SAMUDRA
Another nice morning!
Samudra bersiul ringan memasuki walk in closet nya yang berukuran besar. Meneliti deretan kemeja dan jas yang tergantung rapi. Dia memilih setelan jas kotak-kotak warna biru dipadankan dengan kemeja warna biru muda. Meneliti deretan koleksi jam mahalnya, kali ini dia memilih silver rolex favoritnya.
Menyeruput secangkir kopi yang dia racik sendiri dari mesin kopi yang di pesan khusus dari Italy. “It’s another good day” gumamnya ringan. Tiba-tiba dia membayangkan seandainya ada orang lain yang menemaninya memulai pagi, berada di sisinya ketika dia bangun, bersama menyeruput kopi pagi. Seandainya ada orang lain.
Seandainya ada Sabrina di sisinya setiap hari.
Dia tersenyum kecil. Tidak lama lagi dia akan bertemu Sabrina. Walaupun hanya di kantor, bisa memandang wajah Sabrina membuat dadanya membuncah penuh kebahagiaan.
Dengan ringan dia berjalan ke arah gedung kantor yang tidak terlalu jauh dari lokasi apartemennya. Dia sengaja membeli apartemen dekat dengan lokasi kantor untuk urusan kepraktisan. Tidak mau membuang waktu terlalu lama terjebak di kemacetan Jakarta, apalagi untuk seorang single seperti dia apartemen adalah pilihan lebih cocok dibandingkan dengan rumah.
Sabrina sudah berada di ruangannya ketika dia melewati area tengah kantor. Terbersit keinginan untuk mampir ke ruangannya sekedar mengucapkan selamat pagi, tapi dia bisa menahan. Dia tidak mau terjadi gosip kantor bahwa sang bos terlalu akrab dengan salah satu managernya. Still one full day ahead Samudra, one full day ahead. Pikirnya.
Managemen meeting. Rapat mingguan ini menjadi lebih menyenangkan semenjak ada Sabrina, apalagi untuk hari ini adalah kesempatan pertama dia bertemu langsung dengan Sabrina.
Ruangan sudah penuh dengan para manager begitu Samudra memasuki ruangan meeting. “Good morning” sapanya ringan ke semua orang, yang disambut dengan respon “selamat pagi Pak” dari para managernya. Dia melirik ke arah Sabrina yang sedang berbincang dengan kepala HRD sebelum mendongak dan mengucapkan selamat pagi ke arahnya. Samudra menikmati senyum Sabrina. Senyum formal, tetapi senyum tetaplah senyum.
“Apa kabar hari ini semuanya?”
Sebelum ada yang sempat menjawab, finance manager menyela untuk memberikan pengumuman dengan penuh semangat “Pagi Pak, ada kabar gembira dari salah satu kolega kita” umumnya dengan penuh senyum. Samudra menyandarkan punggung menunggu pengumuman dari kepala finance, juga para manager lain menunggu dengan penasaran.
“Sabrina is engaged!” dengan cepat dia mengambil tangan Sabrina dan mengacungkan ke seluruh penjuru ruangan, memperlihatkan jari manisnya yang bercincin. Sabrina terlihat salah tingkah, memberikan senyum yang dipaksakan dan menarik tangannya kembali ke meja.
Samudra terpaku. Bukan kabar yang dia nantikan. Dia tahu Sabrina sudah mempunyai pacar. Pacar bukan tunangan, tidak secepat ini. Tadi pagi dia baru saja membayangkan seandainnya Sabrina adalah orang yang menemaninya setiap hari, sekarang belum satu jam dia sudah bertunangan.
Dadanya mencelos, seperti kena tinju Mike Tyson, walaupun dia belum pernah ditinju olehnya. Dia sedikit melonggarkan dasi yang dia kenakan. Kenapa tiba-tiba dadanya jadi sesak, apa dia sakit?
Ucapan selamat mengalir dari ruangan, para manager perempuan bahkan dengan sangat tertarik melihat cincin yang melingkar di jari manisnya.
