Seperti biasa pagi-pagi sekali Anggi sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untuk suaminya. Pagi itu Anggi membuatkan nasi goreng dan telor ceplok untuk Arga. Walaupun jarang sekali suaminya itu mau menyentuh masakannya tapi Anggi tetap rutin menyiapkannya setiap pagi.
Seperti pagi itu, Anggi sedang mengaduk kopi, harum aroma kopi memenuhi seluruh ruangan dapur, tiba- tiba dia dikejutkan suara "praang."Tergopoh-gopoh Anggi ke ruang makan, ternyata Arga suaminya sudah duduk di sana dan piring nasi goreng sudah berantakan di lantai."Kenapa mas?" tanya Anggi kepada suaminya dengan wajah bingung.
"Masakan apa ini?" jawab Arga dengan nada suara tenang seperti tidak terjadi apa-apa. Belum sempat Anggi menjawab Arga sudah melanjutkan kata-katanya, "masak ngga becus, jaga kehormatan diri sendiri juga ngga bisa, lalu apa yang kamu bisa?" Arga berkata pelan, tapi sangat menusuk hati Anggi. Anggi yang sudah membuka mulut hendak menjawab tidak jadi berkata-kata, akhirnya dia hanya bisa menangis mendengar kata-kata suaminya. Bagai ditusuk seribu jarum hati Anggi mendengar ucapan Arga.
Sepeninggal Arga, Anggi hanya bisa terduduk diam di ruang makan. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa melawan, karena semua memang salahnya. Air mata terus mengalir dari sudut-sudut matanya. Kata-kata Arga tadi bagai mata pisau yang mengiris hatinya. Sebagai perempuan memang dia tidak bisa menjaga harga dirinya, sebagai perempuan memang dia sudah kotor dan ternoda. Tapi apakah pantas dia di perlakukan seperti itu? Apa sudah tidak ada maaf untuknya?
Rasanya sudah tidak tahan Anggi menghadapi sikap Arga, tapi Anggi tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak mau ada yang tahu keadaannya, dia tidak mau sampai orangtua atau mertuanya tahu aibnya. Jadi Anggi hanya bisa menangis menghadapi semuanya.
Anggi jadi mengingat kejadian beberapa tahun lalu, semua penderitaan ini berawal dari sana.
Saat itu Anggi sedang sakit, ibu dan bapak kebetulan sedang ke Bandung mengunjungi Tante Riana yang sedang menikahkan anaknya, Tante Riana adalah adik ibu satu-satunya karena ibu hanya dua bersaudara.
Cuaca kebetulan mendung. Awan hitam pekat bagai jelaga. Sepertinya akan turun hujan yang sangat lebat. Badan Anggi panas tinggi tapi dia merasa seperti ada di dalam kulkas. Anggi masuk semakin dalam ke dalam selimut Barbie kesayangannya. Dia menggigil kedinginan. Badannya lemas seakan tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Anggi merasa sudah tidak tahan lagi, dia sangat membutuhkan obat. Tapi bagaimana dia mau membeli obat kalau berdiri saja dia merasa tidak mampu. 'Andai saja ibu ada di sini,' bisik Anggi dalam hati.
Semakin lama Anggi tidak tahan merasakan sakit dan demam yang semakin tinggi, akhirnya dia memutuskan untuk menelepon Bimo kekasihnya. Bimo Restu Aji, seorang laki-laki tampan, berperawakan tinggi dan berkulit agak kecoklatan. Laki-laki yang sudah di pacarinya sejak dia kelas satu SMA. Bimo adalah kakak kelasnya di SMA, usia mereka terpaut satu tahun. Tapi sikap Bimo sangat dewasa, mungkin karena dia anak sulung.
