Suasana di depan itu menjadi canggung.
Tidak ada yang membuka suara selepas Fatih pergi untuk mencuci tangan.Zahra bisa melihat kekecewaan Fatih.Entah kenapa, dada Zahra bergemuruh hebat.Meyakinkan diri untuk keputusan yang diambilnya."Pulanglah, Mas...," kata Zahra.Ridwan langsung menoleh dan menatap siluet Zahra."Ra ...," lirih Ridwan.Ridwan ingin kembali meyakinkan Zahranya, "Kamu bisa memegang janjiku, aku hanya akan melakukan hal yang kamu perbolehkan!"Ridwan tidak bisa melihat kekecewaan Fatih.Zahra belum beraksi mendengar ucapan Ridwan.Ridwan kembali meyakinkan, "Sekalipun Zahra tak mau tidur di kamar yang sama denganku, aku akan lakukan. Sekalipun Zahra—""Pulang, Mas!" potong Zahra.Ridwan terasa kelu dengan wanita satu ini.Bahkan ribuan wanita takut dengannya, ribuan wanita mengantri untuk naik ketubuhnya.Namun diZahra jadi bingung harus berbuat apa. Ada perasaan tidak suka saat Fatih mengatakan akan membatalkan pernikahan ini. Mungkin karena Zahra takut menyakiti hati Ridwan pikirnya. Sejujurnya Zahra tidak menyangka jika respon Fatih akan seperti itu. Zahra gelisah dikamarnya, sambil melihat ke arah jendela. Melihat beberapa orang sudah memenuhi masjid termasuk bang Yusuf. Zahra memang sudah meminta tolong bang Yusuf semalam. Perasaan Zahra sangat gelisah, sehingga Zahra bergegas ke belakang. Zahra mandi dan mengambil air wudhu, untuk menunaikan sholat subuh.Zahra berdoa yang terbaik. Sedangkan Fatih berlari sambil tersenyum menuju masjid. Langsung dihadapkan sang Ayah yang duduk bersila dengan beberapa orang termasuk paman Yusuf. Fatih mendekati Ayahnya.Menatap Ayahnya dingin, "Kau tidak ingin meminta restu padaku, Ayah?" Ridwan tersenyum dan mendekat
Fatih berlarian menghindari Ibunya. Zahra berlari terus ingin menangkap Fatih karena kejailannya subuh tadi. Ridwan hanya tersenyum tipis melihat tingkah Ibu dan anak itu. Fatih terus saja menghindar sambil cekikikan dan berlari sembunyi dibelakang Ayahnya. Zahra berhenti jarak beberapa meter dengan menatap Fatih. "Jadi Ibu tadi panik? Jadi Ibu jantungan tidak jadi menikah dengan Ayah?" goda Fatih lagi. Zahra diam menyesali ucapannya. "Anak sholeh sini! Jangan hanya berani sembunyi di belakang Ayahmu!" tegas Zahra. Ridwan hanya menatap Zahra yang tengah menatap tegas Fatih. Ridwan melihat Zahra berbeda pagi ini, Ibu yang tegas pada putranya. "Ibu, Fatih hanya berkata yang sebenarnya!" jawab fatih. Zahra terus menatap Ayah dan Anak yang kompak saling melindungi itu, "Mas mau melindungi anak itu?" Zahra menyilangkan tangannya di dadanya. Ridwan melebarkan m
Kemudian Ridwan berdiri dan mengikis jarak pada Zahra, memakaikan penutup telinganya. Keadaan terlihat canggung. Ridwan mengusap puncak kepala pelan. "Ayo naik, Selamat menikmati liburan kita, Sayang!" gumamnya. Zahra hanya mengangguk merasakan telinganya panas menjalar sampai pada pipinya. Zahra salah tingkah dengan perlakuan Ridwan. Ridwan kemudian berada dibalik kemudi dan menguji alat komunikasinya. Setelah semua aman, Ridwan menaikkan helikopter mengudara menuju kota Malang. Jarak yang lumayan dekat, membuat mereka terbang kurang lebih 30 menit. Zahra dan Fatih tampak senang menikmati pemandangan dari atas. "Itu gunung apa, Yah?" tanya Fatih. Ridwan tersenyum, "Itu gunung tertinggi di Jawa Timur, Nak. Gunung Semeru, dan itu tujuan kita!" Fatih tampak terkejut, "Benarkah, Yah?" "Tentu saja benar, piknik kita kesana!" jawab Ridwan. Sorak baha
Ridwan yang melihat Zahra gemeteran, menganggap karena traumanya lima tahun lalu. Ridwan buru-buru menutup tubuhnya agar tidak mengingatkan Zahra pada kebengisannya. Ridwan bergegas mengikuti Fatih menuju lantai dua untuk mandi dan ganti pakaian. Zahra menetralkan kegugupannya karena melihat barang suaminya itu. Kemudian berjalan mengikuti ayah dan anak itu ke lantai dua. Zahra masuk ke dalam kamar yang pintunya masih terbuka, dan merebahkan tubuhnya. Menunggu Fatih dan Ridwan yang sedang mandi bersama. Zahra tersenyum geli dengan kemesumannya sendiri. "Kenapa aku jadi gila gini sih! Tapi kan dia suamiku!" gumam Zahra menepuk dahinya pelan. Zahra tak tau apa yang dipikirkan Ridwan tentangnya setelah ini. Zahra sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedangkan dikamar mandi Fatih balik badan saat sang Ayah juga ikut masuk. "Ayah, gantian dong!" kata Fatih menatap taja
