SABRINA
D day.
Hari pertama Sabrina akan bekerja di SAP group. Entah kenapa dia agak gelisah beberapa hari sebelumnya, bukan karena dia berpikir telah membuat keputusan yang salah tetapi resah menunggu untuk masuk kantor. Mencoba pekerjaan baru? No, definitely not that. Bos yang ganteng itu? Dia buru-buru menendang pikiran konyol itu dari dalam otaknya dan menggantinya dengan sosok Teddy. Sang pacar idaman yang sudah bertahun-tahun menemaninya dalam suka dan duka. Bahkan Teddy pun sangat suportif dengan keputusan Sabrina “akan sangat bagus buat karir kamu hon” begitu katanya, ketika Sabrina kelihatan agak ragu karena lokasi kantor SAP group yang cukup jauh dari kantor Teddy terutama dengan kemacetan Jakarta. “Kuningan – Sudirman sejauh apa sih” imbuh Teddy.
Sore sebelumnya dia sibuk memilih outfit untuk keesokan paginya. Dia memang selalu menyiapkan outfit kerja sehari sebelumnya, tapi biasanya tidak serepot ini. Setelah tempat tidur dipenuhi tumpukan baju, akhirnya dia memilih blus putih pendek yang dipadankan dengan rok pensil dibawah lutut berwarna hitam. Pump heels warna hitam melengkapi outfit kerjanya. Simple, classic dan elegant!
Samudra sang bos sudah mengenalkan dia ke para staf di teamnya, juga lokasi kerja. Dia akan membawahi 10 orang di team A, cukup besar dibandingkan dengan kantornya yang dulu dimana dia hanya mempunyai 5 orang staf. Ruang kantornya cukup cozy, dengan view gedung perkantoran lainnya di kawasan bisnis Sudirman Jakarta.
Lift yang membawa dia ke lantai 20 di mana dia berkantor terbuka. SAP group mempunyai empat lantai penuh di gedung perkantoran ini dan ruangan kerja Sabrina satu lantai dengan ruangan kerja sang bos.
Dekorasi area resepsionis sangat mewah dan elegan, dengan beberapa sofa hitam untuk menunggu. Sang resepsionis yang sudah mengenali Sabrina menyambutnya tersenyum “silahkan ke ruangan Pak Samudra mbak” katanya dengan ramah. O hoo akan bertemu dengan the boss lagi, pikirnya. Tiba-tiba ada perasaan senang muncul.
Sekertaris Samudra, atau mulai dari sekarang Pak Samudra, yang bernama Nia mempersilahkan dia masuk. Melihat dari appearance sang bos yang muda dan tampan, ditambah dengan julukan womanizer Nia seperti seseorang yang salah tempat. Orang pasti akan membayangkan sekertaris Samudra adalah perempuan muda dan cantik. Tapi Nia jauh dari kategori itu. Nia adalah wanita keibuan yang terlihat sudah hampir mendekati 50 tahun, jauh dari kesan cantik apalagi sensual tetapi mempunyai aura yang sangat “sharp”. Mungkin kenapa dia menjadi sekertaris andalan Samudra, bukan karena fisik tapi kemampuan.
And there he is. Kali ini dengan setelah suit berwarna abu-abu, lagi-lagi sangat pas buat dia. Sabrina mulai berfikir bahwa laki-laki ini bisa saja mengenakan kaos oblong rombeng tetapi akan tetap terlihat ganteng. Rambutnya dipotong pendek sekarang, lebih bergaya eksekutif, dia berfikir mana yang lebih menarik, rambut agak gondrong atau pendek smart seperti sekarang. Hhhmm….dua-duanya.
Kepala HR juga berada di sana, menyambut Sabrina dengan senyuman ramah. Dia adalah laki-laki dengan aura kebapakan dan adem.
“Welcome Sabrina” Samudra berdiri, senyum hangat tersungging dari bibirnya. Dia menjabat tangan Samudra dalam jarak di mana dia mencium aroma after shave masculine yang lembut. Sabrina menghirup nafas dalam-dalam, memerintahkan otaknya untuk mengingat aroma ini. Ada getaran aneh setiap dia menjabat tangan Samudra, sesuatu yang pernah dia rasakan dulu. Dulu sekali, dia hampir lupa apa dan bagaimana rasanya.
