Ferom terkejut melihat Ridwan membuka matanya.
"Kau memang masih luar biasa seperti dulu, Ridwan! Aku tidak menyangka melihat lukamu yang parah dan kamu masih bisa mengelabuhi musuhmu!" jawab Feron.Feron kemudian duduk di kursinya sambil menyulut rokok di tangannya.Yah, Ridwan pura-pura pingsan agar bisa tau rute masuk ke markas utama musuhnya.Ridwan tau dan sadar betul jika melawan puluhan preman seorang diri itu tidak mungkin."Zahraaa! Mas disini! Kamu tenang ya disebelah!" teriak Ridwan berusaha menenangkan istrinya.Walaupun Ridwan tak yakin Zahra mendengarnya, setidaknya Ridwan sudah berusaha.Kemudian Feron terkekeh mendengar teriakan Ridwan, "Kamu ini lucu sekali, Ridwan! Ruangan ini tentu saja kedap suara!""Setidaknya aku berusaha sekuat tenagaku," jawab Ridwan ketus.Ridwan mulai mengatur nafasnya dan mencoba mencerna keinginan Feron menculik Zahra."Sebenarnya apa maumuPekikan Ridwan terdengar nyaring di telinga Zahra, Feron dan Lidya, bersamaan dengan Ridwan yang tumbang. "Mas!" pekik Zahra duduk sambil memegang suaminya. "Ayo, Mas bisa! Kita harus bergegas!" kata Ridwan. Ridwan yang terkena tembakan di lengan mulai menggerakkan tangannya untuk memastikan tangannya patah atau hanya cidera peluru. Feron menatap ke depan. "Stop sampai di sini! Jangan menyakiti banyak orang lagi, Del!" kata Feron. Delena menyeringai sambil melipat tangannya di depan seperti tengah meremehkan orang yang ada di depannya. "Hahahah, Kamu lucu, Feron! Bukankah kamu menginginkan Zahra?" jawab Delena sambil terkekeh. "Iya, kemudian aku sadar jika itu tidak mungkin! Mari kita sadar, Del!" jawab Feron mulai mendekat. "Karena jalang itu!" pekik Delena sambil menunjuk Lidya. Feron memejamkan matanya meredam marah karena wanita miliknya dikatakan jalang oleh orang lain.
"Papa durhaka!" jawab Feron tak kalah ketusnya."Jaga mulutmu, Anak tak tau diri!" kesal laki-laki itu karena melihat markasnya sudah diringkus oleh polisi. "Papah yang gak tau diri, udah tua masih saja suka lubang daun muda sampai menghalalkan segala cara! Kasihan Ibu Tasha!" pekik Feron. "Tau apa kamu, Diam! Mamamu tidak becus mendidikmu!" pekik Laki-laki itu.Feron meradang saat Mamanya dihina dan itu membuat perdebatan semakin panjang dan sakit hati semakin dalam dihati Feron. Sedangkan Delena, Lidya, Zahra, Ridwan hanya diam di mobil yang melaju kencang itu. Ridwan mendudukkan Zahra dengan aman dan memeluknya. "Ada yang sakit, tidak?" bisik Ridwan pada Zahra ditengah perdebatan dua orang itu. Zahra menggeleng karena memang tak merasakan sakit. "Papa sudah berhasil meringkus mereka, percayalah kita akan selamat setelah ini!" bisik Ridwan lagi. Zahra mengangguk untuk kesekian kalinya
Tembakan Papa Ameer mengenai betis Emir. "Aaarrkkhhhhh!" teriakan Emir menggema di ruangan itu. Papa Ameer dan para anak buahnya sudah benar-benar melumpuhkan semua sinyal. Dan meringkus beberapa markas di Sozopol, Ankara dan banyak lagi. Polisi gabungan telah meringkus ratusan anak buah dan juga beberapa Ton narkoba dan ribuan perempuan yang berada dalam kapal penjualan. Semua sinyal yang ada di rumah Emir telah lumpuh sehingga Emir tak mendengar kabar apapun dari anak buahnya.Papa Ameer datang seorang diri karena dia ingin menghukum mantan sahabatnya itu seorang diri. "Tangkap wanita gila dan laki-laki iblis itu!" titah Papa Ameer sambil berjongkok didepan menantunya. Menyobek kemeja miliknya dan dia talikan sebagai pengganti cadar untuk sang menantu."Maafkan Papa datang terlambat, Nak!" lirih Papa Ameer. Zahra mengangguk sambil melelehkan air matanya menjawab perkataan Pa
