Fitonia kaget bukan main saat membuka pintu dan mendapati tamunya berpenampilan belepotan. Baunya pun menusuk hidung, sehingga dengan cepat ia menutup kedua lubang hidung.
Nirmala yang sudah menduga akan tanggapan sahabatnya itu langsung menyelonong masuk menuju kamar mandi. “Nggak usah tanya dan komen dulu. Nanti aku ceritain. Mau ke kamar mandi. Oke?” ucap Nirmala sambil tangan kirinya memberi isyarat untuk tidak mengeluarkan pertanyaan. Fitonia yang sudah hapal dengan tabiat sahabat yang ia kenal sejak SMA itu hanya bisa menahan tawa. Entah kekonyolan apa lagi yang dialami wanita unik itu. Meskipun sangat penasaran, dirinya menurut saja untuk diam dalam kepenasaran yang tinggi, dan memilih pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat. “Nia, aku pinjem handuk, dong! Badanku semua bau ini. Jadi mandi, deh,” ucap Nirmala dari dalam kamar mandi. “Ya. Handuk kamu juga masih ada di sini. Wait!” Lagi-lagi Fitonia menurut apa kata sahabatnya itu. Tak lama kemudian, ia sudah mengetuk pintu kamar mandi. “Makasih, yak. Nanti aku ceritain. Jangan tanya dulu.” Kepala Nirmala yang penuh dengan busa itu muncul di pintu, dengan badan berada di dalam kamar mandi. Sementara tangan kananya meraih handuk yang diberikan Fitonia. “Makasih, ya. Kamu memang sahabat terbaikku,” ucapnya sambil menutup pintu. Tak lama kemudian, Nirmala sudah berganti baju dan siap bercerita dengan teman curhatnya yang sedang asyik menonton TV. “Gila bener. Palaku hampir pecah.” Dengan masih sibuk mengusap-usap kepala yang ditutupi handuk, Nirmala duduk dekat sahabatnya. “Kenapa emangnya? Berantem lagi sama Anggara?” Fitonia menebak dan langsung dijawab dengan gelengan kepala sang lawan bicara. “Trus?” “Setelah sekian purnama kan, bapakku nggak pernah ngomong. Tau-tau tadi pulang kerja langsung bilang kalau ni malam, aku mau dijodohin. Sontak, dong, aku kabur. Yang bener aja!” Fitonia yang mengerti betul hampir semua cerita hidup sahabatnya itu, hanya bisa melongo. Kehidupan Nirmala memang penuh dramatis. Orangnya pun unik. Tapi, ia tidak menyangka jika ending dari perang dingin antara bapak dan anak itu akan berakhir dengan ide perjodohan. “Trus?” Fitonia tidak bisa berkata-kata, kecuali kata ‘terus’. Entah kenapa ia sangat penasaran dan hatinya tergambar selayaknya di musim semi—berbunga-bunga. “Waktu mau minta jemput Gara, ternyata bapak nyuruh orang buat nyariin aku. Cepet banget sadar kalau anaknya ini udah kabur. “ “Trus?” “Ih, kamu, mah, trus-trus-trus mulu. Nggak ada kata atau kalimat lain apa?” Nirmala yang tadinya sangat bersemangat bercerita, mendadak sewot. “Ya, kan, penasaran. Yang pasti nggak ketemu, ‘kan? Kalau ketemu, nggak mungkin kamu sampai sini. Hehehe.” Fitonia nyengir. “Aku ngumpet sampai di selokan. Tepatnya di bawah jembatan kecil deket gang rumah. Kamu tau, ‘kan? Ada bayangan, ‘kan?” Fitonia manggut-manggut sembari memorinya mengingat-ingat lokasi yang dimaksud lawan bicaranya. Sekali pun ia kenal Nirmala sudah lama, tapi baru beberapa kali ke rumahnya. Itu pun karena urusan sekolah atau pas sang sahabat itu sakit. Tidak lain alasannya adalah karena pak Harsono terkenal galak. “Untung musim kemarau. Air yang ngalir dikit. Coba kalau pas musim hujan? Beda lagi ceritanya. Bukan cuma basah. Hanyut kalik sampai muara. Mana sampahnya menggunung lagi. Sampah popok bayi! Dih, mana aku