Home / Fantasi / Nightmare / Sapu Tangan dan Darah 

Share

Nightmare
Nightmare
Author: rainy

Sapu Tangan dan Darah 

Author: rainy
last update Last Updated: 2022-04-01 17:30:27

Kuremas kuat sapu tangan usang berwarna putih, mencoba mencurahkan rasa benci pada sebuah benda mati. Sapu tangan dengan motif burung bangau yang terdapat dua buah huruf ‘R’ di salah satu sudut sapu tangan itu. Ada noda bekas darah mengering juga di sana.

Sapu tangan tersebut merupakan petunjuk satu-satunya yang bisa membawaku pada pelaku pembunuhan Ibu. Satu tahun lalu, Ibuku meninggal ditabrak lari oleh seseorang. Aku masih ingat bagaimana mengerikannya peristiwa itu. Peristiwa tersebut seolah masih terpatri jelas diingatanku, bahkan rasanya baru kemarin aku mengalaminya. 

Saat itu, Aku dan Ibu hendak menyebrang setelah pergi berbelanja bulanan bersama. Aku tak menyangka bahwa kegiatan belanja itu merupakan kegiatan terakhir yang bisa kulakukan dengan Ibu. Tak ada lagi dan tak akan pernah bisa kulakukan lagi setelah itu. 

Saat itu, keadaan jalan memang sangat lengang. Aku berjalan jauh mendahului Ibu, tanpa diduga mobil Honda Jazz berwarna putih melaju sangat cepat dari arah berlawanan. Aku terpaku, tak mampu melakukan apapun. Samar kudengar suara Ibu berteriak.

“Devlin, awas?!” teriak Ibu padaku.

Aku pasrah tak tahu harus melakukan apa,  mobil itu pun sudah sangat dekat dengan jarakku kini. Namun, sebuah tangan mendorong ku kuat ke tepi jalan. Suara benturan terdengar begitu melengking di telingaku. Seketika itu tubuhku lemas, kulihat dengan jelas tubuh Ibu tertabrak dan terpental hingga beberapa meter. Belanjaan yang dibawanya berhamburan tak tentu arah di tepi jalan.  Di tepi jalan yang lain, aku melihat Ibu yang begitu aku sayangi sudah terkapar lemah dengan darah segar yang tak henti mengalir di kepalanya. 

Kuberlari cepat. Kudekap erat tubuh Ibu yang berlumuran darah. Mataku memanas, air mata sudah berjatuhan tak terkira di pelupuk mataku. Ada rasa sakit tak terkira yang menjalari hatiku seketika. Rasa sakit yang tak terbendung nyerinya. Aku sempat mengutuk seseorang yang telah menabrak Ibuku itu.

Si pengemudi mobil putih itu pun sempat berhenti sekilas, menghampiri kami. Detik berikutnya dia berdiri mematung melihat apa yang sedang disaksikannya. Lalu, dengan tubuh gemetar dia kembali masuk ke mobil dan melajukan mobil dengan begitu cepat. 

Bodohnya aku yang hanya menangisi keadaannya, tanpa melakukan apapun. Aku bahkan tak sempat berteriak pada si pelaku tersebut. Dengan frustasi aku terus menangis dan bergumam,“Ibu, bangun!” 

Saat itu jalanan benar-benar sepi. Sangat dimaklumi karena jam memang sudah menunjukan pukul 11 malam, wajar jika jalan sangat sepi saat itu. Butuh sekitar beberapa jam. Entah bagaimana, setelah kejadian itu, polisi mengatakan bahwa ada sebuah sapu tangan yang tertinggal di tempat TKP. 

Mereka mengira bahwa itu milik Ibuku yang kuyakini  bahwa itu merupakan milik si pelaku. Sejak saat itu aku selalu membawa benda terkutuk itu kemanapun. Mencoba mencari tahu siapa pelaku tabrak lari Ibu. Sudah sejak satu tahun peristiwa itu berlalu, tapi polisi tak sedikitpun menemukan pelakunya, bahkan tak ada petunjuk apapun yang mereka dapatkan. Tak ada cctv di tempat kejadian. Entah bagaimana harus mencari si pelaku.

