“Bajingan!”
Arya mengumpat dengan raut muka mengeras, hatinya memanas begitu mendengar kata ancaman dari Jevan. Tangan kananya kembali mengepal kuat dan langsung melayangkan tinju pada perut Jevan. Namun Jevan lebih lihai menghindar.
“Ada apa? Kenapa kau marah padahal selama ini kau tak memedulikanya Arya! Apa akal pikiranmu yang bodoh itu sedikit terbuka?” tanya Jevan di sela-sela tawa remehnya.
Sejenak Arya menghembuskan napas kasar, lalu kembali tenggelam dalam lautan api emosinya. Tatap matanya semakin tajam, seakan-akan ingin menghabisinya secara kejam detik ini juga.
“Begitulah sifat manusia bodoh! Baru sadar dan peduli ketika hendak kehilangan!” tuding Jevan dengan mata memicing.
Di saat keduanya masih saling adu mulut dalam suasana mencekam, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari luar, diikuti oleh Mahen – asisten pribadi Arya yang sedang terburu-buru dengan ekspresi tegang.
“Tuan, baru saja saya mendapat telepon dari pihak rumah sakit. Mereka bilang nyonya Nadia tengah dalam keadaan kritis!” ujar Mahen, membuat Arya seketika tecengang hebat dengan apa yang ia dengar.
Tak peduli dengan emosinya yang memuncak pada Jevan, Arya langsung bergegas ke rumah sakit. Jevan yang menyaksikannya pun tersenyum penuh kemenangan seakan keadaan telah berpihak padanya.
Hingga beberapa menit kemudian, Arya telah sampai di depan ruang ICU di mana di sana ada Aliya sedang berdiri mondar mandir dengan wajah gelisah. Arya mengatur napas yang terengah karena dirinya berlari kencang begitu memarkirkan mobilnya.
“Sudah kubilang jaga dia dengan benar! Jika terjadi hal buruk maka tunggu saja akibatnya!” bentak Arya sambil mengacak-acak rambutnya frustasi.
“Maaf,” lirih Aliya nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk di susul air matanya yang luruh, dia juga sedih dengan keadaan sahabatnya. Namun, di sisi lain wanita itu sangat marah karena lagi-lagi suaminya menyalahkanya.
“Kau memang salah dan tak berguna! Sekarang aku akan memberimu pelajaran!” Arya meraih kedua tangan Aliya lalu menariknya secara paksa agar wanita itu mengikuti kemanapun langkahnya.
“Lepasin Mas! Aku bisa jalan sendiri!” protes Aliya karena perbedaan tinggi badan yang jauh, Aliya seperti diseret karena langkah kakinya kalah dengan Arya.
Sekilas Arya menoleh pada Mahen lalu memberikan perintah. “Jaga Nadia dan urus segala urusan di rumah sakit ini, aku akan kembali setelah memberinya pelajaran!”
“Siap tuan!”
Aliya terus meronta meski kekuatannya tak sebanding dengan Arya yang terus menyeretnya hingga terlempar ke dalam mobil. Dengan cepat pria yang dikuasai amarah itu mengunci semua pintu dan segera melajukan mobilnya menuju rumah.
Sesampainya di rumah, Aliya masih diperlakukan kasar, suaminya terus menyeretnya hingga ke gudang belakang. Ruangan sempit dan gelap dengan serbuk debu menempel pada barang-barang yang tidak terpakai.
“Mas—“
“Diam!” desis Arya memotong ucapan Aliya. “Kau harus dihukum akibat dari tindakanmu yang tidak mendengarkan perintahku dengan benar!”
Arya mengambil tali tambang yang kebetulan ada d laci gudang, lalu tanpa perasaan mengikatkanya pada tangan Aliya dengan rapat di belakang badan, Arya bahkan memaksa Aliya duduk di sudut gudang lalu mengikat kedua kakinya juga.
“Biadab! Kenapa kau tega seperti ini Mas!!!” Aliya berteriak melengking karena emosinya semakin tak terkendali.
Arya yang mendengarnya malah tersenyum mengerikan lalu tiba-tiba kaki kananya melayang menendang tubuh Aliya hingga wanita itu tersungkur kesakitan.
“Kurang ajar! Tunggu dan rasakan akibatnya!” bentak Arya lalu ke luar dari gudang.