Ridwan jatuh di pasir itu sambil menatap birunya air laut yang dengan deburan ombak. "Arey!" lirih Ridwan. Zahra yang ikut terduduk di pasir pantai langsung memeluk suaminya erat, menyalurkan rasa hangat pada sang suami. "Mas," lirih Zahra. Zahra tak bisa berkata-kata, karena Zahra pernah menyaksikan Ridwan terbawa arus sungai. Dan itu sangat menyakitkan. Zahra tentu tau, Ridwan yang menyaksikan baby Arey yang masih berusia tiga bulan itu harus kehilangan suara tangisnya di telan deburan ombak. Zahra mengusap kepala suaminya dengan pelan. "Bukan salahmu, kita berdoa yang terbaik untuk baby Arey!" lirih Zahra. Sedangkan beberapa saat kemudian Papa Ameer dengan muka merahnya memasukkan ponsel dan tim SAR pantai datang. Mereka mulai mencari keberadaan dua orang itu dan pimpinannya datang pada Papa Ameer yang berada di belakang Ridwan. "Maaf, Pak! Kami akan melakukan yang terbai
Ridwan menoleh pada karena mendengar gumaman Zahra. "Ya, menyatu dengan lautan, Ra!" jawab Ridwan. "Arey pasti ditemukan dan selamat, berdoa dan berfikir positif, Mas!" jawab Zahra. Entah kenapa jantung Zahra berdetak kencang, Kata-kata Ridwan seolah mengembalikan kenangan di sungai Aare.Karena Zahra pernah berkata hal yang sama pada Ridwan, [Menyatu dengan sungai Aare]Ridwan tersenyum, "Apa mungkin, bayi berusia tiga bulan menahan nafas di dalam air laut, Ra?" lirih Ridwan. Zahra menelan salivanya berat. "Mungkin, Mas! Jika Allah sudah berkehendak!" jawab Zahra. "Seperti Mas, untukku! Aku bahkan tidak lagi berfikir Mas selamat dan ternyata Mas muncul di hadapanmu begitu saja!" lanjutnya. Ridwan mengangguk mendengar jawaban Zahra. Ridwan merasa ada sekeping hatinya yang runtuh, seperti telah kehilangan salah satu bagian kecil dalam hatinya. Ridwan merasa telah benar-benar ke
Di sisi lain Feron tengah memeluk Lidya di dalam mobil yang berjalan menuju apartementnya. Mengusap puncak kepala kekasihnya. "Jangan bersedih, Feron!" lirih Lidya. Feron mengangguk dan mengecup puncak kepala Lidya sambil menjawab, "Papa memang sepantasnya mendapatkan itu!" "Apa kamu ingin menemui, Mamah?" tanya Lidya. Feron menggeleng, "Kita istirahat dan besok kita akan pergi ke Mama untuk meminta restu! Sesuai janjiku, Lid!" Lidya kemudian melerai pelukan Feron dan menangkup wajah kekasihnya itu. "Pelan-pelan saja, Aku tau tidak mudah melupakan wanita secantik dan sebaik, Zahra! Aku saja yang wanita jatuh hati padanya!" jawab Lidya. Lidya memang sangat mengagumi Zahra setelah beberapa hari bersama, rasanya Lidya ingin belajar menjadi istri sebaik dia. Bahkan Zahra dengan mudah menggendong bayi suaminya dengan wanita lain, pikir Lidya. "Kamu benar, Maafkan aku! Aku kembali terpesona
Petang datang dengan cepat, selepas sholat Zahra menghampiri suaminya yang lebih dulu duduk di sofa balkon. Menatap lautan luas tak berujung. "Mas!" sapa Zahra. Ridwan menoleh dan tersenyum, "Sini sayang, duduk di pangkuan, Mas!" Zahra menurut dan duduk di pangkuan suaminya. "Kenapa mukenanya gak kamu lepas, Ra?" tanya Ridwan. Zahra kemudian mengecup ringan pipi suaminya, "Karena Zahra tak punya pakaian ganti, jadi Zahra gak pake dress Zahra, Mas!" "Besok beli ya, Ra! Maaf Mas tidak mempertimbangkan itu!" jawab Ridwan. Zahra menggeleng, "Tak apa, Mas!" Ridwan kemudian memeluk pinggang Zahra dan menumpukan dagunya di pundak Zahra. Menatap lautan yang bergemuruh. Deburan ombak tak lagi menenangkan seperti dj Sozopol. Karena kini, dalam deburan ombak itu ada putranya yang tengah berjuang untuk kembali. "Ra!" panggil Ridwan. Zahra memegang tangan Ri
Zahra yang melihat suaminya mencekik Delena yang tengah pingsan langsung berlari menuju Ridwan. "Mas! Stop, Mas! Istighfar!" pekik Zahra menggapai suaminya tertatih. Sejujurnya kaki Zahra juga seperti jely melihat keadaan jenazah baby Arey yang sangat mengenaskan. Siapapun yang lihat pasti akan sedih. Bayi sekecil itu harus menahan kesakitan luar biasa. "Kamu harus mati, Delena!" geram Ridwan tak mendengar sekitar. Dirinya fokus meluapkan rasa sakit hatinya dengan menyalahkan Delena yang membawa bayinya masuk kedalam ombak. "Mas! Stop, Mas!" teriak Zahra. Semua orang di sana membantu memegang Ridwan agar tidak mencekik Delena. Namun kekuatan Ridwan begitu besar hingga tak bisa melepaskan cengkeraman tangan Ridwan. Zahra berhasil meraih tangan suaminya. "Mas!" lirih Zahra. Ridwan sontak menoleh pada Zahra yang sudah berurai air mata sepertinya. "Ra?" lirih
