Suara kaca pecah mengusik ketenanganku malam ini. Terlihat Mbok Iroh berlari khawatir ke arahku, wajahnya pucat pasi, seperti telah melihat hantu.
"Non, i-itu.. itu.. ada yang ngelempar batu sampe kacanya pecah. Terus ada.... " kata Mbok Iroh terbata tak mampu melanjutkan perkataannya."Ada apa mbok?" tanyaku ikut merasakan ketakutan yang dirasakan Mbok Iroh." Non lihat sendiri saja." Katanya yang lantas bergegas pergi. Aku pun mengikuti kemana arah kakinya melangkah.Halaman depan rumahku benar-benar berantakan, banyak batu-batu kerikil yang memenuhi teras depan rumah. Lalu ada sebuah kertas yang membungkus sebuah batu, kertas itu terletak di bawah jendela yang kacanya sudah pecah. Aku memungutnya. Tersentak. Pantas saja Mbok Iroh ketakutan setelah melihat benda ini. Di setiap sudut kertas itu terdapat bercak kemerahan mirip dengan darah yang mengering, ketika aku membuka dan mengambil kertas itu bertuliskan'KAU HARUS MATI?!! KAU HARUS MATI!!!'Tubuhku lemas seketika, tapi aku tetap mencoba berpikir positif, mungkin itu hanya seorang anak kecil yang sedang bermain. Itu tak mungkin sebuah teror, bukan?"Mungkin cuma orang iseng Mbok, mending kita masuk ke dalam." Kata ku bergetar. Mungkin saat ini wajahku pun pucat pasi seperti mbok Iroh tadi. Bahkan mungkin lebih pucat dibanding Mbok Iroh. Pikiran aneh kembali mengusikku, rasa takut yang sempat menguap tadi kini kembali mencuat.Siapa yang melakukan itu?Benakku terus mempertanyakan walau berkali-kali aku meyakinkan bahwa itu hanya perbuatan orang jahil. Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Sudah larut malam. Orang iseng mana yang mau melakukan hal semacam itu selarut ini? Kadang manusia sering membuat prasangka buruk. Bukan. Bukan karena dia tak bisa berpikir positif, hanya saja itu dilakukan sebagai perlindungan dirinya terhadap sesuatu hal. Itu naluri alamiah manusia. Itu menurutku, sama seperti yang sedang terjadi saat ini, siapa juga yang tidak akan berpikiran negatif. Sialnya lagi karena papah tak bisa pulang malam ini, ada hal penting yang harus dilakukannya untuk proyek yang sedang beliau kerjakan. Apa yang harus kulakukan? Sepertinya rasa takut ini akan membuatku terjaga kembali semalaman. Aku masih mencoba menenangkan diriku sendiri."Itu cuma kerjaan orang iseng. Iya cuma orang iseng! Cuma orang iseng!" berpuluh kali aku mengucapkan kata itu, mencoba mensugesti diriku sendiri. Bak sebuah mantra yang akan membuatku tenang setelah mengatakannya.Aku bergidik ngeri ketika melihat kembali kertas yang ada bercak merah itu, tiba tiba saja layar di Hpku berkedip beberapa kali. Aku menatapnya sekilas, mengabaikannya. Namun ada sebuah nomor tak kukenal yang terpajang di layar tersebut, beberapa kali. Hingga dengan terpaksa aku pun mengangkatnya. Diujung telpon sana terdengar sebuah lagu yang begitu asing di telingaku. Reverse. Lagu yang tak begitu jelas dan hanya berisi sebuah jeritan-jeritan tak jelas seperti suara kelelawar, suara seorang perempuan bersenandung dan bahkan suara tawa anak kecil.Oh tuhan?!Bulu kudukku meremang seketika. Aku melemparkan ponselku seiring dengan jeritan yang keluar dari mulutku begitu saja. Kepalaku mendadak pusing, iringan suara musik di seberang telpon tadi terus berputar di kepalaku. "Non, non kenapa?"Aku terus memalingkan wajahku dari Mbok Iroh, telingaku kututup rapat dengan kedua tanganku. Aku benar-benar frustasi.Orang gila mana yang melakukan hal ini?! Sial!Hpku kembali berdering beberapa kali, rasa takut semakin menjadi menghampiri. Tubuhku gemetar hebat, tanpa kusadari kini peluh sudah memenuhi setiap bagian wajahku. Sekilas terlintas dalam benakku aku berpikir ‘pasti dari nomor yang tak dikenal itu lagi’"Non kenapa? Hpnya bunyi, kenapa ga diangkat?"Tubuhku masih gemetar hebat. Suara-suara aneh tadi masih memenuhi gendang telingaku, tapi aku mencoba memberanikan diri dan bangkit untuk mencari benda berbentuk persegi itu. Terdapat nama Papah dalam layar handphone yang sempat kulempar. "Iya, pah. Nggak apa-apa kok Pah. Ga usah Pah, Itu cuma kerjaan orang iseng doang. Ga usah khawatir."Aku boleh saja mengatakan hal itu pada papah, tapi nyatanya tubuhku bergetar hebat saat ini. Mungkin papah pun bisa menyadarinya karena suaraku yang bergetar saat berbicara dengannya."Iya, nanti devlin telpon papah kalo ada apa-apa."Aku menekan tombol berwarna merah untuk mengakhiri percakapan ku dengan Papah. Papah sudah tahu semua peristiwa malam ini, mungkin mbok Iroh yang menceritakannya. Aku kembali melihat nomor tak dikenal yang tadi menelponku, lalu melirik pada kertas bergantian.Sebuah pertanyaan muncul di benakku apakah Fadil yang melakukan ini? Apa dia begitu mendendam padaku? Mana mungkin dia tahu rumahku? Bukankah Fadil hanya bilang bahwa dia bakal bikin aku tak nyaman bersekolah? ***"Eh cewek sok jagoan dan pemberani! lo udah mulai ketakutan,ya?" suara serak itu membuatku menghentikan langkah kaki, aku berbalik dan menatapnya tajam. Terlihat dia tersenyum mengejek."Jadi lo serius soal ancaman yang kemarin ?" kataku mencoba untuk tetap tenang menghadapinya."Lo mulai ketakutan, kan? Keliatan dari gimana lo pertama kali datang ke sekolah. Lo gelisah banget tadi pas masuk ke gerbang."Aku mengutuk dalam hati. Dia melihatnya rupanya. Kejadian tadi malam membuatku benar-benar syok hingga rasanya ingin sekali aku membolos hari ini. Dengan acuh aku mengangkat bahu dan bergegas pergi dari hadapannya. Ketika beberapa kali aku melangkah, kaki kiriku terantuk sesuatu di hadapanku. Hal tersebut sukses membuat tubuhku terjatuh membentur kerasnya paving block parkiran sekolah. Sialan. Dia menyandung kakiku."Gimana? sakit kah?""Lo ..." aku kehabisan kata-kata, dia segera pergi meninggalkanku begitu saja. Lelaki macam apa dia? Aku segera bangkit dan mencoba membalas perbuatannya, tapi rasa panas tiba-tiba menyerang lututku, aku merabanya pelan. Darah segar mengalir di sana. Lukanya kecil, tapi rasa perihnya benar-benar terasa."Devlin--" terdengar teriakan dari kejauhan, lalu Benny segera menghampiriku. Raut wajahnya jelas terlihat khawatir,"lo nggak apa-apa?""nggak kok Ben, cuma lecet biasa.""Gue antar ke ruang kesehatan, ya?" aku mengangguk pelan.Sepanjang perjalanan Benny terus mengintrogasi ku. Dia terus bertanya apakah Fadil benar-benar melakukan hal buruk padaku atau tidak. Beberapa kali pula aku hanya diam. Aku tak bisa menceritakannya pada Benny, aku masih bingung apakah kejadian tadi malam memang ulah Fadil atau justru orang lain. Ketika sampai di belokan terakhir menuju ruang kesehatan aku bertemu dengan Satria. Dia kembali menatapku intens dengan bola mata hitam bulatnya. Tatapan yang selalu meneduhkan. Dia sahabat terbaikku yang selalu ada untukku. Kami sudah bersahabat sejak kami masih SD hingga sekarang. Rumahku dengannya hanya berbeda satu blok saja dan jika boleh jujur aku sempat menyukainya. Kau tahu, bukan? Seorang lelaki dan perempuan memang tak pernah bisa berteman karena itu akan menimbulkan sebuah rasa yang tak pernah diharapkan oleh keduanya."Lo, enggak apa-apa ‘kan, Dev?" tanya Satria berkali-kali padaku, walau sudah kujawab dengan gelengan beberapa kali juga."Serius?" aku mengangguk pelan."Lututnya berdarah gara-gara Fadil." Benny menjelaskan."Cuma lecet doang kok, gak parah-parah banget."Terlihat perubahan air muka