"Mengapa anak perempuan yang kamu lahirkan,Dek?" tanya Mas Rudi.
"Hust, enggak boleh asal ngomong!" bentak Bu bidan.
"Cepat di azanni (iqomatkan) putrinya!" perintah Bu bidan kepada Mas Rudi.
"Bisa azan enggak?" Bu bidan kembali bertanya.
"Biarin Lisna tidur, dia kecapekan jangan digangu!" perintah Bu bidan kepada Mas Rudi.
"Iya," jawab Mas Rudi, singkat.
Sayup kudengar suara percakapan Mas Rudi dan Buk Bidan. Bidan yang biasanya ramah dan lembut, entah mengapa dia berbicara dengan nada ketus pada Mas Rudi.
Aku ketiduran sampai pukul tujuh pagi. Ternyata sudah ramai orang yang datang di rumah Bu bidan, untuk melihat bayiku.
Mas Rudi datang dengan membawa susu formula untuk bayi. Karena Asiku belum keluar dan bayinya menangis terus. Rupanya tadi pagi Mas Rudi disuruh mencuci baju dan kain yang terkena darah.
Aku hanya bisa nyengir kuda dan tersenyum getir, melihat Mas Rudi membual menjelek-jelekkan diriku di depan semua orang.
Sebenarnya aku belum mau pergi dari kediaman Bu bidan, badan terasa remuk. Ternyata sakit sekali setelah melahirkan. Tubuhku tidak bisa bangun, aku merasa seperti mau mati saja.
Bu bidan desa akan pergi ke Puskesmas di kota untuk tugas. Jadi aku harus pulang ke rumah.
Diriku di gendong oleh Mas Rudi, dibawa keluar rumah Bidan, karena akan dijemur pada hangatnya matahari pagi.
Ibu pulang terlebih dahulu membawa bayiku. Mas Rudi ikut pulang dengan membawa tas kecil perlengkapan bayi. Katanya dia mau datang untuk menjemput.
Dua jam lamanya aku menunggu di bawah matahari pagi yang semakin panas. Rasa haus dan lapar bercampur sakit. Berharap ada orang lewat di dekatku, yang duduk di depan rumah Bidan yang jaraknya hanya kurang lebih seratus meter. Melewati dua rumah lagi sampai di rumah ibu. Namun, aku tidak mampu menggerakan kaki untuk pulang.
"Lisna mengapa kamu panasan disini?" Tanya Bibik.
"Aku dijemur, Bik, aku mau pingsan tidak bisa jalan," jawabku, sambil berusaha membuka mata yang mau terpejam.
" Loh, kamu belum dibawa pulang Lisna?" Tanya Bu bidan, yang tiba-tiba keluar dari rumahnya, dia sudah siap untuk berangkat ke dinas, sepertinya dia terkejut .
"Bik, tolong panggilkan suaminya!" Perintah bu bidan kepada Bibik.
"Iya, Bu Bidan," jawab Bibik.
"Aku sudah mau pergi, aneh aku nyuruh dia pulang nanti sore ngeyel, giliran boleh pulang malah ditinggal di sini. Suamimu itu gimana sih?" Tanya Bu bidan, aku hanya tersenyum, sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
Bik Darsih pun berlari menuju rumahku, sambil berteriak memanggil nama ibuku. Semua orang keluar dari rumah termasuk tetanggaku, maka menjadi heboh lah suasana pagi itu.
Ibuku beralaskan lupa karena sampai di rumah menjemur baju, yang tadi sudah dicuci oleh Mas Rudi. Lalu bayiku menangis, karena terlalu sibuk jadi melupakan diriku yang dijemur pada panasnya terik matahari pagi.
Ayahku setelah selesai mengubur ari-ari, dia pergi ke pasar untuk membeli aneka jamu untukku, sedangkan Mas Rudi sampai di rumah dia mandi, sarapan, lalu tidur alasannya mengantuk gara-gara menjaga diriku semalaman. Aku melahirkan tepatnya pada pukul tiga pagi.