Pria itu menuju ruang kerjanya dan membuka salah satu brangkas besar yang selama ini dia kunci dan tak terjamah siapapun. Ketika brangkas terbuka ia tersenyum bengis melihat benda-benda koleksi yang tergantung rapi di sana.
Ada berbagai macam cambuk, pistol dan tongkat besi serta koleksi pedang hingga katana. Tangannya pun dengan lincah memilih-milih benda mana yang akan ia gunakan untuk memberi pelajaran pada istri keduanya.
Tiba-tiba Arya tertawa seperti orang gila memilih cambuk rantai dan memandangnya dengan tatap mengerikan. Lalu dengan langkah berderab kembali ke gudang menemui Aliya, menyalakan lampu dengan cahaya temaram lantas mendekat pada Aliya yang kini tengah menangis tersedu-sedu karena ketakutan.
“Berlututlah!” suara beratnya membentak keras.
Tubuh Aliya bergetar dengan hebat, peluh mulai bercucuran di sekujur tubuhnya, air matanya masih menetes karena merasa hidupnya sungguh tidak adil dan sengsara. Cobaan datang silih berganti kepada dirinya.
Splash!!!
“AAAAHHH!!”
Sekali cambukan mendarat di tubuh Aliya.
“Kau tak dengar hah?! Berlutut!”
Tak mau berdiam diri dalam pedihnya kekejaman suaminya, Aliya lantas berteriak, “Tolong aku! Aku bukan binatang yang bisa kalian biarkan saat teriak kesakitan!!!”
Aliya meringis merasakan nyeri di tubuhnya, tak ada sahutan apapun di luar, padahal ada banyak asisten Arya sedang berjaga di sana. Namun mereka seolah tuli.
Detik itu juga tiba-tiba Arya merobek dress Aliya dengan kasar hingga membuat wanita itu menjerit tambah keras karena badannya sekarang hanya terbalut pakaian dalam.
“BRENGSEK! MAU APA KAU MAS!!!!!”
“Kau sungguh brengsek! Kenapa kau terus membuatku menderita Mas! Kau bukan manusia, kau binatang buas!” umpat Aliya dengan sarkas. Ia terpaksa berlutut supaya pria berjas hitam itu tidak menyambuknya lagi. Sosok jangkung berjas hitam itu menatap Aliya nyalang dengan ekspresi mengerikan dan mengayunkan cambuk di tanganya yang siap kapan saja menyambuk istrinya lagi. Arya mencondongkan tubuhnya lalu wajahnya mendekat pada wajah Aliya. “Kau sebut aku binatang buas?” lirihnya sembari menarik dagu Aliya ke atas menggunakan jemarinya, membuat mata wanita itu langsung beradu dengan sorot matanya yang tajam. Bahkan Aliya dapat merasakan napas panas pria itu menerpa wajahnya. “Kau salah, kau bisa menyebutku monster!” Arya tertawa puas, matanya yang tajam masih melotot, alisnya menukik tajam menunjukkan bahwa di balik tawanya ia menyimpan amarah yang besar. Cengkeramannya di dagu Aliya semakin kuat membuat Aliya menjerit kesakitan sambil memejamkan mata. “Baiklah, monst
"Ah tolong pelan-pelan, sakit," rengek Aliya ketika kapas yang dibasahi cairan antiseptik menyentuh memar kemerahan di lehernya. Setelah berhasil kabur dari rumahnya, Aliya dibawa Jevan ke sebuah vila mewah dengan nuansa tenang karena vila tersebut terletak sekitar dua puluh kilometer dari pusat kota. Vila ini tersembunyi di balik hutan yang menawarkan nuansa kedamaian. Keduanya kini duduk di sofa abu-abu di ruang tamu berukuran 10x10 meter persegi yang dindingnya didominasi cat abu-abu dan hitam. Jevan merawat luka Aliya dengan hati-hati agar tidak membekas dan merusak kulit putih mulus wanita itu. "Suamimu benar-benar kejam, setelah ini apa kau yakin masih mau kembali bersamanya?" Jevan bertanya sambil meniup-niup luka Aliya. Aliya tidak menjawab malah termenung cukup lama hingga ia tidak menyadari bahwa tangan Jevan mulai menangkupkan kemejanya untuk mengobati luka-luka lain di tubuhnya. Ketika kapas yang dibasahi cairan antiseptik mengenai tubuhnya, wanita itu secara reflek
