Mama Yila mulai panik mendengar suara suaminya yang baru saja masuk dengan keringat bercucuran dan ekspresi panik yang kentara.
Mama Yila kemudian berdiri dan mengikuti suaminya, karena darahnya memang yang cocok dengan sang putri.Bukan darah suaminya.Papa Ameer dan Mama Sofiya terpaksa mengikuti temannya karena khawatir dengan kondisi Delena melihat Edar datang dengan kondisi yang sangat panik.Ceklek!"Dok istri saya bisa mendonorkan sambil menunggu darah dari bank darah untuk putri saya!" kata Papa Delena, Papa Ed.Mama Yila hanya mengangguk pada dokter itu mengiyakan ucapan suaminya.jangankan darah, nyawa saja Mama Yila berikan untuk Delena."Baiklah kemari, Bu! Saya akan tes kecocokan dan kesehatan darahnya terlebih dahulu!" jawab Dokter itu.Mama Yila mendekat dan mulai mengulurkan tangannya untuk mengambil simple darahnya yang akan diperiksa.Setelah Dokter itu mengambil sedMama Sofiya dan Papa Ameer langsung berlari menuju ruangan yang sudah perawat itu beritahu. Setelah mengucapakan terima kasih. Mereka justru mengurusi keluarga yang sudah menghancurkan mereka dan melupakan kesehatan menantu dan calon cucunya. Cklek! "Ra!" pekik Mama Sofiya dan Papa Ameer yang langsung masuk ke dalam kamar. "Kamu gak apa-apa, Na—?" tanya Mama Sofiya terhenti sambil membelalakkan mata. Mereka terkejut sekaligus khawatir sesaat, setelah itu Papa Ameer membalik tubuh Mama Sofiya yang membawanya keluar pintu lagi. Papa Ameer menatap Mama Sofiya yang sudah menelan salivanya dengan nafas terjeda. "Anak kurang ajar!" gumam Papa Ameer sambil duduk di kursi panjang itu. "Mama gak salah lihat, Pah?" tanya Mama Sofiya. Papa Ameer menggeleng menjawab pertanyaan istrinya. Mereka kemudian terdiam di kursi panjang itu dengan pikiran masing-masing. Sedangkan Zahra
Papa Ameer dan Ridwan kini tengah menuju perjalanan dari rumah sakit ke pemakanan. Setelah mengurus seluruh administrasi. Papa Edar sudah memberi ijin jika mereka menguburkan cucu mereka bersama-sama. "Pah, apa benar Om Edar akan ikut?" tanya Ridwan. Papa Ameer mengangguk, "Benar, ini juga dalam perjalanan!" "Om Emir gimana, Pah?" tanya Ridwan. "Papa sudah serahkan pada Edar untuk membuat perhitungan, karena dia lebih berhak setelah Emir menghancurkan Delena, setelah itu baru akan diserahkan ke kepolisian!" jelas Papa Ameer. Ridwan mengangguk-angguk mendengar jawaban Papa Ameer. "Sebaiknya kamu fokus saja pada Zahra yang satu bulan lagi akan melahirkan!" lanjut Papa Ameer. Ridwan kembali mengangguk, "Iya, Pah! Ridwan juga tidak ingin terjadi apa-apa pada kembar dan Zahra!" Papa Ameer kini yang berganti mengangguk sambil menepuk pundak putranya pelan. "Berdoa terus minta sama
"Mah, apa jika Zahra minta untuk ke Tarim dan Indonesia sebelum lahiran, Mas Ridwan akan kasih ya?" tanya Zahra sambil mengunyah makanan yang disuapi Mama Sofiya. Setelah kejadian cek mengecek dan salah paham, mereka tertawa dan Mama Sofiya menyuapi Zahra karena makan siangnya sudah datang. "Hmmm, Zahra ingin menemui Fatih dan Umi Aisyah?" tanya Mama Sofiya. Zahra mengangguk, "Iya, Mah! Zahra ingin sekali sebelum nanti melahirkan dan repot mengurus dan menyusui kembar!" Mamah tersenyum mendengar jawaban Zahra, menurut Mama Sofiya Zahra juga perlu meminta doa restu pada kedua uminya yang lain. Untuk kelancaran dan keselamatannya saat persalinan. "Menurut Mama sih tidak apa, kamu juga perlu meminta restu pada kedua umimu! Nanti kita bicara bersama pada Ridwan!" jawab Mama Sofiya. Zahra tersenyum dan mengangguk sambil menerima suapan Mama Sofiya. "Terima kasih ya, Mah!" gumam Zahra. Mama Sofiya te