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
Ridwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan. "Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut. Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya. Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed. Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar. Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi. Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari. Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu. Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra. Dan mencari benda kenyal kesukaannya. "Ahhh, Mas!" desah Zahra. Zahra
Trauma itu nyatanya bukan hanya dimiliki oleh Zahra. Fatih kecil itu juga mengalami trauma karena kejadian liburan kala itu. Ridwan kemudian mensejajarkan tubuhnya dengan Fatih dan memeluk erat putranya itu. "Ayah hanyut bukan karena kamu, Sayang. Itu semua takdir, Ayah menyelamatkan kamu karena kamu harta yang sangat berharga!" kata Ridwan. Fatih masih diam seribu bahasa. "Fatih tidak boleh menyalahkan diri Fatih, bukankah daun yang jatuh saja atas izin Allah?" tanya Ridwan. Fatih mengangguk menjawab pertanyaan Ayahnya. "Bukankah berarti Ayah hanyut atas izin Allah?" tanya Ridwan lagi. Dan kembali Fatih mengangguk, "Maaf, Ayah!" jawabnya. Ridwan mengangguk dan menggandeng tangan putranya, "Ayo berangkat!" pekik Ridwan. Dan mereka duduk di kursi mereka untuk take of dan mengudara menuju Indonesia. 13 jam mengudara dengan sekali transit tidak membuat mereka bertiga kehilangan
Suara kelegaan dengan riang itu nyatanya tetap membawa kesan tersendiri untuk Zahra. Zahra menangkap ada gurat kesedihan dibalik ucapan Fatih.Jantung Zahra terasa nyeri dan tidak karuan menatap putranya."Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra.Fatih menggeleng, "Tidak Bu, bukan salah Ibu. Ayo kita pulang ke rumah, sudah sore!" ajak Fatih. Zahra mengangguk dan pamit pada Umi Awiyah untuk kembali ke rumahnya. Kemudian Zahra dan Fatih berjalan keluar dari rumah Umi Awiyah dan menuju ke rumahnya yang bersebelahan dengan Umi Awiyah. Ridwan menyusul setelah Fatih sempat mengabarkan jika mereka akan kembali ke rumah. "Maafkan Ibu ya, Nak!" lirih Zahra lagi sambil menggandeng Fatih. Fatih hanya diam tanpa kata sampai memasuki rumah dan Fatih membawa Ibunya untuk duduk di atas ranjangnya. "Bu, Fatih tidak bersedih dan bukan salah Ibu, Ini semua takdir yang sudah Allah gariskan untuk Fatih!" kata Fat
Ridwan kemudian memeluk Zahra sambil tertawa ringan, begitu juga dengan Zahra. Ridwan menciumi Zahra dengan gemas mengingat tingkah sang istri. "Terima kasih sudah hadir di hidup Mas, Ra!" gumam Ridwan. Zahra tersenyum, "Terima kasih juga, Mas sudah hadir di hidup Zahra, memberi warna baru dalam perjalanan hidup Zahra!" Ridwan mengangguk, "Mari terus bergandengan tangan sampai kita tua, Sayang!" ajaknya. "Sampai maut memisahkan kita, Mas!" jawab Zahra membenahi kata Ridwan. "Iya, tapi Mas maunya berdoa sampai mau memisahkan kita waktu tua nanti, Sayang!" kata Ridwan. "Aamiin," jawab Zahra. Ridwan kembali memeluk istrinya dengan erat seolah sangat takut kehilangan. "Ra, Selama menikah denganmu, Mas tidak pernah merasakan perasaan yang naik turun!" kata Ridwan. Zahra kemudian menatap suaminya intens, "Benarkah, Mas?"Ridwan mengangguk, "Rasa cinta ini terus bertambah dan bertam
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s