Pekikan Ridwan terdengar nyaring di telinga Zahra, Feron dan Lidya, bersamaan dengan Ridwan yang tumbang.
"Mas!" pekik Zahra duduk sambil memegang suaminya."Ayo, Mas bisa! Kita harus bergegas!" kata Ridwan.Ridwan yang terkena tembakan di lengan mulai menggerakkan tangannya untuk memastikan tangannya patah atau hanya cidera peluru.Feron menatap ke depan."Stop sampai di sini! Jangan menyakiti banyak orang lagi, Del!" kata Feron.Delena menyeringai sambil melipat tangannya di depan seperti tengah meremehkan orang yang ada di depannya."Hahahah, Kamu lucu, Feron! Bukankah kamu menginginkan Zahra?" jawab Delena sambil terkekeh."Iya, kemudian aku sadar jika itu tidak mungkin! Mari kita sadar, Del!" jawab Feron mulai mendekat."Karena jalang itu!" pekik Delena sambil menunjuk Lidya.Feron memejamkan matanya meredam marah karena wanita miliknya dikatakan jalang oleh orang lain."Papa durhaka!" jawab Feron tak kalah ketusnya."Jaga mulutmu, Anak tak tau diri!" kesal laki-laki itu karena melihat markasnya sudah diringkus oleh polisi. "Papah yang gak tau diri, udah tua masih saja suka lubang daun muda sampai menghalalkan segala cara! Kasihan Ibu Tasha!" pekik Feron. "Tau apa kamu, Diam! Mamamu tidak becus mendidikmu!" pekik Laki-laki itu.Feron meradang saat Mamanya dihina dan itu membuat perdebatan semakin panjang dan sakit hati semakin dalam dihati Feron. Sedangkan Delena, Lidya, Zahra, Ridwan hanya diam di mobil yang melaju kencang itu. Ridwan mendudukkan Zahra dengan aman dan memeluknya. "Ada yang sakit, tidak?" bisik Ridwan pada Zahra ditengah perdebatan dua orang itu. Zahra menggeleng karena memang tak merasakan sakit. "Papa sudah berhasil meringkus mereka, percayalah kita akan selamat setelah ini!" bisik Ridwan lagi. Zahra mengangguk untuk kesekian kalinya
Tembakan Papa Ameer mengenai betis Emir. "Aaarrkkhhhhh!" teriakan Emir menggema di ruangan itu. Papa Ameer dan para anak buahnya sudah benar-benar melumpuhkan semua sinyal. Dan meringkus beberapa markas di Sozopol, Ankara dan banyak lagi. Polisi gabungan telah meringkus ratusan anak buah dan juga beberapa Ton narkoba dan ribuan perempuan yang berada dalam kapal penjualan. Semua sinyal yang ada di rumah Emir telah lumpuh sehingga Emir tak mendengar kabar apapun dari anak buahnya.Papa Ameer datang seorang diri karena dia ingin menghukum mantan sahabatnya itu seorang diri. "Tangkap wanita gila dan laki-laki iblis itu!" titah Papa Ameer sambil berjongkok didepan menantunya. Menyobek kemeja miliknya dan dia talikan sebagai pengganti cadar untuk sang menantu."Maafkan Papa datang terlambat, Nak!" lirih Papa Ameer. Zahra mengangguk sambil melelehkan air matanya menjawab perkataan Pa
Ridwan jatuh di pasir itu sambil menatap birunya air laut yang dengan deburan ombak. "Arey!" lirih Ridwan. Zahra yang ikut terduduk di pasir pantai langsung memeluk suaminya erat, menyalurkan rasa hangat pada sang suami. "Mas," lirih Zahra. Zahra tak bisa berkata-kata, karena Zahra pernah menyaksikan Ridwan terbawa arus sungai. Dan itu sangat menyakitkan. Zahra tentu tau, Ridwan yang menyaksikan baby Arey yang masih berusia tiga bulan itu harus kehilangan suara tangisnya di telan deburan ombak. Zahra mengusap kepala suaminya dengan pelan. "Bukan salahmu, kita berdoa yang terbaik untuk baby Arey!" lirih Zahra. Sedangkan beberapa saat kemudian Papa Ameer dengan muka merahnya memasukkan ponsel dan tim SAR pantai datang. Mereka mulai mencari keberadaan dua orang itu dan pimpinannya datang pada Papa Ameer yang berada di belakang Ridwan. "Maaf, Pak! Kami akan melakukan yang terbai