Anggi meraih handphone yang berada diatas meja di samping tempat tidurnya. Sesaat dia ragu untuk menghubungi Bimo, dia teringat pesan bapaknya untuk melarang Bimo datang disaat bapak dan ibunya sedang tidak berada di rumah. Tapi akhirnya Anggi pun menelepon Bimo. 'Tidak apa-apalah cuma sebentar. Cuma untuk membelikan obat setelah itu aku langsung menyuruhnya pulang,' bisik Anggi dalam hati.
Rintik hujan sudah mulai turun setitik demi setitik, tapi Bimo belum juga datang. Sampai akhirnya hujan turun dengan derasnya bagai di tumpahkan dari langit.
Selang setengah jam akhirnya Bimo pun sampai di rumah Anggi dengan membawa obat yang dia minta. Dan tidak lupa Bimo membelikan bubur ayam kesukaan Anggi.
"Anggi," panggil Bimo di depan pintu.
"Masuk aja, kak," rintih Anggi.
"Nggak apa-apa nih aku masuk?" balas Bimo.
"Masuk aja kak, aku nggak kuat untuk bangun," jawab Anggi lirih.
Bimo segera masuk ke kamar dan mendapati tubuh Anggi terbungkus di bawah selimut sambil menggigil kedinginan.
"Ya ampun! Kamu kenapa, Nggi?" tanya Bimo kaget melihat keadaan Anggi.
Dengan suara lirih Anggi berusaha menjawab pertanyaan Bimo. "Nggak tau nih kak, mungkin karena kehujanan kemarin, sekarang jadi masuk angin."
"Bapak sama ibu tau kamu sakit?" tanya Bimo lagi.
"Aku nggak kasih tau mereka, takut mereka khawatir dan jadi nggak tenang di sana," jawab Anggi sambil menggigil.
"Ya sudah, sekarang kamu makan dan langsung minum obat," perintah Bimo sambil membukakan bungkus bubur ayam dan langsung menyuapi Anggi. Tapi baru makan beberapa suap Anggi sudah merasa kenyang.
"Udah kak, aku udah kenyang. Sekarang aku minum obatnya aja," pinta Anggi.
Bimo segera memberikan obat dan segelas air putih kepada Anggi.
"Sekarang kamu istirahat, biar aku temani kamu di sini." Bimo segera mengambil kursi yang ada di depan meja belajar Anggi dan di letakan di samping tempat tidur kekasihnya itu.
Lima belas menit berlalu, Anggi masih saja menggigil kedinginan. Bimo kasihan dan tidak tega melihatnya. Dia naik ke tempat tidur dan memeluk tubuh Anggi dari belakang. Hembusan nafas Bimo terasa di belakang tengkuk Anggi tapi gadis itu tidak menolak perlakuan Bimo. Dia sudah tidak kuat menahan dingin tubuhnya.
Beberapa saat kemudian dingin yang dirasa Anggi mulai berkurang, dia mulai bisa merasakan hangat tubuh Bimo. Dia mulai merasakan nafas Bimo yang lama-kelamaan mulai tidak beraturan di punggungnya. Bulu kuduk Anggi meremang merasakan hembusan nafas kekasihnya itu. Tapi Anggi seakan tidak bisa menolak perlakuan Bimo terhadap dirinya, dia malah menikmati kehangatan tubuh Bimo yang memeluknya dari belakang. Rasanya ada kenikmatan tersendiri yang tidak bisa dia ungkapkan.
Lama kelamaan tangan Bimo mulai nakal. Tapi entah kenapa Anggi tidak berusaha untuk menghindar atau menolaknya. Anggi malah ikut terhanyut dengan perlakuan Bimo. Sampai akhirnya Anggi merasakan ada sesuatu yang masuk ke tubuhnya, Anggi merasakan sakit, tapi dia menikmatinya. Bimo bergerak semakin cepat di atas tubuh Anggi. Sampai pada suatu titik dimana Anggi merasakan ada sesuatu yang keluar di dalam tubuhnya dan dia merasakan kenikmatan yang tiadatara. Terdengar Bimo mengerang pelan dan akhirnya menjatuhkan diri disamping tubuh Anggi.