Seseorang menyikut tangan kiriku keras. Sekilas aku tersadar akan lamunanku, kejadian yang selalu aku anggap sebagai mimpi. Mimpi buruk yang tak pernah kuharapkan. Mimpi buruk yang mampu mengubah hidupku 180 derajat. Mimpi buruk yang mampu memberiku luka yang amat mendalam. Aku masih mau berharap bahwa ketika aku terbangun semuanya akan berjalan seperti dulu, hanya ada kebahagiaan dan Ibu masih menemaniku.

“Pak Bara memanggilmu beberapa kali!” bisik Satria yang lantas membuatku mengalihkan pandangan pada seorang pria paruh baya yang kini tengah berdiri di depan kelas dengan tatapan menuntut padaku.

Sungguh. Aku tak tahu apa yang tadi dibicarakannya. Pikiranku kosong, benar-benar tak mampu menebak percakapan yang terjadi.

Pak Bara merupakan guru baru di kelasku. Iya, di kelasku! Dia guru lama di sekolah ini, SMA 20 Pertiwi Raya. Dia telah mengajar bahasa Indonesia selama 10 tahun, namun ini merupakan kali pertama kelasku, sebelas IPA dua diajar olehnya. Dia merupakan guru pengganti, karena guru sebelumnya sedang cuti hamil.

“Perlu saya ulangi, Devlin?” kata-katanya begitu tegas lengkap dengan tatapannya yang juga tajam.

Tanpa menjawab, aku justru menatap Satria dan meminta penjelasan padanya. “Dia setuju pak, dia mau menjadi penanggung jawab atas semua tugas yang nanti bapak berikan pada kami.”

Aku menatapnya heran sekaligus sebal. 

Hey, apa-apaan ini?! apa maksudnya? Aku bahkan tak pernah menyetujui itu. 

Pak Bara tersenyum simpul, lalu berkata kembali “Pelajaran kali ini selesai, minggu depan kita lanjut dengan materi tentang membaca intensif.”

“Untuk kamu, Devlin, jangan lupa untuk mengkoordinir teman-temanmu agar mereka mengumpulkan tugas mengarang minggu depan dengan tepat waktu!”

kepalaku mengangguk pelan sebagai jawaban atas perintah Pak Bara. Detik berikutnya, dia berjalan keluar kelas masih dengan gaya tegasnya seperti biasa. Aku pun mengalihkan pandangan pada Satria yang masih asyik bermain game di gadgetnya

.

“ Lo kok nyanggupin permintaan Pak Bara ke gue, sih?”

“Ya, daripada lo bengong mulu kayak orang bego gara-gara nggak merhatiin dan malah ngelamun,” Satria mengalihkan perhatiannya dari game yang tengah dimainkan 

“lo ngelamunin peristiwa itu lagi?” dia menatapku dalam. Ada kekhawatiran yang begitu terlihat dari sorot matanya. 

Tak ada jawaban dariku. Aku malas menanggapi ucapannya. Aku yakin, sangat yakin bahkan, dia pasti akan mengatakan bahwa itu sudah berlalu dan aku tak berhak untuk mendendam pada orang yang telah membunuh Ibuku.

Itu gila?!

Bagaimana mungkin aku tak menyimpan kebencian terhadap orang yang telah merenggut nyawanya? Orang yang telat merenggut malaikat paling berharga dalam hidupku. Orang yang bahkan telah mengubah kehidupanku dan menorehkan luka yang sangat sulit disembuhkan

Bagaimana mungkin aku bisa memaafkan manusia seperti itu?! 

 

Bahkan jika Ibuku tak dibunuh pun aku sangat sulit menerimanya kehilangannya. 

Bagaimana mungkin aku bisa melupakan peristiwa itu?!

Oh aku sangat membencinya!

“Udahlah, toh lo udah nggak suka mimpi buruk lagi, kan?”

“ Iya, udah dari tahun lalu gue nggak pernah mimpi buruk lagi.”

“Syukurlah.” dia tersenyum. Sekali lagi entah mengapa aku merasakan kelegaan di setiap kata yang baru saja diucapkannya.

“Tapi gue masih belum ingat wajah si pelaku!”

suaraku bergetar saat mengatakannya. Ada perasaan sesal dan marah yang berkecamuk dalam hatiku. 

