“Kenapa harus menuruti semua permintaan Karina?” tanyaku tajam ketika Mas Rafli menjelaskan rencananya.
Dia baru pulang dari rumah Karina, dan kini dia mengatakan sesuatu yang bahkan lebih tak masuk akal. “Ada masalah dengan atap rumah Karina. Bocor, dan tukangnya nggak bisa langsung datang. Aku nggak mungkin biarkan dia dan anaknya tidur di rumah yang nggak layak,” jawab Mas Rafli dengan nada datar. “Kenapa harus kamu, Mas? Ada banyak orang lain yang bisa dia hubungi. Dia bisa menyewa jasa apa pun. Kenapa harus kamu yang selalu ada untuknya?” “Karina nggak punya siapa-siapa lagi,” katanya, suaranya mulai meninggi. “Dia cuma punya aku. Apa kamu nggak bisa mengerti itu?” Aku berdiri, memeluk perutku yang kian membesar. “Aku juga cuma punya kamu, Mas. Tapi apa aku harus teriak-teriak dulu baru kamu sadar kalau aku ini istrimu, dan aku sedang membutuhkanmu?” ucapku. Dia terdiam. Tapi bukan karena menyadari kesalahannya, melainkan karena kelelahan menghadapi argumen yang baginya tidak berarti. “Farah, tolong jangan buat ini lebih sulit. Aku akan pergi ke rumah Karina malam ini. Hanya untuk memastikan semuanya baik-baik saja.” “Dan kamu akan kembali kapan? Tengah malam? Besok pagi? Atau mungkin kamu tidak akan kembali sama sekali?” “Farah!” Mas Rafli membentak, membuatku tersentak. “Aku cuma ingin membantu Karina. Kenapa itu salah?” Aku memalingkan wajah, menahan air mata yang sudah hampir tumpah. “Pergi saja kalau begitu, Mas. Pergilah ke tempat yang lebih penting untukmu.” Dia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya mengambil jaketnya dan keluar rumah, meninggalkan aku dalam keheningan yang menyesakkan. Aku termenung menyadari kalau pernikahanku sudah di ujung tanduk. Tidak ada lagi yang dapat aku lakukan untuk mengubah Mas Rafli. Bahkan, dia tidak pernah mendengarkan ucapanku lagi. Malam itu terasa sangat panjang. Aku mencoba tidur, tapi bayangan tentang Mas Rafli di rumah Karina terus menghantuiku. Apa yang mereka lakukan sekarang? Apa dia bahkan memikirkan aku, istri yang dia tinggalkan begitu saja? Saat aku akhirnya tertidur, mimpi buruk yang sama menghantui. Aku melihat Mas Rafli tertawa dengan Karina, memeluk anaknya, sementara aku berdiri di sudut, tak terlihat. * Keesokan paginya, aku bangun dengan harapan Mas Rafli sudah pulang. Tapi rumah ini kosong. Sepi. Tak ada tanda-tanda dia kembali. Aku mencoba menghubunginya, tapi panggilanku tak dijawab. Pesan yang aku kirim hanya dibaca tanpa balasan. Aku memutuskan untuk memberanikan diri pergi ke rumah Karina. Jika Mas Rafli tidak mau menjelaskan, aku akan mencari tahu sendiri. Ketika aku tiba di sana, pintu rumah Karina terbuka sedikit. Aku mendengar suara tawa, suara anak kecil, dan suara Mas Rafli. Hati ini terasa seperti diremas. Aku mengetuk pintu dengan keras. Suara di dalam rumah terhenti seketika, lalu Karina muncul dengan senyum ramah yang terasa seperti ejekan. “Oh, Farah. Kamu datang,” katanya, seolah-olah aku adalah tamu yang tidak diundang. “Di mana Mas Rafli?” tanyaku langsung. “Dia sedang di belakang, memperbaiki atap. Kamu mau masuk?” Aku menatapnya tajam. “Tidak perlu. Aku hanya ingin tahu kenapa suamiku lebih memilih menghabiskan malam di sini daripada di rumah bersama istri yang sedang mengandung anaknya.” Karina tersenyum tipis, nyaris seperti kemenangan. “Farah, kamu harus mengerti. Mas Rafli hanya ingin memastikan aku dan anakku baik-baik saja. Itu bukan hal yang salah.” Aku menggeleng, mencoba menahan emosi. “Kamu tahu betul apa yang kamu lakukan, Karina. Kamu memanfaatkan dia. Kamu tahu Mas Rafli tidak bisa mengatakan tidak kepadamu.” Sebelum Karina sempat membalas, Mas Rafli muncul dari belakang, wajahnya kaget melihatku. “Farah? Apa yang kamu lakukan di sini?” “Apa yang aku lakukan?” aku tertawa, penuh kepahitan. “Aku yang seharusnya bertanya itu padamu, Mas. Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu berada di rumah wanita lain ketika istrimu sendiri sedang membutuhkanmu?” “Farah, ini bukan seperti yang kamu pikirkan,” katanya, mendekatiku. “Benarkah? Kalau begitu, jelaskan padaku. Jelaskan kenapa kamu lebih memilih Karina daripada aku.” Dia terdiam, seperti biasa. Dan itu membuatku semakin yakin bahwa dia tidak punya jawaban. "Kenapa kamu hanya diam, Mas? Bahkan, tidak bisa menjawab setiap ucapanku," ujarku. Mas Rafli memandangku sekilas seperti menilai kalau kecemburuanku pada Karina. Ketika suamiku itu membuka suara, hal yang menyakitkanlah yang kudengar. "Aku lebih dulu mengenal Karina dibandingkan dirimu, tolong mengerti kalau dia membutuhkanku. Dia adalah ibu tunggal yang tidak memiliki sandaran, Farah!" "Lalu, kamu menjadi sandarannya? Padahal kamu memiliki aku sebagai istrimu," ujarku penuh dengan kekesalan. "Farah, ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku dan Karina adalah sahabat, tolong pahamilah hal itu. Kamu akan lelah bila terus mencurigai kami," balas Mas Rafli. "Hubungan kalian patut dicurigai, Mas. Mengapa tidak kamu nikahi sahabatmu itu bila kamu terus memprioritaskan dia?" "Farah! Jaga ucapanmu," tegur Mas Rafli. "Bagaimana aku bisa menjaga ucapanku bila kelakuanmu seperti ini? Mana ada seorang suami yang menginap di rumah sahabat perempuannya bila tidak ada maksud lain?" Terus saja aku menuduh Maa Rafli. Pada kenyataannya dada ini sudah sangat sesak dengan semua kelakuan suamiku. "Aku pulang tadi malam, tapi kembali lagi pagi tadi saat kamu tertidur. Jangan menuduhku sembarangan, Farah," tukas Mas Rafli. "Kamu bohong, tidak ada tanda kamu pulang tadi malam." "Terserah kamu saja, Farah. Hatimu sudah dibuatkan rasa cemburu!" balas Mas Rafli. Mas Rafli menatapku dengan penuh amarah. Namun, tidak ada kata lagi yang terucap dari bibirnya. Aku memejamkan mata menahan semua emosi. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pulang. Mas Rafli sama sekali tidak mencegah kepulanganku atau mengikutiku. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti orang asing dalam pernikahanku sendiri. Malam itu, Mas Rafli pulang ke rumah tetapi dia kembali pergi ketika pagi menjelang. Dia mengatakan bahwa ada masalah lain yang perlu dia selesaikan di rumah Karina. “Berapa lama lagi, Mas? Berapa lama aku harus menunggu sampai kamu kembali menjadi suamiku?” tanyaku melalui telepon. “Farah, aku tidak tahu. Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik untuk semua orang.” “Semua orang, kecuali aku,” gumamku pelan, sebelum akhirnya menutup telepon. * Malam itu, aku menerima pesan dari nomor tak dikenal. "Farah, aku tahu kamu merasa terganggu dengan kedekatanku dan Mas Rafli. Tapi, jika kamu merasa pernikahanmu tidak berjalan baik, mungkin itu karena kamu sendiri yang tidak bisa membuatnya bahagia." Aku menatap pesan itu, tangan gemetar. Pesan ini jelas dari Karina. Dan aku tahu, dia tidak akan berhenti sampai aku benar-benar tersingkir. Dia menginginkan kehancuran pernikahanku. * Bersambung... Terima kasih telah membaca...Aku mengabaikan pesan dari Karina. Kalau aku semakin tersulut dengan ucapannya, dirinya akan semakin merasa menang. Kuhampiri suamiku yang baru pulang dari kantor. Mas Rafli sedang duduk sambil memainkan ponselnya.