Satria, wajahnya memerah dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya. Kini tatapannya lebih tajam seakan mampu mengintimidasi siapapun yang ditatap olehnya. "Biar gue kasih obat lukanya."Kami memasuki ruang kesehatan yang baunya selalu hampir sama dengan rumah sakit. Aku duduk tepat di samping satria yang tengah mencari betadine untuk mengobati lukaku."Sat, sebenarnya kemarin rumah gue diteror. Gue ga tahu siapa yang ngelakuin itu. Tadinya gue sempet mikir kalo itu ulah Fadil, tapi mana mungkin dia tahu alamat rumah gue? Sat, lo bantuin gue nyari pelakunya, ya?""Diteror? Pasti gue bantuin. Gue udah pernah bilang kan sebelumnya kalo gue bakal jagain lo. Jadi lo ga usah takut." Katanya sambil sesekali mengolesi obat berwarna merah pada luka lututku, sesekali aku pun dibuat meringis karenanya."Kita juga bakal bantuin lo kok, Dev." Sahut Sarah dan Benny bersamaan. Mereka selalu saja kompak. Ah iya aku sampai lupa dengan kehadiran mereka."Makasih, ya." Aku tersenyum pada mereka bertiga, beruntungnya aku memiliki mereka.Hatiku kembali dibuat tenang oleh pernyataan Satria. Aku bukan tipe orang yang mudah percaya pada orang lain. Aku yakin sekali Satria memang tulus saat mengatakan hal tersebut. Perlu kalian tahu, sejak kecil dia selalu menjagaku bak seorang ksatria ketika aku terluka atau pun dilukai oleh orang lain, dia lah yang selalu melindungiku. Kami sudah seperti saudara, dia sudah aku anggap sebagai sahabat dan kakakku sekaligus. Jadi aku benar-benar mempercayai perkataannya.****" Dev, di laci meja lo ada darah tuh." Rendi se ketua kelas menyambut aku dan Satria begitu kami sampai di depan kelas. "Darah?" gumam ku tak jelas, seolah tak percaya bahwa aku akan berhadapan dengan teror dan darah lagi di sekolah.Aku masih terpaku di tempat. Satria lah yang pertama kali berlari dan melihat keadaan laci meja kami, dia mengambil sebuah boneka beruang dengan leher yang terputus dan terdapat cairan merah seperti darah. Lagi. Entah untuk kesekian kali. "Ini bukan darah. Cuma cairan cat biasa." Satria berlalu pergi meninggalkanku yang masih terpaku. Dia membuang boneka tersebut.Aku melangkah menuju tempat dudukku setelah kurasa tak ada lagi benda aneh di sana.Kini kulihat seisi ruangan riuh dengan peristiwa yang terjadi. Beberapa siswa perempuan ketakutan dengan wajah pucat pasi. Sedang kulihat Suci pergi berlalu begitu saja saat ruangan semakin riuh. Aku sempat melihat tatapannya yang sarat akan kemarahan dan ketakutan. "Ada surat kalengnya juga nih." Rendi kembali menyahut menunjukan kertas yang telah dilipat rapi. Aku yakin sekali pasti isinya sama dengan yang tertulis tadi malam. Aku segera meremas kertas tersebut tanpa membacanya lagi. Sayangnya, Satria segera merebut nya dan membaca tulisan tersebut dengan lantang.'KAU HARUS MATI!!!KAU HARUS MATI.'Seisi ruangan semakin ramai. Terdengar bisikan-bisikan yang mempertanyakan pelaku teror yang kualami. Tak ingin semakin memperunyam keadaan, Satria akhirnya meremas kertas itu kuat dan membuangnya begitu saja. Dia bergegas berlari keluar kelas entah hendak pergi kemana. Aku membatin seorang diri, mulai detik ini hidupku berantakan. Mimpi buruk kembali menghantuiku lagi, bahkan lebih dari sekedar mimpi buruk. "Cewek itu! Dia bakal jatuh." Bisikku tak jelas. Setengah sadar, tiba-tiba saja aku melihat berkelebatan bayangan yang memperlihatkan seorang gadis tengah berdebat hebat dengan seseorang di dekat tangga lantai tiga, lalu detik berikutnya dia terjatuh dan terkapar begitu saja di lantai dasar dengan darah yang mengalir deras di kepalanya.Tidak! apa ini? Siapa yang terjatuh? Bayangan apa ini?