sempet terperosok gegara hampir ketahuan. Duh, pokoknya drama banget, deh.” Nirmala menyeruput minuman hangatnya. “Anyway, thanks, ya, minumannya.” “Trus, kamu ke sini naik apa dan sama siapa?” Fitonia sangat penasaran dengan jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan. “Nggak mungkin Anggara,” jawab Nirmala cepat dengan nada lesu. Jawaban Nirmala yang singkat membuat hati Fitonia tegang. “Tumben,” batinnya penasaran. Ia ingin menanggapi cerita lebih jauh, tapi urung. Ada sesuatu yang menarik kata-katanya masuk ke sarang. Mendadak sepi. Setelah menyebut nama kekasihnya itu, wajah Nirmala terlihat mendung. Kalau sudah begitu, sifat melankolis wanita ber-zodiak virgo itu pasti muncul. Fitonia yang sudah bersahabat lebih dari sepuluh tahun itu sudah sangat paham dan memilih diam. Suasana menjadi canggung. Bahkan, suara jangkrik di luar sana terdengar sampai dalam rumah. Fitonia baru saja hendak beranjak menuju kamar, tapi urung saat setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Nirmala kembali membuka obrolan. “Menurutmu, Anggara itu serius mau menikahiku nggak, ya?” Kedua netra Nirmala yang kecil menatap Fitonia penuh pengharapan. Fitonia yang tiba-tiba ditanya seperti itu tidak bisa langsung memberi jawaban. Ia kembali duduk dan mulai mencari-cari kata yang pas, agar sahabatnya tidak tersinggung. “Kamu udah cerita ‘kan, ke Gara, kalau kamu mau dijodohin?” Alih-alih membeberkan isi pikiran, Fitonia justru balik bertanya. Nirmala menggeleng. “Mana sempet. Telfon aja lama banget ngangkatnya. Chatting juga nggak dibalas. Giliran udah nyambung telfonnya, cuma bentar langsung ditutup. Alasannya selalu sama, toko dan ibunya. Kan, aku jadi mikir. Dia janji mau serius melangkah ke pelamina, tapi setiap aku bahas tentang nikah dan tanya kapan mau melamar, selalu ada aja alasan buat ngeles.” Mendengar penuturan sahabatnya itu, Fitonia kehilangan kata-kata untuk menanggapi. Ada sesak sekaligus kelegaan. Entah rasa macam apa ini. Sebagai orang yang berperan penting sebagai mak comblang sekaligus teman curhat sebegitu dekatnya, ia turut sedih mendengarnya. Namun, wanita lemah lembut itu tidak mau lebih lama lagi membohongi diri sendiri. Fitonia baru saja ingin mengucapkan sebuah kalimat, tapi mendadak ponsel Nirmala berdering, dan mengurungkan niatnya. Cepat-cepat wanita berdaster itu mengangkat telefon, sembari memberi isyarat pada sahabatnya bahwa yang bicara di seberang sana adalah Anggara. Dengan penuh kesadaran, sang sahabat pun mundur, meninggalkan keduanya mengobrol. Sejauh apa pun ia telah banyak membantu, tetaplah mereka yang menjalani dan harus memutuskan mau dibawa ke mana kisah kasihnya. Namun, tetap saja. Sekuat apa pun ia pura-pura cuek, akhirnya pikiran tetap tidak bisa lepas dari kelanjutan kisah Nirmala-Anggara. Wanita tinggi dan berkulit coklat manis itu baru hendak menuju ruang tamu, tapi mendadak mendengar tangis Nirmala pecah histeris. Cepat-cepat ia lari, dan alangkah kagetnya mendapati keadaan sang sahabat.