Habib Usman. Hati seorang Ayah juga tersayat saat harus mengangkat calon jabang bayinya, walaupun berawal dari idenya. Ridwan menoleh pada Zahra yang pasti sudah menunduk dalam, menyembunyikan air matanya. Ridwan buru-buru merengkuh tubuh Zahra. "Baik Habib, Terima kasih banyak!" ucap Ridwan dengan suara tercekat. Zahra tau, suaminya juga berat. Suaminya tetaplah laki-laki yang hatinya sangat lembut, Zahra mendekap Ridwan semakin erat. Habib Usman mengangguk, "Akan tetapi keputusan saya kembalikan lagi padamu, Ridwan!" "Iya, Bib! Saya permisi sekalian pamit langsung pulang ke Turki, Bib, Umi, Habib Ali!" pamit Ridwan. Mereka semua mengangguk dan mendoakan yang terbaik untuk Zahra dan Ridwan. Sejujurnya mereka juga sangat sedih, jalan yang harus Zahra lewati begitu terjal. Ridwan membawa Zahra untuk pulang ke Turki hari itu juga. Karena harus menyiapkan tubuh Zahra untuk ope
Zahra mengangguk mendengar pertanyaan Papa Ameer, namun tak ada suara yang bisa Zahra keluarkan. Membahas tentang ini, masih sangat membuatku Zahra sedih. "Apa kamu yakin, Ra? Apa ini paksaan Ridwan? Mamah hanya tidak ingin kamu menyesal!" tanya Mama Sofiya. "Mah, Pah! Aku tidak memaksa! Aku juga mencintai anak-anakku! Kenapa kalian seperti memojokkan aku!" kesal Ridwan. Mamah Sofiya menyeringai, "Memang!" "Mah, keputusan ini tidak datang dari kami! Kami menyerahkan keputusan ini pada Habib Usman!" jawab Ridwan. Papa Ameer dan Mama Sofiya mengangguk lega, walau dalam hati sangat sedih. Namun, keselamatan Zahra lebih penting. Apalagi pernah ada pengalaman yang sama dan berakhir tragis dalam keluarga. "Baiklah! Mama sedih, tapi Mama senang keputusan kalian! Mama tidak lagi berfikir tentang kakak Mamah!" jawab Mama Sofiya."Istirahatlah, Ra! Besok kami semua akan menemanimu! Kamu harus kuat!" kata
Pandangan mata Ridwan dan Zahra yang saling mengunci seolah sedang saling menyemangati satu sama lain. Dengan tangan yang saling ber genggaman erat. Hingga Akhirnya terhalang oleh pintu saat dokter menutup ruang operasi. Indikator pintu operasi berubah menjadi hijau, pertanda sedang mulai melewati sterilisasi dan penyuntikan bius total. Ridwan duduk di kursi tunggu dengan memejamkan mata terus merapalkan doa.Begitu juga Papa Ameer, Mama Sofiya, dan Oma yang sibuk dengan doa masing-masing. Berharap pelita dalam keluarga mereka bisa kembali dalam keadaan selamat. Lima jam yang sangat menegangkan, sebelum akhirnya indikator pintu berubah menjadi merah. Dan pintu ruang operasi terbuka. Bangkar tempat tidur Zahra didorong dan disambut keluarga dengan antusias. "Alhamdulillah Tuan-tuan dan Nyonya! Operasi berhasil dan pasien harus masuk ruang ICU untuk observasi pasca operasi!" kata Dokter
Ridwan kini tidak bisa tidur lagi setelah mimpi. Ridwan berfikir, mimpi itu nyata atau hanya hasil dari pemikirannya saja tentang dua anaknya. Entah itu hasil dari pemikiran atau benar putra putrinya hadir, Ridwan sangat senang bisa menatap Zahra kecil dan Fatih dalam balutan bahagia. "Semoga senyummu itu yang selalu menghiasi wajah cantikmu, Na!" batin Ridwan. Entah kenapa, Ridwan seolah langsung jatuh cinta saat pertama menatap Ena kecil dengan senyum indah itu. Hari berganti dan Ridwan masih setia di depan ruang ICU menunggu istrinya bangun. Sedangkan Papa Ameer menyusul istri dan Ibunya di ruang rawat inap. Ridwan berdiri dan menatap Zahra bari balik kaca, "Apa kamu begitu betah tidur, Sayang!" gumam Ridwan.Pagi itu Mama Sofiya, Papa Ameer dan Oma pamit harus pulang karena harus mengurus perusahaan. Ridwan mengiyakan dan menunggui Zahra seorang diri. Hingga sore hari, dokter menga
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s