“Apa yang sebenarnya Karina inginkan darimu, Mas?” tanyaku di ruang tamu, memulai percakapan dengan nada lirih yang hampir tak terdengar. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak di dadaku.Dia menatapku dari deretan chat entah dari siapa. “Kenapa kamu terus-menerus mempermasalahkan ini, Farah?”“Karena aku merasa semakin hari aku kehilangan suamiku. Aku kehilangan kamu, Mas Rafli. Aku istrimu, tapi aku seperti tidak ada di hidupmu lagi.”Dia mendesah panjang, meletakkan korannya. “Farah, aku sudah bilang, Karina butuh bantuanku. Dia baru kehilangan suaminya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”“Dan aku? Aku ini siapa di hidupmu? Apakah aku harus menunggumu selesai mengurus Karina dulu baru kamu ingat kalau aku ini istrimu?” suaraku pecah, air mata mulai menggenang
"Jangan asal bicara, Farah. Justru, Karina yang memaksa aku untuk segera datang ke rumah sakit. Dia sangat peduli padamu," balas Mas Rafli membalas ucapanku.Mataku mengerjap mendengar semua ucapan Mas Rafli. Sangat mustahil bila Karina memaksa untuk segera datang. Kenyataannya, suamiku itu malah mengantarkan Alia ke rumah neneknya terlebih dahulu."Sudahlah, Nak Rafli. Farah terserempet motor hingga dirinya terbaring di rumah sakit. Syukurlah tidak terjadi apa pun dalam kandungannya. Bila memang kami peduli pada istrimu, seharusnya kamu yang pertama kali datang pada Farah," ujar Ibu angkat bicara.Aku menatap Ibu dengan nanar. Tidak pernah aku bermaksud membuat Ibu mengetahui tentang rumah tanggaku. Ditutupi seperti apa pun Mas Rafli tetapi membela sahabatnya."Seharusnya, Ibu bersyukur karena bisa saja Farah kehilangan janin yang ada dalam kandungannya," tukas Karina tanpa mempedulikan akibat dari ucapannya.Ibuku, Bu Reni adalah seorang perempuan yang lemah lembut. Dia membesarkank
"Hentikan ucapanmu itu, Farah. Kenapa kamu tidak pernah mengerti kalau aku dan Karina tidak memiliki hubungan lebih dari sekadar sahabat," ujar Mas Rafli dengan frustasi."Sahabat seperti apa yang kamu maksud, Mas? Sahabat yang selalu meminta tolong di setiap keadaan?" balasku dengan sinis. "Dia tidak memiliki siapa pun, Farah. Dia hanya memiliki diriku untuk bergantung!" tukas Mas Rafli.Mulutku ternganga tidak membalas ucapan suami yang telah membersamaiku selama dua tahun itu. Tidak menyangka bila kehadiran Karina dapat mengubah diri Mas Rafli.Mas Rafli menatapku tanpa rasa bersalah, aku tidak tahu lagi cara menyadarkan suamiku. Pria itu masih saja menyebutkan kalau Karina yang menjadi prioritas Mas Rafli saat ini. "Karina memiliki orang tua, Mas. Kamu tidak perlu repot meladeni setiap permintaannya," balasku dengan menahan emosi. "Sudah aku katakan dia hanya memilikiku, tolong mengerti bila kami hanya sekadar sahabat. Aku tidak mungkin menghancurkan persahabatanku yang sudah l