Mungkin memang pindah ke perusahaan ini adalah keputusan yang sangat tepat, supaya dia bisa menikmati sosok tampan ini setiap hari. Well, technically tidak setiap hari karena sabtu minggu kan libur, pikirnya melantur.
Entah hanya pikirannya atau sang bos memang terlihat lebih ganteng dari terakhir kali mereka bertemu. Bahkan terlihat lebih charming dari photo di majalah yang dia lihat kemarin ketika dia ke salon. Bukan berarti dia perlu terlihat stylish atau apa di kantor baru, dia hanya perlu merapikan rambut. That’s it!
Sekalian blow.
O well, ya…supaya lebih fresh….dan stylish. Seperti dia bekerja sebagai model saja, yang perlu terlihat stylish untuk datang ke kantor.
Anyway dia melihat foto Samudra terpampang, dengan perempuan cantik tentunya di salah satu pesta yang terlihat glamor. Dia terlihat sangat tampan dengan tuxedonya, tidak kalah dengan bintang film manapun dan wanita yang menggandeng dia manja, who is she? Pacar?
Penasaran Sabrina mengoogle “Samudra Abimanyu”. Jujur, siapa yang menggoogle sang bos sebelum masuk bekerja. Perusahaan iya, tapi boss?
Berderet – deret artikel muncul tentang si pengusaha muda ini, tidak cukup satu halaman tentunya. Dan banyak foto-foto dengan perempuan yang berbeda-beda. Semuanya cantik.
Memangnya kenapa kalau dia berganti-ganti wanita. None of my business, pikirnya agak kesal.
Samudra memberi briefing sebentar sebelum bapak kepala HR membawa dia ke ruang meeting. Briefing lagi dengan sususan jadwal “pengenalan”. Ini salah satu yang dia tidak suka dengan tempat kerja baru, terlalu banyak pengenalan. Satu pengenalan saja dan biarkan dia terbang bebas untuk mengeksplorasi pekerjaan dia.
Dia meneliti sususan jadwal, tidak ada acara “pengenalan” dengan sang bos. Agak kecewa Sabrina menyemangati diri “I am here to work, bukan untuk flirting dengan sang bos!”.
****
Hari ketiga, dia mulai terbiasa dengan tempat kerja barunya. Para stafnya, business market, lokasi mesin kopi yang tentu saja sangat krusial karena dia tidak bisa memulai hari tanpa kafein. Lokasi yang ternyata juga sangat krusial di lantai ini, sang bos yang ternyata suka membuat kopi sendiri ketimbang menyuruh salah satu dari dua sekertarisnya itu. Dan setiap dia berada di ruangan kopi – begitu dia menyebutnya, mendadak tempat itu ramai dengan para staf terutama perempuan yang terlihat terlalu ramah. Seperti semut mengerumuni gula. Sang bos adalah gulanya, bukan si mesin kopi tentunya.
Lokasi mesin kopi yang hampir berada di seberang ruang kerjanya, membuat Sabrina suka mengamati “fenomena” gula dan semut ini. Fenomena yang sedang terjadi, sekarang !
Sang bos yang hari ini mengenakan kemeja maroon dengan dasi berwarna sedikit agak tua dan pantalon abu-abu. Laki-laki mana yang pergi ke kantor dengan kemeja maroon?
Si bos! Dan yap, warna apapun sangat cocok di badannya.
Beberapa staf wanita berkerumun di sekitar sang bos, terlihat sangat ramah dan mungkin bertanya “Bapak terlihat ganteng deh hari ini” atau “Will you take me to dinner pak…please…please” dengan nada klepek-klepek. Ok, itu cuman halusinasi Sabrina belaka. Di lain pihak sang bos terlihat meladeni “keramahan” para stafnya dengan sopan. Huuu…dasar laki-laki, pikirnya kesal.
Sabrina menatap layar laptopnya dengan sesekali melirik ke arah lokasi mesin kopi. Dia belum mendapatkan jatah kafein pagi ini, menimbang-nimbang antara pergi ke arah kerumunan itu sekarang untuk secangkir kopi atau menunggu sampai si gula pergi. Tiba-tiba kopi menjadi hal krusial yang sulit untuk diputuskan. Dia mendongakkan kepala ke arah mesin kopi untuk mengecheck kerumunan, dan tiba-tiba pandangan matanya bertemu dengan Samudra yang untuk alasan yang sangat jelas tidaklah jelas sedang melihat ke arah Sabrina.
