Share

Suami kejam

Penulis: Nana Marlina
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku.

"Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.

Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku  yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang  ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.

Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku. 

'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?'

Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidupku menjadi lebih baik.

 

'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!'

'Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.'

'Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.

Benar saja Mas Rudi dan keluarganya bersikap baik terhadap diriku, dan aku pun merasa tidak perlu bercerai dengannya lagi.

Hari raya pertama kami bertamu di setiap rumah saudara Mas Rudi. Banyak saudara yang memberikan uang jajan kepada Rere, aku pun melihat Mas Rudi juga memberikan anak mereka uang jajan. 

Mereka semua memuji kebaikkan Mas Rudi, aku hanya tersenyum, mendengar pujian yang keluar dari mulut mereka.

Lelah rasanya kakiku berkeliling kampung, dengan menggunakan sandal berhak, tinggi pemberian dari Adikku, sambil menggendong Rere yang tubuhnya mulai montok, setelah tinggal tiga minggu di rumah orangtuaku.

Sore hari kami berangkat ke desaku, untuk halal-bihalal, karena jika ke sana besok, aku tidak punya baju baru untuk dipakai.

Mas Rudi hanya mengenakan celana kolor dan kaos oblong, biarpun itu baru tapi aku merasa malu pada saudara dan tetanggaku, di desa yang umumnya mereka pakai baju bagus dan mahal.

Benar saja begitu sampai di rumah orang tuaku mereka menertawakan Mas Rudi secara diam-diam.

Sebenarnya tadi pas Hallal-bihallal di desanya, Mas Rudi memakai baju bekas dari Abang Edi suami dari Kakakku. 

Mas Rudi merasa malu jika  memakai baju bekas  pemberian dari Abang Edi, dipakai di depan Abangku mungkin di gengsi.

 Saudara-saudara dan juga tetangga mereka memberikan uang jajan kepada Rere putriku, tapi Mas Rudi tidak memberikan anak mereka uang jajan ganti, dengan alasan uangnya sudah habis.

Bahkan pada malam harinya dia meminjam uang Rere, untuk beli rokok dan pulsa, entah sejak kapan Mas Rudi mulai menggunakan HP lagi. 

Rupanya Mas Rudi telah membohongiku, ternyata HP miliknya tidak dijual, hanya milikku saja yang dia jual untuk membeli beras kala itu.

Sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu, aku tidak mau  ambil pusing,  yang terpenting sekarang  ialah semangat, untuk menjalani hidup baru, bersama Mas Rudi yang lebih baik.

Berkemas ria aku menyiapkan baju serta kue lebaran, yang akan dibawa ke kebun. Karena musim kopi jadi harus segera naik gunung, biarpun ini masih hari raya  Idul Fitri yang ke tiga.

Terkejutnya aku setelah sampai di kebun ternyata Mamak sudah di gubuk, dia membersihkan  gubukku yang sangat kotor. Ternyata selama aku di rumah orang tua, Mas Rudi tidur di gubuk orang tuanya.

Aktifitasku pun mulai seperti biasanya, pagi menyiapkan sarapan untuk Mas Rudi, merawat Rere yang sudah mulai belajar duduk.

Buah kopi sangat lebat, dan harus segera dipetik, karena jika terlambat maka akan berguguran di tanah, maka sia-sia 'lah sudah usaha kami para petani kopi, yang menunggu musim raya satu tahun sekali.

Demi membantu pekerjaan Mas Rudi, setelah berbenah di rumah, aku membantunya memetik kopi di lereng bukit.

Rere tampak senang berada pada gendongan sedangkan kopi aku tarok di dalam karung. Aku berjalan memetik kopi, sambil menyeret karung yang terasa lebih berat daripada Rere.

Untung saja Ibuku membawakan kue sisa lebaran, yang banyak tanpa sepengetahuan Mas Rudi dan orang tuanya, Jadi bisa untuk bekalku ketika metik kopi bersama Rere.

Rutinitas berjalan seperti biasa selama seminggu. Tepat kuenya habis bersamaan selesainya kegiatan memetik kopi.

Hal yang paling berat ialah menumbuk kopi. Sangat melelahkan telapak tanganku yang dulu selembut sutra sekarang keras dan sekasar jalan aspal.

"Otot kawat balung besi muka aspal," itu semboyan yang cocok untuk Mas Rudi, aku jadi ketawa sendiri.

