"Rudii, sini mampir dulu, untuk minum kopi!" perintah Paman.
"Buru-buru, Man, besok lagi." sahut Mas Rudi, sambil mengegas motor."Enggak bawa durian?" selidik Paman.
"Besok kalau pas hari repsepsinya aku bawakan durian. Mau berapa buah, Paman?" ujar Mas Rudi.
"Berapa saja, yang penting gratis." sahut Paman, sambil tersenyum.
"Okay lah, aku pulang dulu takut kemalaman di jalan." ujar Mas Rudi.
"Iya hati-hati!" pesan Paman.
Ndroooon .....ndrooon, droooon.
Mas Rudi pun gergegas pulang ke kebun. Dengan mengendarai motor gunungnya, yang gelepotan tanah merah.
Mereka semua memuji dan menyanjungku, yang memiliki suami baik hati. Memiliki kebun durian, yang luasnya sampai berhektar - hektar. Setiap perkataan mereka, aku hanya mampu menjawabnya dalam hati, sambil tersenyum untuk menutupi luka di hati.
Rere sudah terlelap. Mungkin dia merasa capek dan badannya pun sedikit demam. Mungkin
Aku berjalan ke dapur mengambil enam buah mangkuk dan sendok, berserta sendok garbunya juga. Kuletakkan di meja ruang tamu berserta air putih dalam teko dan gelas kaca, yang dibawa oleh adikku. Tanpa menghiraukan Mas Rudi dan Andi, yang saling menatap sinis. Kutuang bakso dan mie ayam ke mangkuknya masing-masing. Aku lebih milih bakso supaya bisa berbagi dengan Rere, yang sudah mulai tumbuh gigi. "Jangan dimakan itu! Ada guna-gunanya," ujar Mas Rudi, setengah teriak kepadaku. Aku pun menjadi terkejut, hingga kuah bakso sedang kutuang ke mangkok pun tumpah sedikit. "Aah, benarkah? sahutku, sambil melihat Andi. "Aku tidak gila! Seperti Rudi," kilah Andi, yang melirik ke arah Mas Rudi. Jemudian dia menatapku tajam. "Biar kubaca Al-fatihah dulu jika mienya berubah warna berarti ada guna-gunanya," terang Adikku, penuh percaya diri. "Iya," kami menjawab dengan serempak. "Tidak berubah warna, bisa di
Kupandangi gubuk yang sudah rapi, seolah tidak terjadi apa pun. Bahkan sedikit abu dan arang pun tidak ada seolah tak pernah terjadi kebakaran.Orang tua Mas Rudi tersenyum saat melihatku. Mereka langsung meminta Rere dari gendonganku untuk ditimang-timang oleh mereka.Terkejutnya aku begitu masuk ke gubuk. Gubuk tampak bersih dan rapi di amben tertata rapih hidangan, yang aromanya menggugah perut sudah terasa lapar. Mas Rudi menerangkan jika ini masakan Mamak, yang sengaja untuk menantu kesayangannya, jadi aku harus makan sampai habis.Seusai makan, aku ke gubuk mertua untuk mengambil Rere, tetapi saat tiba di sana rupanya Rere masih tidur. Mamak pun menyuruhku untuk membantunya mengupas kulit jengkol, yang jumlahnya sangat banyak.Entah sampai berapa jam aku mengupas jengkol, sambil bermain dengan Rere yang sudah bangun dari tidurnya. Dia kelihatan sangat senang bermain kulit jengkol. Bapak dan Mas Rudi pun sudah pulang dari memetik jengkol
Selesai menikmati semangkuk mie ayam, yang kubagi dua dengan Rere. Segera membayar kepada pemilik warung, sambil mengambil HP yang dicas. Dengan menundukkan kepala, yang bermaksut menyembunyikan muka dari ramenya pelanggan di siang itu. Aku bergegas keluar meninggalkan warung mie ayam itu. Aku berencana pulang ke desa. Meninggalkan gubuk derita milik monster keji itu. Tidak jauh dari warung mie ayam ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari papan. Beratapkajn anyaman ilalang. Di sisi sampingnya ada tulisan pangkalan ojek.'Kok sepi, mungkin karna siang hari.' Kataku dalam hati.Menunggu tukang ojek sambil menenangkan Rere, yang menangis lalu tertidur pulas. Kukecup penuh kasih kening Rere, yang tidur di pangkuan. Menunggu tukang ojek terduduk bersandar pada pohon jati di pangkalan ojek. Tidak terasa aku pun tertidur bahkan sempat bermimpi."Neng, mau k