Smile….not to smile? quick decide!
Sabrina mengangguk sembari tersenyum tipis dan dengan cepat-cepat mengarahkan pandangan ke arah laptopnya lagi. Phewww….hampir saja tertangkap basah, pikirnya.
Dia menyibukkan diri melihat deretan e mail di inboxnya, walaupun pikirannya masih penuh dengan Samudra dan senyumnya. Fokus Sabrina, kamu di sini bekerja bukan untuk flirting dengan bos kamu. Perintahnya ke diri sendiri.
“Selamat pagi” suara dalam seperti penyiar radio yang sudah dia kenal.
“Selamat pagi Pak” jawab Sabrina mencoba serileks mungkin, seolah-olah kejadian mereka kebetulan bertatapan pandang bukanlah hal besar. Samudra berjalan ke arah meja kerja dia dan duduk di seberangnya. Lagi-lagi aroma maskulin yang lembut itu. Bagaimana mungkin dia bisa fokus bekerja kalau kehadiran sang bos selalu sukses membuatnya salah tingkah.
“How is your third day? Sudah mulai biasa dengan kantor?”
Sudah pastinya, sudah terbiasa dengan kerumunan gula dan semut di area mesin kopi. Tapi oh noo…masih belum terbiasa dengan si bos yang sangat menawan ini.
“Semua orang di kantor sangat helpful” ya itu benar, tapi the boss…the boss…bagaimana kamu bisa terbiasa dengan makhluk tampan yang sekarang duduk di depan kamu ini. Ingat Sabrina kamu punya Teddy, yang selalu setia menemani kamu, mendengarkan cerita kamu, tertawa mendengarkan joke kamu yang tidak lucu. But look at that…cara dia memegang cangkir kopipun sangat menawan!
“Kalau kamu perlu bantuan apapun, ruangan saya selalu terbuka”
Sabrina mulai mengarang beberapa opsi yang memungkinkan untuk meminta bantuan sang boss. “Terimakasih Pak, team saya sangat membantu untuk mempermudah pekerjaan saya. But I will keep that in mind”.
Handphone Sabrina yang terletak ditengah meja berdering, nama “mon amour” dengan photo Teddy dibawahnya melunjak-lunjak dengan gembira seakan-akan memohon perhatian Sabrina. Agak salah tingkah dan canggung dia mematikan hanphone dan menaruhnya terbalik.
“Silahkan angkat telponnya. Sepertinya dari seseorang yang sangat penting” kata Samudra sambil tersenyum.
Bersambung....
Hello, selamat datang di novel pertama saya. Semoga para pembaca menikmati, enjoy
SAMUDRA“Mon amour” Samudra merasa tidak senang terhadap laki-laki yang bahkan bertemupun belum pernah. Mon amour, pasti yang dia bilang “boyfriend” itu. How lucky, ada perasaan cemburu melintas. Tunggu? Cemburu?Kok bisa?Sabrina bukan siapa-siapa dia, hanya salah satu staf. That’s it! Ingat itu Samudra, dia adalah salah satu staf kamu dan pantangan buat kamu untuk berkencan dengan staf kamu!Pantang!Samudra mencoba mencamkan pemikiran itu dalah-dalah walaupun dia sendiri merasa kurang yakin.Dia mulai mengandai-andai pilihan untuk mendapatkan Sabrina, sebagai pacar tentunya. Bagaimana konsekwensinya dengan kantor. Tapi toh ini perusahaan dia, siapa yang berani protes. Lagipula dia bebas untuk jatuh cinta dengan siapa saja.Tunggu. Jatuh cinta?Jatuh cinta like falling in love? Samudra mengerutkan kening seolah – olah itu adalah ide ko
SABRINAOk, semua orang membicarakan tentang annual gala dinner. Even tahunan yang diadakan perusahaan. Semua hush dan fush tentang apa yang akan dipakai untuk gala dinner nanti. Fitri salah satu stafnya yang agak selalu pengen tahu sudah menanyakan dari awal “mbak Sabrina nanti mau pakai baju apa?”.Sejujurnya dia belum atau tidak sempat memikirkan outfit untuk dinner. Menurut ( lagi-lagi ) Fitri, even sekarang lebih spesial karena temanya adalah “red carpet moment”. Seolah-olah kita selebriti saja, pikirnya. Dia melihat e mail pemberitahuan tentang dinner ini minggu lalu, akan diadakan di salah satu hotel bintang lima yang berlokasi tidak jauh dari gedung kantor. Minimal praktis, tidak perlu berpikir akan terjebak kemacetan.“Mbak besok kita boleh selesai lebih awal yah, harus ke salon untuk blow rambut” oceh fitri dari seberang meja.