Anggi menangis setelah dia menyadari apa yang telah terjadi. Bimo juga menangis sambil mencium tangan Anggi, dia sangat menyesali perbuatannya.
"Maafin aku, Nggi," suara Bimo bergetar tanda dia benar-benar menyesali perbuatannya. "Aku nggak sengaja," lanjut Bimo
"Aku akan bertanggung jawab, aku akan secepatnya melamar kamu," ucap Bimo penuh penyesalan
"Aku akan menikahi kamu secepatnya setelah kamu wisuda," janji Bimo lagi
Anggi hanya menangis dan terus menangis sambil bersembunyi dibalik selimut. Anggi sangat menyesali perbuatannya. Bagaimana kalau dia hamil? Bagaimana kalau orangtuanya tahu akan hal ini? Anggi benar-benar ketakutan kenapa tadi dia menelepon Bimo? Kenapa tadi dia diam saja disaat Bimo mulai menyentuh bagian-bagian vital tubuhnya? Kenapa dia tidak menolak saat Bimo melepas pakaiannya sampai tidak ada selembar benangpun yang menutupi tubuhnya?
Seharusnya dia tadi malu. Seharusnya dia tadi menolak. Seharusnya dia tadi marah. Bahkan kalau perlu dia menampar Bimo agar Bimo sadar dan tidak melakukan itu. Perbuatan yang hanya pantas dilakukan pasangan suami isteri.
Sekarang percuma dia menyesalinya. Percuma dia tangisi. Semua sudah terjadi
"Bicara dong, Nggi." Bimo merasa sangat berdosa melihat Anggi terus menangis dan tidak menjawab semua ucapannya.
"Aku udah kotor kak, sebagai perempuan aku udah nggak punya harga diri, aku menjijikkan! Aku hina!" rintih Anggi lirih ditengah-tengah tangisnya."Aku udah membuat dosa bapak dan ibu. Aku udah mencoreng nama baik mereka," lanjut Anggi.
Anggi terus mengoceh sambil menangis "Aku anak nggak tau diri, aku udah kotor seperti sampah!"
"Jangan bicara begitu, sayang," bujuk Bimo. "Aku yang salah, aku minta maaf. Aku rela kalau kamu mau menghukum aku."
"Kamu janji akan secepatnya nikahin aku? Kamu janji nggak akan ninggalin aku?" tanya Anggi penuh harap dengan janji Bimo.
"Aku janji, sayang." Bimo cepat menjawab.
***
Bimo pulang dengan membawa sejuta penyesalan. Kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia menyakiti orang yang sangat dia cintai? Kenapa dia merusak sesuatu yang seharusnya dia jaga? Penyesalan yang tiada guna dan tiada akhir.
Bimo terus melamun di atas motornya. Pikirannya melayang kepada Anggi. Apakah Anggi akan marah padanya? Akankah Anggi membenci dirinya? 'Aku memang laki-laki tidak berguna, tidak bisa menjaga kesucian gadis yang kucintai.' Beribu penyesalan berkecamuk di hati Bimo.
Hujan masih turun dengan derasnya. Motor Bimo terus berjalan menerjang derasnya hujan. Bimo seakan tidak peduli tubuhnya kuyup diguyur hujan. Hatinya terus dipenuhi oleh penyesalan. Penyesalan yang akan dia bawa seumur hidupnya.
Bimo terus melamun, hingga dia tidak melihat ada lubang besar di jalan. Mungkin karena saat itu hujan deras dan jalan agak licin, Bimo tidak bisa menghindari lubang dan akhirnya motornya terbalik dan dia jatuh terpental di aspal jalan. Dari arah berlawanan ada bis luar kota yang melintas, dan akhirnya tubuh Bimo terlindas tanpa bisa dihindari lagi. Tubuh Bimo mengejang lalu diam tak bergerak.
