SABRINA
Sabrina melirik ke arloji di tangannya, agak mepet mudah-mudahan dia bisa sampai kantor tepat waktu untuk memimpin rapat bulanan. Dia memikirkan interview baru saja dengan bos SAP group, sebenarnya dia tidak begitu menginginkan pindah dari tempatnya sekarang bekerja karena dia sangat menikmati pekerjaannya. Disamping itu sang bos tidak banyak turut campur yang membuat dia bebas melakukan kebijakan tanpa merasa terlalu di monitor, tetapi rayuan dari perusahaan head hunter bikin dia luluh untuk datang interview. SAP group adalah salah satu perusahaan sukses di Indonesia, bekerja buat SAP tidak hanya akan mendapatkan paket yang menggiurkan tetapi juga sangat prestisius apalagi untuk orang yang mempunyai ambisi besar seperti Sabrina. “Just try, maybe you will like it” kata pihak head hunter, and there she is menyelesaikan interview.
Walaupun agak skeptis, setelah bertemu dengan Samudra abimanyu pemilik SAP group pikiran skeptisnya agak luntur. Samudra jelas seorang muda yang berambisi dan berpemikiran besar, kalau tidak mana mungkin dia bisa mempunyai perusahaan sebesar SAP yang rumornya dirintis sendiri dari nol. Dan ternyata lebih ganteng ketimbang yang biasa dia lihat di koran atau majalah, sangat charming dan pandai membuat orang lain seperti menjadi pusat perhatian. Pantas saja dia dikabarkan sering gonta-ganti wanita, pastinya banyak wanita yang dengan suka rela kepincut dengan dia. Muda, kaya, ganteng!
Dia tersenyum sendiri menyadari kekonyolan pikirannya. So what kalau dia ganteng dan gonta-ganti perempuan. Handphonenya berdering, dia merogoh tas, melihat caller ID di layar handphonenya membuat dia tersenyum riang. “Hi hon” sapanya dengan hangat.
“Gimana interviewnya?” suara laki-laki di seberang sana, yang adalah pacar Sabrina. Namanya Teddy, mereka sudah cukup lama berpacaran. Terlalu lama malah, di mana keluarga Sabrina sudah menganggap Teddy adalah bagian dari keluarga dan juga sebaliknya. Tidak hanya pacar, Teddy juga sahabat Sabrina, dimana dia bisa berkeluh kesah tanpa perlu khawatir untuk merasa dihakimi. Teddy adalah pendengar setia Sabrina, tempat dia menyandarkan kepala ketika sedang resah, tempat dia bercerita kalau ada kejadian lucu atau menyebalkan. Buat Sabrina, Teddy is her other half.
“Interesting” jawab Sabrina, dia terlintas sesi interview. Samudra mengenakan setelan suit berikut vest warna biru, terlalu terang untuk pria kebanyakan tetapi terlihat sangat pas untuk Samudra. Rambut agak gondrong apalagi untuk eksekutif seperti dia, tapi lagi-lagi rambut agak gondrongnya terlihat sangat pas.
“And…?” tanya Teddy di seberang sana menanti. Sabrina menggelengkan kepala cepat seperti ingin membuang bayangan Samudra dari kepalanya.
“You know SAP group, mereka nawarin paket yang sangat menggiurkan” dia kehilangan detail untuk menerangkan interviewnya, karena yang mondar – mandir di kepala adalah Samudra. Aneh pikirnya. “Will you take it?” tanya Teddy agak tidak sabar.
“It’s definitely an interesting offer, tapi…hhmm aku suka kerjaanku sekarang. Bu Rima dan para kolega sudah seperti keluarga” walaupun dia tidak mengatakan tapi dalam hati ada sesuatu yang mendorong dia untuk menerima pekerjaan di SAP group. Is it the money or Samudra? Beuh Samudra lagi pikirnya. Untung Teddy tidak bisa membaca pikirannya, kalau tidak….totally busted.
“Take it” kata Teddy. “Bagus buat karir kamu, apalagi kalau paketnya menarik kan?”.
“Aku pikir juga begitu” respon Sabrina, lagi-lagi dia bersyukur Teddy tidak bisa membaca pikirannya.