SAMUDRASambil menyapa satu grup ke grup lainnya dia meneliti ballroom hotel tempat gala dinner diadakan. Tidak ada Sabrina. Tidak bayangannya, apalagi sosok yang nyata. Apa dia terlalu keasyikan bekerja dan telat ke acara sosial kantor pertamanya?Samudra mendongakkan kepala setiap ada sosok masuk dari pintu luar. Sudah jam 7 lewat Sabrina masih tidak kelihatan batang hidungnya.Salah satu anak buah Sabrina menjawab “belum datang Pak” ketika Samudra menanyakan keberadaan sang manager. Mungkin dia harus menelpon, memberikan sedikit omelan kenapa dia belum datang padahal acara akan dimulai beberapa menit lagi. Walaupun yang sebenarnya Samudra hanya ingin memastikan kehadiran Sabrina.Dia berjalan ke arah pintu keluar sembari merogoh handphone dari dalam kantong suitnya. Mencari nomor Sabrina dari kontak handphonenya. Sebelum dia sempat menekan tombol “telepon” di layar handphonnya dia melihat sosok itu.
SABRINASenin pagi seperti biasa. Sibuk!Orang cenderung agak stress di hari senin. Why? Bukannya setiap minggu orang selalu bertemu dengan hari senin, sama dengan bertemu dengan hari selasa, rabu kamis dan selanjutnya? Paling tidak untuk Sabrina hari senin menyenangkan. Hari senin ini lebih tepatnya. Dia tidak berbohong, kadang dia juga merasa stress dan berat untuk berangkat bekerja di hari senin. Tapi sepertinya masa-masa itu sudah berlalu, sekarang dia merasa lebih bersemangat ke kantor.Tidak ada alasan untuk stress.Seperti pagi ini. Sudah ada respon dari Paris untuk proposal bisnisnya. Ini akan menjadi bisnis deal terbesar dia selama beberapa bulan bergabung dengan SAP group. Kata sang bos, ini akan menjadi deal terbesar untuk team A selama ini. Jadi belum lama dia bergabung dengan SAP group sudah membikin break through. Salah satu alasan untuk happy.Oh ya, sang bos yang super duper ganteng itu. Layakny
SAMUDRAAnother nice morning!Samudra bersiul ringan memasuki walk in closet nya yang berukuran besar. Meneliti deretan kemeja dan jas yang tergantung rapi. Dia memilih setelan jas kotak-kotak warna biru dipadankan dengan kemeja warna biru muda. Meneliti deretan koleksi jam mahalnya, kali ini dia memilih silver rolex favoritnya.Menyeruput secangkir kopi yang dia racik sendiri dari mesin kopi yang di pesan khusus dari Italy. “It’s another good day” gumamnya ringan. Tiba-tiba dia membayangkan seandainya ada orang lain yang menemaninya memulai pagi, berada di sisinya ketika dia bangun, bersama menyeruput kopi pagi. Seandainya ada orang lain.Seandainya ada Sabrina di sisinya setiap hari.Dia tersenyum kecil. Tidak lama lagi dia akan bertemu Sabrina. Walaupun hanya di kantor, bisa memandang wajah Sabrina membuat dadanya membuncah penuh kebahagiaan.Dengan ringan dia berjalan ke
SABRINAPak Samudra dengan Cora?Wow.Dia tahu bahwa bosnya adalah playboy kelas ulung, tapi Cora ada di level berbeda dengan para perempuan yang pernah dikencani bosnya. CORA!Dia salah satu penyanyi papan atas untuk saat ini, sangat bertalenta, dengan suara emas yang sangat unik. In a short, very impressive! Bahkan Sabrina ngefans berat dengan Cora. Selama ini penyanyi ini selalu bersih dari gossip, dan tahu-tahu…BAM! Foto dia dengan bosnya ada di mana-mana. Tentunya dia bukan siapa-siapa dibanding dengan Cora, pikirnya agak kehilangan kepercayaan diri. Lah memang kenapa pakai membandingkan diri dengan Cora segala?Tapi lagi-lagi siapa yang bisa menolak pesona sang bosnya. Dia bisa saja playboy, tapi dia muda, ganteng dan kaya. Bahkan Sabrina sendiri luluh lantak kesengsem dengan sang bos, tapi sekarang sudah terang benderang, seperti tengah hari yang terik sang bos berpacaran dengan Cora. Dia tersenyum asem, seperti