Mereka semua berlari ke arahku, yang duduk menggigil tanpa selimut di cuaca yang mulai panas, aku digendong seperti di film india oleh Mas Rudi. Hatiku terasa sangat bahagia, merasa jika dia sudah berubah.
Selama tiga bulan aku tinggal dirumah orang tuaku bersama putri kecilku. Mas Rudi hanya datang menjenguk kami setengah bulan sekali, itu pun menginap selama satu malam saja.
Kedua orang tua Mas Rudi menjenguk satu kali saja, saat kami bikin syukuran. Dia sama sekali tidak masuk ke kamar apalagi menggendong bayi, mungkin dia merasa kecewa, karena aku melahirkan bayi perempuan, tapi itu kan semua sudah menjadi takdir. Anak laki-laki atau anak perempuan yang lahir, itu bukan salahku.
********
Dengan berat hati kedua orang tuaku mengantarkan aku ke hutan, yang disebut kebun.
Air mata ibu dan ayahku berderai saat melihat tempat yang kutempati selama ini. Sebuah gubuk panggung kecil, yang terbuat dari papan. Atas untuk tempat tidur dan menyimpan baju, juga bahan pangan, sedang di bawah untuk menyimpan hasil kebun dan kayu bakar. Jika ada orang bertamu akan duduk di luar, bersebelahan aku memasak, yang tidak pantas disebut sebagai dapur.
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, orang tuaku bersama mertuaku, mereka sesekali melihat ke arahku sambil tersenyum.
Seandainya Mas Rudi tidak berjanji akan lebih menyayangiku, pasti aku tidak mungkin mau kembali ke hutan ini lagi.
Air mata berderai saat melepas kepulangan orang tuaku, entah mengapa aku merasa sangat takut dan sedih.
"Lisna kamu sudah punya anak, jadi harus lebih dewasa. Tidak boleh minggat kalau mau pulang beritahu Rudi, supaya kamu bisa diantar pulang, jadi orang tuamu tidak menilai jelek suamimu, padahal kamu sendiri yang ngeyel. Jadi perempuan itu harus pinter jaga martabat suami di depan orangtua dan saudaramu. Harus bangun pagi enggak boleh malas, suami bangun sarapan harus sudah matang. Laki-laki kerjanya di kebun mencari duit, perempuan memasak sambil jaga anak, jadi jangan ngerepotin suami, seperti Ayukmu itu masak suaminya suruh nyuapin anaknya. Tidak boleh seperti itu ya! Itu namanya ngelunjak dan bla bla bla bla," ocehan ibu mertua, dia memberikan nasehat yang terdengarannya aneh menurutku.
********************
Mas Rudi beberapa hari ini selalu marah kepadaku. Bahkan dia mulai menampar dan menendang. Mana janjinya yang akan lebih menyayangi? Aku kena gombalnya atau istilah kerennya kena prank.
Gubuk kini di rehab lagi karena musim hujan tiba, cuaca menjadi sangat dingin. Di bawah gubuk dibuat ruangan lagi, sebuah amben permanen dan tempat masak, yang diberi pembatas geribik. Aku tidak merasa malu lagi saat sedang memasak, karena sudah tertutup, amben permanen itu sengaja dibuat untuk meletakkan putriku yang mulai aktif, dan jika ada tamu bisa digunakan sebagai tempat duduk, karna kami tidak memiliki kursi.
Aku menginginkan baju baru, karena sebentar lagi hari raya Idul Fitri. Putri kecilku juga dari baru lahir, hingga sekarang selalu memakai baju bekas.