“Apa? Kamu belum bilang sama ibumu?” Nirmala meradang mendengar pengakuan Anggara—kekasihnya—lewat telepon seluler. Gadis yang sebulan lalu genap berusia 27 tahun itu rela minggat dari rumah demi kekasihnya, tapi apa yang ia dapat? Janji bahwa sang pacar akan membawa Ibu beserta beberapa anggota keluarga untuk melamar, nyatanya hanya janji kosong belaka. “Kamu sudah janji, Bee!” Tangisnya seketika pecah. Kecewa tiada bisa lagi disembunyikan. Hampir saja tubuhnya ambruk, jika saja Fitonia tidak dengan sigap menenangkan sahabatnya itu. “Dosa besar apa yang telah aku perbuat, hingga cintaku harus tertambat pada pria pembohong dan pengecut seperti kamu? Huhuhu.” Gadis berbadan tidak lebih dari 155 sentimeter itu tidak bisa membendung air matanya lagi. Sementara itu, pria yang diajak bicara di seberang sana tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal tersebut membuat Nirmala sangat putus asa. “Kamu sudah ingkar janji berkali-kali, Bee! Huhuhu. Tiga kali kamu mengingkarinya. Tegan
Ketika sampai di rumah, Fitonia mendapati Nirmala sudah tertidur pulas di lantai bawah jendela, tanpa alas. Di sekeliling wanita yang tampak kelelahan itu begitu berantakan. Beberapa throw pillows yang awalnya tertata rapi di sofa bed, kini berserakan di lantai. Pun dengan throw blanket sudah berada di salah satu stool dengan kondisi sangat kusut. Fitonia hafal betul tabiat sahabatnya itu. Jika sedang marah atau depresi, tidak hanya gampang menangis, tangisannya pun bisa berjam-berjam. Ia juga termasuk orang yang baperan dan sangat menghayati hidup, baik bahagia atau pun sedih. Yang paling membuatnya sering jantungan adalah tindakan sang sahabat yang ekstrem. Nirmala tidak segan untuk melompat setinggi mungkin untuk mengekspresikan kesedihan, membenturkan benda ke lantai atau tembok, bahkan melukai anggota tubuh. Dirinya ingat betul bahwa terhitung sudah dua kali pergelangan tangan sahabatnya itu tergores karena drama keluarga. Sebenarnya, Fitonia ingin langsung beranjak istirahat
“Astaghfirullah, Mala! Apa yang kamu lakukan?” Fitonina langsung menarik tubuh Nirmala yang tengah beradu dengan tembok. Keningnya tampak sudah ada bagian yang menonjol dan berwarna biru lebam. “Lepaskan aku, Nia! Aku lebih baik mati jika tidak menikah sekarang dengan Anggara!” Masih dengan tenaga yang tersisa, Nirmala berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan sahabatnya. Seperti kerasukan setan, wanita mungil itu mengambil pisau ke dapur dan hendak mengiris salah satu pergelangan tangan. Fitonia yang kelelahan dan mengantuk harus berjuang mati-matian melawan hawa amarah sang sahabat. Untung saja badannya lebih besar sehingga mampu menguasai badan si lawan yang lebih ramping. “Sssttt! Sssttt! Tenang, Sayang. Tenang!” Seperti seorang Ibu yang baik, Fitonina mengusap-usap kepala Nirmala. Awalnya, wanita yang tampak putus asa itu masih ingin berontak dengan mengibas-ibaskan badan ke segala arah, tapi akhirnya gadis mungil itu tak berdaya kehabisan tenaga. Raungan suara yang t
“Itu pacar kamu kenapa ke sini, sih, Ga?” tanya Bu Diana pada putranya dengan suara setengah berbisik. Setelah berjabat tangan dan mempersilahkan tamunya duduk di ruang tamu, wanita berkaca mata itu langsung masuk ke ruang belakang. Tangannya menarik lengan sang putra—yang awalnya hendak menemani sang pacar di ruang tamu. “Ya memang, kenapa, Bu? Ya, silaturohmi, mungkin.” Dengan dipenuhi rasa takut dan was-was, Anggara menjawab. Beberapa detik melihat roman wajah sang ibu yang tampak kurang senang, ia pun melanjutkan perkataannya.”Atau mungkin ada yang ingin dia sampaikan, Bu. Penting. Hehehe.” Anggara nyengir. Padahal dalam hati, pria berkumis tipis itu tidak bisa mengontrol rasa dag-dig-dug yang menjajah jiwanya. “Penting apa, sih? Alasan! Mau ketemu kamu aja kali. Cewek kok, main ke tempat cowok begini. Tandanya cewek genit,” ucap Bu Diana sembari berjalan ke arah ruang tamu. Di sana sudah ada Nirmala yang deg-degan menunggu moment dirinya memberanikan diri meminta restu pada