Tidak butuh waktu lama SAP group mengontak Sabrina untuk mengkonfirmasi bergabungnya dia ke perusahaan tersebut dan minta dipercepat. Dia sedikit playing hard to get, memberi tahu bahwa akan sulit untuk mempercepat waktu bergabung. Dua bulan paling cepat. Kalau mereka memang butuh aku mereka akan menunggu, pikir Sabrina. Dari yang dia tahu sepertinya SAP cukup ngebet untuk mendapatkannya. Lagi pula dia berencana untuk mengambil beberapa hari libur sebelum bergabung dengan SAP, bisa menghabiskan waktu berdua dengan Teddy ke Bali mungkin, atau ke Raja ampat? Semua orang sepertinya sudah pernah ke Raja ampat kecuali dia. jadi sepertinya ini ide yang brilian, walaupun Teddy tidak tahu menahu dengan ide fantastiknya.
Dia mulai meneliti web perjalanan ke Bali dan Raja ampat, membayangkan hal-hal yang bisa dilakukan berdua saja. Menikmati angin laut, tanpa memikirkan deadline dan target pekerjaan. How relaxing.
Ibu Rima sang bos tentunya sangat terkejut ketika Sabrina memberi tahu bahwa dia mengundurkan diri dari perusahaan. Bagi Ibu Rima Sabrina adalah salah satu tulang belakang perusahaannya, salah satu asset penting dan baginya Sabrina bukan hanya salah satu staf tapi juga keluarga. Tawaran yang diberikan sang bos membikin Sabrina berpikir ulang. Apakah keputusan bijak untuk berpindah pekerjaan?
“Stick to SAP” kata Teddy ketika dia minta pendapatnya. Sepertinya Teddy lebih antusias untuk Sabrina pindah ke SAP group. “Bigger company, bigger opportunity” begitu alasan Teddy, dalam hati Sabrina mengamini alasan tersebut. Membayangkan kesempatan yang akan dia dapat di perusahaan sebesar SAP group, travel, deal-deal yang lebih besar. Semuanya menggiurkan. Tetapi meninggalkan perusahaan dia sekarang juga bukan sesuatu yang mudah.
Dia menutup buku yang berada di tangannya lebih dari 30 menit tetapi tidak dibaca karena pikirannya sibuk menimbang pindah atau tidak pindah. Tiba-tiba sosok Samudra melayang-layang lagi dipikirannya. Samudra yang memakai suit elegan berwarna biru muda, duduk dengan jemari menopang dagu. Samudra yang mendengarkan Sabrina dengan seksama ketia dia berbicara, seolah – olah Sabrina adalah orang paling menarik di dunia.
Apa-apaan sih ini? pikir Sabrina sembari menepuk jidatnya sendiri. Sosok Samudra memang sering menjadi tamu tak diundang yang tiba-tiba muncul di kepala Sabrina. Dan tidak seperti jelangkung yang bisa pergi tanpa diantar, sosok Samudra ini cenderung malas beranjak dari pemikirannya.
Konyol!
Dia dikagetkan dengan bunyi handphone. Nomor tak dikenal, pikirnya. “Halo”.
“Halo, apakah saya berbicara dengan Sabrina larasati?” suara seorang laki-laki diujung sana. Suara yang…kok sepertinya dia kenal. Otaknya mencoba berpikir keras untuk mengingat siapa pemilik suara ini. “yes” jawab Sabrina singkat dan dia belum berhasil menemukan nama si pemilik suara.
“Halo Sabrina. Ini Samudra abimanyu dari SAP group”.
SAMUDRA!!
Mendadak pikiran Sabrina seperti melonjak. Dia menutup mulutnya dengan tangan seolah-olah takut Samudra bisa membaca raut muka kagetnya. But wait….kenapa dia menelpon jam, dia melirik jam ditangannya. Hampir jam 9 malam.
“Sabrina miss hard to get” lanjut Samudra dengan nada rileks bercanda. “Saya menelpon ingin berdiskusi tentang jadwal bergabung kamu ke SAP group”.
What?! Really?! Dia perlu menelpon sendiri tentang masalah ini? Tiba-tiba ada keinginan untuk bertemu dengan Samudra, melihat sosoknya lagi.