Aku memang sempat melihat wajahnya, tapi aku mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dimana aku kehilangan sebagian ingatanku. Sayangnya, ingatan yang hilang itu tentang wajah si pelaku. Jadi aku tak mengingat wajah si pelaku, bahkan walau sudah berpuluh kali aku melakukan konsultasi dengan psikolog. Sungguh. Aku berharap suatu hari nanti pelaku yang membunuh Ibuku bisa ditangkap dan dihukum dengan setimpal. 

Satria menepuk pundakku pelan, mencoba menguatkan dan memberikan semangat padaku. Dia memang sahabat paling baik. Dia selalu ada ketika aku dalam kesulitan. Beruntungnya aku karena Tuhan seolah selalu berusaha membuat kami bersama.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tyarasani
keren banget alurnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Nightmare   Lelaki yang Kutemui Pagi Itu

    Pagi itu jam di pergelangan tanganku masih menunjukkan pukul delapan pagi. Namun, aku sudah sibuk pergi ke ruang guru. Lalu berakhir dengan membawa bertumpuk-tumpuk buku yang harus aku berikan pada Pak Bara. Sekitar tiga puluh buku lebih dan aku harus membawanya sendiri. Bisa kau bayangkan betapa repotnya, bukan?Tak ada kah seorang pun yang bisa menolongku membawa buku-buku ini?Di antara kesibukan, aku terusik dengan suara gaduh yang berasal dari halaman belakang sekolah yang baru saja kulewati dan tertutupi oleh deretan kelas. Tertarik. Aku pun pergi untuk melihat siapa yang sedang berbuat onar di saat koridor begitu sepi.“Tangkep tas gue!” suara berat seseorang panik. Aku menatapnya lekat. Baiklah rupanya sedang ada seseorang yang mulai merasa bosan di sekolah dan memilih hengkang sebelum jam pelajaran berakhir.Kutarik tali tas yang hendak ia lemparkan, sebelumnya aku meletakan buku-buku menyebalkan yang kubawa terlebih dahulu di lantai.“Siapa lo?” katanya tegas. Ada kilatan am

    Last Updated : 2022-04-01
  • Nightmare   Ancaman

    Pagi ini aku begitu cemas pergi ke sekolah. Semalaman setelah bermimpi buruk, aku tak bisa tidur. Dari jam dua belas malam aku terjaga hingga pagi. Menyebalkan memang, tapi aku takut jika mimpi itu kembali menghantui tidurku.Pagi itu kelas masih begitu sepi, hanya terlihat Satria yang entah mengapa tiba-tiba dia begitu rajin. Dia sedang membaca sebuah buku Biologi dengan serius. Aku melangkahkan kaki pelan, menghampirinya. “Tumben amat lo belajar, biasanya juga dateng-dateng langsung tidur di kelas.” Dia tersenyum sekilas. Lalu kembali membaca buku.“Sat, ada yang mau gue ceritain sama lo.”Satria menatapku, fokusnya langsung beralih padaku. Pelan dia berkata “apa?”Aku menghela nafas dalam, kuharap satria mampu menenangkanku dengan kata-kata bijaknya itu.“Gue mimpi buruk lagi. Le tahu,kan? Setiap gue mimpi buruk, pasti itu pertanda kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi lagi, bahkan lebih parah lagi kadang mimpi-mimpi gu

    Last Updated : 2022-04-01
  • Nightmare   Teror

    Suara kaca pecah mengusik ketenanganku malam ini. Terlihat Mbok Iroh berlari khawatir ke arahku, wajahnya pucat pasi, seperti telah melihat hantu."Non, i-itu.. itu.. ada yang ngelempar batu sampe kacanya pecah. Terus ada.... " kata Mbok Iroh terbata tak mampu melanjutkan perkataannya."Ada apa mbok?" tanyaku ikut merasakan ketakutan yang dirasakan Mbok Iroh." Non lihat sendiri saja." Katanya yang lantas bergegas pergi. Aku pun mengikuti kemana arah kakinya melangkah.Halaman depan rumahku benar-benar berantakan, banyak batu-batu kerikil yang memenuhi teras depan rumah. Lalu ada sebuah kertas yang membungkus sebuah batu, kertas itu terletak di bawah jendela yang kacanya sudah pecah. Aku memungutnya. Tersentak. Pantas saja Mbok Iroh ketakutan setelah melihat benda ini. Di setiap sudut kertas itu terdapat bercak kemerahan mirip dengan darah yang mengering, ketika aku membuka dan mengambil kertas itu bertuliskan'KAU HARUS MATI?!! KAU

