Ridwan langsung bergegas masuk kedalam kamar.
Mencoba menghindari pertanyaan Zahra, karena memergoki Ridwan tengah menguping Fatih.Zahra tersenyum dan mengikuti suaminya.Mereka berdua melakukan kewajibannya, kemudian Ridwan langsung pamit berangkat ke masjid.Pujian sudah mulai terdengar merdu dari pengeras suara.Ridwan keluar kamar dan menunggu putranya dihalaman.Tak lama setelah itu, Fatih keluar dan pergi ke masjid bersama Ayahnya.Ridwan ingin mengukir segala kenangan bersama Fatih.Putra yang begitu dia sayangi.Tak ada kata yang terucap dari dua laki-laki beda usia itu.Setelah selesai melakukan sholat, mereka berdua bergegas pulang.Ridwan membawa Fatih pada pundaknya.Awalnya Fatih menolak dan minta diturunkan karena sang Ayah baru saja sembuh.Namun, Ridwan tak menurunkan Fatih.Memasuki rumah dan menuju meja makan, Zahra dan Umi pDan olahraga malam dua insan itu terjadi. Berpeluh dan mendesah bersama dalam balutan gairah dan rasa cinta.Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh cinta. Seolah Zahra adalah poselen, jika kasar sedikit akan pecah. Hati Zahra memang porselen, karena sudah pernah sekali pada waktu itu. Ridwan mengayuh tubuhnya dengan pelan, mengobrak-abrik dibawah sana hingga mereka mencapai puncak bersama. Meluapkan segala rasa, cinta, harapan, masa depan. Zahra tersenyum dalam dekapan suaminya. Menghirup aroma maskulin pada dada telanjang suaminya yang penuh keringat. Seolah rasa sakitnya lima tahun lalu menguap begitu saja diganti dengan cinta yang membuncah. Zahra sangat menikmati pelukan hangat suaminya. Tubuh mereka masih polos di bawah selimut itu. Ridwan terus menciumi puncak kepala Zahra dan menghirup dalam-dalam aroma sampo Zahra. Seolah aroma itu menambah ba
Fatih hanya diam mendengar jawaban ibunya. "Fatih kenapa bertanya begitu?" tanya Zahra. Fatih kemudian menatap Ibunya intens, seiring dengan pemberitahuan jika pesawat akan take off. Zahra dan Fatih mulai merasakan getaran saat pesawat itu mulai lepas landas. Hingga pesawat benar-benar tenang dan beberapa petugas datang membawakan sarapan Zahra dan Fatih. Zahra kemudian menoleh, "Makan dulu, nanti baru jawab pertanyaan, Ibu!" Fatih hanya mengangguk dan langsung memakan sarapan yang sudah disediakan. Mereka makan dengan nikmat karena menu yang dibawakan adalah menu kesukaan Fatih. Zahra berfikir, sepertinya Ridwan sudah menyiapkan segalanya demi kenyamanan perjalanan Zahra dan Fatih. Melihat sang putra sangat lahap membuat Zahra lebih tenang. Setelah makan, Zahra meminta petugas untuk mengantar menuju kamar dan berbaring bersama Fatih di sana. Sudah lumayan lama tidak memeluk
Ridwan terkejut dengan kirim selembar foto saat Zahra saat hamil. Zahra sedang bersandar di kursi memegang perutnya. Ridwan jelas tau itu adalah Zahra. Ridwan kembali foto dan ada tulisan dibelakang, [ Azzahrana selesai memanggang roti untuk dijual, Semoga lelahmu Lillah, Nak]Jantung Ridwan semakin tak karuan membaca tulisan itu. Zahranya berjualan roti? Zahranya kesusahan ketika hamil seorang diri? pikiran Ridwan semakin berkecamuk. Ridwan menatap dalam foto itu kemudian membuka dompet dan menaruhnya di dalam dompet. Dengan jutaan kata yang tak bisa diungkapkan oleh Ridwan. Ridwan membuka sepucuk surat berwarna biru kecil itu. [ Ridwan, Umi mengirim hadiah pernikahan untukmu. Tak mahal tapi Umi yakin ini berharga. Umi siapkan ini untukmu, karena Umi tau kau akan menikahi Zahra. Zahra tak pernah tau umi mengambil ini. Sembunyikan dari Zahra. Umi Awiy
Zen berlari setelah mendengar teriakan Mia dan benar saja, Ridwan sudah tergeletak di lantai. Zen kemudian menggendong Bosnya di punggungnya. "Mia, ambilkan ponselku, Cepat!" teriak Zen. Zen berusaha menggendong Ridwan yang besar. Mia berlari tergopoh-gopoh mengikuti Zen yang berjalan cepat. Hingga sampai mobil, Zen bergegas tancap gas. Sedangkan Mia kembali menghandle beberapa pekerjaan Zen yang belum selesai.Mobil itu melaju kencang sambil menghubungi dokter langganan di rumah sakit pusat milik Kahraman corp. Setelah lima menit, mobil itu sampai. Perjalanan yang biasa ditempuh 15 menit, kini Zen hanya menempuh lima menit perjalanan. Dokter sudah menunggu di sana dan langsung membawa Ridwan untuk mendapatkan penanganan.Sedang Zen duduk diluar sambil menetralkan nafasnya sebelum menghubungi nyonya besar. "Hallo Zen, ada apa?" tanya Ameer sesaat setelah menerima pan
