Petang datang dengan cepat, selepas sholat Zahra menghampiri suaminya yang lebih dulu duduk di sofa balkon.
Menatap lautan luas tak berujung."Mas!" sapa Zahra.Ridwan menoleh dan tersenyum, "Sini sayang, duduk di pangkuan, Mas!"Zahra menurut dan duduk di pangkuan suaminya."Kenapa mukenanya gak kamu lepas, Ra?" tanya Ridwan.Zahra kemudian mengecup ringan pipi suaminya, "Karena Zahra tak punya pakaian ganti, jadi Zahra gak pake dress Zahra, Mas!""Besok beli ya, Ra! Maaf Mas tidak mempertimbangkan itu!" jawab Ridwan.Zahra menggeleng, "Tak apa, Mas!"Ridwan kemudian memeluk pinggang Zahra dan menumpukan dagunya di pundak Zahra.Menatap lautan yang bergemuruh.Deburan ombak tak lagi menenangkan seperti dj Sozopol.Karena kini, dalam deburan ombak itu ada putranya yang tengah berjuang untuk kembali."Ra!" panggil Ridwan.Zahra memegang tangan RiZahra yang melihat suaminya mencekik Delena yang tengah pingsan langsung berlari menuju Ridwan. "Mas! Stop, Mas! Istighfar!" pekik Zahra menggapai suaminya tertatih. Sejujurnya kaki Zahra juga seperti jely melihat keadaan jenazah baby Arey yang sangat mengenaskan. Siapapun yang lihat pasti akan sedih. Bayi sekecil itu harus menahan kesakitan luar biasa. "Kamu harus mati, Delena!" geram Ridwan tak mendengar sekitar. Dirinya fokus meluapkan rasa sakit hatinya dengan menyalahkan Delena yang membawa bayinya masuk kedalam ombak. "Mas! Stop, Mas!" teriak Zahra. Semua orang di sana membantu memegang Ridwan agar tidak mencekik Delena. Namun kekuatan Ridwan begitu besar hingga tak bisa melepaskan cengkeraman tangan Ridwan. Zahra berhasil meraih tangan suaminya. "Mas!" lirih Zahra. Ridwan sontak menoleh pada Zahra yang sudah berurai air mata sepertinya. "Ra?" lirih
Delena yang berhasil terjun, ditarik oleh petugas di sana terus meronta ingin dilepaskan. Delena benar-benar telah kehilangan akalnya setelah melihat putranya seperti itu. Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Delena tak memikirkan apapun selain putra yang telah menemaninya selama ini. "Lepasss! Jangan tarik, Lepas!" pekiknya sambil terus bergerak meronta. Sedangkan dua laki-laki petugas itu kesusahan menarik dan mempertahankan Delena. Ridwan, Zahra, Mama Sofiya, Papa Ameer dan kedua orang tua Delena mendekat tergesa-gesa. "Kau gila, Delena!" pekik Ridwan. Delena menatap Ridwan sekilas, namun wajah itu justru mengingatkan dia pada baby Arey. Tangis Delena kembali meledak menatap Ridwan, membayangkan wajah kondisi putranya yang mengenaskan. "Lepas! Aku mau menyusul putraku!" pekik Delena pada dua petugas itu. Dengan tangis yang terus luruh dan juga tubuh bergerak tak karuan, De
Mama Delena pingsan sebelum mencapai ujung pagar pembatas lantai karena tidak siap menerima kenyataan. Jika putri tunggalnya dalam keadaan yang sangat mengenaskan. "Alhamdulillah!" lirih Zahra saat melihat Delena telah di evakuasi setelah terjatuh di atas matras. Saat sedang terjadi perdebatan, para petugas bersiap menyusun matras dari gudang untuk meminimalisir cidera dari pelaku. Ridwan terlihat menghela nafas lega. Sebenci apapun pada Delena, Ridwan tak mau melihat dirinya merenggang nyawa dengan mengenaskan di depan matanya sendiri. Sedang Papa Delena memilih menggendong istrinya menuju ruang rawat milik putrinya. Karena, istrinya juga memerlukan pemeriksaan. Sedang Mama Sofiya dan Papa Ameer yang memiliki hubungan baik dengan mereka pun mengikuti. Menemani di ruangan Delena. Terlepas dari kenyataan bahwa temannya mengizinkan putrinya melakukan hal jahat bahkan membuat kesepakatan
Mama Yila mulai panik mendengar suara suaminya yang baru saja masuk dengan keringat bercucuran dan ekspresi panik yang kentara. Mama Yila kemudian berdiri dan mengikuti suaminya, karena darahnya memang yang cocok dengan sang putri. Bukan darah suaminya. Papa Ameer dan Mama Sofiya terpaksa mengikuti temannya karena khawatir dengan kondisi Delena melihat Edar datang dengan kondisi yang sangat panik. Ceklek! "Dok istri saya bisa mendonorkan sambil menunggu darah dari bank darah untuk putri saya!" kata Papa Delena, Papa Ed. Mama Yila hanya mengangguk pada dokter itu mengiyakan ucapan suaminya. jangankan darah, nyawa saja Mama Yila berikan untuk Delena. "Baiklah kemari, Bu! Saya akan tes kecocokan dan kesehatan darahnya terlebih dahulu!" jawab Dokter itu. Mama Yila mendekat dan mulai mengulurkan tangannya untuk mengambil simple darahnya yang akan diperiksa. Setelah Dokter itu mengambil sed