    Last Updated : 2022-04-01
  • Nightmare   Pembunuhan

    “Gue ngeliat cewek jatuh dari lantai tiga, dia lagi debat sama cowok di depan kelas kita. Gue ga tau itu siapa."Kataku frustasi ketika menjelaskan tentang perihal bayangan yang tiba-tiba singgah. Sesekali aku mengacak rambut hitam panjang milikku dengan keras.Beberapa kali itu juga mereka hanya menganggap bahwa itu bukan hal yang penting, itu hanya halusinasi semata. Oh ayolah! tapi firasatku berkata lain, ada sesuatu hal yang akan terjadi."Dev, berhenti berpikir yang aneh-aneh. Itu cuma halusinasi lo doang. Lo pernah denger ‘kan, kadang kalo kita mikirin sesuatu yang ga pernah terjadi secara berlebihan malah bakal jadi kenyataan? jadi stop mikirin hal begitu." Ujar Satria yang sempat menghentikan acara makannya sore itu."Iya, Dev. Enggak bakal ada peristiwa apa-apa percaya deh sama kita. Lagian ada kita-kita kok yang bakal jagain lo.""Iya, lo tuh ya bisa ga sih jangan mikirin hal yang begituan. Liat deh lo udah jarang ngur

    Last Updated : 2022-04-01
  • Nightmare   Barang Bukti

    Nafasku masih memburu seiring rasa takut yang masih menghimpit hati. Keringat dingin masih mengalir di dahiku. Kuat. kurasakan seseorang menarik lengan kananku, menimbulkan rasa sakit yang tak terkira."Lo udah pulang? Gue dari tadi nungguin lo di sini.""Hm..." mulutku terbuka, namun tak ada kata yang terucap. Hanya gumaman tak jelas yang begitu pelan terdengar. Aku masih menatap Satria seperti orang bodoh."Lo kenapa sih?" Satria hanya mampu menatapku lekat sambil beberapa kali menggerakkan kelima jarinya di hadapanku.Tak ada tanggapan dariku. Aku duduk begitu saja membentur kerasnya paving block parkiran. Tubuhku lemas. Aku masih mencerna peristiwa yang baru saja terjadi. Aku mencoba melirik sekilas ke arah koridor kelas.Tak ada. Seseorang yang berpakaian serba hitam itu telah menghilang. Jantungku masih berdetak cepat, lalu mataku mulai berembun.Oh Tuhan apa itu tadi? Pasti itu hanya ilusi, "Itu Cuma halusinasi ‘kan? Iya ‘kan? Iya!

    Last Updated : 2022-04-01
  • Nightmare   Tragedi

    Aku selalu percaya bahwa bagaimana pun sebuah bangkai disembunyikan, suatu saat nanti pasti akan tercium. Begitupun kasus tabrak lari yang terjadi pada ibuku, lalu kasus percobaan pembunuhan yang terjadi pada Suci. Semua kasus tersebut membuatku merasa frustasi. Sudah berbulan-bulan aku merasa seperti hidup dalam sebuah lorong hitam yang tak berujung. Kegelapan terus menerus mengikuti, seolah merenggutku dari kewarasan. Namun kali ini berbeda, sebuah benda yang kutemukan di TKP memberikan angin segar bagi hidupku. Memberikan ku harapan yang selama ini sudah kukubur dalam. Maka dari semua harapan itu, akhirnya aku memutuskan untuk berdiskusi dengan Satria, Benny dan Sarah."Guys, gue nemu barang bukti di TKP waktu kejadian kecelakaan Suci. Ternyata benda yang gue temuin itu ada inisial nama yang sama dengan inisial di sapu tangan pelaku tabrak lagi ibu gue. Menurut kalian gue harus gimana?"Aku mencoba memulai percakapan. Terlihat Satria, Benny dan Sarah seketika menghentikan kegiatan