“Congratulations Sabrina” ucapnya sembari memaksakan tersenyum. Sabrina membalas dengan senyum kecil, ada sorot aneh dari pandangan matanya. Samudra mengalihkan pandangannya ke arah laptop yang dibawanya, tidak tahu mencari apa di sana. Dia hanya ingin mengalihkan perhatian dari pengumuman yang baru saja dia dengar.
Damn! This was supposed to be a good day!
****
Samudra meninju punching bag di tempat fitnessnya dengan sepenuh tenaga.
“Hey, take it easy….kamu mau bikin tangan kamu patah?” Thiery, instruktur fitnes pribadinya mengingatkan. Setiap pagi Samudra selalu meluangkan waktu untuk olah tubuh dengan instruktur pribadi sebelum berangkat ke kantor.
“Huuh” dengus Samudra, kali ini menendang punching bag seolah-olah benda mati itu adalah musuk terbesarnya.
“Ok…sepertinya aku harus menyelamatkan punching bag ini sebelum kamu bikin kocar kacir” Thiery selain instruktur pribadinya juga salah satu teman dekatnya. “Kasihan dia tidak bisa membela diri” lanjut Thiery.
“What will you do kalau cewek yang kamu suka bertunangan dengan orang lain ?” kata Samudra sambil meninju punching bag untuk terakhir kalinya.
“A-ha, itu alasannya kenapa si punching bag ini jadi sasaran?”
“Sebentar ada gitu cewek yang menolak kamu?” lanjut Thiery.
“Well…technically aku belum bilang apa-apa ke dia. Agak complicated situasinya”
“Complicated as …?”
“Dia salah satu manager di kantorku “ jawab Samudra dengan menghela nafas, “dan sekarang dia bertunangan” lanjutnya.
“Tunangan itu artinya belum menikah, yang artinya pula bisa berubah. Lagipula kamu Samudra abimanyu cewek mana yang bakalan menolak kamu”.
Cewek mana yang bakalan menolak dia? Cewek yang sekarang rajin memenuhi pikirannya, yang dilihatnya di kantor hampir setiap hari. Cewek yang sangat pintar dan anggun, cewek yang sekarang sudah menjadi tunangan orang lain.
Samudra mencoba menelaah perkataan Thiery, bergulat dengan pikirannya antara pantas atau tidak untuk tetap mengejar Sabrina dengan statusnya yang sudah bertunangan.
“Ngomong-ngomong secantik apa dia, cewek yang sudah bikin kamu kelimpungan itu ?” tanya Thiery s dengan cewek yang berhasil membikin seorang Samudra Abimanyu gundah gulana. Samudra mengambil handphone dari sudut lantai dan memperlihatkan photo Sabrina sewaktu gala dinner dengan gaun merahnya. Thiery bersiul “pantas kamu kalang kabut. Yakin dia bukan model atau artis?”.
“Dia salah satu managerku. Salah satu managerku yang paling brilian!” respon Samudra.
****
Nia menghambur masuk begitu melihat Samudra memasuki ruangan kerjanya. Belum sempat dia duduk Nia meletakkan dua tabloid di meja kerjanya, dua tabloid dengan wajahnya terpampang besar di halaman, tersenyum bersanding dengan Cora salah satu penyanyi Indonesia papan atas saat ini. “What is this?” tanyanya bingung.
“Bapak bikin gosip nggak briefing saya” jawab Nia agak terlihat sewot.
“Gosip apa?” Samudra terlihat lebih bingung.
“Ini” Nia menunjuk ke arah dua tabloid di meja Samudra. Nia membuka salah satunya dan membaca judul yang terpampang besar “Cora menundukkan sang pengusaha playboy” sambung Nia berapi-api. “Dan dari tadi pagi telpon saya tidak berhenti berdering, dari tabloid dan koran ingin mengkonfirmasi berita ini” cerocos Nia.
Samudra menghela nafas “tidak ada berita ataupun gosip, saya ketemu dia tempo malam, kebetulan. Saya malah nggak tahu ada wartawan yang photo”
“Jadi saya bilang apa ke wartawan?”
“Tell them the truth, tidak ada apa-apa….” Terdengar pintu diketuk sebelum Samudra menyelesaikan kalimatnya “masuk” lanjutnya.