Terdengar seperti suara ramai-ramai, bercampur isak tangis Mama Sofiya dan bunyi panjang monitor. Zahra mulai limbung dan terduduk di kursi ruang tamu sederhananya. "Mah ...!" suara Zahra tertahan hingga akhirnya panggilan itu berakhir. Zahra semakin lemas dan panik hingga Zahra kembali menelpon nomor Mamahnya. Namun sepertinya ponsel Mama Sofiya sudah Nonaktif. Zahra sangat kalut, kemudian terdengar suara Adzan magrib. Perbedaan waktu Yaman lebih lambat empat jam dari Indonesia. Sehingga di Yaman baru saja memasuki waktu magrib, dan di Indonesia sudah jam 10 malam. Zahra segera mengambil air wudhunya dan bergegas melakukan sholat magrib seorang diri di kamarnya. Memohonkan doa untuk kesembuhan sang suami. Suara riuh disertai isak tangis mama Sofiya sebelum panggilan mati terngiang dikepalanya. Hingga Zahra tanpa sadar meneteskan air mata. Zahra melanjutkan dengan
Dan siang itu panggilan video antara Ridwan dan Zahra berakhir. Menyisakan hati yang masih berdarah-darah. Kesalahpahaman kembali merasuki hubungan pernikahan mereka. Zahra memutuskan untuk mengikuti permintaan suaminya. Mengabaikan tidurnya dan pergi menemui Umi Awiyah untuk minta ditemani membeli pil penunda kehamilan. "Umi, Apa menikah itu berat?" tanya Zahra saat mobil itu mulai melaju keluar dari pondok. Umi tersenyum dan mengusap lengan Zahra, "Apa yang kamu takutkan, Nak?" "Tidak ada, Umi. Zahra hanya bertanya?" jawab Zahra. Umi Awiyah tau saat ini Zahra di penuhi banyak kekhawatiran. Entah apa yang dipikirkan putri angkatnya itu, yang jelas dia sedang beradaptasi dengan pernikahan. Pernikahan yang bukan normalnya pernikahan pada umumnya. Tentu Zahra akan diliputi rasa cemas. "Tergantung dimana tujuanmu, Ra. Tergantung di pelabuhan cinta mana kapal kalian ak
Zahra mundur beberapa langkah mendengar ucapan Ridwan Sejujurnya Zahra belum siap melakukan itu lagi, karena ulah Ridwan dua minggu lalu. Ridwan yang melihat Zahra mundur, akhirnya tertawa terbahak-bahak. Ekspresi ketakutan Zahra sangat lucu dimata Ridwan. Ditambah tubuh Zahra yang mungil, Ridwan seperti seorang Om-Om yang akan memperkosa anak dibawah umur. Melihat Ridwan tertawa membuat Zahra mencebikkan bibirnya. "Aku bercanda, Ra!" kata Ridwan menarik Zahra mendekat.Zahra diam tanpa ekspresi apapun, "Tapi aku tidak bercanda!"Ridwan kemudian menarik Zahra menuju pelukannya, mengusap lembut rambut panjang Zahra. "Aku mengaku kalah. Aku memang sangat merindukan istri sexyku!" kata Ridwan. Zahra mendengus, "Usss!" Ridwan selalu berbunga-bunga saat bersama dengan Zahra. Setiap tingkah Zahra terasa sangat membahagiakan untuk Ridwan. "Memangnya Zahra tidak m
Tidak menyesali hanya ada dalam angan Zahra. Nyatanya Zahra menyesali penolakannya dan berada dalam penantian lagi. Sekuat apapun Zahra memalingkan dan tidak memikirkan Ridwan, nyatanya Ridwan menghantuinya. Bayangan Ridwan menukar real dalam jumlah banyak membuat Zahra sedih. Bukankah seharusnya mereka berlibur dengan real itu? Zahra harusnya berkata terus terang kegelisahannya bukannya tiba-tiba marah dengan Ridwan. Namun kini Ridwan tak kunjung kembali setelah satu minggu kembali ke Istanbul. Zahra berfikir, mereka kini suami istri dan jika ada yang kurang harus saling melengkapi. Namun disisi lain, Zahra kesal dan berharap Ridwan yang memulai lebih dulu. Bukankah Ridwan kepala keluarga dirumah ini. Karena Zahra tak mendapat kabar Ridwan satu minggu ini. Zahra memutuskan untuk mencari berita sang direktur Kahraman corp itu. Zahra mengetik, [Berita terkini Kahram