"Apa!" teriak Mama Sofiya mendengar ucapan Ridwan. Mama Sofiya tidak pernah tau berita itu. Papa Ameer dan Ridwan sengaja tidak pernah membahas hal itu karena Mama Sofiya pasti akan marah. "Apa benar Delena membuka cadar Zahra secara paksa?" tanya Mama Sofiya memastikan sekali lagi. Zahra hanya menundukkan kepala tak menjawab, karena kejadian itu juga sangat menyakiti Zahra."Iya, Mah!" jawab Ridwan dingin sambil berjalan menuju Zahra. "Kembalilah ke kamar Delena, Yil! Perbuatan putrimu sungguh tak bisa di tolerir!" ketus Mama Sofiya menahan amarah. "Sof!" lirih Mama Yila. "Kau tau, cadar untuk Zahra sama halnya dengan kerudung untuk kita! Melepas paksa berarti menelanjangi perempuan, Yil!" jawab Mama Sofiya. Mama Yila tau betul, dia pun juga tidak akan terima dengan jika ada orang yang melucuti kerudungnya. "Ini adalah sebuah penghinaan!" lanjut Mama Sofiya.Mama Sofiya kemud
Ridwan terkejut dan panik mendengar pekikan Zahra sambil memegang perutnya. "Sayang! Ra, Kenapa? Dokter!" teriak Ridwan panik. Jantungnya berdebar kencang seakan ingin segera keluar dari tubuhnya."Dokter!" pekik Ridwan sambil membawa Zahra pada pelukannya. Ridwan yang melihat Zahra merintih kesakitan menjadi tak menentu. "Sabar, Ra! Tarik nafas, atur nafas, Sayang!" kata Ridwan sambil mengusap belakang kepala Zahra. Namun tiba-tiba. Zahra tertawa, "Beryandaaaa, bersyandaaaa!" ejeknya pada Ridwan. Melihat Zahra hanya mengerjainya membuat Ridwan kesal sekaligus lega, karena Zahra baik-baik saja. Ridwan kemudian menyeringai menatap Zahra yang masih terkekeh kesenangan karena berhasil mengerjai suaminya. Dan kemudian kesepuluh jari Ridwan diangkat membantuk cakar lunak yang siap menghukum Zahra. "No, Mas! Zahra gak kuat geli! Gak, Mass!" rengek Zahra dengan ekspresi andalannya,
Zahra terkejut dengan serangan Ridwan yang mendadak pada pabrik Asi kembar.Dan Ridwan semakin melanjutkan aksinya untuk memberikan nafkah batin pada sang istri. Dia juga sangat rindu pada Zahra. Rindu aktifitas mereka yang telah lama vakum. Ridwan menikmati setiap apa yang dia lakukan pada Zahra. Dan setiap suara yang Zahra keluarkan, semua direkam oleh otak dan hati Ridwan. Ridwan melakukannya dengan lembut dan penuh kasih sayang pada sang istri. "Arghhh!" hingga Ridwan mencabut pusakanya dan mendapat pelepasannya. Menimbang usia kandungan Zahra yang sudah delapam bulan memang dianjurkan untuk sering melakukan hubungan badan. Namun memang dilarang di keluarkan di dalam karena dapat memicu kontraksi palsu. Ridwan kemudian memeluk Zahra dan menarik selimutnya. Meresapi rasa yang masih bisa dirasakan dengan senyum tersungging di bibir mereka. "Terima kasih, Ra! Ini s
Setelah selesai memasukkan ke dalam oven, Zahra menuju ke kamar untuk melakukan kewajiban subuhnya. Karena adzan sudah berkumandang. Zahra masuk dan melihat Ridwan sudah duduk di atas sajadahnya. Tanpa banyak kata Zahra membersihkan diri dari najis dan berwudhu, kemudian duduk di sajadah belakang suaminya yang sudah disiapkan. Ridwan kemudian berdiri dan mulai sholat subuh berjamaahnya. Selepas sholat, Zahra mencium tangan suaminya dengan takdzim. "Terima kasih sudah menyiapkan sajadahku, Mas!" kata Zahra. Ridwan mengangguk, "Iya, Sayang! Terima kasih juga tetap kembali sholat walau Mas tau Zahra kesal!" Zahra mengangguk kemudian berdiri dan melepas mukenanya. Ovennya sudah dia atur selama 45 menit, jadi Zahra harus turun. "Kenapa cepat-cepat, Sayang?" tanya Ridwan.Ridwan merasa Zahra menghindarinya. "Iya Mas, oven tadi aku atur di 45 menit!" jawab Zahra jujur.
Tamparan panas itu mendarat sepenuhnya di pipi putih dan mulus Delena. Hingga Delena terdorong karena kuatnya tamparan sang Papa, kemudian dipegangnya pipinya yang panas itu.Delena tak bisa menyembunyikan sakit hatinya karena perlakuan yang dia terima dari Papa dan Mamanya. "Pah, Delena tidak pernah menyangka Papa akan memihak wanita itu! Aku anakmu, Pah!" teriak Delena tak terima. "Papa tidak memihak Zahra, tapi tidak mendukungmu, Delena! Beraninya kamu melemparkan tubuhmu seperti jalang pada sahabat Papa!" pekik Papa Edar. Papa Edar terlihat memerah dengan mata tajam penuh aura mencekam membuat Delena tak berani lagi membantah."Jawab, Del! Kenapa?" teriak Papa Edar.Delena menatap Papanya tak kalah tajam, "Karena hanya Paman Emir yang bisa membantu melancarkan rencanaku!" jawabnya pelan. Papa Edar dan Mama Yila sampai menggelengkan kepala mendengar jawaban putri mereka. "Dan apa kau berhasil?"