Pintu terbuka dan Sabrina terlihat di ambang pintu “Oh…saya tunggu di luar?”
“No, come in” Samudra melambaikan tangan ke arah Sabrina dan matanya tertuju ke arah dua tabloid yang terpampang di meja bossnya. “Bapak trending topic hari ini” ucapnya agak tersenyum.
“Bad one or a good one?”
“Cora? saya pikir a good one” Sabrina menjawab masih tersenyum. Samudra mencoba mengartikan senyumnya, apakah ada kecemburuan di sana? Tapi untuk apa dia cemburu, toh Samudra hanya bossnya bukan pacar.
“That’s it Nia, thank you” Samudra menyudahi session dengan sekertarisnya.
“Besok-besok bapak harus briefing saya dulu sebelum berkencan dengan perempuan baru” Nia mengambil tabloid dari mejanya agak sewot dan keluar untuk menyelesaikan urusan dengan para wartawan tentunya.
Samudra hanya tersenyum dengan tingkah sekertaris andalannya tersebut.
“Yes Sabrina, tell me”
Sabrina duduk di seberang meja Samudra, menyerahkan map berisi simulasi bisnis dengan Pont Nord “Ini simulasi bisnis yang final, saya yakin mereka bisa menyetujui konsep ini”
Samudra meneliti dengan seksama “Ok, good. Kamu terbang ke Paris. Ini bisnis pertama kali kita dengan mereka, saya mau semuanya lancar”.
“Baik Pak, saya akan atur jadwal dengan mereka” Sabrina baru akan beranjak berdiri ketika Samudra berkata “I’ll join you”. Pemikiran yang tiba-tiba muncul dalam kepala Samudra, pergi ke Paris untuk memuluskan bisnis tentunya adalah pilihan tepat, tetapi pergi dengan Sabrina adalah ide brilian.
“Ke Paris Pak?” tanya Sabrina agak kaget dengan informasi tiba-tiba dari sang bos.
“Ya…Paris, bukan bogor” Samudra tersenyum. “Atur schedule dengan Paris lalu informasikan ke Nia untuk booking tiket dan hotel” lanjutnya.
Bersambung.....
SABRINAPak Samudra dengan Cora?Wow.Dia tahu bahwa bosnya adalah playboy kelas ulung, tapi Cora ada di level berbeda dengan para perempuan yang pernah dikencani bosnya. CORA!Dia salah satu penyanyi papan atas untuk saat ini, sangat bertalenta, dengan suara emas yang sangat unik. In a short, very impressive! Bahkan Sabrina ngefans berat dengan Cora. Selama ini penyanyi ini selalu bersih dari gossip, dan tahu-tahu…BAM! Foto dia dengan bosnya ada di mana-mana. Tentunya dia bukan siapa-siapa dibanding dengan Cora, pikirnya agak kehilangan kepercayaan diri. Lah memang kenapa pakai membandingkan diri dengan Cora segala?Tapi lagi-lagi siapa yang bisa menolak pesona sang bosnya. Dia bisa saja playboy, tapi dia muda, ganteng dan kaya. Bahkan Sabrina sendiri luluh lantak kesengsem dengan sang bos, tapi sekarang sudah terang benderang, seperti tengah hari yang terik sang bos berpacaran dengan Cora. Dia tersenyum asem, seperti
SAMUDRAParis.Sudah lama dia tidak ke sini, serasa sudah puluhan tahun yang lalu. Walaupun the city of love ini pernah sangat dekat dengannya. Samudra menghabiskan dua tahun di sini, dua tahun dalam hidupnya yang sangat membekas. Bertahun-tahun belakangan dia memilih menghindari kota ini, walaupun sebagai pebisnis dia banyak melanglang buana tetapi Paris adalah kota yang dia hindari.Trip kali ini adalah ide yang begitu tiba-tiba, tanpa rencana sebelumnya. Dengan qualiti sehandal Sabrina, kehadirannya tidak terlalu dibutuhkan. Tanpa diapun Sabrina akan berhasil menutup deal dengan mulus.Tetapi kenapa tidak? Kehadirannya adalah nilai plus dari sisi bisnis dan bisa berdua dengan Sabrina selama beberapa hari, walaupun itu harus di Paris.Nia sang sekertaris agak curiga ketika Samudra terkesan sangat picky dengan hotel. Dengan sangat tegas dia meminta hotel dengan the best view di paris, dan lagi-lagi Nia sang