“Aku sungguh kecewa sama kamu, Gara! Pokoknya, pilih aku atau ibumu. Titik!”Dalam perjalanan pulang dari rumah Bu Diana, Nirmala masih kuasa untuk menuliskan kalimat putus asanya di layar ponsel dan mengirimnya pada sang kekasih. Tangisnya yang tadi sempat berhenti, mendadak berderai kembali. Sapaan nama sayang ‘Bee’ kini tidak lagi digunakan, diganti dengan nama panggilan biasa karena saking kecewanya.Nirmala sungguh tidak mempedulikan banyak pasang mata yang menatap penuh pertanyaan dan nyinyiran. Fokus dan harapannya hanya satu, yaitu segera tiba di rumah Fitonia. Ia perlu untuk curhat dan meluapkan segala rasa kecewa hari ini. Jika tidak, jiwanya yang hancur berkeping-keping meminta tumbal mahal, sebagaimana dulu pernah ia lakukan—melukai diri sendiri.###Anggara masih terpaku menatap layar ponsel. Sebuah pesan dari kekasih membuat dirinya sangat terbebani. Tiba-tiba saja lamunannya buyar oleh tepukan tangan di punggung kanan.“Heh, malah nglamun. Itu ibumu perlu dirujuk ke ruma
Nirmala tertunduk lesu di pojok kamar. Beberapa jam setelah dirinya dikunci sang bapak, wanita yang berada dalam fase dewasa awal itu seperti orang linglung dan putus asa. Digenggamnya ponsel erat-erat sepanjang waktu. Tatapannya kosong. Sesekali dipandanginya benda di tangannya itu penuh harapan, lalu beralih ke arah jendela kamar yang berada di atasnya. Hidupnya benar-benar layaknya telah berada dalam tahanan. Dirinya tidak menyangka jika di tahun 2015 ini masih ada orang yang memenjarakan anaknya sendiri demi sebuah perjodohan. “Kukira Siti Nurbaya itu cuma ada di dongeng aja.” Kalimat yang terdiri dari delapan kata itu meluncur ringan dari hati terdalam. Bibirnya tersenyum getir. “Arghh!!!” Nirmala mengerang putus asa. Jikalau tidak ingat Blackberry yang ia genggam itu adalah hasil jerih payah kekasihnya, tentu sudah dibanting berkali-kali. “Kamu benar-benar membuatku gila, Gara!!! Bahkan, setelah kukirimi pesan itu pun, kamu tidak segera menghubungiku. Oh, kamu malah meno
“Apa?” pekik Nirmala setelah mendengar cerita dari seseorang di saluran telepon.Karena saking kagetnya, lengkingan suara Nirmala hampir saja terdengar hingga ruang tamu. Namun, saat itu suara ramah tamah antara keluarga Pak Harsono dan sang tamu yang begitu riuh, berhasil mengaburkan suara yang berasal dari kamar si gadis.“Ya, kamu tidak salah dengar. Bapak berhutang banyak pada keluarga Pak Jaksa. Rasanya tidak mungkin kita bisa menebusnya. Paling tidak dalam waktu dekat ini. Itulah mengapa, suka atau tidak, mau atau tidak, kamu jadi tumbalnya.”Suara di seberang telepon sana benar-benar sempurna membuat drama kehidupan Nirmala sangat mengenaskan. Seseorang yang seharusnya bisa menyelamatkan hidupnya, justru menghilang beberapa tahun lalu dan tiba-tiba datang membawa berita sangat buruk yang sangat mencengangkan.Butuh waktu beberapa detik untuk dirinya bisa berfikir dan menerima kabar mengagetkan tersebut. Air mata tidak lagi bisa keluar, padahal batinnya terus saja menjerit kesaki