Lapar sekali perutku padahal tadi siang sudah makan banyak. Mungkin ini efek dari menyusui, selalu terasa lapar padahal sudah ngemil rambutan.Di depan gubuk ada pohon rambutan yang sangat tinggi dan besar. Setiap pagi banyak buah rambutan yang berjatuhan di bawah pohonnya.Sambil menggendong Rere aku memungutti buah rambutan yang berjatuhan. Awalnya aku mencret, jika makan rambutan banyak, tapi sekarang sudah terbiasa, jadi mau makan banyak juga tidak mencret lagi.Aku bingung nasi tinggal sepiring, untukku apa untuk Mas Rudi ya? Sebaiknya aku nanti tanyakan dia saja. Sebentar lagi dia pulang."Mas aku lapar, nasi itu untukku ya?" Pintaku pada Mas Rudi."Terus aku makan apa?" Mas Rudi balik bertanya."Mas kan bisa makan di gubuk mamak," terangku, memberikan solusi."Baiklah," jawab Mas Rudi singkat.'Yes, aku enggak kelaparan,' kataku dalam hati, sambil tersenyum melihat Mas Rudi berjalan keluar g
"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?'Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidupku menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!''Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.Benar saja Mas Rudi dan keluarganya bersikap baik terhadap diriku, dan aku pun merasa tidak perlu bercerai dengannya lagi.Hari raya pertama kami bertamu di setiap rumah s
Sesak terasa di pagi buta mamak sudah marah-marah enggak jelas pada Aku, yang tidak mengerti apapun. Seolah semua kesalahan tertuju pada diri ini, biar pun Mas Rudi yang bersalah tetap saja diriku, yang kena damprat Mamak."Seharusnya kamu itu jadi istri pintar ngurusin suami, jadi suaminya tidak pergi memancing setiap malam. Pasti Rudi sudah bosan sama kamu, makanya tiap malam selalu ditinggal pergi terus sama dia. Dasar perempuan bodoh! Enggak bejus kerjaannya, ngurusin suami satu aja enggak bisa. Tolol kamu!" umpat Mamak.Aku hanya diam menangis sambil memeluk Rere, yang ikut menangis dengan keras. Mungkin dia terkejut dengan suara neneknya, yang seperti petir menyambar gubuk papan bambu milik kami."Jika dikasih tahu itu, jangan diam saja! Sekali-sekali jawab, kenapa? Apa kamu tak kasian sama Rudi, hah? Malam bergadang, siang harus berkerja di kebun, bahkan sering kali dia ketiduran di keb
"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?' tanyaku dalam hati, yang tidak mendapatkan jawaban.Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidup menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!' aku menghibur diri sendiri.'Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.
Aku terus saja mengeluarkan isi perutku. Sampai cairan kuning kental, yang rasanya sangat pahit.Perut pun menjadi terasa lapar, karena aku masih menyusui putriku. Namun, perasaan mau muntah, tidak dapat aku bendung lagi. Entahlah sampai kapan musim durian ini akan berlangsung. Sementara sekarang masih awal musim dari mulai jatuhnya durian.Entah mengapa aku tidak bisa makan durian? Jngankan untuk memakannya. Baru mencium aroma durian saja aku udah muntah-muntah.Semalaman aku tidak bisa tidur, karena teman-teman Mas Rudi datang ke gubuk. Mereka melakukan pesta durian. Mereka ketawa dan bercanda dengan suara keras, sontak saja Rere jadi terganggu tidurnya. Rere rewel terus dan selalu minta gendong kepadaku, yang sedang merasakan mual.Aku ingin menegur mereka, tetapi takut dimarah oleh Mas Rudi.'Ya Allah semoga mereka lekas pulang,' do'aku dalam hati.Tepat pukul satu malam aku tidak mendengar suara mereka lagi berbincan
Diriku bener-bener mabuk durian. Namun, teman-teman Mas Rudi setiap hari selalu makan, minum dan tidur di gubuk. Dengan alasan bahwa gubukku lebih dekat dengan hutan, kenyataanya memang seperti adanya itu. Ayah datang berkunjung ke kebun. Kala Mas Rudi berserta teman-temannya sedang istirahat siang, di dalam gubuk.Ayah membawa kabar jika sepupuku, yang rumahnya tepat di samping rumah orang tuaku. Dia akan menikah dan pernikahannya diadakan secara meriah, jadi aku harus pulang ke desa untuk beberapa hari.Mas Rudi pun seperti biasanya bersifat sangat ramah dan sopan kepada Ayah. Tidak ketinggalan juga kebiasaan membual, yang sangat berlebihan. Bahkan sangat bertolak dari kenyataan yang ada.Mertuaku tidak menyapa Ayah sama sekali, jangankan tanya kabar tersenyum saja pun tidak.Setelah basa-basi dan menyantap beberapa buah duri