SAMUDRASabrina memang manager yang sangat handal, seperti sudah dia prediksi, dia bisa menutup deal dengan sangat mulus. Mereka berdua berjalan ke arah hotel selesai makan malam bersama klien bisnis merena. “Well done Sabrina” puji Samudra, “tidak hanya sukses dengan deal satu ini bahkan sudah ada lampu hijau untuk bisnis yang lain. I am impressed”“Saya tidak akan berusaha untuk modest. I know what I am doing” kata Sabrina jenaka tetapi penuh percaya diri. Samudra tersenyum ke arah Sabrina, dia terlihat agak sedikit menggigil, mungkin jacket yang dia kenakan tidak cukup untuk menangkas udara malam musim gugur yang mulai dingin. Samudra membuka coat panjang yang dia pakai, dan mengenakannya ke pundak Sabrina. “There…this should keep you warm”.Agak kaget dia memandang ke arah Samudra, jelas-jelas tidak mengharapkan sikap dari sang bos. “Thank&
SABRINADia melangkah agak canggung di samping Teddy, celotehan Teddy hanya dia tanggapi dengan “e hem” atau “ya”. Merasa sangat bersalah dengan Samudra, dia bisa melihat jelas tatapan tidak suka Samudra ketika melihat Teddy yang walaupun dia coba tutupi dengan senyum ramah. Dia juga takut Teddy akan tahu bahwa dia sudah berselingkuh darinya.Jadi begini rasanya. Ini adalah pengalaman pertama dia berselingkuh dan dia bersumpah dia tidak ingin berselingkuh lagi. Tapi Samudra?It was so good and so right ketika dia bersamanya. Nggak tahu kenapa. Ternyata dia juga memendam rasa ke Sabrina, bahkan dia bilang dia mencintainya.Sabrina seperti terbang ke langit ke tujuh, kalau benar ada langit ke tujuh. Intinya dia Bahagia, super duper Bahagia. Dan sekarang dia setengah mati takut ketahuan.Aaarrgghh kenapa jadi complicated begini.“Hon…sudah sampai. Kamu dari tadi melamun terus&
SABRINA“Mau mampir ke tempatku?” tanya Samudra ketika mereka sedang “dinner rahasia” di tempat yang tidak terlalu rahasia.“Ada apa di tempat kamu?”“Mmmm…aku….and my foot prints all over the place”“Tidak terlalu menarik” kata Sabrina jenaka sambil menyendok makanan terakhir dari piringnya.“So….sudah berapa banyak wanita yang masuk ke apartmen kamu” Sabrina bertanya ketika mereka sedang di dalam lift menuju apartment Samudra.“Hmmm….kamu benar-benar pengin tahu?”. Sabrina mengangguk. “Aku nggak pernah menghitung”“Wow….that many eh?”Samudra merasa terjebak dengan jawabannya sendiri, “tapi tidak ada yang sespesial kamu?”.“Ya…ya….semua playboy bilang begitu”“Kamu menyesal…dengan…ak
SAMUDRADia tidak pernah merasa cemburu, paling tidak dalam waktu yang sudah cukup lama. Dia tidak perlu merasa cemburu ketika berkencan dengan entah berapa banyak wanita. Kali ini dadanya penuh sesak, marah, cemburu, semua menjadi satu. Tanpa Sabrina harus menceritakan dia bisa mengetahui apa yang terjadi di luar pintu. Ketika dia harus menunggu “bersembunyi”. Bersembunyi! Dia mendengus marah ketika kata itu terlintas di kepalanya. Bersembunyi seperti orang bersalah, bersembunyi karena dia adalah orang ketiga, orang yang tidak boleh diketahui oleh dunia. Dia seorang Samudra Abimanyu sebagai seorang selingkuhan. Lelucon yang sangat tidak lucu!Mereka masih terdiam semenjak meninggalkan apartemen Sabrina, dia mengemudikan mobilnya ke arah Sudirman. Samudra menggenggam erat kemudi mobilnya seolah-olah benda mati itu akan meloncat keluar kalau sedikit saja dia melonggarkan pegangannya.“I am sorry”