Setelah pemakaman Bimo, Anggi terus mengurung diri di kamarnya. Dia terus menangis. Dunianya seakan sudah hancur. Gadis itu terus meratapi kepergian orang yang sangat dia cintai. Sudah tidak ada lagi orang yang akan menjemputnya setiap pagi ke kampus. Sudah tidak ada lagi orang yang akan menemaninya makan di kantin. Dan sudah tidak ada lagi orang yang selalu setia mendengarkan ceritanya tentang kesedihannya setiap kali dia sedang ada masalah.'Bimo...,' desah Anggi menyebut nama kekasihnya. 'Aku kangen kamu, kak. Aku mau kamu ada disini, selamanya. Aku mau kamu menemani sedih dan bahagiaku.'Dalam tangisnya Anggi juga meratapi nasibnya. Dia takut kejadian kemarin akan berakibat fatal. Bagaimana jika dia hamil? Bagaimana jika dia menikah nanti dan suaminya menuntut kesuciannya yang telah direnggut Bimo?Gadis itu terus menangis sampai akhirnya tertidur.***Akhirnya Anggi memutuskan untuk menutup hatin
Sinar matahari pagi masuk lewat jendela kamar dan menyentuh mata Anggi. Pagi itu Anggi merasakan badannya pegal-pegal, mungkin kecapean karena kemarin dia habis membersihkan rumah. Biasanya Mba Jum setiap pagi datang untuk membantunya mencuci dan menyetrika pakaian, juga untuk menyapu dan mengepel lantai. Tapi kemarin dia ijin karena anaknya sakit, terpaksa Anggi yang mengerjakan semuanya sendiri. Sekarang baru terasa capeknya. Badannya pegal-pegal semua. Rasanya malas untuk turun dan tempat tidurnya. Anggi membuka matanya, lalu dia terpejam lagi sambil menarik selimutnya."Bangun, sudah siang," terdengar suara berat suaminya."Badan aku sakit semua mas, biarkan aku tiduran sebentar lagi. Hari ini kan hari libur, kamu nggak ke restoran kan?""Aku mau ke stasiun jemput papa dan mama, hari ini kan mereka datang dari Bandung. Emang kamu lupa? Atau kamu sengaja nggak mau menyambut kedatangan orangtuaku?""Ya ampun, mas, aku bener-bener lupa. Kenapa sih kamu s
Wira Adi Winata, seorang pengusaha kaya yang tinggal di Bandung. Badan tegapnya masih terlihat di usianya yang sudah lebih dari setengah abad. Senyumnya ramah. Tapi sorot matanya terlihat tajam mencerminkan kalau dia seorang yang tegas dan berwibawa. Sosok dan pembawaannya sangat mirip dengan Arga. Sedangkan istrinya Lusiana Andita, seorang wanita keibuan. Tutur katanya lemah lembut. Senyumnya semakin manis dengan lesung pipi di kedua pipinya. Anggi sangat mengagumi mama mertuanya itu. Dia ingin jadi istri dan seorang ibu seperti mama Lusi.Anggi bergegas keluar menyambut kedua mertuanya. Dia langsung mencium tangan papa dan mamanya. Dan Bu Lusi pun langsung memeluk menantu kesayangannya itu."Mama kangen sama kamu, sayang," bisik mama di telinga Anggi."Aku juga kangen banget sama mama, maaf ya ma, aku udah lama nggak nengokin mama sama papa," balas Anggi masih dalam pelukan mama mertuanya."Tidak apa-apa