“Saya sudah berkomunikasi dengan pihak HR SAP” ajaibnya Sabrina bisa merespon dengan normal malah cenderung businesslike. Dia terheran – heran dengan responnya sendiri yang tidak sinkron dengan otaknya yang sedang berjumpalitan.
“About that, saya berharap kamu bisa mempercepat jadwal bergabung. Saya sudah menyiapkan big plan buat kamu tetapi ada beberapa hal yang harus saya diskusikan dengan kamu secepatnya” kata Samudra dengan nada persuasif tapi cukup tegas.
“Let me see what I can do” Sabrina merespon masih businesslike dan sedikit jual mahal.
“You can do by moving earlier” Samudra tetap persuasif.
Sabrina memberikan jeda beberapa saat, bukan karena berpikir tetapi lebih untuk memberikan kesan jadwal lebih awal benar-benar pilihan sulit. “Ok, mungkin dua minggu lebih awal?” no…no…no…bagaimana dengan rencana liburan bersama Teddy? Rileks di pantai? Menikmati angin laut?
“Make it three!” Samudra bersikeras.
“Mungkin saya bisa meluangkan satu hari di awal bulan depan untuk berdiskusi tentang plan pekerjaan?”
NO! What?! Why?
Sabrina mulai pusing sendiri dengan mulut dan otaknya yang kelihatan tidak sinkron, mungkin dia harus check ke dokter besok untuk memastikan tidak ada syaraf yang terganggu.
“Deal! Let me know kapan kamu bisa datang ke kantor ok” kata Samudra terdengar lega, dan biarpun tidak bisa melihat Sabrina yakin Samudra tersenyum di ujung sana. Dan dia membayangkan Samudra yang tersenyum, sambil menutup telepon. Sabrina melamun sejenak lalu menggelengkan kepala. Konyol! Pikirnya.
So, dia sudah membikin keputusan besar tanpa kekompakan antara si otak dan si mulut. Refleks Sabrina mencari nomor Teddy di layar handphonenya, harus bilang ke Teddy. Dia adalah orang tempat Sabrina berbicara kalau sedang sedih, gembira atau ada kejadian konyol seperti sekarang. Oh wait, jangan telpon. Bagaimana kalau Teddy cemburu. Pikirnya lagi, sembari mengerutkan alis. Tetapi bagaimana bisa cemburu, dia tidak selingkuh atau apa. It was only a business talk, pikir Sabrina mencoba menenangkan diri sendiri. Business talk! Dia mencoba menekankan pemikiran itu ke dalam otaknya, seolah – olah akan berhasil mebuat dia lebih tenang.
OK, mungkin bukan ide cemerlang untuk menelpon Teddy.
Bersambung....
SAMUDRA“Very formal” Samudra bergumam sembari masih menatap layar handphonenya. Sangat businesslike, pikirnya. Tapi memang apa yang bisa dia harap? Obrolan panjang lebar seperti teman lama, ngobrolin tentang kejadian hari ini, planning lunch esok harinya. Konyol, pikirnya lagi. Walaupun dia tanpa sadar berharap lebih dari sekedar pembicaraan telepon formal. Tapi paling tidak Sabrina bisa bergabung lebih awal, plus dia bisa datang lebih awal lagi untuk diskusi masalah pekerjaan. There is something to look forward to.But why?Ini kan urusan pekerjaan? Bukan kali pertama dia mempekerjakan seseorang. Jadi bukan sesuatu yang spesial. Tiba-tiba dia teringat “big plan” yang dia tawarkan ke Sabrina. Shit!Dia sendiri tidak tahu plan macam apa yang bisa disebut big. Ok, masih ada waktu buat berfikir. Dia bisa saja membikin – bikin sesuatu,