Pertemuan itu sangat meriah, tapi tidak dengan suasana hati Nirmala yang sepi dan kacau. Pikiran tentang kekasihnya masih memenuhi otak. Sampai detik dirinya menyerah dan keluar kamar untuk berpartisipasi ke acara ramah tamah itu, Anggara sama sekali belum menghubungi. Hingga, keputusasaan dan kesedihan terpancar jelas di raut wajahnya yang manis.Tidak ingin tamu kehormatannya menaruh curiga dan kecewa, berulang kali Pak Harsono memberi sinyal pada sang istri untuk menyadarkan anak gadis untuk tersenyum ramah.“Tersenyumlah, Nak. Demi keluarga kita,” ucap Bu Harsono berbisik di telinga sang putri dengan lembut.Nirmala yang pikirannya sedang tidak di tempat segera tersadar oleh bisikan ibunya tersebut. Jika saja ia tidak ingat akan kata-kata dan pesan kakak laki-laki satu-satunya tentang masa depan sang ibu dan dirinya, tentu mengunci rapat-rapat bibir pasti akan dilakukan. Namun, dia tidak kuasa menerima kenyataan jika acara ini berakhir buruk, maka Bapak akan terimbas secara ekonomi
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Bu Vera pada putrinya yang beberapa langkah lagi menuju pintu mobil.Dengan mantap mantap, wanita yang masih terlihat pucat itu mengangguk seraya menjawab, “ya, Ma.”Merasa terharu, dipeluknya sang putri dengan penuh kasih.“Aku selalu mendoakan kebahagiaan kamu. Mama akan usahakan pengobatan dan terapi terbaik nanti di sana,” ucap Bu Vera tidak bisa menyembunyikan rasa haru. Wanita yang belakangan merasa begitu dekat dengan putri yang pernah ditinggalkannya itu berkali-kali mengusap usap pundak penuh kasih.Tidak hanya kedua wanita itu yang merasa berat untuk berpisah dengan kampung halaman, rumah kenangan, tapi juga Mbak Duwik. Wanita yang selama Bu Vera di sini selalu siap sedia diperintah itu ikut menangis penuh haru.Seperti mengerti perasaan wanita cekatan itu, Fitonia mendekat, memeluk dan berkata, “ terima kasih ya, Mbak Duwik, selalu ada buat kami.”Wanita yang tadinya mewek dengan suara pelan, kali ini justru sesenggukannya terdengar semakin keras
Nirmala, Pak Harsono, istri dan kakak perempuannya serempak saling pandang menatap dua orang lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Satu terlihat begitu bugar, gagah dan percaya diri, sementara satunya memancarkan sorot kesedihan mendalam, lemah dan pesimis. Beberapa kali, pria gagah menepuk-nepuk punggung pria tak berdaya di samping sambil mengangguk, seolah tengah menyalurkan kekuatan.“Assalamu’alaikum, Pak Harsono dan keluarga, bolehkah kami masuk?” Karena saking terpananya dengan apa yang dilihat, sekeluarga hanya bisa melongo dan sampai lupa mempersilahkan tamu segera masuk.“Oh, ya, Wa’alaikumsalam. Silahkan masuk,” ujar Bu Harsono seketika sadar.Istri Pak Harsono itulah yang paling awal melihat kedatangan dua pria beda usia tersebut menuju rumah, lalu lari ke kebun samping dan memberi tahukan bahwa ada tamu. Ia sangat penasaran dengan pria yang tengah menuntun calon menantu idamannya, sekaligus kaget dengan keadaan Anggara yang seperti sedang sakit.“Maaf jika kedatangan ka