    Last Updated : 2022-05-24
  • Nightmare   Saksi Kunci

    Aku membenturkan kepalaku beberapa kali pada meja ruang tamu rumahku. Rasanya tak ada yang lebih sulit daripada mencari pelaku teror sekaligus pembunuhan yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Nyawa yang begitu mudahnya dihilangkan tanpa pernah berpikir betapa pedih dan hancurnya hati orang-orang terdekat mereka. Aku merutuk dalam hati, mengingat kesedihan tak terkira dari Bu Marni; istri dari pak Salim. Kini wanita itu hanya mampu meratapi nasibnya yang ditinggal oleh sang suami.Rasanya aku sangat merindukan kehidupan normalku sebagai seorang siswi biasa yang hanya memusingkan soal-soal matematika yang tak bisa dipecahkan. Tanpa kusadari, sebuah tangan sudah terletak begitu saja di atas meja. Mencegahku untuk kembali membenturkan kepala di atas meja. "Kalo lu terus begitu, bukannya kasus ini yang pecah, malah kepala lu yang pecah." Aku mendongak menatap Satria. Menatapnya dengan tatapan paling sendu yang bisa kuberikan. Rasanya aku sudah tak mampu lagi menemukan jalan keluar sekali

    Last Updated : 2022-06-10
  • Nightmare   Lelaki yang Kupanggil Ayah

    Di antara banyak nya hal di dunia ini, memiliki sahabat yang selalu ada menjadi salah satu hal yang paling aku syukuri. Khususnya kehadiran Satria di hidupku. Dia benar-benar sebuah anugrah yang tak bisa tergantikan oleh apapun. Semenjak Ibu meninggal, aku benar-benar tak punya teman mengobrol selain Mbok Iroh. Ayah sibuk bekerja dan jarang pulang ke rumah. Sore ini, aku menatap sekeliling. Menatap gerak gerik Satria yang tengah bermain games di handphone sambil sesekali melahap cemilan dan sirup yang baru saja disajikan ulang oleh Mbok Iroh. Sedang Benny sendiri sudah pulang dari tiga puluh menit yang lalu. Hening. Tak ada yang saling berbicara di antara kami. Kami masih sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku yang masih sibuk mengerjakan tugas Mading, menulis beberapa informasi dan tips yang akan diterbitkan untuk esok hari, sedang satria yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun entah mengapa, kami merasa nyaman dengan situasi hening ini. Seolah tak satria tak perlu melaku

    Last Updated : 2022-06-14

Latest chapter

  • Nightmare   Kehilangan

    Musim hujan masih bertahan jauh lebih lama di tahun ini, hari ini Ibukota kembali diguyur hujan lebat. Seolah semakin membuat hati yang pilu terasa lebih pilu. Aku menatap ke arah luar jendela mobil yang menampilkan tampias air hujan. Memberikan kesan sendu yang sangat pekat di hati.Jauh di dalam lubuk hatiku teriris hebat menyaksikan betapa sesak tangisan seorang ibu yang kehilangan anak semata wayangnya dalam usia yang sangat muda. Pagi tadi sekolah kembali dihebohkan dengan kabar yang tak mengenakkan bagi siapapun yang mendengarnya. Suci yang sudah terbaring koma selama kurang lebih satu bulan tak mampu lagi bertahan.Gadis berkulit pulih dengan rambut coklat itu mengakhiri hidupnya setelah segala upaya keras para tenaga medis kerahkan. Setelah rapalan doa kedua orangnya minta tiap malam demi kesembuhan putri mereka.Tentunya setelah semua rasa sesal dan bersalah melingkupi hati. Aku masih ingat bagaimana pilu dan perihnya tangis kehilangan Ibu Marta saat jenazah Suci diturunka

  • Nightmare   Berhenti

    “Gue udah ambil keputusan,” pernyataan itu keluar pertama kali dari mulutku di hadapan kedua orang yang masih mematung, sembari menautkan kedua alis mereka. Tentunya mereka sedang kebingungan saat ini. Mungkin keduanya mempertanyakan hendak dibawa kemana pembicaraan ini. Aku menarik nafas panjang, lalu kembali melanjutkan, “Gue mau berhenti cari tahu siapa pelaku pembunuhan dan teror di sekolah.” Sekilas, aku mendongak menanti reaksi yang diberikan oleh Satria juga Sarah.Sepulang dari kegiatan mading tadi, aku mengirimi pesan pada Satria juga Sarah. Memberitahu bahwa ada yang perlu ku katakan pada mereka, tentunya tanpa keterlibatan Benny. Karena memang lelaki itu membuat keputusan untuk berhenti melakukan pencarian, bahkan tak ingin terlibat dengan semua hal yang berhubungan dengan kasus pembunuhan maupun teror. Meskipun demikian, mungkin saja aku akan mengirimi lelaki itu sebuah pesan dengan pernyataan yang sama. Bukan tanpa maksud apapun, hanya ingin meyakinkan bahwa lelaki itu t