SABRINA D day. Hari pertama Sabrina akan bekerja di SAP group. Entah kenapa dia agak gelisah beberapa hari sebelumnya, bukan karena dia berpikir telah membuat keputusan yang salah tetapi resah menunggu untuk masuk kantor. Mencoba pekerjaan baru? No, definitely not that. Bos yang ganteng itu? Dia buru-buru menendang pikiran konyol itu dari dalam otaknya dan menggantinya dengan sosok Teddy. Sang pacar idaman yang sudah bertahun-tahun menemaninya dalam suka dan duka. Bahkan Teddy pun sangat suportif dengan keputusan Sabrina “akan sangat bagus buat karir kamu hon” begitu katanya, ketika Sabrina kelihatan agak ragu karena lokasi kantor SAP group yang cukup jauh dari kantor Teddy terutama dengan kemacetan Jakarta. “Kuningan – Sudirman sejauh apa sih” imbuh Teddy. Sore sebelumnya dia sibuk memilih outfit untuk keesokan paginya. Dia memang selalu menyiapkan outfit kerja sehari sebelumnya, tapi biasanya tidak serepot
SAMUDRA“Mon amour” Samudra merasa tidak senang terhadap laki-laki yang bahkan bertemupun belum pernah. Mon amour, pasti yang dia bilang “boyfriend” itu. How lucky, ada perasaan cemburu melintas. Tunggu? Cemburu?Kok bisa?Sabrina bukan siapa-siapa dia, hanya salah satu staf. That’s it! Ingat itu Samudra, dia adalah salah satu staf kamu dan pantangan buat kamu untuk berkencan dengan staf kamu!Pantang!Samudra mencoba mencamkan pemikiran itu dalah-dalah walaupun dia sendiri merasa kurang yakin.Dia mulai mengandai-andai pilihan untuk mendapatkan Sabrina, sebagai pacar tentunya. Bagaimana konsekwensinya dengan kantor. Tapi toh ini perusahaan dia, siapa yang berani protes. Lagipula dia bebas untuk jatuh cinta dengan siapa saja.Tunggu. Jatuh cinta?Jatuh cinta like falling in love? Samudra mengerutkan kening seolah – olah itu adalah ide ko
SABRINAOk, semua orang membicarakan tentang annual gala dinner. Even tahunan yang diadakan perusahaan. Semua hush dan fush tentang apa yang akan dipakai untuk gala dinner nanti. Fitri salah satu stafnya yang agak selalu pengen tahu sudah menanyakan dari awal “mbak Sabrina nanti mau pakai baju apa?”.Sejujurnya dia belum atau tidak sempat memikirkan outfit untuk dinner. Menurut ( lagi-lagi ) Fitri, even sekarang lebih spesial karena temanya adalah “red carpet moment”. Seolah-olah kita selebriti saja, pikirnya. Dia melihat e mail pemberitahuan tentang dinner ini minggu lalu, akan diadakan di salah satu hotel bintang lima yang berlokasi tidak jauh dari gedung kantor. Minimal praktis, tidak perlu berpikir akan terjebak kemacetan.“Mbak besok kita boleh selesai lebih awal yah, harus ke salon untuk blow rambut” oceh fitri dari seberang meja.
SAMUDRASambil menyapa satu grup ke grup lainnya dia meneliti ballroom hotel tempat gala dinner diadakan. Tidak ada Sabrina. Tidak bayangannya, apalagi sosok yang nyata. Apa dia terlalu keasyikan bekerja dan telat ke acara sosial kantor pertamanya?Samudra mendongakkan kepala setiap ada sosok masuk dari pintu luar. Sudah jam 7 lewat Sabrina masih tidak kelihatan batang hidungnya.Salah satu anak buah Sabrina menjawab “belum datang Pak” ketika Samudra menanyakan keberadaan sang manager. Mungkin dia harus menelpon, memberikan sedikit omelan kenapa dia belum datang padahal acara akan dimulai beberapa menit lagi. Walaupun yang sebenarnya Samudra hanya ingin memastikan kehadiran Sabrina.Dia berjalan ke arah pintu keluar sembari merogoh handphone dari dalam kantong suitnya. Mencari nomor Sabrina dari kontak handphonenya. Sebelum dia sempat menekan tombol “telepon” di layar handphonnya dia melihat sosok itu.