Siang itu matahari sangat terik. Udara terasa sangat panas. Hari itu rencananya Anggi mau belanja bulanan ke supermarket. Tapi rasanya malas untuk keluar rumah di panas yang terik seperti ini. Akhirnya Anggi hanya duduk-duduk di kamar sambil membolak-balik halaman majalah yang daritadi ada di pangkuannya, tanpa sedikitpun dia baca. Pikirannya melayang kemana-mana. Dia teringat bapak dan ibu, tiba-tiba rasa kangen menyerang batinnya. Dia juga kangen Bimo. Laki-laki yang sangat lembut dan yang bisa membuat Anggi merasa sangat nyaman setiap ada di dekatnya. Ah, tanpa terasa dia mendesah untuk membuat hatinya sedikit lega. Bimo sangat berbeda dengan Arga. Arga dingin dan selalu berusaha membuat dia sakit hati. Apa karena dia merasa aku telah membohonginya sehingga dia bersikap seperti itu? Apa sebenarnya dia juga bisa bersikap hangat seperti Bimo? Ah sudahlah, jalani saja apa yang sudah jadi suratan takdirku. Mudah-mudahan saja nanti mas Arga bisa berubah. Batin Anggi pe
Beberapa menit melalui jalanan komplek perumahan tempat tinggalnya, mobil Arga mulai memasuki jalan raya. Saat itu jalanan masih agak padat. Mungkin banyak orang-orang yang baru pulang kerja, dan hampir semua dari kendaraan bermesin itu saling berebut celah sehingga menambah kemacetan lalulintas. Ada beberapa orang yang tidak sabar kemudian membunyikan klakson terus menerus. Belum lagi kendaraan umum yang mengambil dan menurunkan penumpang seenaknya, semua menambah kekacauan. Ada juga yang agak emosi dan selalu berdecak kesal. Mungkin karena mereka sudah lelah dengan pekerjaan kantor, ditambah lagi masalah-masalah di kantor yang bikin stres. Sungguh pemandangan yang tidak menyenangkan.Tapi berbanding terbalik dengan yang terjadi di hati Niki. Dia tidak mengerti dengan perasaannya. Kenapa dia merasa tenang dan nyaman berada di dalam mobil Arga. Apa mungkin karena mobilnya nyaman dan ber-AC sehingga membuat dia tidak terganggu dengan keadaan di jalan
Hari masih pagi ketika Niki sampai di restoran. Seperti biasa dia sampai lebih dahulu dari teman-temannya. Sengaja dia selalu datang lebih awal, 'biar bisa istirahat dulu' alasannya setiap ada yang bertanya kenapa dia selalu datang lebih awal. Dan juga dia bisa sarapan bubur ayam favoritnya yang setiap pagi mangkal di dekat restoran. Padahal setiap pagi mamanya selalu menyiapkan sarapan untuknya. Tapi dia tidak pernah menyantapnya."Kalau kenyang, nanti nggak enak saat di angkot, ma. Nanti aja sarapan di dekat restoran." Itu alasannya kepada mamanya setiap kali di suruh sarapan.Awalnya mama selalu memaksa sarapan di rumah, dengan alasan lebih higienis dan lebih hemat. Tapi karena alasan Niki cukup masuk akal, akhirnya mama mengalah dan membiarkan Niki sarapan di luar.Seperti pagi ini, Niki sedang duduk menunggu pesanan bubur ayamnya ketika dia melihat mobil Arga masuk ke parkiran restoran. Hatinya seketika itu juga
Anggi sampai dirumah orangtuanya masih agak pagi, karena memang dia berangkat pagi-pagi sekali tadi, biar tidak macet alasannya. Dan yang paling penting dia punya banyak waktu untuk bermanja-manja kepada kedua orangtuanya. Sudah kangen sekali dia dengan kedua orangtuanya, dan juga dengan masakan mamanya."Assalamualaikum." Anggi mengucap salam sesampainya di teras rumah orangtuanya. 'Sepi, pasti ibu sedang masak di dapur. Sedangkan bapak pasti sedang bermain dengan burung-burung peliharaannya,' pikir Anggi dalam hati. Ya, bapak memang memelihara beberapa jenis burung sejak bapak pensiun dan setiap pagi bapak rajin mengurus burung-burung peliharaannya, memandikan dan memberinya makan. Harum masakan dari dapur tercium sampai ke teras rumah, membuat Anggi makin kangen dengan masakan ibunya.Tidak ada yang menjawab salam Anggi. Tetapi Anggi tidak mengulanginya. Dia malah asik menikmati suasana halaman rumah. Ah, masih seperti