Kopi yang sudah berbentuk berasan dijual ke desa, entah dapat duit berapa aku tidak tahu. Menurut Mas Rudi setengah dari hasil penjualan kopi, akan di berikan kepada adiknya untuk tambahan membeli motor Ninja, dan sisanya untuk membeli pekarangan di desa, dekat rumah mertua yang akan dijual senilai 18 juta.

Karena duitnya kurang dua juta lagi, jadi Mas Rudi dan orang tuanya menyuruhku untuk meminjam uang kepada kakakku. Dengan janji tahun depan baru dibayar.

 Membawa oleh-oleh berupa biji kopi.  Aku langsung menuju kerumah kakak, dengan muka memelas, yang diajarkan oleh Mas Rudi, aku mengutarakan maksud dari niat datang berkunjung.

Seperti biasa Kakakku meminjamkan duit tanpa banyak tanya. Padahal hutang kami yang dulu banget sebelum nikah belum sempat dibayar.

Dengan perasaan senang kami pun meninggalkan rumah kakak, menuju ke desa Mas Rudi, dengan tujuan untuk membayar tanah pekarangan seluas 10 x 15 meter itu.

"Mas katanya surat beli tanah mau memakai KTP-ku kok gak jadi?" tanyaku heran.

Dia tadi berkata pada kakakku mau pakai KTP-ku.

 

"Hus, menjadi perempuan gak usah banyak tanya!" bentaknya.

"Iya," jawabku singkat. 

 Kami kembali lagi ke gunung yang di sebut hutan, tetapi saat ini musim peceklek duit kami habis, tabungan pun tidak ada, ditambah lagi musim kemarau. Lengkap sudah penderitaan kami.

Rere sering sakit-sakitan. Tidak ada hasil kebun, sampai dua bulan ke depannya,  menunggu musim durian dan jengkol. 

Makan pun ala kadarnya, serta harus rajin mencari kemiri, yang berjatuhan dari pohonnya di tengah hutan.

Menjual sepuluh kemiri yang masih ada kulitnya, bisa untuk membeli 1 kg beras yang rasanya enak.

 Kadang satu minggu hanya bisa mencari 50 kg kemiri, bahkan pernah cuma mendapat 15 kg kemiri, karena banyaknya orang yang mencari kemiri, jadi kami saling berebut, siapa cepat dia dapat.

Neraka kembali terjadi padaku. Mas Rudi mulai gila memancing, di desa setiap malam. Mas Rudi selalu turun gunung pukul lima sore dan pukul enam pagi baru pulang.

Entah syaitan apa yang sudah merasukinya? Padahal memancing di pemancingan itu harus membayar, dengan seharga 3 kg beras enak, dia gunakan untuk memancing yang paling banyak dapat ikan 2 ekor, bahkan sering tidak dapat ikan 

Dia bisa ngutang untuk memancing di pemancingan, hingga utangnya menjadi segunung Himalaya, dan jumlah utangnya terus bertumpuk. 

Sedangkan aku harus mencari kemiri untuk bertahan hidup bersama putri kecilku.

'Sampai kapankah aku akan hidup seperti ini?' ucapku dalam hati.

 

Tangisku setiap malam, di tengah hutan dalam sepi mendekap putri kecilku.

Bab terkait

  • Noda Dalam Luka   Omelan Mamak

    Sesak terasa di pagi buta mamak sudah marah-marah enggak jelas pada Aku, yang tidak mengerti apapun. Seolah semua kesalahan tertuju pada diri ini, biar pun Mas Rudi yang bersalah tetap saja diriku, yang kena damprat Mamak."Seharusnya kamu itu jadi istri pintar ngurusin suami, jadi suaminya tidak pergi memancing setiap malam. Pasti Rudi sudah bosan sama kamu, makanya tiap malam selalu ditinggal pergi terus sama dia. Dasar perempuan bodoh! Enggak bejus kerjaannya, ngurusin suami satu aja enggak bisa. Tolol kamu!" umpat Mamak.Aku hanya diam menangis sambil memeluk Rere, yang ikut menangis dengan keras. Mungkin dia terkejut dengan suara neneknya, yang seperti petir menyambar gubuk papan bambu milik kami."Jika dikasih tahu itu, jangan diam saja! Sekali-sekali jawab, kenapa? Apa kamu tak kasian sama Rudi, hah? Malam bergadang, siang harus berkerja di kebun, bahkan sering kali dia ketiduran di keb

  • Noda Dalam Luka   Pinjaman

    "Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?' tanyaku dalam hati, yang tidak mendapatkan jawaban.Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidup menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!' aku menghibur diri sendiri.'Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.