Aku merasakan kembali terbaring di rumah sakit. Kepalaku terus berputar, pusing melandaku. Kutatap langit putih bersih rumah sakit. Terlihat wajah Mas Rafli yang menungguku. Ada sesuatu yang salah di sini. Ibuku berada di sampingku menatapku dengan berbeda. Ada yang disembunyikan oleh keduanya."Apa yang terjadi?" tanyaku pada Mas Rafli."Kamu sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" jawab Mas Rafli membalikkan pertanyaan."Aku pusing, perutku juga sakit. Bagaimana keadaan anakku?" balasku.Dua orang yang sedang menungguku itu terdiam, tidak mengatakan apa pun. Hal itu semakin membuatku gelisah. Pasti ada yang terjadi dengan kandunganku."Apa yang terjadi? Semua baik-baik saja kan, Bu?"Air mata jatuh dari pipi ibuku. Seketika hatiku mencelos. Ada yang disembunyikan oleh kedua orang yang memandangku iba."Dia baik-baik aja, kan? Bayiku baik-baik saja?" tanyaku lagi. "Nak, kamu harus bersabar. Semua sudah takdir. Ibu akan selalu mendampingimu," jawab Ibu masih menangis.Pun Mas Rafli hanya
POV Rafli ..Sebelum Yudhi meninggal, aku segan untuk berdekatan dengan Karina. Dia merupakan sahabat karibku sejak SMA. Namun, semua berubah ketika Yudhi meninggal karena kecelakaan.Karina menjadi bergantung padaku, apa pun dia katakan padaku. Bahkan, tak segan dia memintaku untuk sesuatu yang sebenarnya bisa dia lakukan sendiri.Namun, semua itu membuat Farah terganggu, dia selalu mempertanyakan semua perhatianku pada Karina. Perempuan itu menjadi berubah dan sangat cerewet. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya."Kamu akan lelah bila terus mempertanyakan persahabatanku dengan Karina," ujarku pada saat Farah kembali merajuk. "Tapi, kamu selalu saja lebih mendahulukan dia dibandingkan aku yang sedang hamil anakmu." "Sudahlah, aku harus pergi ke rumah Karina. Dia membutuhkanku saat ini. Jangan berpikiran negatif tentang hubunganku dengan Karina," ucapku berusaha untuk pergi dari hadapan Farah.Sebenarnya itu adalah salah satu caraku untuk menghindari pertanyaan
POV Rafli.."Aku ingin kamu menjauhi Karina, tidak ada alasan lagi untuk terus bertemu dengan dirinya," ucap Farah dengan tenang."Sudah berulang kali aku katakan padamu, tidak ada hubungan antara aku dan Karina. Tidak perlu cemburu seperti itu," balasku.Aku merasa sangat aneh dengan sikap Farah. Selama ini aku memang lebih memperhatikan Karina dan tidak mengindahkan Farah. Apa sikapku membuat Farah berubah?"Kalau kamu masih ingin berhubungan dengan Karina silakan, Mas. Aku akan menggugat cerai dirimu. Kamu bisa bebas bertemu dengan Karina tanpa larangan dariku," ucap Farah dengan mata nanar. Kulihat mata Farah mencerminkan wajah yang putus asa. Tidak bisa aku memutuskan saat ini tentang hubunganku dengan Karina. Masih belum rela rasanya melepaskan diri dari sahabatku yang sudah menjanda itu. Padahal Karina masih memiliki orang tua, tetapi aku tidak tenang karena dia adalah sosok yang lemah lembut berbeda dengan Farah yang terlihat lebih mandiri. Namun, keadaan Farah yang baru s
POV Farah..Apa yang sebenarnya Mas Rafli inginkan dari pernikahan ini? Aku tidak pernah menginginkan pernikahan tanpa cinta yang dia berikan padaku, batinku dipenuhi dengan tanda tanya. Pernikahan tanpa cinta, itulah yang telah terjadi pada pernikahan kami. Meskipun, dia terus mengatakan kalau ingin mengubah keadaan ini. Aku tetap tidak bisa mempercayai ucapan yang dia katakan tanpa pembuktian yang jelas. “Hari ini, kamu dapat pulang. Benarkah kamu tidak ingin kembali ke rumah kita?” tanya Mas Rafli membuka pembicaraan di pagi hari."Aku menginginkan ketenangan. Kalau kamu tidak bisa ikut di rumahku tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu," jawabku yang sudah duduk di ranjang tempat tidur. Mas Rafli menggeleng, dia bersikeras untuk ikut ke rumahku. "Aku akan ikut bersamamu. Walau jarak kantor dan rumah Ibu cukup jauh. Aku tidak apa-apa," ujar Rafli."Terserah kamu saja, Mas," balasku kemudian mendahuluinya. Perawat membantuku menaiki kursi roda, Mas Rafli membantuku untuk naik ke mo