Selesai memasak mereka melanjutkan obrolan di ruang tamu. Sambil ditemani teh dan beberapa potong kue buatan ibu, mereka melanjutkan obrolan tadi. Salsa sudah bangun dan sekarang sedang asik menyedot botol susunya sambil duduk di pangkuan kakeknya. Salsa memang paling dekat dengan kakeknya. Mungkin karena kakeknya yang paling sering mengajaknya bermain. Ada-ada saja permainan kakek bersama cucunya."Sudah kamu tinggalkan saja laki-laki tidak bertanggung jawab itu. Apalagi yang dia cari?. Dia sudah punya segalanya. Istri cantik, sehat, bisa melayani dia lahir batin. Punya anak yang cantik dan sehat. Punya pekerjaan yang bagus. Rumah tangga juga baik- baik saja. Masih saja mencari perempuan lain. Dasar laki-laki brengsek!" Bapak bicara dengan penuh emosi."Sudahlah pak, jangan marah-marah terus! Ingat penyakit bapak!" Ibu berusaha menenangkan bapak."Benci aku dengan laki-laki yang tidak tau diri, tidak pernah bersyukur." Bapak masih saja marah-marah.
Arga dan Pak Wira terus asyik ngobrol sambil menunggu Anggi dan Bu Lusi berbelanja. Berbagai macam topik obrolan mereka bahas. Sampai akhirnya Pak Wira menanyakan sesuatu yang membuat Arga agak terkejut."Ada sesuatu yang ingin papa tanyakan sama kamu," tanya Pak Wira dengan wajah serius. Hingga membuat Arga deg-degan. Dan Arga bisa menebak ke arah mana pembicaraan papanya."Tanya soal apa, pa?" tanya Arga dengan wajah polos. Otaknya berpikir keras untuk menyiapkan jawaban apa yang akan dia berikan untuk papanya."Maaf kalau papa tanyakan soal ini ke kamu. Papa harap kamu nggak tersinggung. lebih baik papa tanyakan ke kamu daripada nanti mama yang menanyakan kepada Anggi," lanjut Pak Wira hati-hati."Nggak apa-apa, pa. Tanyakan aja. Aku nggak akan tersinggung." Arga berusaha menahan gemuruh di dadanya."Kapan kamu dan istrimu merencanakan untuk punya momongan? Udah cukup waktu untuk kalian
Keesokan paginya, mereka di bangunkan oleh kicau burung di halaman belakang. Ya, karena kamar Arga letaknya dekat dengan halaman belakang. Bahkan jendela kamar Arga menghadap ke arah sana. Anggi segera bangkit dan membuka gorden jendela kamar. Sinar matahari lembut menembus masuk lewat jendela. Lalu Anggi membuka jendela kamar lebar-lebar. Harum wangi bunga menyeruak masuk. Harum rerumputan yang di basahi embun pagi menambah segar udara di pagi itu. Kabut masih sangat tebal. Menambah segar dan damai suasana pagi itu. Tidak lama kemudian aroma harum kue dari dapur menyusul masuk ke dalam kamar. 'itu pasti mama sedang membuat kue dan menyiapkan sarapan.' batin Anggi.Matahari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Sinarnya yang lembut menyentuh kelopak mata Arga. Arga terbangun dan membuka matanya. Dia melihat istrinya sedang berdiri di depan jendela kamar sambil memandangi keindahan halaman belakang rumah."Selamat pagi, sayang," sap