SABRINA“Sudah saatnya Sabrina….kalian sudah bertunangan beberapa bulan to. Ndak ilok kalau lama-lama” ibunya memberikan wejangan ketika mereka sarapan keluarga bersama di minggu pagi. Sarapan keluarga yang juga dihadiri oleh Teddy yang tadi pagi begitu semangat menjemputnya. Buat bapak dan ibu Sabrina, Teddy sudah termasuk keluarga. Tidak aneh ketika Teddy hadir di acara-acara keluarga Sabrina.Dia menghela nafas lirih, mencoba menyembunyikan keberatannya. Jujur dia tidak mau mengingat-ingat tentang tunangan, apalagi memikirkan tanggal pernikahan. Bagaimana dengan Samudra seandainya dia menikah? Sabrina menyeruput kopi di cangkirnya dengan perlahan, sengaja mengulur waktu untuk memberikan jawaban. Jawaban yang sejujurnya dia tidak punya. “Ibu ini…sekarang kan sudah jaman modern, masak masih ada istilah nggak ilok” hindarnya.“Ya kalau kamu tunangan tapi ndak nikah-nikah, itu namanya tidak ilok. Lha kamu
SAMUDRA Samudra menghela nafas dalam, seolah ingin mengeluarkan beban di dalam tubuhnya. Dia memutar kursi memandangi pemandangan Jakarta dari arah ruangannya. It’s gone! Dia pikir dia mendapatkannya, tapi ternyata tidak. Untuk beberapa saat dia merasa menjadi seseorang paling beruntung di dunia, tapi tidak berlangsung lama. Dia tahu dia merasa Bahagia ketika bersama Sabrina, tetapi dia baru sadar betapa membahagiakannya momen-momen tersebut. Sekarang, setelah dipastikan bahwa dia bukanlah laki-laki yang akan mendampingi Sabrina selamanya. Dia sudah lupa atau sengaja melupakan betapa sakitnya ditinggal seseorang yang sangat dia cintai. Dan sekarang lagi. I should have known better, pikirnya. Dia tahu Sabrina sudah bertunangan dan dia masih mecoba menjalin hubungan dengannya. I should prepare better, pikirnya lagi. Tiga hari setelah dinner dengan Sabrina dia belum bertemu dengannya lagi. Kebetulan jadwalnya sel
SABRINA “Si Pak bos Ke mana mbak?” tanya Sabrina ke Nia melalui sambungan telephon kantor. “Belum balik dari makan siang mbak,” jawab Nia. Dia mengerutkan kening, dia melirik jam di pergelangan tangannya sudah hampir jam 3 sore dan Samudra belum balik dari makan siang. “Memang ada business lunch mbak?” Tanyanya lagi. “Nggak tuh, tadi dia pergi sendiri” Mereka sudah berbaikan kembali, setelah dia berhasil mengusir Eloise dari ruangan kantor Samudra tempo hari. Tetapi setelah hari itu dia menemukan ada yang aneh dengan Samudra, dia terlihat lebih pendiam dari biasanya. Agak cool, dia memang selalu cool tetapi yang ini mencurigakan, membuat bulu kuduknya merinding seperti ada jelangkung yang bisa lewat setiap saat. Dia kembali “pulang” ke apartemen Samudra, bercinta lebih panas dari biasanya, mungkin ini karena faktor marahan selama beberapa hari. Tetapi seperti ada yang ditutupi oleh Samudra. Mudah-mudahan bukan El
Dia tersenyum mendapati kiriman bunga untuk ke dua kalinya. Perempuan mana yang tidak suka bunga? Dan Samudra tahu betul bunga favoritnya, mawar putih dengan warna pink di ujungnya. Dia membuka kartu kecil yang terselip di rangkaian mawar “je t’aime” tertulis disitu, lagi-lagi dia tersenyum kecil “I love you too” pikirnya. Dia memandang sekilas Samudra yang sedang berada dia di area kopi, ingin melemparkan senyum lebar tetapi dia tahan. Belum ada orang lain yang tahu mereka berpacaran, dan entah bagaimana reaksi para staf nantinya kalau mereka tahu sang bos rajin berkirim bunga kepadanya.Beberapa stafnya langsung menyerbu ke ruangannya, mengagumi rangkaian mawar putih keduanya dan tentunya memburu untuk mendapatkan informasi siapa pengirimnya. Sabrina hanya menjawab dengan senyuman. Belum waktunya, dia berfikir dalam hati, nanti kalau saatnya sudah tepat. Untuk saat ini cukup mawar-mawar putih ini saja yang bisa menjadi konsums