"Dokter, apa pun yang terjadi, tolong selamatkan istri saya!" Perawat dan dokter merawat Nadia dengan cepat, melakukan segala cara untuk menyadarkannya dari henti jantung. Mereka menghubungkan Nadia ke monitor dan mesin pernapasan untuk memantau status kesehatannya secara terus menerus. Dokter di ICU juga memasang defibrilator ke tubuh Nadia untuk memberikan kejutan listrik, dengan harapan dapat membantu mengembalikan irama jantungnya yang terhenti. Akhirnya, defibrilator itu meledak dan memberikan sengatan listrik ke tubuh Nadia. Semua orang menahan napas dan menunggu perubahan. Namun pada akhirnya, napas Nadia tidak pernah kembali dan dia dinyatakan telah meninggal Dunia. "Kami sudah melakukan segala upaya untuk menyelamatkan Nyonya Nadia, namun saya turut berduka cita dan menyampaikan maaf sebesar-besarnya karena nyonya Nadia telah meninggal Dunia." Dokter berbicara dengan suara bergetar menyampaikan berita duka tersebut, Para perawat juga merasakan kesedi
Aliya berjalan menuju makam Nadia dengan langkah berat dan mata berkaca-kaca. Dalam situasi yang menyedihkan ini, ia datang bersama Jevan. Aliya menyesal karena saat ia tiba, sahabatnya Nadia sudah dimakamkan, para pelayat juga sudah pergi meninggalkan Arya sendirian. Tanpa menghiraukan Arya yang menatapnya tajam, ia meletakkan karangan bunga itu dengan rapi di atas tanah kuburan, sambil menangkupkan kedua tangannya, mulutnya mulai memanjatkan doa. “Tenanglah di surga Nad.” Aliya berlutut sembari tangannya mengelus batu nisan Nadia, lalu kedua air matanya yang menyalurkan kesedihan hatinya pun menumpahkan air mata duka yang begitu mendalam. Sementara itu, di belakang Aliya, Arya berdiri dengan tangan terkepal. Aliya yang menyadari bahwa ia sedang ditatap dengan tatapan marah oleh Arya, hanya berpura-pura terlihat santai. Padahal, jauh di dalam hatinya, ia sangat takut dengan laki-laki seperti monster itu, namun karena Jevan ada bersamanya dan berjanji akan melindun
Mobil putih Jevan melaju dengan kecepatan penuh membelah jalanan kota yang padat, seperti orang yang kerasukan setan, ia terus menginjak gas dengan kecepatan tinggi, melewati kota dengan kemarahan dan kekecewaan yang membayangi pikirannya. Saat hendak menabrak pengendara lain, dia reflek membanting setir mobilnya ke sisi jalan hingga mobil putih itu menabrak pepohonan yang ada di pinggir jalan, hingga bagian depan mobilnya rusak parah. Beruntung Jevan tidak luka parah, hanya saja pelipisnya yang sempat terbentur mengeluarkan sedikit darah. “Sial! Aliya kau tidak akan kulepaskan dengan mudah, tunggu saja kau akan segera kembali ke pelukanku!” dia berteriak sambil meremas kencang setir mobilnya lalu memukul-mukul kaca samping mobilnya hingga tangannya berdarah.*** Aliya menatap Arya, yang kini terbaring tak berdaya di ranjangnya. Terlihat jelas jika hatinya kini telah hancur dan penuh kesedihan. Melihat hal itu, perasaan Aliya campur aduk antara kasihan dan am
“Tidak Mah, biar kupanggilkan pembantu yang lain. Dia tugasnya memasak,” ucap Arya dengan datar, menatap Aliya yang masih membeku di tempatnya dengan mengisyaratkan mata seolah dalam perkataannya wanita itu harus menaati perintahnya barusan. Aliya membalas tatapan itu dengan matanya yang memerah menahan bulir-bulir air mata, tangannya mengepal erat. Disebut sebagai pembantu membuat harga dirinya jatuh sedalam jurang yang paling dalam. Dirinya menggeleng menandakan dia tak mau melaksanakan perintah suaminya. “Aku bukan pembantu, aku nyonya besar di rumah ini!” teriak Aliya di dalam hatinya, rasanya ia ingin menyuarakan hal tersebut sekeras-kerasnya di depan keluarga Arya. Saat amarah masih menguasai hatinya, Aliya dapat merasakan langkah tegas Arya mendekat padanya, kemudian tangannya yang terkepal seketika di genggam oleh Arya dan pria itu menariknya menjauh dari ruang tamu, menjauh dari keluarga yang dia hormati. “Jangan pernah mengaku pada mereka jika kau ist