  • Noda Dalam Luka   Mabuk Durian

    Aku terus saja mengeluarkan isi perutku. Sampai cairan kuning kental, yang rasanya sangat pahit.Perut pun menjadi terasa lapar, karena aku masih menyusui putriku. Namun, perasaan mau muntah, tidak dapat aku bendung lagi. Entahlah sampai kapan musim durian ini akan berlangsung. Sementara sekarang masih awal musim dari mulai jatuhnya durian.Entah mengapa aku tidak bisa makan durian? Jngankan untuk memakannya. Baru mencium aroma durian saja aku udah muntah-muntah.Semalaman aku tidak bisa tidur, karena teman-teman Mas Rudi datang ke gubuk. Mereka melakukan pesta durian. Mereka ketawa dan bercanda dengan suara keras, sontak saja Rere jadi terganggu tidurnya. Rere rewel terus dan selalu minta gendong kepadaku, yang sedang merasakan mual.Aku ingin menegur mereka, tetapi takut dimarah oleh Mas Rudi.'Ya Allah semoga mereka lekas pulang,' do'aku dalam hati.Tepat pukul satu malam aku tidak mendengar suara mereka lagi berbincan

  • Noda Dalam Luka   Kebakaran

    Diriku bener-bener mabuk durian. Namun, teman-teman Mas Rudi setiap hari selalu makan, minum dan tidur di gubuk. Dengan alasan bahwa gubukku lebih dekat dengan hutan, kenyataanya memang seperti adanya itu. Ayah datang berkunjung ke kebun. Kala Mas Rudi berserta teman-temannya sedang istirahat siang, di dalam gubuk.Ayah membawa kabar jika sepupuku, yang rumahnya tepat di samping rumah orang tuaku. Dia akan menikah dan pernikahannya diadakan secara meriah, jadi aku harus pulang ke desa untuk beberapa hari.Mas Rudi pun seperti biasanya bersifat sangat ramah dan sopan kepada Ayah. Tidak ketinggalan juga kebiasaan membual, yang sangat berlebihan. Bahkan sangat bertolak dari kenyataan yang ada.Mertuaku tidak menyapa Ayah sama sekali, jangankan tanya kabar tersenyum saja pun tidak.Setelah basa-basi dan menyantap beberapa buah duri

  • Noda Dalam Luka   Pernikahan Sepupu

    "Rudii, sini mampir dulu, untuk minum kopi!" perintah Paman."Buru-buru, Man, besok lagi." sahut Mas Rudi, sambil mengegas motor."Enggak bawa durian?" selidik Paman."Besok kalau pas hari repsepsinya aku bawakan durian. Mau berapa buah, Paman?" ujar Mas Rudi."Berapa saja, yang penting gratis." sahut Paman, sambil tersenyum."Okay lah, aku pulang dulu takut kemalaman di jalan." ujar Mas Rudi."Iya hati-hati!" pesan Paman.Ndroooon .....ndrooon, droooon.Mas Rudi pun gergegas pulang ke kebun. Dengan mengendarai motor gunungnya, yang gelepotan tanah merah.Mereka semua memuji dan menyanjungku, yang memiliki suami baik hati. Memiliki kebun durian, yang luasnya sampai berhektar - hektar. Setiap perkataan mereka, aku hanya mampu menjawabnya dalam hati, sambil tersenyum untuk menutupi luka di hati.Rere sudah terlelap. Mungkin dia merasa capek dan badannya pun sedikit demam. Mungkin