"Rudii, sini mampir dulu, untuk minum kopi!" perintah Paman."Buru-buru, Man, besok lagi." sahut Mas Rudi, sambil mengegas motor."Enggak bawa durian?" selidik Paman."Besok kalau pas hari repsepsinya aku bawakan durian. Mau berapa buah, Paman?" ujar Mas Rudi."Berapa saja, yang penting gratis." sahut Paman, sambil tersenyum."Okay lah, aku pulang dulu takut kemalaman di jalan." ujar Mas Rudi."Iya hati-hati!" pesan Paman.Ndroooon .....ndrooon, droooon.Mas Rudi pun gergegas pulang ke kebun. Dengan mengendarai motor gunungnya, yang gelepotan tanah merah.Mereka semua memuji dan menyanjungku, yang memiliki suami baik hati. Memiliki kebun durian, yang luasnya sampai berhektar - hektar. Setiap perkataan mereka, aku hanya mampu menjawabnya dalam hati, sambil tersenyum untuk menutupi luka di hati.Rere sudah terlelap. Mungkin dia merasa capek dan badannya pun sedikit demam. Mungkin
Aku berjalan ke dapur mengambil enam buah mangkuk dan sendok, berserta sendok garbunya juga. Kuletakkan di meja ruang tamu berserta air putih dalam teko dan gelas kaca, yang dibawa oleh adikku. Tanpa menghiraukan Mas Rudi dan Andi, yang saling menatap sinis. Kutuang bakso dan mie ayam ke mangkuknya masing-masing. Aku lebih milih bakso supaya bisa berbagi dengan Rere, yang sudah mulai tumbuh gigi. "Jangan dimakan itu! Ada guna-gunanya," ujar Mas Rudi, setengah teriak kepadaku. Aku pun menjadi terkejut, hingga kuah bakso sedang kutuang ke mangkok pun tumpah sedikit. "Aah, benarkah? sahutku, sambil melihat Andi. "Aku tidak gila! Seperti Rudi," kilah Andi, yang melirik ke arah Mas Rudi. Jemudian dia menatapku tajam. "Biar kubaca Al-fatihah dulu jika mienya berubah warna berarti ada guna-gunanya," terang Adikku, penuh percaya diri. "Iya," kami menjawab dengan serempak. "Tidak berubah warna, bisa di
Aku menikmati sarapan pagi seorang diri setiap kali Rere pergi ke sekolah. Setelah Mas Indra dan Mami Resti berada di rumah serambi. Mereka tidak lagi datang ke rumah utama untuk sekadar menikmati makanan bersama atau alasan apapun. Semua kebutuhan mereka hidup mereka ditanggung oleh Papa, tapi semua serba mentah. Sehingga tangan perempuan selembut mami Resti harus memasak dan mencuci baju. Sungguh kehidupan yang memprihatinkan.Hari berlalu begitu cepat, Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti bulan, sampai tiba di suatu malam. Aku melahirkan seorang anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari keluarga Indra.Suara tangisannya memecahkan keheningan malam. Melukis sebuah rasa bahagia dalam hati kami, kecuali Mami Resti yang sudah menjabat sebagai istri sirih Mas Indra. Dunia memang sangat pelik. Dalam sekejap mata ibu mertua kini sudah menjadi adik maduku.Ayah tiada henti-hentinya mengucapkan terima k
Yanti berucap dengan suara tergesa-gesa. Suaranya terbata-bata dan napasnya tersengal sengal. Mendengar ucapan dari asisten rumah tangga berbaju kuning dan bercelana jeans hitam itu, Papa tampak matanya melotot. Seakan-akan kedua bola mata tajam ingin meloncat dari kelopaknya.Sementara itu, aku hanya mampu menelan ludah getir bercampur aduk dengan perasaan yang tidak menentu. Antara bahagia, takut, sakit hati dan cemburu. Bahagia sebab Mas Indra sudah pulang ke rumah, bisa melakukan makan malam bersama dan kegiatan lainnya layaknya seperti suami-istri.Rasa takut dan was-was bila sampai Mas Indra mengetahui semua harta kekayaan keluarganya sudah dihibahkan pada kedua anakku. Sakit hati setiap teringat malam itu, di mana aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Suami yang tercinta dan ibu mertua sedang bercumbu ria di kasur kamarnya. Masih terbayang kejadian menjijikan itu, mereka saling menjilat dan mengulum tubuh di depannya.