“Benarkah itu Johan?” Bu Diana hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Sosok yang sebentar lagi pasti mengetuk pintu itu memang bisa dibilang jauh berbeda dengan suaminya dulu, tapi sebagai istri, ia masih tidak lupa dengan cara berjalannya yang gagah dan khas. Terlebih, saat tamu tak diundangnya mengetuk pintu tapi merasa tidak direspon dan wajahnya berusaha mengintai lewat kaca, Bu Diana kini yakin seratus persen bahwa orang tersebut adalah suami yang pernah diusirnya berkali-kali. Hal itu terlihat dari bekas luka sabetan benda tajam di wajah.“Ada apa si Johan kembali lagi ke sini? Bukankah sudah kusuruh tidak lagi menginjakkan kaki di rumah ini lagi? Berani sekali dia!” Bu Diana yang cukup pangling dengan penampilan sang tamu itu berkali-kali mengucek mata untuk memastikan.“Assalamu’alaikum...Assalamu’alaikum,” salam Pak Johan setelah ketukan pintunya yang berkali-kali tidak digubris.Nada suaranya yang kini terdengar adem dan lembut itu mengundang simpati Bu Diana. Wanita
Melihat sosok yang selama ini dirindukannya, Anggara merasa begitu lega. Kali ini, tidak lagi ada kecanggungan. Ia telah menemukan kembali kenyamanan berada di dekat seorang ayah seperti dulu waktu kecil sering bermain dan bercanda.Pak Johan langsung mempersilakan sang putra masuk ke kamar penginapan yang hanya dia sendiri di sana. Entah kebetulan atau memang sudah takdir, biasanya ia akan berada di sebelah tuannya kapan pun. Jika sedang tour kota semacam ini, kalau tidak tidur di pondok pesantren persahabatan, ya menginap di penginapan lengkap dengan tim.Namun, kali ini sungguh berbeda. Gus Hamdan, pendakwah muda yang tengah naik daun itu tengah membersamai istri tercinta pasca melahirkan di klinik dan kini telah dibawa ke rumah sakit khusus ibu dan anak demi mendapatkan fasilitas terdepan.“Bapak istirahatlah. Aku sudah pesankan kamar di penginapan dekat rumah sakit ini. Beristirahatlah setenang mungkin. Jangan pikirkan aku atau Ning. Tenang saja, ada Bik Fatimah dan beberapa sant
“Kabari Ayah kapan pun kamu mau. 082****.”Anggara memandang secarik kertas yang sepertinya ditulis dengan buru-buru itu penuh haru. Ia memang masih menyimpan kenangan indah bersama sang ayah sewaktu kecil dulu, sebelum pada akhirnya kepala rumah tangga itu diusir pemilik sah rumah itu. Dalam hati, ia memang berniat untuk kembali bertemu, bahkan ada secercah harapan untuk bisa hidup bersama lagi seperti dulu.Malam telah cukup larut. Jalanan sudah mulai sepi. Terlebih, klinik bersalin itu berada di pinggir kota. Di jam segini, mana mungkin ada kendaraan umum, kecuali ojek. Setelah berjalan dan bertanya beberapa orang, akhirnya ia menemukan tukang ojek yang langsung dimintanya untuk membawa pulang.Kali ini, ia sebisa mungkin menghentikan sementara pikiran tentang Pak Johan, Nirmala dan Fitonia. Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya yang dimiliki sang ibu, Anggara berpikir keras mencari kata yang hendak diucapkan saat bertemu dengan wanita single parent itu.Ia ingat betul bagaim
“Ma, istirahatlah. Aku baik-baik saja. Hanya, aku butuh obat tidur, terlelap, lalu bangun dalam keadaan siap menghadapi takdir yang ada. Maaf, telah membuat Mama, Papa dan keluarga kecewa, malu dan sedih. Setelah ini, aku berjanji tidak akan mengulanginya,” tulis Fitonia di pesan singkat, lalu mengiriminya pada sang mama, yang langsung lemas setelah membaca.Pak Rudi yang ikut membaca karena penasaran dengan penyebab sang istri langsung menjatuhkan diri ke dadanya itu juga tidak tahan untuk tidak bersedih. Terlebih, lelaki sukses itu merasa menyesal, mengapa baru kali ini datang ke mari, kenapa tidak kemarin-kemarin saat istrinya meminta.Ia sama sekali tidak menyangka jika putri sulungnya itu justru akan bertambah parah ketika berada di sini. Dikiranya, kesehatannya membaik karena waktu hendak pulang ke kampung halaman, dia melihat harapan dari senyum semangat sang putri. Ditepuk-tepuknya pundak sang istri seraya berucap,”dia gadis cerdas, pasti bisa bangkit segera. Papa yakin itu, M