Ciumannya terasa semakin dalam dan liar. Jevan seperti hewan buas yang kini melahap Aliya dengan rakus. Lidahnya bahkan menerobos masuk seakan mengoyak dan mengobrak-abrik mulut Aliya. “Jevan hentikan!” pekik Aliya di sela-sela menarik nafas saat Jevan memberinya kesempatan. Aliya tampak megap-megap karena pungutan Jevan jauh dari kata lembut, pria di atasnya itu kembali menciumnya dengan brutal sampai bibir Aliya berdarah. Ciumannya turun ke leher dan meninggalkan bekas kemerahan di sana. “Sadarlah kau mabuk!” kali ini Aliya berteriak lebih keras karena Jevan perlahan menyusuri area sensitifnya. “Jevan!” Aliya kehilangan kesabaran, tangannya melayang di udara menampar Jevan dengan keras agar pria mabuk itu menghentikan aksinya. “Akh!” pria itu meringis kesakitan sembari mengusap pipinya yang panas. Pandangannya masih sayu, akal sehatnya perlahan-lahan mulai kembali. Namun bersamaan dengan itu, kepalanya berdenyut tak karuan bercampur perutn
“Ada hal penting yang ingin ayah bicarakan denganmu,” Adikara membuka suara di tengah-tengah suasana sarapan pagi saat mereka semua berkumpul di ruang makan. Setelah sesuap nasi dan lauk pauk masuk ke dalam mulutnya, Arya menaruh perlahan sendok yang semula ada di genggaman untuk berhenti sejenak terlebih dahulu dari aktivitas makannya, menggeser piringnya untuk meletakkan kedua tangan yang terlipat rapi di atas meja makan. Arya menatap ayahnya dengan rasa penasaran. “Ya Ayah, apa yang ingin Anda sampaikan?” Adikara termenung terlebih dahulu sebelum mengutarakan apa yang akan dia sampaikan, merangkai kata yang tepat agar putranya menerima ucapannya dan mematuhinya dengan segera. Tanpa basa-basi dia akhirnya membuka suaranya lagi. “Ayah pikir sudah saatnya kau memikirkan kembali tentang keturunan.” Ucapan itu bagai sebuah tuntutan yang tiba-tiba menyerang hatinya yang masih bersedih dan berduka atas kematian istrinya. “Apa yang ayah katakan! Istri saya baru saja m
Kedua mata Arya memang tertutup rapat, tetapi dia sepenuhnya sadar akan rasa sakit akibat luka yang menusuk-nusuk kulitnya dan badannya yang terasa remuk. Luka di pelipisnya, selebar lima sentimeter, kini sudah dijahit, meskipun rasa sakitnya masih terasa. Untungnya, lukanya tidak sampai menyebabkan gegar otak. Ada pula luka di bagian kaki dan lengan akibat tergores aspal. Yang parah, kakinya mengalami patah tulang dan dipastikan dia tidak akan bisa berjalan, meskipun tidak permanen. Dokter pun menyarankan perawatan maksimal. Dokter menjelaskan bahwa Arya harus menjalani berbagai tindakan perawatan, seperti reposisi atau penyusunan kembali tulang. Kemudian, untuk menjaga tulang dalam posisi yang benar, akan dipasang gips. Pengobatan untuk menetralisir rasa nyeri juga akan dilakukan, dan dilanjutkan dengan rehabilitasi. Aliya, sebagai pihak keluarga, tentu menyetujui keputusan yang diberikan oleh dokter. Soal biaya, tidak perlu khawatir karena suaminya memiliki asuransi kesehatan bisn
"Kita akan mengetahuinya setelah kau ikut pulang bersamaku Aliya." Arya menggenggam kedua tangan Aliya dan menatapnya serius untuk meyakinkannya. "Tidak! Aku bukan wanita bodoh, aku tidak akan kembali dan terluka lagi Mas, kita harus bercerai!" Aliya langsung menarik tangan dari genggamannya, berjalan cepat meninggalkan Arya yang terpaku atas penolakan. "Kumohon Aliya! Ayah dan ibuku memaksaku menikah lagi dan segera punya keturunan, aku… maafkan aku karena tak mengakuimu Aliya. Aku berjanji setelah kita pulang nanti semuanya akan berbeda!" Langkah Aliya terhenti, tangannya tiba-tiba mengepal menahan rasa sesak yang lagi-lagi timbul dalam hati, ia sudah menduga jika akan kecewa lagi dan lagi. Arya jelas sekali mengatakan jika permohonan itu bukan murni muncul dalam lubuk hatinya melainkan hanya sebuah perintah dari orang tuanya. Aliya berbalik, menatap pria yang masih sah suaminya itu dengan tatap nanar. Bibirnya mengulas senyum samar yang dipaksakan.