  • Noda Dalam Luka   Bakso

    Aku berjalan ke dapur mengambil enam buah mangkuk dan sendok, berserta sendok garbunya juga. Kuletakkan di meja ruang tamu berserta air putih dalam teko dan gelas kaca, yang dibawa oleh adikku. Tanpa menghiraukan Mas Rudi dan Andi, yang saling menatap sinis. Kutuang bakso dan mie ayam ke mangkuknya masing-masing. Aku lebih milih bakso supaya bisa berbagi dengan Rere, yang sudah mulai tumbuh gigi. "Jangan dimakan itu! Ada guna-gunanya," ujar Mas Rudi, setengah teriak kepadaku. Aku pun menjadi terkejut, hingga kuah bakso sedang kutuang ke mangkok pun tumpah sedikit. "Aah, benarkah? sahutku, sambil melihat Andi. "Aku tidak gila! Seperti Rudi," kilah Andi, yang melirik ke arah Mas Rudi. Jemudian dia menatapku tajam. "Biar kubaca Al-fatihah dulu jika mienya berubah warna berarti ada guna-gunanya," terang Adikku, penuh percaya diri. "Iya," kami menjawab dengan serempak. "Tidak berubah warna, bisa di

  • Noda Dalam Luka   Kembali ke Hutan

    Kupandangi gubuk yang sudah rapi, seolah tidak terjadi apa pun. Bahkan sedikit abu dan arang pun tidak ada seolah tak pernah terjadi kebakaran.Orang tua Mas Rudi tersenyum saat melihatku. Mereka langsung meminta Rere dari gendonganku untuk ditimang-timang oleh mereka.Terkejutnya aku begitu masuk ke gubuk. Gubuk tampak bersih dan rapi di amben tertata rapih hidangan, yang aromanya menggugah perut sudah terasa lapar. Mas Rudi menerangkan jika ini masakan Mamak, yang sengaja untuk menantu kesayangannya, jadi aku harus makan sampai habis.Seusai makan, aku ke gubuk mertua untuk mengambil Rere, tetapi saat tiba di sana rupanya Rere masih tidur. Mamak pun menyuruhku untuk membantunya mengupas kulit jengkol, yang jumlahnya sangat banyak.Entah sampai berapa jam aku mengupas jengkol, sambil bermain dengan Rere yang sudah bangun dari tidurnya. Dia kelihatan sangat senang bermain kulit jengkol. Bapak dan Mas Rudi pun sudah pulang dari memetik jengkol

  • Noda Dalam Luka   Terbongkar

    Selesai menikmati semangkuk mie ayam, yang kubagi dua dengan Rere. Segera membayar kepada pemilik warung, sambil mengambil HP yang dicas. Dengan menundukkan kepala, yang bermaksut menyembunyikan muka dari ramenya pelanggan di siang itu. Aku bergegas keluar meninggalkan warung mie ayam itu. Aku berencana pulang ke desa. Meninggalkan gubuk derita milik monster keji itu. Tidak jauh dari warung mie ayam ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari papan. Beratapkajn anyaman ilalang. Di sisi sampingnya ada tulisan pangkalan ojek.'Kok sepi, mungkin karna siang hari.' Kataku dalam hati.Menunggu tukang ojek sambil menenangkan Rere, yang menangis lalu tertidur pulas. Kukecup penuh kasih kening Rere, yang tidur di pangkuan. Menunggu tukang ojek terduduk bersandar pada pohon jati di pangkalan ojek. Tidak terasa aku pun tertidur bahkan sempat bermimpi."Neng, mau k

Bab terbaru

  • Noda Dalam Luka   Lisna melahirkan

    Aku menikmati sarapan pagi seorang diri setiap kali Rere pergi ke sekolah. Setelah Mas Indra dan Mami Resti berada di rumah serambi. Mereka tidak lagi datang ke rumah utama untuk sekadar menikmati makanan bersama atau alasan apapun. Semua kebutuhan mereka hidup mereka ditanggung oleh Papa, tapi semua serba mentah. Sehingga tangan perempuan selembut mami Resti harus memasak dan mencuci baju. Sungguh kehidupan yang memprihatinkan.Hari berlalu begitu cepat, Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti bulan, sampai tiba di suatu malam. Aku melahirkan seorang anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari keluarga Indra.Suara tangisannya memecahkan keheningan malam. Melukis sebuah rasa bahagia dalam hati kami, kecuali Mami Resti yang sudah menjabat sebagai istri sirih Mas Indra. Dunia memang sangat pelik. Dalam sekejap mata ibu mertua kini sudah menjadi adik maduku.Ayah tiada henti-hentinya mengucapkan terima k

  • Noda Dalam Luka   Siapa yang menciumiku?