“Bapak...” panggil Nirmala pada lelaki brewokan di teras rumah. Beberapa bulan tidak melihat, wajah Pak Harsono yang dulu hampir selalu rapi, kini tampak tidak terurus. Rambut-rambut dibiarkan tumbuh liar di wajah menambah kesan garang.“Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” cecar Pak Harsono sembari menatap tajam ke arah pasangan muda mudi yang terlihat tegang itu.Anggara menatap kekasihnya seolah memberi isyarat apakah dirinya harus jujur atau tidak. Seperti mengerti makna sorotan mata itu, Nirmala menggeleng pelan.“Maaf, Pak. Tadi, abis kontrol. Antriannya panjang, jadi sampai telat pulangnya. Bapak kapan pulang?” tanya Nirmala lirih penuh kehati-hatian.Bersamaan dengan jawaban putrinya, Bu Harsono yang mendengar suara sang suami yang cukup lantang tadi segera ke luar.Ditatapnya muda-mudi itu dengan sorot kecemasan. Sebagai seorang Ibu, Bu Harsono memiliki ikatan batin kuat kepada sang putri yang dari tatapannya seperti tengah meminta bantuan.“Oh, kalian sudah pulang,
“Kamu dari mana aja, Gara? Tante nyariin kamu kemana-mana, kirain ke toilet atau ke luar beli sesuatu.”Begitu sampai di depan ruangan tempat Nirmala diperiksa tadi, terlihat Tante Ayu tengah gelisah. Wanita yang tampak kelelahan dan kebingungan itu langsung lari menyusul saat melihat Anggara muncul.“Nggak dari mana-mana, Tante,” jawab Anggara singkat. Pikirannya masih tersangkut pada sosok yang baru saja ditemuinya.“Kamu lho, seperti linglung begitu. Ada apa? Oh, ya, Nirmala sudah siuman. Tadi Tante udah masuk sebentar. Ini mau jemput ommu di rumah Fitonia. Duh, suasana katanya kacau balau. Kamu di sini tunggu Nirmala, ya. Jaga kesehatan dan mental dia. Tante jemput om dulu,” pamit Tante Ayu terlihat tergesa-gesa.Anggara hanya mengangguk. Langkahnya lesu masuk ke ruangan yang sedari tadi ditunggui tantenya itu. Batinnya senang mendengar sang kekasih sudah siuman, tapi tetap saja masih terasa ada yang mengganjal.Melihat Nirmala menatapnya, ia berusaha tersenyum ceria. Diingatnya b
Melihat ekspresi putranya yang begitu terkejut dan panik, Bu Diana mendelik. Dicubitnya sang putra sebagai bentuk protes sekaligus permintaan untuk tetap duduk melanjutkan prosesi acara lamaran. Seperti tidak mau kehilangan kesempatan, wanita yang tidak menyangka akan ada kejadian tak terduga tersebut pun langsung meminta panitia untuk tetap melanjutkan acara.Ia mengajak calon besan untuk saling mengaitkan cincin di masing-masing calon pengantin. Namun, Anggara yang hatinya terkoyak melihat kekasih hati jatuh pingsan, tidak kuasa untuk bertahan. Ia bangkit tanpa memperdulikan pekikan dan larangan sang ibu. Dipapahnya wanita muda yang tidak sadarkan diri itu ke luar tempat acara.Tante Ayu yang menyaksikan adegan memilukan itu pun tergugah hatinya, lalu bangkit dan meminta kunci pada sang suami. Wanita yang sudah menganggap Nirmala sebagai anak sendiri itu pun menyuruh sang keponakan untuk memasukkan Nirmala ke mobilnya.“Tante yang nyupir,” ujarnya sigap membukakan pintu. Ia benar-be