  • Nightmare   Potret

    Terlahir sebagai anak tunggal membuatku terbiasa mengambil semua keputusan seorang diri. Tak ada seorang pun yang bisa menjadikan tempat bercerita dan berbagai selain kedua orang tua, khususnya Ibu. Ibu menjadi tempat paling nyaman bagiku untuk menceritakan semua hal. Sayang, selama Ibu meninggal, aku sudah tak punya tempat untuk bercerita. Tak punya tempat untuk sekedar menumpahkan segala keresahan dan kegundahan hati. Bahkan untuk sekedar bercerita mengenai hal sepele seputar masalah sekolah saja aku tak mampu menceritakannya pada Ayah. Bukankah aku sudah bercerita sebelumnya, bahwa Ayah telah banyak berubah semenjak kematian Ibu? Kematian memang selalu membawa banyak perubahan selain luka yang mendalam. Satria menjadi satu-satunya tempat yang bisa kupercaya, namun jika sudah begini, kepada siapa lagi aku bercerita? Terlebih mengenai semua kejadian hari ini. “Jika kamu melangkah mungkin ada hasil, mungkin tidak ada hasil. Tapi, jika kamu tidak melangkah, sudah pasti tidak ada has

  • Nightmare   Menyerah

    Di usiaku sekarang, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di ruang BK untuk menerima sebuah hukuman. Salah jika ada yang mengatakan bahwa ruang BK hanya untuk siswa berandal yang tak berprestasi. Pada kenyataannya, aku pernah beberapa kali memasuki ruangan ini untuk konsultasi mengenai penjurusan juga minat serta bakat belajar - di sekolahku dahulu. Namun detik ini, aku sudah menjelma menjadi siswa yang membangkang. Aku duduk seorang diri di deretan bangku yang masih kosong. Di sampingku ada tv cembung jaman dahulu yang sedang menyala. Menampilkan berita kenaikan BBM yang membuat masyarakat miskin semakin sulit saja menjalani kehidupan. Sempat hendak membuka mulut, hanya untuk sekedar menyampaikan pendapat. Tapi aku memilih untuk bungkam, lalu menatap sekilas pada seorang wanita yang mengenakan hijab. Kulihat Bu Susan tengah mencatat beberapa poin tentang kenakalan yang sudah kulakukan. Dari arah berlawanan terdengar suara pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang tadi pagi menem

  • Nightmare   Pihak yang Berkuasa

    Ada beberapa hal yang kadang disesali dalam hidup, mungkin momen ini jadi salah satu momen yang akan paling kusesali. Walau dalam skala yang kecil bukan termasuk penyesalan yang besar. Namun tetap saja, rasanya aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga puluh menit membolos dengan duduk berhadapan si berandal macam Fadil. Sejak tadi lelaki itu hanya sibuk minum kopi juga makan pisang goreng gula merah buatan Bu Enah-Pemilik warkop belakang sekolah. Tak ada sedikitpun pembahasan mengenai Pak Salim keluar dari mulutnya. Aku yang mulai jengah dengan tingkah lakunya akhirnya mencoba memulai pembicaran. “Gue mau balik ke kelas.” ujarku bangkit begitu saja. Fadil masih diam di tempatnya. Masih menyantap pisang goreng yang tinggal tersisa potongan kecil. “Bu, Pisang gorengnya tiga lagi, ya, terus sama mie ayamnya dua porsi, kaya biasa nggak usah pakai sayur. Eh satunya pakai sayur deh,” Melihat tingkah lakunya yang tak menggubris ucapanku, aku menghela nafas panjang beberapa kali. Mendengar hel