    Yanti berucap dengan suara tergesa-gesa. Suaranya terbata-bata dan napasnya tersengal sengal. Mendengar ucapan dari asisten rumah tangga berbaju kuning dan bercelana jeans hitam itu, Papa tampak matanya melotot. Seakan-akan kedua bola mata tajam ingin meloncat dari kelopaknya.Sementara itu, aku hanya mampu menelan ludah getir bercampur aduk dengan perasaan yang tidak menentu. Antara bahagia, takut, sakit hati dan cemburu. Bahagia sebab Mas Indra sudah pulang ke rumah, bisa melakukan makan malam bersama dan kegiatan lainnya layaknya seperti suami-istri.Rasa takut dan was-was bila sampai Mas Indra mengetahui semua harta kekayaan keluarganya sudah dihibahkan pada kedua anakku. Sakit hati setiap teringat malam itu, di mana aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Suami yang tercinta dan ibu mertua sedang bercumbu ria di kasur kamarnya. Masih terbayang kejadian menjijikan itu, mereka saling menjilat dan mengulum tubuh di depannya.

  • Noda Dalam Luka   Mereka Pulang Dari Rumah Sakit

    Hari berlalu begitu cepat, tak terasa sore pun segera menghampiri diriku yang masih bermalas-malasan di pembaringan.Rasa malas ini hadir begitu saja, setelah usia kehamilan memasuki lima bulan. Membuat aku menghabiskan sebagian hari di kamar tidur.Beberapa saat kemudian, Rere memasuki kamar. Dia memakai gaun putih berenda pink di bagian bawah gaunnya yang sepanjang lutut. Senyum manis mengembang di bibirnya mungilnya. Putriku Rere sungguh cantik sekali.Langkah kaki mungil perlahan mendekat tempat aku sedang merebahkan diri. Dia duduk di tepi ranjang, sambil kakinya menjuntai."Bunda, kok Papa Indra lebih sayang Oma Resti dari pada Bunda?" tanya Rere dengan begitu polosnya.Seakan-akan ada sebuah batu besar yang ditimpuk ke dadaku. Sangat sakit sekali mendengar ucapan Rere yang begitu polos."Tidak, Sayang. Oma Resti kan masih sakit,

  • Noda Dalam Luka   Bahagia Atau Sedih

    Aku mengajak Rere meninggalkan kamar berbau obat itu, memegang tangan kirinya penuh kasih sayang. Melewati koridor yang ramai oleh perawat yang bertugas untuk membagi obat pada pasiennya.Sesekali tangan kiriku, mengapus air mata yang tidak berhenti berderai. Supaya Rere tidak melihat tangis yang tertahan, tetapi sangat menyakitkan.Sesampainya di luar rumah sakit Ibu dan Anak, kami segera menuju ke perhentian bus berbaur dengan calon penumpang lainnya.Cuaca mendung membuat aku menggigil, laksana hati ini yang kedinginan dan mendambakan pelukan seorang suami.Tidak berapa lama kemudian, mobil bus berhenti. Namun, ketika kaki ini melangkah maju. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam berhenti di belakang mobil bus. Terdengar suara panggilan yang begitu akrab di telinga."Nyonya Lisna!"Sopir pribadi Ayah mertua mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewah berwarna hitam. Tangannya melambai, bibirnya terse

  • Noda Dalam Luka   Mami Resti Keguguran

    "Apa yang sedang kalian lakukan?" bentak ayah mertua.Seketika kami terperanjat, ayah mertua yang tergeletak di dipannya, tiba-tiba keluar dari kamar dengan menaiki kursi roda, yang didorong oleh Bik Ijah.Sontak saja Mami Resti yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Indra, langsung beranjak bangkit dengan muka yang pucat pasi.'Yess,' hatiku bersorak kegirangan."Ayah sudah sehat? Kapan kok aku tidak tahu?" tanya Mas Indra, dengan muka pucat."Kenapa aku harus lapor sama kamu? Kamu saja tidur di kamar Ibu tirimu tidak pernah lapor padaku?" sergah Ayah mertua, yang membuat Mas Indra yang mukanya berubah merah padam. Seakan-akan dia baru saja ditampar."Berkat kecerdasan Lisna dan kerja sama dengan Bik Ijah, aku mendapatkan perawatan dari dokter yang bertanggung jawab," terang Ayah.Mas Indra dan penyihir itu menatapku dengan tajam, seolah-olah mereka akan me