“Mas Rafli, aku ingin bicara,” ucapku sambil menatap punggungnya yang sibuk dengan telepon genggam.Dia mendongak sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. “Nanti saja, Farah. Aku sedang membalas pesan Karina.”Jantungku mencelos. Lagi-lagi, Karina. Aku mendekatinya, berdiri di depan sofa tempat dia duduk. "Apa yang dia mau sekarang?" tanyaku, mencoba terdengar tenang, meski dalam hatiku sudah berkecamuk."Alia sedang demam. Dia butuh seseorang untuk membantunya mengantar Alia ke dokter," jawab Mas Rafli tanpa menatapku.Aku berusaha menahan amarah yang perlahan menggerogoti kesabaranku. “Dia tidak bisa menghubungi orang lain? Bukannya Karina punya keluarga atau teman lain selain kamu?”Mas Rafli menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. “Kamu tahu sendiri, Farah. Setelah Yudhi meninggal, Karina tidak punya siapa-siapa. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian.”Nada suaranya seolah mengatakan bahwa aku ini tidak berperasaan, bahwa aku salah karena mempertanyakan perhat
POV Farah..Apa yang sebenarnya Mas Rafli inginkan dari pernikahan ini? Aku tidak pernah menginginkan pernikahan tanpa cinta yang dia berikan padaku, batinku dipenuhi dengan tanda tanya. Pernikahan tanpa cinta, itulah yang telah terjadi pada pernikahan kami. Meskipun, dia terus mengatakan kalau ingin mengubah keadaan ini. Aku tetap tidak bisa mempercayai ucapan yang dia katakan tanpa pembuktian yang jelas. “Hari ini, kamu dapat pulang. Benarkah kamu tidak ingin kembali ke rumah kita?” tanya Mas Rafli membuka pembicaraan di pagi hari."Aku menginginkan ketenangan. Kalau kamu tidak bisa ikut di rumahku tidak apa-apa. Aku tidak memaksamu," jawabku yang sudah duduk di ranjang tempat tidur. Mas Rafli menggeleng, dia bersikeras untuk ikut ke rumahku. "Aku akan ikut bersamamu. Walau jarak kantor dan rumah Ibu cukup jauh. Aku tidak apa-apa," ujar Rafli."Terserah kamu saja, Mas," balasku kemudian mendahuluinya. Perawat membantuku menaiki kursi roda, Mas Rafli membantuku untuk naik ke mo
POV Rafli.."Aku ingin kamu menjauhi Karina, tidak ada alasan lagi untuk terus bertemu dengan dirinya," ucap Farah dengan tenang."Sudah berulang kali aku katakan padamu, tidak ada hubungan antara aku dan Karina. Tidak perlu cemburu seperti itu," balasku.Aku merasa sangat aneh dengan sikap Farah. Selama ini aku memang lebih memperhatikan Karina dan tidak mengindahkan Farah. Apa sikapku membuat Farah berubah?"Kalau kamu masih ingin berhubungan dengan Karina silakan, Mas. Aku akan menggugat cerai dirimu. Kamu bisa bebas bertemu dengan Karina tanpa larangan dariku," ucap Farah dengan mata nanar. Kulihat mata Farah mencerminkan wajah yang putus asa. Tidak bisa aku memutuskan saat ini tentang hubunganku dengan Karina. Masih belum rela rasanya melepaskan diri dari sahabatku yang sudah menjanda itu. Padahal Karina masih memiliki orang tua, tetapi aku tidak tenang karena dia adalah sosok yang lemah lembut berbeda dengan Farah yang terlihat lebih mandiri. Namun, keadaan Farah yang baru s