Ridwan menoleh pada karena mendengar gumaman Zahra. "Ya, menyatu dengan lautan, Ra!" jawab Ridwan. "Arey pasti ditemukan dan selamat, berdoa dan berfikir positif, Mas!" jawab Zahra. Entah kenapa jantung Zahra berdetak kencang, Kata-kata Ridwan seolah mengembalikan kenangan di sungai Aare.Karena Zahra pernah berkata hal yang sama pada Ridwan, [Menyatu dengan sungai Aare]Ridwan tersenyum, "Apa mungkin, bayi berusia tiga bulan menahan nafas di dalam air laut, Ra?" lirih Ridwan. Zahra menelan salivanya berat. "Mungkin, Mas! Jika Allah sudah berkehendak!" jawab Zahra. "Seperti Mas, untukku! Aku bahkan tidak lagi berfikir Mas selamat dan ternyata Mas muncul di hadapanmu begitu saja!" lanjutnya. Ridwan mengangguk mendengar jawaban Zahra. Ridwan merasa ada sekeping hatinya yang runtuh, seperti telah kehilangan salah satu bagian kecil dalam hatinya. Ridwan merasa telah benar-benar ke
Di sisi lain Feron tengah memeluk Lidya di dalam mobil yang berjalan menuju apartementnya. Mengusap puncak kepala kekasihnya. "Jangan bersedih, Feron!" lirih Lidya. Feron mengangguk dan mengecup puncak kepala Lidya sambil menjawab, "Papa memang sepantasnya mendapatkan itu!" "Apa kamu ingin menemui, Mamah?" tanya Lidya. Feron menggeleng, "Kita istirahat dan besok kita akan pergi ke Mama untuk meminta restu! Sesuai janjiku, Lid!" Lidya kemudian melerai pelukan Feron dan menangkup wajah kekasihnya itu. "Pelan-pelan saja, Aku tau tidak mudah melupakan wanita secantik dan sebaik, Zahra! Aku saja yang wanita jatuh hati padanya!" jawab Lidya. Lidya memang sangat mengagumi Zahra setelah beberapa hari bersama, rasanya Lidya ingin belajar menjadi istri sebaik dia. Bahkan Zahra dengan mudah menggendong bayi suaminya dengan wanita lain, pikir Lidya. "Kamu benar, Maafkan aku! Aku kembali terpesona
Petang datang dengan cepat, selepas sholat Zahra menghampiri suaminya yang lebih dulu duduk di sofa balkon. Menatap lautan luas tak berujung. "Mas!" sapa Zahra. Ridwan menoleh dan tersenyum, "Sini sayang, duduk di pangkuan, Mas!" Zahra menurut dan duduk di pangkuan suaminya. "Kenapa mukenanya gak kamu lepas, Ra?" tanya Ridwan. Zahra kemudian mengecup ringan pipi suaminya, "Karena Zahra tak punya pakaian ganti, jadi Zahra gak pake dress Zahra, Mas!" "Besok beli ya, Ra! Maaf Mas tidak mempertimbangkan itu!" jawab Ridwan. Zahra menggeleng, "Tak apa, Mas!" Ridwan kemudian memeluk pinggang Zahra dan menumpukan dagunya di pundak Zahra. Menatap lautan yang bergemuruh. Deburan ombak tak lagi menenangkan seperti dj Sozopol. Karena kini, dalam deburan ombak itu ada putranya yang tengah berjuang untuk kembali. "Ra!" panggil Ridwan. Zahra memegang tangan Ri
Zahra yang melihat suaminya mencekik Delena yang tengah pingsan langsung berlari menuju Ridwan. "Mas! Stop, Mas! Istighfar!" pekik Zahra menggapai suaminya tertatih. Sejujurnya kaki Zahra juga seperti jely melihat keadaan jenazah baby Arey yang sangat mengenaskan. Siapapun yang lihat pasti akan sedih. Bayi sekecil itu harus menahan kesakitan luar biasa. "Kamu harus mati, Delena!" geram Ridwan tak mendengar sekitar. Dirinya fokus meluapkan rasa sakit hatinya dengan menyalahkan Delena yang membawa bayinya masuk kedalam ombak. "Mas! Stop, Mas!" teriak Zahra. Semua orang di sana membantu memegang Ridwan agar tidak mencekik Delena. Namun kekuatan Ridwan begitu besar hingga tak bisa melepaskan cengkeraman tangan Ridwan. Zahra berhasil meraih tangan suaminya. "Mas!" lirih Zahra. Ridwan sontak menoleh pada Zahra yang sudah berurai air mata sepertinya. "Ra?" lirih
Delena yang berhasil terjun, ditarik oleh petugas di sana terus meronta ingin dilepaskan. Delena benar-benar telah kehilangan akalnya setelah melihat putranya seperti itu. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Delena tak memikirkan apapun selain putra yang telah menemaninya selama ini. "Lepasss! Jangan tarik, Lepas!" pekiknya sambil terus bergerak meronta. Sedangkan dua laki-laki petugas itu kesusahan menarik dan mempertahankan Delena. Ridwan, Zahra, Mama Sofiya, Papa Ameer dan kedua orang tua Delena mendekat tergesa-gesa. "Kau gila, Delena!" pekik Ridwan. Delena menatap Ridwan sekilas, namun wajah itu justru mengingatkan dia pada baby Arey. Tangis Delena kembali meledak menatap Ridwan, membayangkan wajah kondisi putranya yang mengenaskan. "Lepas! Aku mau menyusul putraku!" pekik Delena pada dua petugas itu. Dengan tangis yang terus luruh dan juga tubuh bergerak tak karuan, De