SAMUDRAParis.Sudah lama dia tidak ke sini, serasa sudah puluhan tahun yang lalu. Walaupun the city of love ini pernah sangat dekat dengannya. Samudra menghabiskan dua tahun di sini, dua tahun dalam hidupnya yang sangat membekas. Bertahun-tahun belakangan dia memilih menghindari kota ini, walaupun sebagai pebisnis dia banyak melanglang buana tetapi Paris adalah kota yang dia hindari.Trip kali ini adalah ide yang begitu tiba-tiba, tanpa rencana sebelumnya. Dengan qualiti sehandal Sabrina, kehadirannya tidak terlalu dibutuhkan. Tanpa diapun Sabrina akan berhasil menutup deal dengan mulus.Tetapi kenapa tidak? Kehadirannya adalah nilai plus dari sisi bisnis dan bisa berdua dengan Sabrina selama beberapa hari, walaupun itu harus di Paris.Nia sang sekertaris agak curiga ketika Samudra terkesan sangat picky dengan hotel. Dengan sangat tegas dia meminta hotel dengan the best view di paris, dan lagi-lagi Nia sang
SAMUDRASabrina memang manager yang sangat handal, seperti sudah dia prediksi, dia bisa menutup deal dengan sangat mulus. Mereka berdua berjalan ke arah hotel selesai makan malam bersama klien bisnis merena. “Well done Sabrina” puji Samudra, “tidak hanya sukses dengan deal satu ini bahkan sudah ada lampu hijau untuk bisnis yang lain. I am impressed”“Saya tidak akan berusaha untuk modest. I know what I am doing” kata Sabrina jenaka tetapi penuh percaya diri. Samudra tersenyum ke arah Sabrina, dia terlihat agak sedikit menggigil, mungkin jacket yang dia kenakan tidak cukup untuk menangkas udara malam musim gugur yang mulai dingin. Samudra membuka coat panjang yang dia pakai, dan mengenakannya ke pundak Sabrina. “There…this should keep you warm”.Agak kaget dia memandang ke arah Samudra, jelas-jelas tidak mengharapkan sikap dari sang bos. “Thank&
SABRINA “Si Pak bos Ke mana mbak?” tanya Sabrina ke Nia melalui sambungan telephon kantor. “Belum balik dari makan siang mbak,” jawab Nia. Dia mengerutkan kening, dia melirik jam di pergelangan tangannya sudah hampir jam 3 sore dan Samudra belum balik dari makan siang. “Memang ada business lunch mbak?” Tanyanya lagi. “Nggak tuh, tadi dia pergi sendiri” Mereka sudah berbaikan kembali, setelah dia berhasil mengusir Eloise dari ruangan kantor Samudra tempo hari. Tetapi setelah hari itu dia menemukan ada yang aneh dengan Samudra, dia terlihat lebih pendiam dari biasanya. Agak cool, dia memang selalu cool tetapi yang ini mencurigakan, membuat bulu kuduknya merinding seperti ada jelangkung yang bisa lewat setiap saat. Dia kembali “pulang” ke apartemen Samudra, bercinta lebih panas dari biasanya, mungkin ini karena faktor marahan selama beberapa hari. Tetapi seperti ada yang ditutupi oleh Samudra. Mudah-mudahan bukan El