Senang rasanya sudah memiliki listrik sendiri biarpun masih tenaga Surya. Aku bisa leluasa ngecas HP, jika Mas Rudi keluar malam. Karena siang aku sudah mulai kehutan lagi. Untuk mencari kemiri dengan menggendong Rere. Hasil dari pencarian di hutan aku jual sendiri ke kampung tanpa membawa Rere. Karena sangat berat jika harus menggendong kemiri dan juga Rere.HP jika di gubuk tidak ada sinyal. Mungkin karena gubuk terletak di lembah, tetapi jika di atas gunung dan di kampung ada sinyalnya. Jadi aku bisa berkomunikasi dengan Andi dan beberapa temanku. Soal pulsa aku tidak pernah beli, bahkan nomernya sendiri aku tidak tahu.Aku pun mulai sering melaksanakan kewajiban Sholat, walaupun tidak lima waktu. Karena sepertinya Mas Rudi tidak senang jika melihatku sedang sholat. Jadi aku melakukannya secara sembunyi-sembunyi darinya.Keanehan pun selalu terjadi. Aku bisa sangat merindui jika jauh dariny
"Eeee anuuu." Aku menjawab dengan gerogi yang bercampur terkejut.Sambil tangan kiriku menyembunyikan HP dan kemudian memasukan ke celana kolorku bagian belakang yang tidak berkantong. Tanpa memutuskan dan menutup panggilan terlebih dahulu."Sama siapa? Apa jangan-jangan kamu sudah gila?" Mertuaku mengulangi pertanyaannya."Itu, Mak! Monyet itu sedang ketawa denganku," sahutku sambil menujuk seekor monyet yang sedang menatap kami.Di saat bingung mencari alasan, tampak olehku sekumpulan monyet yang sedang bergelanyut di pohon durian yang tidak berbuah dan salah satu dari mereka ada yang menatap ke arah kami sambil menggaruk-garuk kepala, yang tidak jauh dari tempat kami berdiri di bawah pohon mangga. Monyet- monyet itu datang diwaktu yang tepat, sebagai juru selamat.'Mungkin Raja Hanoman datang menyelamatkanku,' ucapku dalam hati sambil te
Pada pagi hari yang cerah di sisi gubuk aku membuka kopi coklat, bersama dengan putri kecilku Rere yang sedang asik bermain buah kopi coklat yang kotor. Mengupas kopi coklat, aku sambil bersenandung riang dan membayangkan sedang bersama dengan Andi.Tiba-tiba saja tercium aroma wangi parfum menusuk hidung. Membuat aku harus mendongakkan kepala, karena rasa penasaran. Seorang perempuan semok berdiri tepat di depan sambil tersenyum manis. Dialah Sri gadis yang kemarin datang di gubukku.Tanpa di suruh dia pun segera membantu membuka kopi coklat. Sri sangat cekatan dan gesit, dia sama sekali tidak takut tangannya jadi kotor terkena getah kulit kopi coklat yang hitam dan berlendir."Mak, apa kabar, sehat?" Sri menyapa Mamak yang tiba-tiba melintas hendak menuju sungai di belakang gubukku.Mamak hanya senyum menanggapi salam dari Sri."Lisna sudah sore cepa
Aku pun segera beranjak dari pembaringan dan dengan pelan-pelan merangkak keluar dari kamar. Kemudian turun ke bawah, untuk melakukan aktivitas pagi, memasak dan berbenah. Pagi ini tidak ada sayuran, jadi terpaksa setelah mencuci piring langsung memetik kuncup pakis.Tidak biasanya rame sekali pada pagi hari ini, sekumpulan orang dari ujung tepi sungai berbondong-bondong mencari Sri. Termasuk suami Sri yang datang dari kota. Jika suaminya tidak datang sepagi ini mungkin tidak ada yang tahu jika Sri bermalam di gubukku."Lisna, Sriyanti ada di sini?" tanya ibu mertuaku dengan nada marah."Iya, Mak," sahutku singkat sambil menyudahi kegiatanku yang sedang memetik kuncup pakis.Kaget rasanya baskom kecil tempat pakisku di rebut oleh Mamak. Entah dibawa ke bawah sana oleh Mamak untuk apa? Kuncup pakis pun tumpah ke tanah dan berserakan, sehingga terinjak- injak oleh orang-orang yang berlalu lalang menuju gubuk, sambil menatapku tanpa sepatah
Aku Merias diri dalam kamar dengan peralatan make-up alakadarnya. Sementara itu, Rere diam dalam dekapan Bik Ijah Jum, yang begitu sabarnya menyuapi Rere makan nasi sesuap demi sesuap.Suara ketukan pintu kamar terdengar. Sebelum aku menjawab, pintu kayu yang tidak terkunci itu pun terbuka. Mamak masuk ke dalam kamar, dia menghampiri diriku yang sedang duduk menatap ke cermin. Dia memakai baju gamis lengkap dengan jilbabnya, baju yang sama ketika pesta pernikahan dulu."Lisna, mari keluar kamar!" ajak Mamak dengan senyuman."Iya, Mak," jawabku dengan suara pelan dan sambil tersenyum.Kemudian aku berjalan pelan mengikuti Mamak dari belakang, menuju ruang tamu. Sampai di sana diriku sangat terkejut, karena mereka sudah menyusun rencana pernikahan aku dan Mas Rudi untuk yang kedua kalinya. Ritual ijab kabul pun berjalan dengan lancar dan sangat singkat. Tidak melakukan pembacaan ayat-ayat pendek sepert