Dia memandangi Sabrina yang tengah asik tenggelam dengan bacaannya, kisah cinta antara Elizabeth Bennet dan Mr. Darci yang menurutnya terlalu angkuh. Buku itu terlihat sudah cukup usang, entah sudah berapa kali dibuka oleh Sabrina untuk membaca kisah percintaan pada abad ke 19 tersebut.Dia sendiri sedang memegang buku tentang camp Auschwitz, yang sudah beberapa saat dia coba untuk baca tetapi tidak satupun kata berhasil terekam di otaknya. Pikirannya berkecamuk tentang Eloise, dengan ciuman itu. Shit! Bagaimana dia akan menjelaskannya ke Sabrina.“What do you think about Mr. Darcy?” Tanya Sabrina tiba-tiba, dia menurunkan buku sehingga hanya menutupi setengah dari wajahnya.“I don’t like that arrogant dude.” “That arrogant dude? Hey … yang kamu bicarakan itu Mr. Darcy.” Katanya seolah tidak rela dengan perkataan Samudra. dia menurunkan bukunya, menampakkan seluruh wajahnya yang tetap ter
SABRINALebih gugup dari biasanya dia berjalan ke arah restoran tempat dia berjanji bertemu dengan Teddy untuk makan siang. Matanya berkali-kali menyapu keadaan sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang dia kenal melihat, apalagi Samudra.Ketika dia sampai di restoran Teddy sudah menunggu di sana, tersenyum sumringah menyambut kedatangannya. Melihat Teddy membuatnya sedikit lega walaupun dalam hati dia memendam rasa bersalah, dia sudah meminta Samudra untuk menyudahi hubungan dengan Eloise tetapi kenapa dia masih terus saja bertemu dengan mantan tunangannya di belakang Samudra.Baginya Teddy adalah smooth sailing, berlayar tanpa rintangan ombak, membelah biru lautan dengan lepas dan tanpa halangan. Entah kenapa dia meninggalkan cinta yang tenang tanpa ombak itu, untuk cinta lain yang penuh gejolak.“Hai, aku sudah pesenin makanan kesukaanmu.” Kata Teddy riang, tentu saja dia selalu tahu apa kemauan Sabrina, termas
SAMUDRAEloise harus dirawat di rumah sakit.Dia menemani wanita itu dari mulai ditangani di ruangan gawat darurat hingga akhirnya mendapatkan kamar untuk menginap. Harus mengenyampingkan dahulu janjinya ke Sabrina untuk tidak berhubungan lagi dengan Eloise, dia saat ini sedang butuh bantuan dan dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta.“Call me when you need anything ok.” Katanya, sebelum pergi meninggalkan rumah sakit dengan tidak tega. Bagaimanapun dia pernah sangat dekat dengan Eloise, dia pernah menjadi emergency contact wanita itu begitu juga sebaliknya, ketika mereka tinggal bersama di Paris. Meninggalkannya ketika dia sedang sakit membuatnya gundah.Sudah lewat tengah malam ketika dia sampai di apartemen. Mungkin Sabrina sudah tertidur, pikirnya. Walaupun dia tidak banyak berbicara ketika dia berpamitan untuk mengantar Eloise ke rumah sakit, dia tahu Sabrina tidak suka.Dengan berhati-hati dia membu