Para pekerja di kantor pada heboh melihat Aliya kembali bekerja, mereka menelisiknya penuh tanda tanya karena mereka sangat penasaran kenapa dia tiba-tiba keluar kerja dan sekarang kembali lagi bekerja. Hal yang lebih heboh adalah, mereka kaget bukan main karena Aliya datang ke kantor semobil dengan CEO perusahaan, Jevan. “Aliya!” Pekik Caca kegirangan saat Aliya tengah berjalan menuju ruang kerjanya, dia adalah rekan kerja yang dapat diandalkan dan sudah baik padanya selama ini, Caca dengan antusias menghambur memeluk tubuh Aliya dengan erat seolah mengobati rindu sudah lama tak berjumpa. “Kangen banget tau, hei ponselmu tuh buat apa sih! Ada apa-apa ngak kabar-kabar, aku khawatir tau Al!” protes Caca masih memeluk Aliya dengan erat. Jangan tanya di mana Jevan berada, setelah memarkirkan mobilnya, dia di sambut dengan para asistennya dan langsung bergegas bekerja meninggalkan Aliya sendirian. Yah, ia memakluminya karena pria itu termasuk orang yang gila bekerja.
“Ada hal penting yang ingin ayah bicarakan denganmu,” Adikara membuka suara di tengah-tengah suasana sarapan pagi saat mereka semua berkumpul di ruang makan. Setelah sesuap nasi dan lauk pauk masuk ke dalam mulutnya, Arya menaruh perlahan sendok yang semula ada di genggaman untuk berhenti sejenak terlebih dahulu dari aktivitas makannya, menggeser piringnya untuk meletakkan kedua tangan yang terlipat rapi di atas meja makan. Arya menatap ayahnya dengan rasa penasaran. “Ya Ayah, apa yang ingin Anda sampaikan?” Adikara termenung terlebih dahulu sebelum mengutarakan apa yang akan dia sampaikan, merangkai kata yang tepat agar putranya menerima ucapannya dan mematuhinya dengan segera. Tanpa basa-basi dia akhirnya membuka suaranya lagi. “Ayah pikir sudah saatnya kau memikirkan kembali tentang keturunan.” Ucapan itu bagai sebuah tuntutan yang tiba-tiba menyerang hatinya yang masih bersedih dan berduka atas kematian istrinya. “Apa yang ayah katakan! Istri saya baru saja m
Ciumannya terasa semakin dalam dan liar. Jevan seperti hewan buas yang kini melahap Aliya dengan rakus. Lidahnya bahkan menerobos masuk seakan mengoyak dan mengobrak-abrik mulut Aliya. “Jevan hentikan!” pekik Aliya di sela-sela menarik nafas saat Jevan memberinya kesempatan. Aliya tampak megap-megap karena pungutan Jevan jauh dari kata lembut, pria di atasnya itu kembali menciumnya dengan brutal sampai bibir Aliya berdarah. Ciumannya turun ke leher dan meninggalkan bekas kemerahan di sana. “Sadarlah kau mabuk!” kali ini Aliya berteriak lebih keras karena Jevan perlahan menyusuri area sensitifnya. “Jevan!” Aliya kehilangan kesabaran, tangannya melayang di udara menampar Jevan dengan keras agar pria mabuk itu menghentikan aksinya. “Akh!” pria itu meringis kesakitan sembari mengusap pipinya yang panas. Pandangannya masih sayu, akal sehatnya perlahan-lahan mulai kembali. Namun bersamaan dengan itu, kepalanya berdenyut tak karuan bercampur perutn
“Tidak Mah, biar kupanggilkan pembantu yang lain. Dia tugasnya memasak,” ucap Arya dengan datar, menatap Aliya yang masih membeku di tempatnya dengan mengisyaratkan mata seolah dalam perkataannya wanita itu harus menaati perintahnya barusan. Aliya membalas tatapan itu dengan matanya yang memerah menahan bulir-bulir air mata, tangannya mengepal erat. Disebut sebagai pembantu membuat harga dirinya jatuh sedalam jurang yang paling dalam. Dirinya menggeleng menandakan dia tak mau melaksanakan perintah suaminya. “Aku bukan pembantu, aku nyonya besar di rumah ini!” teriak Aliya di dalam hatinya, rasanya ia ingin menyuarakan hal tersebut sekeras-kerasnya di depan keluarga Arya. Saat amarah masih menguasai hatinya, Aliya dapat merasakan langkah tegas Arya mendekat padanya, kemudian tangannya yang terkepal seketika di genggam oleh Arya dan pria itu menariknya menjauh dari ruang tamu, menjauh dari keluarga yang dia hormati. “Jangan pernah mengaku pada mereka jika kau ist