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa sore pun segera menghampiri diriku yang masih bermalas-malasan di pembaringan.Rasa malas ini hadir begitu saja, setelah usia kehamilan memasuki lima bulan. Membuat aku menghabiskan sebagian hari di kamar tidur.Beberapa saat kemudian, Rere memasuki kamar. Dia memakai gaun putih berenda pink di bagian bawah gaunnya yang sepanjang lutut. Senyum manis mengembang di bibirnya mungilnya. Putriku Rere sungguh cantik sekali.Langkah kaki mungil perlahan mendekat tempat aku sedang merebahkan diri. Dia duduk di tepi ranjang, sambil kakinya menjuntai."Bunda, kok Papa Indra lebih sayang Oma Resti dari pada Bunda?" tanya Rere dengan begitu polosnya.Seakan-akan ada sebuah batu besar yang ditimpuk ke dadaku. Sangat sakit sekali mendengar ucapan Rere yang begitu polos."Tidak, Sayang. Oma Resti kan masih sakit,
Aku mengajak Rere meninggalkan kamar berbau obat itu, memegang tangan kirinya penuh kasih sayang. Melewati koridor yang ramai oleh perawat yang bertugas untuk membagi obat pada pasiennya.Sesekali tangan kiriku, mengapus air mata yang tidak berhenti berderai. Supaya Rere tidak melihat tangis yang tertahan, tetapi sangat menyakitkan.Sesampainya di luar rumah sakit Ibu dan Anak, kami segera menuju ke perhentian bus berbaur dengan calon penumpang lainnya.Cuaca mendung membuat aku menggigil, laksana hati ini yang kedinginan dan mendambakan pelukan seorang suami.Tidak berapa lama kemudian, mobil bus berhenti. Namun, ketika kaki ini melangkah maju. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam berhenti di belakang mobil bus. Terdengar suara panggilan yang begitu akrab di telinga."Nyonya Lisna!"Sopir pribadi Ayah mertua mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewah berwarna hitam. Tangannya melambai, bibirnya terse
"Apa yang sedang kalian lakukan?" bentak ayah mertua.Seketika kami terperanjat, ayah mertua yang tergeletak di dipannya, tiba-tiba keluar dari kamar dengan menaiki kursi roda, yang didorong oleh Bik Ijah.Sontak saja Mami Resti yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Indra, langsung beranjak bangkit dengan muka yang pucat pasi.'Yess,' hatiku bersorak kegirangan."Ayah sudah sehat? Kapan kok aku tidak tahu?" tanya Mas Indra, dengan muka pucat."Kenapa aku harus lapor sama kamu? Kamu saja tidur di kamar Ibu tirimu tidak pernah lapor padaku?" sergah Ayah mertua, yang membuat Mas Indra yang mukanya berubah merah padam. Seakan-akan dia baru saja ditampar."Berkat kecerdasan Lisna dan kerja sama dengan Bik Ijah, aku mendapatkan perawatan dari dokter yang bertanggung jawab," terang Ayah.Mas Indra dan penyihir itu menatapku dengan tajam, seolah-olah mereka akan me