Dia tersenyum mendapati kiriman bunga untuk ke dua kalinya. Perempuan mana yang tidak suka bunga? Dan Samudra tahu betul bunga favoritnya, mawar putih dengan warna pink di ujungnya. Dia membuka kartu kecil yang terselip di rangkaian mawar “je t’aime” tertulis disitu, lagi-lagi dia tersenyum kecil “I love you too” pikirnya. Dia memandang sekilas Samudra yang sedang berada dia di area kopi, ingin melemparkan senyum lebar tetapi dia tahan. Belum ada orang lain yang tahu mereka berpacaran, dan entah bagaimana reaksi para staf nantinya kalau mereka tahu sang bos rajin berkirim bunga kepadanya.Beberapa stafnya langsung menyerbu ke ruangannya, mengagumi rangkaian mawar putih keduanya dan tentunya memburu untuk mendapatkan informasi siapa pengirimnya. Sabrina hanya menjawab dengan senyuman. Belum waktunya, dia berfikir dalam hati, nanti kalau saatnya sudah tepat. Untuk saat ini cukup mawar-mawar putih ini saja yang bisa menjadi konsums
Dia memandangi Sabrina yang tengah asik tenggelam dengan bacaannya, kisah cinta antara Elizabeth Bennet dan Mr. Darci yang menurutnya terlalu angkuh. Buku itu terlihat sudah cukup usang, entah sudah berapa kali dibuka oleh Sabrina untuk membaca kisah percintaan pada abad ke 19 tersebut.Dia sendiri sedang memegang buku tentang camp Auschwitz, yang sudah beberapa saat dia coba untuk baca tetapi tidak satupun kata berhasil terekam di otaknya. Pikirannya berkecamuk tentang Eloise, dengan ciuman itu. Shit! Bagaimana dia akan menjelaskannya ke Sabrina.“What do you think about Mr. Darcy?” Tanya Sabrina tiba-tiba, dia menurunkan buku sehingga hanya menutupi setengah dari wajahnya.“I don’t like that arrogant dude.” “That arrogant dude? Hey … yang kamu bicarakan itu Mr. Darcy.” Katanya seolah tidak rela dengan perkataan Samudra. dia menurunkan bukunya, menampakkan seluruh wajahnya yang tetap ter
SABRINALebih gugup dari biasanya dia berjalan ke arah restoran tempat dia berjanji bertemu dengan Teddy untuk makan siang. Matanya berkali-kali menyapu keadaan sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang dia kenal melihat, apalagi Samudra.Ketika dia sampai di restoran Teddy sudah menunggu di sana, tersenyum sumringah menyambut kedatangannya. Melihat Teddy membuatnya sedikit lega walaupun dalam hati dia memendam rasa bersalah, dia sudah meminta Samudra untuk menyudahi hubungan dengan Eloise tetapi kenapa dia masih terus saja bertemu dengan mantan tunangannya di belakang Samudra.Baginya Teddy adalah smooth sailing, berlayar tanpa rintangan ombak, membelah biru lautan dengan lepas dan tanpa halangan. Entah kenapa dia meninggalkan cinta yang tenang tanpa ombak itu, untuk cinta lain yang penuh gejolak.“Hai, aku sudah pesenin makanan kesukaanmu.” Kata Teddy riang, tentu saja dia selalu tahu apa kemauan Sabrina, termas
SAMUDRAEloise harus dirawat di rumah sakit.Dia menemani wanita itu dari mulai ditangani di ruangan gawat darurat hingga akhirnya mendapatkan kamar untuk menginap. Harus mengenyampingkan dahulu janjinya ke Sabrina untuk tidak berhubungan lagi dengan Eloise, dia saat ini sedang butuh bantuan dan dia tidak punya siapa-siapa di Jakarta.“Call me when you need anything ok.” Katanya, sebelum pergi meninggalkan rumah sakit dengan tidak tega. Bagaimanapun dia pernah sangat dekat dengan Eloise, dia pernah menjadi emergency contact wanita itu begitu juga sebaliknya, ketika mereka tinggal bersama di Paris. Meninggalkannya ketika dia sedang sakit membuatnya gundah.Sudah lewat tengah malam ketika dia sampai di apartemen. Mungkin Sabrina sudah tertidur, pikirnya. Walaupun dia tidak banyak berbicara ketika dia berpamitan untuk mengantar Eloise ke rumah sakit, dia tahu Sabrina tidak suka.Dengan berhati-hati dia membu