Aku menikmati sarapan pagi seorang diri setiap kali Rere pergi ke sekolah. Setelah Mas Indra dan Mami Resti berada di rumah serambi. Mereka tidak lagi datang ke rumah utama untuk sekadar menikmati makanan bersama atau alasan apapun. Semua kebutuhan mereka hidup mereka ditanggung oleh Papa, tapi semua serba mentah. Sehingga tangan perempuan selembut mami Resti harus memasak dan mencuci baju. Sungguh kehidupan yang memprihatinkan.Hari berlalu begitu cepat, Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti bulan, sampai tiba di suatu malam. Aku melahirkan seorang anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari keluarga Indra.Suara tangisannya memecahkan keheningan malam. Melukis sebuah rasa bahagia dalam hati kami, kecuali Mami Resti yang sudah menjabat sebagai istri sirih Mas Indra. Dunia memang sangat pelik. Dalam sekejap mata ibu mertua kini sudah menjadi adik maduku.Ayah tiada henti-hentinya mengucapkan terima k
Yanti berucap dengan suara tergesa-gesa. Suaranya terbata-bata dan napasnya tersengal sengal. Mendengar ucapan dari asisten rumah tangga berbaju kuning dan bercelana jeans hitam itu, Papa tampak matanya melotot. Seakan-akan kedua bola mata tajam ingin meloncat dari kelopaknya.Sementara itu, aku hanya mampu menelan ludah getir bercampur aduk dengan perasaan yang tidak menentu. Antara bahagia, takut, sakit hati dan cemburu. Bahagia sebab Mas Indra sudah pulang ke rumah, bisa melakukan makan malam bersama dan kegiatan lainnya layaknya seperti suami-istri.Rasa takut dan was-was bila sampai Mas Indra mengetahui semua harta kekayaan keluarganya sudah dihibahkan pada kedua anakku. Sakit hati setiap teringat malam itu, di mana aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Suami yang tercinta dan ibu mertua sedang bercumbu ria di kasur kamarnya. Masih terbayang kejadian menjijikan itu, mereka saling menjilat dan mengulum tubuh di depannya.
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa sore pun segera menghampiri diriku yang masih bermalas-malasan di pembaringan.Rasa malas ini hadir begitu saja, setelah usia kehamilan memasuki lima bulan. Membuat aku menghabiskan sebagian hari di kamar tidur.Beberapa saat kemudian, Rere memasuki kamar. Dia memakai gaun putih berenda pink di bagian bawah gaunnya yang sepanjang lutut. Senyum manis mengembang di bibirnya mungilnya. Putriku Rere sungguh cantik sekali.Langkah kaki mungil perlahan mendekat tempat aku sedang merebahkan diri. Dia duduk di tepi ranjang, sambil kakinya menjuntai."Bunda, kok Papa Indra lebih sayang Oma Resti dari pada Bunda?" tanya Rere dengan begitu polosnya.Seakan-akan ada sebuah batu besar yang ditimpuk ke dadaku. Sangat sakit sekali mendengar ucapan Rere yang begitu polos."Tidak, Sayang. Oma Resti kan masih sakit,
Aku mengajak Rere meninggalkan kamar berbau obat itu, memegang tangan kirinya penuh kasih sayang. Melewati koridor yang ramai oleh perawat yang bertugas untuk membagi obat pada pasiennya.Sesekali tangan kiriku, mengapus air mata yang tidak berhenti berderai. Supaya Rere tidak melihat tangis yang tertahan, tetapi sangat menyakitkan.Sesampainya di luar rumah sakit Ibu dan Anak, kami segera menuju ke perhentian bus berbaur dengan calon penumpang lainnya.Cuaca mendung membuat aku menggigil, laksana hati ini yang kedinginan dan mendambakan pelukan seorang suami.Tidak berapa lama kemudian, mobil bus berhenti. Namun, ketika kaki ini melangkah maju. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam berhenti di belakang mobil bus. Terdengar suara panggilan yang begitu akrab di telinga."Nyonya Lisna!"Sopir pribadi Ayah mertua mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewah berwarna hitam. Tangannya melambai, bibirnya terse