Selama berada di puncak aku dan Rere mengisi waktu siang dengan mengelilingi kebun teh milik warga. Aku mencoba untuk tersenyum di depan putriku satu-satunya, agar dia tidak merasa curiga dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah tangga kami. Walaupun terasa sangat menyakitkan. Namun, semua ini terpaksa dilakukan demi masa depan Rere dan juga calon bayi dalam rahim ini.Suasana yang teduh dan cuaca dingin, membuat aku teringat akan kebun kopi coklat milik mendiang mantan suami. Ah, aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan pelan, serta panjang.Tidak terasa mata ini pun berembun dan rintik-rintik hujan pun turun dari sela-sela mataku, yang mulai cekung."Bunda, kenapa menangis?" selidik Rere yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku."Rere, mana jagung bakarnya?" tanyaku, sambil menyeka air mata."Ini,
"Indra, Indra, Indra, antar aku ke rumah Dokter!" pekik Mami Resti dari balik pintu kamar.Dalam hati ini ada perasaan benci dan cemburu, mendengar Mami Resti memanggil dan memerintah suamiku seenak jidatnya sendiri. Untuk kali ini tidak ingin rasanya mengalah seperti biasa."Mami Resti, hari ini Mas Indra mau menemani aku pulang kampung," sahutku dengan suara yang kubuat selembut mungkin, sambil membuka pintu kamar."Mau berapa lama kalian di Kampung dan ada kepentingan apa sampai Indra harus ikut serta?" selidik Mami Resti dengan mata yang melotot, seperti sedang mengintrogasi pencuri. Mungkin dalam hati dia yang aneh, menganggap aku adalah pencuri kekasihnya.
"Mas Indra, cepat bangun antar aku ke rumah Bu Bidan!" perintahku pada Mas Indra, yang masih tertidur pulas."Sebentar, aku ngantuk sekali!" sahutnya tanpa membuka mata.Aku beranjak bangun dari pembaringan, membuka pintu koridor, kemudian duduk di teras kamar. Pandanganku menyapu ke penjuru angkasa, menampakkan awan biru yang unik."Sangat indah," gumamku.Bulir-bulir bening kembali mengalir dari sudut mata yang sembab milikku. Pikiranku meronta-ronta membayangkan setiap malam, suami yang tercinta bercinta dalam jeratan setan. Banyak perempuan di dunia ini. Namun, mengapa harus dengan dia, ibu tirinya sendiri? Ah, pikiran ini begitu menyiksa jiwa, bahkan sepertinya bisa membuat perempuan yang tidak kuat rohaninya bisa gila.'Mengapa aku selalu terjebak pada lelaki berengsek? Apakah dosa yang telah aku lakukan di kehidupan sebelumnya, sehingga harus memiliki nasib seperti?'
"Anu, anu, Nyonya, supaya Rere memiliki adik," jawab Pak satpam gugup.Kemudian dia dengan tergesa-gesa meninggalkan diriku, yang sedang menunggu jawaban darinya. Namun, sampai beberapa saat tidak juga ada jawaban yang tersurat.Tiba-tiba saja suara sirene kecil terdengar dari kamar utama membuat aku sangat terkejut, sebab bel berbunyi pada saat tidak ada orang di dalam rumah selain aku.Suara sirine itu ialah sebuah alat yang terletak di tepi ranjang ayah. Ayah mertua bisa menggerakkan tangannya dengan sangat pelan, jadi di ranjangnya dipasang sebuah bel yang berbunyi seperti sirene. Setiap membutuhkan sesuatu dia akan memencet bel tersebut. Aku memberikan diri untuk masuk, karena di rumah sedang tidak ada orang. Namun, terkejutnya aku setelah sampai di dalam kamar tersebut, ternyata ada perempuan setengah baya, yang sedang mengganti diapres milik ayah."Siapa kamu?" selidikku."Aku adalah asisten ya