SAMUDRA“Jadi sekarang dia rajin berkunjung ke sini?” katanya, setelah Teddy meninggalkan mereka.Sabrina terlihat menghela nafas. “Aku tidak tahu, dia tiba-tiba saja muncul di sini.” Ada nada bersalah dalam kalimat Sabrina.“Nanti selanjutnya apa? Tau-tau dia berada di apartemen kamu?”“Jangan ngaco, mana mungkin.” Sabrina membuang muka, seperti tidak yakin dengan perkataannya sendiri. Samudra memandang wajah kekasihnya, atau paling tidak itu yang masih dia yakini, Sabrina masih kekasihnya. Dia menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di depannya ini. Pertama adalah masalah Eloise yang menurut Samudra sudah sangat jelas hanyalah kesalahpahaman belaka, sekarang seperti ada sesuatu yang terjadi antara dia dan mantan tunangannya.“So ... kamu sudah siap untuk bicara lagi dengan aku?” Katanya sembari menyandarkan punggungnya ke dinding. Sabrina menatap ke arahnya, da
SAMUDRA“Aku ke apartemen Teddy.”Satu kalimat pendek Sabrina, kalimat pendek yang terasa seperti hantaman tinju ke rahangnya. “We need to talk” katanya, setelah dengan susah payah dia menenangkan diri.Sabrina menatapnya lurus dan tajam. “Pertama kamu mencium dia, lalu kamu bermesraan berdua di bar hotel. Terlalu gampang menganggap bahwa dua kali adalah kebetulan belaka,” katanya sinis.Dia menarik nafas panjang, seperti maling tertangkap basah, sulit menjelaskan ke Sabrina bahwa pertemuannya dengan Eloise yang terakhir adalah murni ketidaksengajaan. “Aku pergi ke sana sendiri, lalu tiba-tiba Eloise muncul …”“That is very convenient,” sergah Sabrina cepat.“Aku tahu kamu marah, tapi bukan dengan melampiaskan bertemu dengan tunangan kamu,” dia tidak bisa menutupi kecemburuannya.“Mantan!” Sergah Sab
SABRINADia memarkir mobilnya di area parkir apartemen Teddy, terlihat ragu-ragu untuk keluar dari mobilnya. Setelah berdebat dengan diri sendiri dia memutuskan untuk menelpon Teddy tadi malam, belum sampai dering ke dua teleponnya sudah diangkat. Sepertinya Teddy juga sedang mempunyai insomnia seperti dirinya, suaranya tidak terdengar seperti baru saja bangun dari tidur.Dia menanyakan apakah bisa mampir ke apartemen Teddy untuk mengembalikan barang-barang miliknya yang masih berada di apartemen Sabrina.Bohong!Tentu saja, alasan mengembalikn barang hanyalah kedok belaka. Dia ingin bertemu dengan Teddy, ada atau tidak barang yang bisa dikembalikan.Dia menarik nafas sebelum akhirnya membuka pintu mobil. Sudah lama dia tidak menjejakkan kaki ke area apartemen ini, terasa sangat lama. Dia memasuki lobby dengan gamang.“Mbak Sabrina”Dia menoleh untuk mencari suara yang memanggilnya. Ternyata satpam yang sudah
SABRINAApa aku tidak salah lihat? Pikirnya.Dia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang salah dengan penglihatannya. Ternyata matanya masih sehat, hatinya yang berubah perih dan pilu melihat pemandangan di depannya. Tangan Samudra mengusap lembut pipi Eloise, lalu perempuan itu menggenggamnya sebelum mencium tangan Samudra. Sangat mesra. Samudra seperti menikmati momen itu, memandang lembut ke Eloise.Dadanya naik turun penuh kemarahan. Baru beberapa waktu lalu dia bilang bahwa dia mencintainya, sekarang dia sedang berasyik masyuk dengan perempuan yang sangat dibencinya itu. Dia merasa tertipu, sangat tertipu. Apakah dia telah salah menilai Samudra? Berulang kali Samudra mengatakan bahwa dirinya berbeda, dirinya sangat special buatnya, kini dia mulai meragukan perkataan Samudra. Sangat naif menganggap bahwa laki-laki playboy itu berubah setelah bertemu dengannya. Mungkin memang benar perkataan Eloise, dia tidak ada bedanya