SABRINASenin pagi seperti biasa. Sibuk!Orang cenderung agak stress di hari senin. Why? Bukannya setiap minggu orang selalu bertemu dengan hari senin, sama dengan bertemu dengan hari selasa, rabu kamis dan selanjutnya? Paling tidak untuk Sabrina hari senin menyenangkan. Hari senin ini lebih tepatnya. Dia tidak berbohong, kadang dia juga merasa stress dan berat untuk berangkat bekerja di hari senin. Tapi sepertinya masa-masa itu sudah berlalu, sekarang dia merasa lebih bersemangat ke kantor.Tidak ada alasan untuk stress.Seperti pagi ini. Sudah ada respon dari Paris untuk proposal bisnisnya. Ini akan menjadi bisnis deal terbesar dia selama beberapa bulan bergabung dengan SAP group. Kata sang bos, ini akan menjadi deal terbesar untuk team A selama ini. Jadi belum lama dia bergabung dengan SAP group sudah membikin break through. Salah satu alasan untuk happy.Oh ya, sang bos yang super duper ganteng itu. Layakny
SAMUDRAAnother nice morning!Samudra bersiul ringan memasuki walk in closet nya yang berukuran besar. Meneliti deretan kemeja dan jas yang tergantung rapi. Dia memilih setelan jas kotak-kotak warna biru dipadankan dengan kemeja warna biru muda. Meneliti deretan koleksi jam mahalnya, kali ini dia memilih silver rolex favoritnya.Menyeruput secangkir kopi yang dia racik sendiri dari mesin kopi yang di pesan khusus dari Italy. “It’s another good day” gumamnya ringan. Tiba-tiba dia membayangkan seandainya ada orang lain yang menemaninya memulai pagi, berada di sisinya ketika dia bangun, bersama menyeruput kopi pagi. Seandainya ada orang lain.Seandainya ada Sabrina di sisinya setiap hari.Dia tersenyum kecil. Tidak lama lagi dia akan bertemu Sabrina. Walaupun hanya di kantor, bisa memandang wajah Sabrina membuat dadanya membuncah penuh kebahagiaan.Dengan ringan dia berjalan ke
SABRINAPak Samudra dengan Cora?Wow.Dia tahu bahwa bosnya adalah playboy kelas ulung, tapi Cora ada di level berbeda dengan para perempuan yang pernah dikencani bosnya. CORA!Dia salah satu penyanyi papan atas untuk saat ini, sangat bertalenta, dengan suara emas yang sangat unik. In a short, very impressive! Bahkan Sabrina ngefans berat dengan Cora. Selama ini penyanyi ini selalu bersih dari gossip, dan tahu-tahu…BAM! Foto dia dengan bosnya ada di mana-mana. Tentunya dia bukan siapa-siapa dibanding dengan Cora, pikirnya agak kehilangan kepercayaan diri. Lah memang kenapa pakai membandingkan diri dengan Cora segala?Tapi lagi-lagi siapa yang bisa menolak pesona sang bosnya. Dia bisa saja playboy, tapi dia muda, ganteng dan kaya. Bahkan Sabrina sendiri luluh lantak kesengsem dengan sang bos, tapi sekarang sudah terang benderang, seperti tengah hari yang terik sang bos berpacaran dengan Cora. Dia tersenyum asem, seperti
SABRINA “Si Pak bos Ke mana mbak?” tanya Sabrina ke Nia melalui sambungan telephon kantor. “Belum balik dari makan siang mbak,” jawab Nia. Dia mengerutkan kening, dia melirik jam di pergelangan tangannya sudah hampir jam 3 sore dan Samudra belum balik dari makan siang. “Memang ada business lunch mbak?” Tanyanya lagi. “Nggak tuh, tadi dia pergi sendiri” Mereka sudah berbaikan kembali, setelah dia berhasil mengusir Eloise dari ruangan kantor Samudra tempo hari. Tetapi setelah hari itu dia menemukan ada yang aneh dengan Samudra, dia terlihat lebih pendiam dari biasanya. Agak cool, dia memang selalu cool tetapi yang ini mencurigakan, membuat bulu kuduknya merinding seperti ada jelangkung yang bisa lewat setiap saat. Dia kembali “pulang” ke apartemen Samudra, bercinta lebih panas dari biasanya, mungkin ini karena faktor marahan selama beberapa hari. Tetapi seperti ada yang ditutupi oleh Samudra. Mudah-mudahan bukan El