Selesai makan dan berbincang sebentar di ruang tengah, Arga dan Anggi pamit untuk istirahat. Mereka berdua segera bersih-bersih dan berganti pakaian dengan baju tidur. Anggi telah menyiapkan baju tidur kesayangannya. Sebuah gaun tidur tipis berwarna ungu, yang menampakkan keindahan tubuh Anggi yang langsing semampai. Membuat jantung Arga berdebar tak beraturan. Arga memandangi istrinya itu tanpa berkedip, seakan dia baru menyadari kalau istrinya itu sangat cantik dan seksi.Perlahan Anggi naik ke tempat tidur. Dia menghampiri suaminya yang sudah menunggunya disana. Anggi langsung masuk kedalam pelukan Arga. Mereka saling berpelukan mesra. Arga mengecup wajah istrinya itu. Lalu turun ke leher dan seterusnya ke seluruh bagian tubuh Anggi. Anggi menikmatinya. Dia mulai mendesah pelan. Akhirnya bibir mereka berpagut pelan dan lama kelamaan mulai dipenuhi nafsu. Mereka pun bersatu dalam nafsu yang sudah tidak bisa mereka kendalikan. Saling memberi dan men
Arga dan Anggi tiba di rumah orangtuanya sudah hampir jam makan siang. Pak Wira dan Bu Lusi senang sekali menyambut kedatangan mereka. Bu Lusi langsung memeluk anak dan menantunya itu secara bergantian. Sangat jelas terlihat rasa kangen di hatinya."Kok, lama sekali baru sampai? Mamamu tuh udah nggak sabar dari tadi. Sebentar-sebentar melihat keluar. Udah seperti nunggu pacar aja," ledek Pak Wira kepada istrinya."Papa! Ngeledek mama aja. Wajar kan mama kangen sama anak-anak kesayangan mama," jawab Bu Lusi sambil tersenyum malu."Iya, ma. Tadi kami jalannya santai. Sambil menikmati suasana pagi di jalan. Aku dan Anggi juga tadi berhenti di rest area untuk sarapan dan ngopi." Arga menjawab pertanyaan mamanya."Apa kabar kalian berdua?" Tanya Pak Wira kepada Arga dan Anggi."Alhamdulillah baik, Pa." Jawab Arga sambil bergayut manja di bahu mamanya.
Jalanan masih belum terlalu ramai oleh kendaraan yang lalulalang. Mungkin karena hari masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakan wajahnya. Masih malu-malu mengintip di balik awan. Udara pagi masih sangat dingin. Embun masih bergulir di atas dedaunan. Damainya suasana di pagi hari. Sejuk.Anggi menikmati suasana pagi dari dalam mobil. Dia duduk tenang sambil menikmati pemandangan di jalan raya. Di sampingnya duduk Arga yang sedang mengendarai mobilnya dengan santai, karena jalan masih sepi, belum ramai oleh kendaraan. Sengaja mereka berangkat pagi-pagi sekali. Untuk menghindari kemacetan.Saat ini mereka hendak pergi liburan ke rumah orangtua Arga di Bandung. Mereka pergi menggunakan kendaraan pribadi, karena mereka hendak menikmati perjalanan liburan mereka. Mereka ingin berhenti di mana mereka mau. Mereka bisa belanja dan makan dimana saja mereka mau. Sedangkan kalau naik kereta atau bis tidak bisa seperti itu.Untuk Arga dan Anggi ini perjala