POV Rafli ..Sebelum Yudhi meninggal, aku segan untuk berdekatan dengan Karina. Dia merupakan sahabat karibku sejak SMA. Namun, semua berubah ketika Yudhi meninggal karena kecelakaan.Karina menjadi bergantung padaku, apa pun dia katakan padaku. Bahkan, tak segan dia memintaku untuk sesuatu yang sebenarnya bisa dia lakukan sendiri.Namun, semua itu membuat Farah terganggu, dia selalu mempertanyakan semua perhatianku pada Karina. Perempuan itu menjadi berubah dan sangat cerewet. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya."Kamu akan lelah bila terus mempertanyakan persahabatanku dengan Karina," ujarku pada saat Farah kembali merajuk. "Tapi, kamu selalu saja lebih mendahulukan dia dibandingkan aku yang sedang hamil anakmu." "Sudahlah, aku harus pergi ke rumah Karina. Dia membutuhkanku saat ini. Jangan berpikiran negatif tentang hubunganku dengan Karina," ucapku berusaha untuk pergi dari hadapan Farah.Sebenarnya itu adalah salah satu caraku untuk menghindari pertanyaan
Aku merasakan kembali terbaring di rumah sakit. Kepalaku terus berputar, pusing melandaku. Kutatap langit putih bersih rumah sakit. Terlihat wajah Mas Rafli yang menungguku. Ada sesuatu yang salah di sini. Ibuku berada di sampingku menatapku dengan berbeda. Ada yang disembunyikan oleh keduanya."Apa yang terjadi?" tanyaku pada Mas Rafli."Kamu sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" jawab Mas Rafli membalikkan pertanyaan."Aku pusing, perutku juga sakit. Bagaimana keadaan anakku?" balasku.Dua orang yang sedang menungguku itu terdiam, tidak mengatakan apa pun. Hal itu semakin membuatku gelisah. Pasti ada yang terjadi dengan kandunganku."Apa yang terjadi? Semua baik-baik saja kan, Bu?"Air mata jatuh dari pipi ibuku. Seketika hatiku mencelos. Ada yang disembunyikan oleh kedua orang yang memandangku iba."Dia baik-baik aja, kan? Bayiku baik-baik saja?" tanyaku lagi. "Nak, kamu harus bersabar. Semua sudah takdir. Ibu akan selalu mendampingimu," jawab Ibu masih menangis.Pun Mas Rafli hanya
"Hentikan ucapanmu itu, Farah. Kenapa kamu tidak pernah mengerti kalau aku dan Karina tidak memiliki hubungan lebih dari sekadar sahabat," ujar Mas Rafli dengan frustasi."Sahabat seperti apa yang kamu maksud, Mas? Sahabat yang selalu meminta tolong di setiap keadaan?" balasku dengan sinis. "Dia tidak memiliki siapa pun, Farah. Dia hanya memiliki diriku untuk bergantung!" tukas Mas Rafli.Mulutku ternganga tidak membalas ucapan suami yang telah membersamaiku selama dua tahun itu. Tidak menyangka bila kehadiran Karina dapat mengubah diri Mas Rafli.Mas Rafli menatapku tanpa rasa bersalah, aku tidak tahu lagi cara menyadarkan suamiku. Pria itu masih saja menyebutkan kalau Karina yang menjadi prioritas Mas Rafli saat ini. "Karina memiliki orang tua, Mas. Kamu tidak perlu repot meladeni setiap permintaannya," balasku dengan menahan emosi. "Sudah aku katakan dia hanya memilikiku, tolong mengerti bila kami hanya sekadar sahabat. Aku tidak mungkin menghancurkan persahabatanku yang sudah l
"Jangan asal bicara, Farah. Justru, Karina yang memaksa aku untuk segera datang ke rumah sakit. Dia sangat peduli padamu," balas Mas Rafli membalas ucapanku.Mataku mengerjap mendengar semua ucapan Mas Rafli. Sangat mustahil bila Karina memaksa untuk segera datang. Kenyataannya, suamiku itu malah mengantarkan Alia ke rumah neneknya terlebih dahulu."Sudahlah, Nak Rafli. Farah terserempet motor hingga dirinya terbaring di rumah sakit. Syukurlah tidak terjadi apa pun dalam kandungannya. Bila memang kami peduli pada istrimu, seharusnya kamu yang pertama kali datang pada Farah," ujar Ibu angkat bicara.Aku menatap Ibu dengan nanar. Tidak pernah aku bermaksud membuat Ibu mengetahui tentang rumah tanggaku. Ditutupi seperti apa pun Mas Rafli tetapi membela sahabatnya."Seharusnya, Ibu bersyukur karena bisa saja Farah kehilangan janin yang ada dalam kandungannya," tukas Karina tanpa mempedulikan akibat dari ucapannya.Ibuku, Bu Reni adalah seorang perempuan yang lemah lembut. Dia membesarkank