Mobil putih Jevan melaju dengan kecepatan penuh membelah jalanan kota yang padat, seperti orang yang kerasukan setan, ia terus menginjak gas dengan kecepatan tinggi, melewati kota dengan kemarahan dan kekecewaan yang membayangi pikirannya. Saat hendak menabrak pengendara lain, dia reflek membanting setir mobilnya ke sisi jalan hingga mobil putih itu menabrak pepohonan yang ada di pinggir jalan, hingga bagian depan mobilnya rusak parah. Beruntung Jevan tidak luka parah, hanya saja pelipisnya yang sempat terbentur mengeluarkan sedikit darah. “Sial! Aliya kau tidak akan kulepaskan dengan mudah, tunggu saja kau akan segera kembali ke pelukanku!” dia berteriak sambil meremas kencang setir mobilnya lalu memukul-mukul kaca samping mobilnya hingga tangannya berdarah.*** Aliya menatap Arya, yang kini terbaring tak berdaya di ranjangnya. Terlihat jelas jika hatinya kini telah hancur dan penuh kesedihan. Melihat hal itu, perasaan Aliya campur aduk antara kasihan dan am
Aliya berjalan menuju makam Nadia dengan langkah berat dan mata berkaca-kaca. Dalam situasi yang menyedihkan ini, ia datang bersama Jevan. Aliya menyesal karena saat ia tiba, sahabatnya Nadia sudah dimakamkan, para pelayat juga sudah pergi meninggalkan Arya sendirian. Tanpa menghiraukan Arya yang menatapnya tajam, ia meletakkan karangan bunga itu dengan rapi di atas tanah kuburan, sambil menangkupkan kedua tangannya, mulutnya mulai memanjatkan doa. “Tenanglah di surga Nad.” Aliya berlutut sembari tangannya mengelus batu nisan Nadia, lalu kedua air matanya yang menyalurkan kesedihan hatinya pun menumpahkan air mata duka yang begitu mendalam. Sementara itu, di belakang Aliya, Arya berdiri dengan tangan terkepal. Aliya yang menyadari bahwa ia sedang ditatap dengan tatapan marah oleh Arya, hanya berpura-pura terlihat santai. Padahal, jauh di dalam hatinya, ia sangat takut dengan laki-laki seperti monster itu, namun karena Jevan ada bersamanya dan berjanji akan melindun
"Dokter, apa pun yang terjadi, tolong selamatkan istri saya!" Perawat dan dokter merawat Nadia dengan cepat, melakukan segala cara untuk menyadarkannya dari henti jantung. Mereka menghubungkan Nadia ke monitor dan mesin pernapasan untuk memantau status kesehatannya secara terus menerus. Dokter di ICU juga memasang defibrilator ke tubuh Nadia untuk memberikan kejutan listrik, dengan harapan dapat membantu mengembalikan irama jantungnya yang terhenti. Akhirnya, defibrilator itu meledak dan memberikan sengatan listrik ke tubuh Nadia. Semua orang menahan napas dan menunggu perubahan. Namun pada akhirnya, napas Nadia tidak pernah kembali dan dia dinyatakan telah meninggal Dunia. "Kami sudah melakukan segala upaya untuk menyelamatkan Nyonya Nadia, namun saya turut berduka cita dan menyampaikan maaf sebesar-besarnya karena nyonya Nadia telah meninggal Dunia." Dokter berbicara dengan suara bergetar menyampaikan berita duka tersebut, Para perawat juga merasakan kesedi