Dia tersenyum mendapati kiriman bunga untuk ke dua kalinya. Perempuan mana yang tidak suka bunga? Dan Samudra tahu betul bunga favoritnya, mawar putih dengan warna pink di ujungnya. Dia membuka kartu kecil yang terselip di rangkaian mawar “je t’aime” tertulis disitu, lagi-lagi dia tersenyum kecil “I love you too” pikirnya. Dia memandang sekilas Samudra yang sedang berada dia di area kopi, ingin melemparkan senyum lebar tetapi dia tahan. Belum ada orang lain yang tahu mereka berpacaran, dan entah bagaimana reaksi para staf nantinya kalau mereka tahu sang bos rajin berkirim bunga kepadanya.Beberapa stafnya langsung menyerbu ke ruangannya, mengagumi rangkaian mawar putih keduanya dan tentunya memburu untuk mendapatkan informasi siapa pengirimnya. Sabrina hanya menjawab dengan senyuman. Belum waktunya, dia berfikir dalam hati, nanti kalau saatnya sudah tepat. Untuk saat ini cukup mawar-mawar putih ini saja yang bisa menjadi konsums
Dia memandangi Sabrina yang tengah asik tenggelam dengan bacaannya, kisah cinta antara Elizabeth Bennet dan Mr. Darci yang menurutnya terlalu angkuh. Buku itu terlihat sudah cukup usang, entah sudah berapa kali dibuka oleh Sabrina untuk membaca kisah percintaan pada abad ke 19 tersebut.Dia sendiri sedang memegang buku tentang camp Auschwitz, yang sudah beberapa saat dia coba untuk baca tetapi tidak satupun kata berhasil terekam di otaknya. Pikirannya berkecamuk tentang Eloise, dengan ciuman itu. Shit! Bagaimana dia akan menjelaskannya ke Sabrina.“What do you think about Mr. Darcy?” Tanya Sabrina tiba-tiba, dia menurunkan buku sehingga hanya menutupi setengah dari wajahnya.“I don’t like that arrogant dude.” “That arrogant dude? Hey … yang kamu bicarakan itu Mr. Darcy.” Katanya seolah tidak rela dengan perkataan Samudra. dia menurunkan bukunya, menampakkan seluruh wajahnya yang tetap ter
SABRINALebih gugup dari biasanya dia berjalan ke arah restoran tempat dia berjanji bertemu dengan Teddy untuk makan siang. Matanya berkali-kali menyapu keadaan sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang dia kenal melihat, apalagi Samudra.Ketika dia sampai di restoran Teddy sudah menunggu di sana, tersenyum sumringah menyambut kedatangannya. Melihat Teddy membuatnya sedikit lega walaupun dalam hati dia memendam rasa bersalah, dia sudah meminta Samudra untuk menyudahi hubungan dengan Eloise tetapi kenapa dia masih terus saja bertemu dengan mantan tunangannya di belakang Samudra.Baginya Teddy adalah smooth sailing, berlayar tanpa rintangan ombak, membelah biru lautan dengan lepas dan tanpa halangan. Entah kenapa dia meninggalkan cinta yang tenang tanpa ombak itu, untuk cinta lain yang penuh gejolak.“Hai, aku sudah pesenin makanan kesukaanmu.” Kata Teddy riang, tentu saja dia selalu tahu apa kemauan Sabrina, termas
SAMUDRAEloise harus dirawat di rumah sakit.Dia menemani wanita itu dari mulai ditangani di ruangan gawat darurat hingga akhirnya mendapatkan kamar untuk menginap. Harus mengenyampingkan dahulu janjinya ke Sabrina untuk tidak berhubungan lagi dengan Eloise, dia saat ini sedang butuh bantuan dan dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta.“Call me when you need anything ok.” Katanya, sebelum pergi meninggalkan rumah sakit dengan tidak tega. Bagaimanapun dia pernah sangat dekat dengan Eloise, dia pernah menjadi emergency contact wanita itu begitu juga sebaliknya, ketika mereka tinggal bersama di Paris. Meninggalkannya ketika dia sedang sakit membuatnya gundah.Sudah lewat tengah malam ketika dia sampai di apartemen. Mungkin Sabrina sudah tertidur, pikirnya. Walaupun dia tidak banyak berbicara ketika dia berpamitan untuk mengantar Eloise ke rumah sakit, dia tahu Sabrina tidak suka.Dengan berhati-hati dia membu