Aku mengabaikan pesan dari Karina. Kalau aku semakin tersulut dengan ucapannya, dirinya akan semakin merasa menang. Kuhampiri suamiku yang baru pulang dari kantor. Mas Rafli sedang duduk sambil memainkan ponselnya.“Apa yang sebenarnya Karina inginkan darimu, Mas?” tanyaku di ruang tamu, memulai percakapan dengan nada lirih yang hampir tak terdengar. Aku tak sanggup lagi menahan gejolak di dadaku.Dia menatapku dari deretan chat entah dari siapa. “Kenapa kamu terus-menerus mempermasalahkan ini, Farah?”“Karena aku merasa semakin hari aku kehilangan suamiku. Aku kehilangan kamu, Mas Rafli. Aku istrimu, tapi aku seperti tidak ada di hidupmu lagi.”Dia mendesah panjang, meletakkan korannya. “Farah, aku sudah bilang, Karina butuh bantuanku. Dia baru kehilangan suaminya. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja.”“Dan aku? Aku ini siapa di hidupmu? Apakah aku harus menunggumu selesai mengurus Karina dulu baru kamu ingat kalau aku ini istrimu?” suaraku pecah, air mata mulai menggenang
“Kenapa harus menuruti semua permintaan Karina?” tanyaku tajam ketika Mas Rafli menjelaskan rencananya.Dia baru pulang dari rumah Karina, dan kini dia mengatakan sesuatu yang bahkan lebih tak masuk akal.“Ada masalah dengan atap rumah Karina. Bocor, dan tukangnya nggak bisa langsung datang. Aku nggak mungkin biarkan dia dan anaknya tidur di rumah yang nggak layak,” jawab Mas Rafli dengan nada datar.“Kenapa harus kamu, Mas? Ada banyak orang lain yang bisa dia hubungi. Dia bisa menyewa jasa apa pun. Kenapa harus kamu yang selalu ada untuknya?”“Karina nggak punya siapa-siapa lagi,” katanya, suaranya mulai meninggi. “Dia cuma punya aku. Apa kamu nggak bisa mengerti itu?”Aku berdiri, memeluk perutku yang kian membesar.“Aku juga cuma punya kamu, Mas. Tapi apa aku harus teriak-teriak dulu baru kamu sadar kalau aku ini istrimu, dan aku sedang membutuhkanmu?” ucapku.Dia terdiam. Tapi bukan karena menyadari kesalahannya, melainkan karena kelelahan menghadapi argumen yang baginya tidak ber
“Aku cuma butuh kamu sedikit lebih pengertian, Farah,” suara Mas Rafli memecah keheningan pagi. Dia berdiri di dekat meja makan, wajahnya tampak lelah namun tetap mencoba menampilkan kesabaran yang mulai menipis.“Pengertian?” aku meletakkan gelas di tanganku dengan sedikit keras, menatapnya tajam.“Seberapa pengertian lagi aku harus bersikap, Mas? Aku sudah mencoba memahami hubungan kalian, tapi ini sudah melewati batas. Karina tidak hanya bergantung padamu. Dia seperti menjadikanmu suaminya.” Aku benar-benar lelah dengan semua keadaan ini.Wajah Mas Rafli menegang. “Kamu terlalu jauh, Farah. Karina bukan orang seperti itu.”Aku tertawa kecil, penuh ironi. “Oh, tentu saja dia tidak terlihat seperti itu. Tapi apa kamu sadar, Mas? Setiap langkahnya, setiap permintaannya, selalu membuatmu memilih dia daripada aku.”“Dia tidak memilih, Farah,” ucap MasRafli membantah. “Aku yang memutuskan membantu dia karena dia membutuhkan itu. Kamu tahu sendiri, aku dan Yudhi bersahabat sejak lama. Aku