Jam di dinding rumah Arga sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat dia pulang. Arga masuk menggunakan kunci cadangan yang dia bawa. Sengaja dia tidak memencet bel karena takut mengganggu tidur istrinya. Setelah masuk ke dalam rumah, Arga melihat istrinya yang tertidur di sofa, sedangkan televisi masih menyala.Arga memandangi wajah istrinya dengan perasaan bersalah. Rasanya ingin dia menangis di pangkuan istrinya dan meminta maaf atas semua kesalahannya. Tapi itu tidak mungkin dia lakukannya. Arga mengecup kening istrinya itu sehingga istrinya itu terbangun."Mas Arga, udah pulang?" Anggi kaget, dia memandangi suaminya sambil mengerjapkan matanya. Penglihatannya masih buram karena baru saja terbangun dari tidurnya."Maaf mas, aku nggak denger mas pulang." Masih terhuyung-huyung Anggi bergegas ke ruang makan hendak menyiapkan makan malam untuk suaminya."Aku panaskan dulu makanannya ya, mas. Pasti udah dingin. Aku tadi udah siapin makanan kesukaan mas Ar
"Bagaimana dengan masa depan hubungan kita, mas? Tanya Niki di satu kesempatan saat mereka sedang jalan berdua.Arga yang tidak menyangka kalau Niki akan menanyakan hal itu pun terkejut dan hampir saja tersedak oleh minuman yang sedang diminumnya."Huh? Kamu tanya apa tadi?""Masa sih, mas nggak denger? Mas bohong! Kamu nggak mau jawab pertanyaan aku, kan?" Niki langsung cemberut."Beneran aku nggak denger. Untuk apa juga aku bohong?" Jawab Arga dengan wajah pura-pura bingung.Niki mengatupkan bibirnya, berpura-pura marah."Aku tadi tanya, bagaimana masa depan hubungan kita?" Niki mengulang pertanyaannya sambil berpura-pura marah dan cemberut manja kepada Arga."Sabar ya, Sayang. Hubungan aku dan Anggi baru saja membaik, masa mau dirusak lagi. Kamu sabar dulu, ya," bujuk Arga."Tapi sampai kapan? Aku kan butuh kepastian." Niki meman
Sedikit demi sedikit rumah tangga Arga dan Anggi mulai membaik. Arga sudah mulai bersikap lembut kepada istrinya. Anggi sangat bahagia dengan perubahan sikap suaminya itu. Akhirnya kesabarannya selama ini membuahkan hasil. Inilah rumah tangga yang dia impikan selama ini. Walaupun Arga belum menjalankan kewajibannya sebagai suami, untuk memberikan nafkah batin kepadanya. Arga sudah berusaha mencoba tapi belum berhasil. Setiap kali mau mencapai puncak, bayang-bayang masa lalu istrinya selalu bermain-main di pikirannya. Dan akhirnya selalu gagal. Seperti malam itu..."Maafkan aku, sayang. Aku belum bisa." Arga merasa bersalah kepada istrinya."Nggak apa-apa, mas. Nanti kita coba lagi. Mungkin mas kurang rileks.""Terimakasih atas pengertian kamu. Kamu udah sangat sabar menghadapi semua ini.""Kita coba lain waktu ya, mas. Kamu harus sabar. Kita pasti akan berhasil. Aku yakin itu."
Sejak makan siangnya bersama Niki, sikap Arga sedikit membaik kepada Anggi. Sepertinya dia mulai berusaha melupakan masa lalu istrinya itu dan mulai mencoba memperbaiki rumah tangganya sesuai anjuran Niki.Anggi senang melihat perubahan sikap suaminya, sekaligus bingung kenapa suaminya tiba-tiba berubah? Perubahan sikap Arga menjadi tanda tanya di hati Anggi. Apakah ini pertanda baik? Atau malah sebaliknya? Batinnya.Ah! Sudahlah. Berpikir positif saja. Semoga ini pertanda baik, pikirnya lagi.Suaminya sekarang sudah tidak ketus lagi kalau bicara padanya. Sikapnya juga sudah lebih hangat. Seperti pagi ini, saat mereka sedang sarapan."Nanti malam kita makan di luar, yuk? Sekalian kita nonton atau sekedar jalan-jalan menikmati suasana malam, mumpung malam minggu," ajak Arga yang membuat Anggi hampir tersedak karena terkejut. Dia tidak menyangka sama sekali. Sejak menikah belum pernah suaminya mengajak makan