  • Nightmare   Membolos

    Jika aku tahu caranya menghilang dari kehidupan ini, mungkin aku akan menghilang saat ini juga. Setelah pertengkaran semalam, aku bahkan tak mampu menatap mata Satria. Rasa bersalah semakin menghantui dan menyelimuti. Sempat tak tidur semalaman hanya untuk sekedar mengucapkan permintaan maaf pada Satria juga Benny. Namun berkali-kali itu pula, pesanku hanya mampu diketik tanpa pernah bisa dikirim pada si pemiliknya. Pagi ini Satria tiba-tiba saja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk bertukar tempat dengan Hendra- si pendiam yang sering duduk di paling pojok kelas. Duduk dengan orang asing membuatku amat sangat kikuk. Belum lagi pelajaran Matematika yang amat sangat membuatku mengantuk juga pusing, maka dengan terpaksa aku akhirnya memilih untuk keluar kelas dengan alasan pergi ke toilet. Membolos sehari saja tidak apa bukan? Hari ini aku ingin pergi ke tempat di mana tak ada siapapun yang menemukanku. Maka dengan tak tentu arah, aku melangkahkan kaki begitu saja. Berjalan kemanapun

  • Nightmare   Perdebatan

    Ada yang pernah berkata bahwa seorang wanita tak pernah bisa bersahabat dengan lawan jenis, karena satu di antaranya pasti pernah merasakan perasaan melebihi rasa sayang seorang sahabat. Untuk kali ini, aku ingin mengamini kalimat tersebut. Sejak tadi Satria masih menatap kosong pada minuman di hadapannya, sembari jari jemarinya menari bebas di atas meja. Menggambar garis-garis abstrak tak kasat mata tanpa dia sadari. Aku menebak bahwa pernyataan Sarah tadi cukup mengguncang dan mengejutkan baginya.“Gue selama ini suka sama Satria, tapi dia lebih suka sama lu, Dev.” “Hah? Gue? Lu suka sama gue?” dapat kulihat satria menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal.“Iya, lu. Siapa lagi yang punya nama Satria di sini?” “Maksudnya apa sih?” Lelaki di hadapanku masih saja menatap bodoh pada Sarah. Seolah tak dapat mempercayai apa yang sudah didengarnya.“Bohong lah. Mana mungkin gue suka sama lu? Bercanda, Sat. Gila kaku banget sih!” Gelak tawa terdengar begitu saja dari Sarah. Aku y

  • Nightmare   Sarah

    Banyak yang bilang, dalam hidup ini kita harus memiliki prasangka baik pada apapun itu, entah pada manusia, bahkan pada kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup. Namun rasanya sulit bagi kita untuk selalu berprasangka baik jika sudah dihadapkan pada suatu peristiwa yang dapat membahayakan diri sendiri. Layaknya aku yang saat ini tengah diselimuti rasa curiga pada Sarah. Teman yang baru kukenal selama kurang lebih empat bulan lamanya. Gadis itu masih menatap kosong padaku. Di sampingku, Satria masih diam membisu, di antara kami masih sibuk dengan isi kepala masing-masing. Selama ini, aku tak pernah punya masalah apapun dengan Sarah. Aku pertama kali bertemu sarah di kantin, Satria yang mengenalkan kami berdua. Menurut Satria sarah merupakan salah satu sahabat perempuan nya selain aku. Dia mengenal sarah sejak masa orientasi. Tanpa sengaja ditempatkan di kelas yang sama bersama Benny. Ketiganya menjadi teman juga sahabat yang tak pernah terpisahkan. Meskipun tahun ini mereka harus di

  • Nightmare   Permintaan Maaf

    Kulangkahkan kakiku memasuki salah satu rumah sakit besar di daerah Jakarta Selatan. Aroma obat-obatan begitu menusuk indra penciumanku, saat aku pertama kali memasuki rumah sakit ini. Memusingkan, membuatku ingin muntah saat menciumnya. Rumah sakit jadi salah satu tempat yang paling tak kusukai setelah kematian Ibu. Pasalnya, setelah kejadian tabrak lari, Ibu akhirnya bisa dibawa ke rumah sakit. Namun sayang pihak rumah sakit mengatakan bahwa Ibu sudah meninggal bahkan sebelum sampai di sana. Bukan pihak rumah sakit yang salah, namun rasanya ada beberapa tempat yang memberikan kenangan pahit bagi hidupku, beberapa tempat diantaranya rumah sakit dan juga jalanan dekat kompleks rumahku dahulu, daerah Sentul. Karena itulah Ayah memutuskan untuk pindah ke Jakarta agar aku bisa lebih fokus menyembuhkan diriku pasca kematian Ibu. Juga agar aku bisa melupakan kejadian menyakitkan yang sudah menimpa Ibu. Nyatanya, luka karena kehilangan tak bisa hilang begitu saja. Rasanya sampai kapan pu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status