Mama Sofiya dan Papa Ameer langsung berlari menuju ruangan yang sudah perawat itu beritahu. Setelah mengucapakan terima kasih. Mereka justru mengurusi keluarga yang sudah menghancurkan mereka dan melupakan kesehatan menantu dan calon cucunya. Cklek! "Ra!" pekik Mama Sofiya dan Papa Ameer yang langsung masuk ke dalam kamar. "Kamu gak apa-apa, Na—?" tanya Mama Sofiya terhenti sambil membelalakkan mata. Mereka terkejut sekaligus khawatir sesaat, setelah itu Papa Ameer membalik tubuh Mama Sofiya yang membawanya keluar pintu lagi. Papa Ameer menatap Mama Sofiya yang sudah menelan salivanya dengan nafas terjeda. "Anak kurang ajar!" gumam Papa Ameer sambil duduk di kursi panjang itu. "Mama gak salah lihat, Pah?" tanya Mama Sofiya. Papa Ameer menggeleng menjawab pertanyaan istrinya. Mereka kemudian terdiam di kursi panjang itu dengan pikiran masing-masing. Sedangkan Zahra
Papa Ameer dan Ridwan kini tengah menuju perjalanan dari rumah sakit ke pemakanan. Setelah mengurus seluruh administrasi. Papa Edar sudah memberi ijin jika mereka menguburkan cucu mereka bersama-sama. "Pah, apa benar Om Edar akan ikut?" tanya Ridwan. Papa Ameer mengangguk, "Benar, ini juga dalam perjalanan!" "Om Emir gimana, Pah?" tanya Ridwan. "Papa sudah serahkan pada Edar untuk membuat perhitungan, karena dia lebih berhak setelah Emir menghancurkan Delena, setelah itu baru akan diserahkan ke kepolisian!" jelas Papa Ameer. Ridwan mengangguk-angguk mendengar jawaban Papa Ameer. "Sebaiknya kamu fokus saja pada Zahra yang satu bulan lagi akan melahirkan!" lanjut Papa Ameer. Ridwan kembali mengangguk, "Iya, Pah! Ridwan juga tidak ingin terjadi apa-apa pada kembar dan Zahra!" Papa Ameer kini yang berganti mengangguk sambil menepuk pundak putranya pelan. "Berdoa terus minta sama
"Mah, apa jika Zahra minta untuk ke Tarim dan Indonesia sebelum lahiran, Mas Ridwan akan kasih ya?" tanya Zahra sambil mengunyah makanan yang disuapi Mama Sofiya. Setelah kejadian cek mengecek dan salah paham, mereka tertawa dan Mama Sofiya menyuapi Zahra karena makan siangnya sudah datang. "Hmmm, Zahra ingin menemui Fatih dan Umi Aisyah?" tanya Mama Sofiya. Zahra mengangguk, "Iya, Mah! Zahra ingin sekali sebelum nanti melahirkan dan repot mengurus dan menyusui kembar!" Mamah tersenyum mendengar jawaban Zahra, menurut Mama Sofiya Zahra juga perlu meminta doa restu pada kedua uminya yang lain. Untuk kelancaran dan keselamatannya saat persalinan. "Menurut Mama sih tidak apa, kamu juga perlu meminta restu pada kedua umimu! Nanti kita bicara bersama pada Ridwan!" jawab Mama Sofiya. Zahra tersenyum dan mengangguk sambil menerima suapan Mama Sofiya. "Terima kasih ya, Mah!" gumam Zahra. Mama Sofiya te
"Apa!" teriak Mama Sofiya mendengar ucapan Ridwan. Mama Sofiya tidak pernah tau berita itu. Papa Ameer dan Ridwan sengaja tidak pernah membahas hal itu karena Mama Sofiya pasti akan marah. "Apa benar Delena membuka cadar Zahra secara paksa?" tanya Mama Sofiya memastikan sekali lagi. Zahra hanya menundukkan kepala tak menjawab, karena kejadian itu juga sangat menyakiti Zahra."Iya, Mah!" jawab Ridwan dingin sambil berjalan menuju Zahra. "Kembalilah ke kamar Delena, Yil! Perbuatan putrimu sungguh tak bisa di tolerir!" ketus Mama Sofiya menahan amarah. "Sof!" lirih Mama Yila. "Kau tau, cadar untuk Zahra sama halnya dengan kerudung untuk kita! Melepas paksa berarti menelanjangi perempuan, Yil!" jawab Mama Sofiya. Mama Yila tau betul, dia pun juga tidak akan terima dengan jika ada orang yang melucuti kerudungnya. "Ini adalah sebuah penghinaan!" lanjut Mama Sofiya.Mama Sofiya kemud