SAMUDRA“Jadi sekarang dia rajin berkunjung ke sini?” katanya, setelah Teddy meninggalkan mereka.Sabrina terlihat menghela nafas. “Aku tidak tahu, dia tiba-tiba saja muncul di sini.” Ada nada bersalah dalam kalimat Sabrina.“Nanti selanjutnya apa? Tau-tau dia berada di apartemen kamu?”“Jangan ngaco, mana mungkin.” Sabrina membuang muka, seperti tidak yakin dengan perkataannya sendiri. Samudra memandang wajah kekasihnya, atau paling tidak itu yang masih dia yakini, Sabrina masih kekasihnya. Dia menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di depannya ini. Pertama adalah masalah Eloise yang menurut Samudra sudah sangat jelas hanyalah kesalahpahaman belaka, sekarang seperti ada sesuatu yang terjadi antara dia dan mantan tunangannya.“So ... kamu sudah siap untuk bicara lagi dengan aku?” Katanya sembari menyandarkan punggungnya ke dinding. Sabrina menatap ke arahnya, da
SAMUDRA“Aku ke apartemen Teddy.”Satu kalimat pendek Sabrina, kalimat pendek yang terasa seperti hantaman tinju ke rahangnya. “We need to talk” katanya, setelah dengan susah payah dia menenangkan diri.Sabrina menatapnya lurus dan tajam. “Pertama kamu mencium dia, lalu kamu bermesraan berdua di bar hotel. Terlalu gampang menganggap bahwa dua kali adalah kebetulan belaka,” katanya sinis.Dia menarik nafas panjang, seperti maling tertangkap basah, sulit menjelaskan ke Sabrina bahwa pertemuannya dengan Eloise yang terakhir adalah murni ketidaksengajaan. “Aku pergi ke sana sendiri, lalu tiba-tiba Eloise muncul …”“That is very convenient,” sergah Sabrina cepat.“Aku tahu kamu marah, tapi bukan dengan melampiaskan bertemu dengan tunangan kamu,” dia tidak bisa menutupi kecemburuannya.“Mantan!” Sergah Sab
SABRINADia memarkir mobilnya di area parkir apartemen Teddy, terlihat ragu-ragu untuk keluar dari mobilnya. Setelah berdebat dengan diri sendiri dia memutuskan untuk menelpon Teddy tadi malam, belum sampai dering ke dua teleponnya sudah diangkat. Sepertinya Teddy juga sedang mempunyai insomnia seperti dirinya, suaranya tidak terdengar seperti baru saja bangun dari tidur.Dia menanyakan apakah bisa mampir ke apartemen Teddy untuk mengembalikan barang-barang miliknya yang masih berada di apartemen Sabrina.Bohong!Tentu saja, alasan mengembalikn barang hanyalah kedok belaka. Dia ingin bertemu dengan Teddy, ada atau tidak barang yang bisa dikembalikan.Dia menarik nafas sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Sudah lama dia tidak menjejakkan kaki ke area apartemen ini, terasa sangat lama. Dia memasuki lobby dengan gamang.“Mbak Sabrina”Dia menoleh untuk mencari suara yang memanggilnya. Ternyata satpam yang sudah
SABRINAApa aku tidak salah lihat? Pikirnya.Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Ternyata matanya masih sehat, hatinya yang berubah perih dan pilu melihat pemandangan di depannya. Tangan Samudra mengusap lembut pipi Eloise, lalu perempuan itu menggenggamnya sebelum mencium tangan Samudra. Sangat mesra. Samudra seperti menikmati momen itu, memandang lembut ke Eloise.Dadanya naik turun penuh kemarahan. Baru beberapa waktu lalu dia bilang bahwa dia mencintainya, sekarang dia sedang berasyik masyuk dengan perempuan yang sangat dibencinya itu. Dia merasa tertipu, sangat tertipu. Apakah dia telah salah menilai Samudra? Berulang kali Samudra mengatakan bahwa dirinya berbeda, dirinya sangat special buatnya, kini dia mulai meragukan perkataan Samudra. Sangat naif menganggap bahwa laki-laki playboy itu berubah setelah bertemu dengannya. Mungkin memang benar perkataan Eloise, dia tidak ada bedanya