Fatih mengangguk mendengar ucapan Ayahnya.Fatih langsung masuk kedalam pelukan Ridwan, air matanya ikut menetes merasakan kepiluan ayahnya. Dua laki-laki beda usia itu saling merengkuh, menikmati gesekan antara kulit mereka. Menenangkan satu sama lain. Berdamai dengan rasa sakit yang sudah terjadi. "Ayo, Yah! Gosok punggung Fatih lagi!" ucapnya sambil mengurai pelukan. Fatih tak ingin semakin bersedih dan Ayahnya akan sedih pula. Ridwan langsung menggosok punggung putranya tanpa menjawab. Menetralkan rasa sakit dalam dirinya. Ridwan benar-benar memanjakan Fatih saat itu dan menggosok seluruh tubuhnya. Menyelesaikan mandi mereka berdua dan keluar kamar dengan handuk yang hanya mengikat pinggang mereka berdua. Mereka terjingkat ketidak melihat Zahra melipat tangannya di depan dengan tatapan tajam. "Bu!" lirih Fatih. "Apa yang kalian lakukan mandi hingga sa
Zahra juga tampak berbinar melihat pemandangan didepannya. "Ayo, kita piknik betulan!" kata Ridwan. Ridwan menyiapkan tempat bakar-bakar yang indah. Ada sebuah tenda besar dan banyak lampu-lampu menghiasi area tenda dan sebuah tikar. "Nanti malam kita tidur di tenda itu, Yah?" pekik Fatih kesenangan. "Tentu saja, sesuai maumu, Nak!" jawab Ridwan. Zahra hanya mengikuti Ridwan dan Fatih yang bersorak menuju tenda di depan perapian. Semua tanpa indah dan romantis. Zahra memuji dalam hati kejutan dari Ridwan. Malam itu, mereka bertiga hanyut dalam suasana indah dan romantis yang Ridwan ciptakan. Ridwan berusaha membuat kenangan-kenangan manis untuk sang putra. Setelah kehilangan masa emas nya selama empat tahun ini. Bakar-bakar dan bermain, kemudian berakhir tidur di tenda dengan dinginnya udara di lereng gunung Semeru.Saling memeluk dibawah selimut tebal.
Zahra menundukkan kepalanya berharap Fatih segera bangun dan mengurai kecanggungan ini. "Yah, ada apa?" tanya Fatih membuka mata melihat Ayahnya menatap sang Ibu tajam. "Ha ... Tidak ada, Ayo sholat subuh!" ajak Ridwan. Kemudian mereka sholat subuh berjamaah dan bersiap untuk kembali ke Kediri. Ridwan dan Zahra tetap dalam diam mereka masing-masing sampai mereka tiba di Kediri. "Fatih ingin langsung pulang, atau ada tempat yang ingin Fatih kunjungi?" tanya Ridwan. "Pulang saja, Ayah!" jawab Fatih. "Ibu mau pulang atau—"Ridwan tak melanjutkan ucapannya. "Pulang!" jawab Zahra singkat. Fatih hanya diam melihat kedua orang tuanya terlihat canggung. Sepanjang perjalanan mereka bertiga diam. Suasana menjadi sangat dingin. "Benar-benar manusia Es ini!" kesal Zahra pada Ridwan. Hingga mereka sampai pondok dan masuk ke rumah, Fatih kemudian bergegas ke k
Sontak Zahra memukul punggung suaminya itu pelan. Ridwan terkekeh karena sikap Zahra. Zahra begitu malu bahkan saat tubuh mereka masih lengkap dengan seluruh pakaian. Ridwan juga tidak memegang aset-aset berharga Zahra. Ridwan mengurai pelukan itu dan mengusap lembut pipi Zahra, "Jangan pernah lakukan hal itu lagi, Ra," Zahra mengangguk. "Aku tak bisa kehilangan kamu, Ra. Aku sangat takut hanya dengan membayangkan kejadian waktu itu!" kata Ridwan sambil mengambil tangan kiri Zahra. Diciumi bertubi-tubi bekas luka di pergelangan tangan Zahra. Zahra merasa tersentuh berkaca-kaca dan mengangguk. "Aku serius, Ra!" tegas Ridwan. Zahra mengangguk, "Iya, Mas!" Karena Zahra sangat malu pada Uminya, Zahra memutuskan untuk tidak keluar kamar. Ridwan keluar untuk memberikan oleh-oleh menggantikan Zahra. "Umi, Maafkan Ridwan dan Zahra!" kata Ridwan saat memasuki dapu
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s