SAMUDRA“Jadi sekarang dia rajin berkunjung ke sini?” katanya, setelah Teddy meninggalkan mereka.Sabrina terlihat menghela nafas. “Aku tidak tahu, dia tiba-tiba saja muncul di sini.” Ada nada bersalah dalam kalimat Sabrina.“Nanti selanjutnya apa? Tau-tau dia berada di apartemen kamu?”“Jangan ngaco, mana mungkin.” Sabrina membuang muka, seperti tidak yakin dengan perkataannya sendiri. Samudra memandang wajah kekasihnya, atau paling tidak itu yang masih dia yakini, Sabrina masih kekasihnya. Dia menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di depannya ini. Pertama adalah masalah Eloise yang menurut Samudra sudah sangat jelas hanyalah kesalahpahaman belaka, sekarang seperti ada sesuatu yang terjadi antara dia dan mantan tunangannya.“So ... kamu sudah siap untuk bicara lagi dengan aku?” Katanya sembari menyandarkan punggungnya ke dinding. Sabrina menatap ke arahnya, da
SAMUDRA“Aku ke apartemen Teddy.”Satu kalimat pendek Sabrina, kalimat pendek yang terasa seperti hantaman tinju ke rahangnya. “We need to talk” katanya, setelah dengan susah payah dia menenangkan diri.Sabrina menatapnya lurus dan tajam. “Pertama kamu mencium dia, lalu kamu bermesraan berdua di bar hotel. Terlalu gampang menganggap bahwa dua kali adalah kebetulan belaka,” katanya sinis.Dia menarik nafas panjang, seperti maling tertangkap basah, sulit menjelaskan ke Sabrina bahwa pertemuannya dengan Eloise yang terakhir adalah murni ketidaksengajaan. “Aku pergi ke sana sendiri, lalu tiba-tiba Eloise muncul …”“That is very convenient,” sergah Sabrina cepat.“Aku tahu kamu marah, tapi bukan dengan melampiaskan bertemu dengan tunangan kamu,” dia tidak bisa menutupi kecemburuannya.“Mantan!” Sergah Sab
SABRINADia memarkir mobilnya di area parkir apartemen Teddy, terlihat ragu-ragu untuk keluar dari mobilnya. Setelah berdebat dengan diri sendiri dia memutuskan untuk menelpon Teddy tadi malam, belum sampai dering ke dua teleponnya sudah diangkat. Sepertinya Teddy juga sedang mempunyai insomnia seperti dirinya, suaranya tidak terdengar seperti baru saja bangun dari tidur.Dia menanyakan apakah bisa mampir ke apartemen Teddy untuk mengembalikan barang-barang miliknya yang masih berada di apartemen Sabrina.Bohong!Tentu saja, alasan mengembalikn barang hanyalah kedok belaka. Dia ingin bertemu dengan Teddy, ada atau tidak barang yang bisa dikembalikan.Dia menarik nafas sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Sudah lama dia tidak menjejakkan kaki ke area apartemen ini, terasa sangat lama. Dia memasuki lobby dengan gamang.“Mbak Sabrina”Dia menoleh untuk mencari suara yang memanggilnya. Ternyata satpam yang sudah
SABRINAApa aku tidak salah lihat? Pikirnya.Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Ternyata matanya masih sehat, hatinya yang berubah perih dan pilu melihat pemandangan di depannya. Tangan Samudra mengusap lembut pipi Eloise, lalu perempuan itu menggenggamnya sebelum mencium tangan Samudra. Sangat mesra. Samudra seperti menikmati momen itu, memandang lembut ke Eloise.Dadanya naik turun penuh kemarahan. Baru beberapa waktu lalu dia bilang bahwa dia mencintainya, sekarang dia sedang berasyik masyuk dengan perempuan yang sangat dibencinya itu. Dia merasa tertipu, sangat tertipu. Apakah dia telah salah menilai Samudra? Berulang kali Samudra mengatakan bahwa dirinya berbeda, dirinya sangat special buatnya, kini dia mulai meragukan perkataan Samudra. Sangat naif menganggap bahwa laki-laki playboy itu berubah setelah bertemu dengannya. Mungkin memang benar perkataan Eloise, dia tidak ada bedanya