"Apa yang sedang kalian lakukan?" bentak ayah mertua.Seketika kami terperanjat, ayah mertua yang tergeletak di dipannya, tiba-tiba keluar dari kamar dengan menaiki kursi roda, yang didorong oleh Bik Ijah.Sontak saja Mami Resti yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Indra, langsung beranjak bangkit dengan muka yang pucat pasi.'Yess,' hatiku bersorak kegirangan."Ayah sudah sehat? Kapan kok aku tidak tahu?" tanya Mas Indra, dengan muka pucat."Kenapa aku harus lapor sama kamu? Kamu saja tidur di kamar Ibu tirimu tidak pernah lapor padaku?" sergah Ayah mertua, yang membuat Mas Indra yang mukanya berubah merah padam. Seakan-akan dia baru saja ditampar."Berkat kecerdasan Lisna dan kerja sama dengan Bik Ijah, aku mendapatkan perawatan dari dokter yang bertanggung jawab," terang Ayah.Mas Indra dan penyihir itu menatapku dengan tajam, seolah-olah mereka akan me
Selama berada di puncak aku dan Rere mengisi waktu siang dengan mengelilingi kebun teh milik warga. Aku mencoba untuk tersenyum di depan putriku satu-satunya, agar dia tidak merasa curiga dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah tangga kami. Walaupun terasa sangat menyakitkan. Namun, semua ini terpaksa dilakukan demi masa depan Rere dan juga calon bayi dalam rahim ini.Suasana yang teduh dan cuaca dingin, membuat aku teringat akan kebun kopi coklat milik mendiang mantan suami. Ah, aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan pelan, serta panjang.Tidak terasa mata ini pun berembun dan rintik-rintik hujan pun turun dari sela-sela mataku, yang mulai cekung."Bunda, kenapa menangis?" selidik Rere yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku."Rere, mana jagung bakarnya?" tanyaku, sambil menyeka air mata."Ini,
"Indra, Indra, Indra, antar aku ke rumah Dokter!" pekik Mami Resti dari balik pintu kamar.Dalam hati ini ada perasaan benci dan cemburu, mendengar Mami Resti memanggil dan memerintah suamiku seenak jidatnya sendiri. Untuk kali ini tidak ingin rasanya mengalah seperti biasa."Mami Resti, hari ini Mas Indra mau menemani aku pulang kampung," sahutku dengan suara yang kubuat selembut mungkin, sambil membuka pintu kamar."Mau berapa lama kalian di Kampung dan ada kepentingan apa sampai Indra harus ikut serta?" selidik Mami Resti dengan mata yang melotot, seperti sedang mengintrogasi pencuri. Mungkin dalam hati dia yang aneh, menganggap aku adalah pencuri kekasihnya.
"Mas Indra, cepat bangun antar aku ke rumah Bu Bidan!" perintahku pada Mas Indra, yang masih tertidur pulas."Sebentar, aku ngantuk sekali!" sahutnya tanpa membuka mata.Aku beranjak bangun dari pembaringan, membuka pintu koridor, kemudian duduk di teras kamar. Pandanganku menyapu ke penjuru angkasa, menampakkan awan biru yang unik."Sangat indah," gumamku.Bulir-bulir bening kembali mengalir dari sudut mata yang sembab milikku. Pikiranku meronta-ronta membayangkan setiap malam, suami yang tercinta bercinta dalam jeratan setan. Banyak perempuan di dunia ini. Namun, mengapa harus dengan dia, ibu tirinya sendiri? Ah, pikiran ini begitu menyiksa jiwa, bahkan sepertinya bisa membuat perempuan yang tidak kuat rohaninya bisa gila.'Mengapa aku selalu terjebak pada lelaki berengsek? Apakah dosa yang telah aku lakukan di kehidupan sebelumnya, sehingga harus memiliki nasib seperti?'
"Anu, anu, Nyonya, supaya Rere memiliki adik," jawab Pak satpam gugup.Kemudian dia dengan tergesa-gesa meninggalkan diriku, yang sedang menunggu jawaban darinya. Namun, sampai beberapa saat tidak juga ada jawaban yang tersurat.Tiba-tiba saja suara sirene kecil terdengar dari kamar utama membuat aku sangat terkejut, sebab bel berbunyi pada saat tidak ada orang di dalam rumah selain aku.Suara sirine itu ialah sebuah alat yang terletak di tepi ranjang ayah. Ayah mertua bisa menggerakkan tangannya dengan sangat pelan, jadi di ranjangnya dipasang sebuah bel yang berbunyi seperti sirene. Setiap membutuhkan sesuatu dia akan memencet bel tersebut. Aku memberikan diri untuk masuk, karena di rumah sedang tidak ada orang. Namun, terkejutnya aku setelah sampai di dalam kamar tersebut, ternyata ada perempuan setengah baya, yang sedang mengganti diapres milik ayah."Siapa kamu?" selidikku."Aku adalah asisten ya