  • Noda Dalam Luka   Pulang Dari Puncak

    Selama berada di puncak aku dan Rere mengisi waktu siang dengan mengelilingi kebun teh milik warga. Aku mencoba untuk tersenyum di depan putriku satu-satunya, agar dia tidak merasa curiga dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah tangga kami. Walaupun terasa sangat menyakitkan. Namun, semua ini terpaksa dilakukan demi masa depan Rere dan juga calon bayi dalam rahim ini.Suasana yang teduh dan cuaca dingin, membuat aku teringat akan kebun kopi coklat milik mendiang mantan suami. Ah, aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan pelan, serta panjang.Tidak terasa mata ini pun berembun dan rintik-rintik hujan pun turun dari sela-sela mataku, yang mulai cekung."Bunda, kenapa menangis?" selidik Rere yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku."Rere, mana jagung bakarnya?" tanyaku, sambil menyeka air mata."Ini,

  • Noda Dalam Luka   Aku Yang Tersakiti

    "Indra, Indra, Indra, antar aku ke rumah Dokter!" pekik Mami Resti dari balik pintu kamar.Dalam hati ini ada perasaan benci dan cemburu, mendengar Mami Resti memanggil dan memerintah suamiku seenak jidatnya sendiri. Untuk kali ini tidak ingin rasanya mengalah seperti biasa."Mami Resti, hari ini Mas Indra mau menemani aku pulang kampung," sahutku dengan suara yang kubuat selembut mungkin, sambil membuka pintu kamar."Mau berapa lama kalian di Kampung dan ada kepentingan apa sampai Indra harus ikut serta?" selidik Mami Resti dengan mata yang melotot, seperti sedang mengintrogasi pencuri. Mungkin dalam hati dia yang aneh, menganggap aku adalah pencuri kekasihnya.

  • Noda Dalam Luka   Aku juga Hamil

    "Mas Indra, cepat bangun antar aku ke rumah Bu Bidan!" perintahku pada Mas Indra, yang masih tertidur pulas."Sebentar, aku ngantuk sekali!" sahutnya tanpa membuka mata.Aku beranjak bangun dari pembaringan, membuka pintu koridor, kemudian duduk di teras kamar. Pandanganku menyapu ke penjuru angkasa, menampakkan awan biru yang unik."Sangat indah," gumamku.Bulir-bulir bening kembali mengalir dari sudut mata yang sembab milikku. Pikiranku meronta-ronta membayangkan setiap malam, suami yang tercinta bercinta dalam jeratan setan. Banyak perempuan di dunia ini. Namun, mengapa harus dengan dia, ibu tirinya sendiri? Ah, pikiran ini begitu menyiksa jiwa, bahkan sepertinya bisa membuat perempuan yang tidak kuat rohaninya bisa gila.'Mengapa aku selalu terjebak pada lelaki berengsek? Apakah dosa yang telah aku lakukan di kehidupan sebelumnya, sehingga harus memiliki nasib seperti?'

  • Noda Dalam Luka   Menyaksikan perselingkuhan Mami Resti dan Suamiku.

    "Anu, anu, Nyonya, supaya Rere memiliki adik," jawab Pak satpam gugup.Kemudian dia dengan tergesa-gesa meninggalkan diriku, yang sedang menunggu jawaban darinya. Namun, sampai beberapa saat tidak juga ada jawaban yang tersurat.Tiba-tiba saja suara sirene kecil terdengar dari kamar utama membuat aku sangat terkejut, sebab bel berbunyi pada saat tidak ada orang di dalam rumah selain aku.Suara sirine itu ialah sebuah alat yang terletak di tepi ranjang ayah. Ayah mertua bisa menggerakkan tangannya dengan sangat pelan, jadi di ranjangnya dipasang sebuah bel yang berbunyi seperti sirene. Setiap membutuhkan sesuatu dia akan memencet bel tersebut. Aku memberikan diri untuk masuk, karena di rumah sedang tidak ada orang. Namun, terkejutnya aku setelah sampai di dalam kamar tersebut, ternyata ada perempuan setengah baya, yang sedang mengganti diapres milik ayah."Siapa kamu?" selidikku."Aku adalah asisten ya

DMCA.com Protection Status