“Gue ngeliat cewek jatuh dari lantai tiga, dia lagi debat sama cowok di depan kelas kita. Gue ga tau itu siapa."Kataku frustasi ketika menjelaskan tentang perihal bayangan yang tiba-tiba singgah. Sesekali aku mengacak rambut hitam panjang milikku dengan keras.Beberapa kali itu juga mereka hanya menganggap bahwa itu bukan hal yang penting, itu hanya halusinasi semata. Oh ayolah! tapi firasatku berkata lain, ada sesuatu hal yang akan terjadi."Dev, berhenti berpikir yang aneh-aneh. Itu cuma halusinasi lo doang. Lo pernah denger ‘kan, kadang kalo kita mikirin sesuatu yang ga pernah terjadi secara berlebihan malah bakal jadi kenyataan? jadi stop mikirin hal begitu." Ujar Satria yang sempat menghentikan acara makannya sore itu."Iya, Dev. Enggak bakal ada peristiwa apa-apa percaya deh sama kita. Lagian ada kita-kita kok yang bakal jagain lo.""Iya, lo tuh ya bisa ga sih jangan mikirin hal yang begituan. Liat deh lo udah jarang ngur
Nafasku masih memburu seiring rasa takut yang masih menghimpit hati. Keringat dingin masih mengalir di dahiku. Kuat. kurasakan seseorang menarik lengan kananku, menimbulkan rasa sakit yang tak terkira."Lo udah pulang? Gue dari tadi nungguin lo di sini.""Hm..." mulutku terbuka, namun tak ada kata yang terucap. Hanya gumaman tak jelas yang begitu pelan terdengar. Aku masih menatap Satria seperti orang bodoh."Lo kenapa sih?" Satria hanya mampu menatapku lekat sambil beberapa kali menggerakkan kelima jarinya di hadapanku.Tak ada tanggapan dariku. Aku duduk begitu saja membentur kerasnya paving block parkiran. Tubuhku lemas. Aku masih mencerna peristiwa yang baru saja terjadi. Aku mencoba melirik sekilas ke arah koridor kelas.Tak ada. Seseorang yang berpakaian serba hitam itu telah menghilang. Jantungku masih berdetak cepat, lalu mataku mulai berembun.Oh Tuhan apa itu tadi? Pasti itu hanya ilusi, "Itu Cuma halusinasi ‘kan? Iya ‘kan? Iya!
Aku selalu percaya bahwa bagaimana pun sebuah bangkai disembunyikan, suatu saat nanti pasti akan tercium. Begitupun kasus tabrak lari yang terjadi pada ibuku, lalu kasus percobaan pembunuhan yang terjadi pada Suci. Semua kasus tersebut membuatku merasa frustasi. Sudah berbulan-bulan aku merasa seperti hidup dalam sebuah lorong hitam yang tak berujung. Kegelapan terus menerus mengikuti, seolah merenggutku dari kewarasan. Namun kali ini berbeda, sebuah benda yang kutemukan di TKP memberikan angin segar bagi hidupku. Memberikan ku harapan yang selama ini sudah kukubur dalam. Maka dari semua harapan itu, akhirnya aku memutuskan untuk berdiskusi dengan Satria, Benny dan Sarah."Guys, gue nemu barang bukti di TKP waktu kejadian kecelakaan Suci. Ternyata benda yang gue temuin itu ada inisial nama yang sama dengan inisial di sapu tangan pelaku tabrak lagi ibu gue. Menurut kalian gue harus gimana?"Aku mencoba memulai percakapan. Terlihat Satria, Benny dan Sarah seketika menghentikan kegiatan
Aku membenturkan kepalaku beberapa kali pada meja ruang tamu rumahku. Rasanya tak ada yang lebih sulit daripada mencari pelaku teror sekaligus pembunuhan yang sedang terjadi akhir-akhir ini. Nyawa yang begitu mudahnya dihilangkan tanpa pernah berpikir betapa pedih dan hancurnya hati orang-orang terdekat mereka. Aku merutuk dalam hati, mengingat kesedihan tak terkira dari Bu Marni; istri dari pak Salim. Kini wanita itu hanya mampu meratapi nasibnya yang ditinggal oleh sang suami.Rasanya aku sangat merindukan kehidupan normalku sebagai seorang siswi biasa yang hanya memusingkan soal-soal matematika yang tak bisa dipecahkan. Tanpa kusadari, sebuah tangan sudah terletak begitu saja di atas meja. Mencegahku untuk kembali membenturkan kepala di atas meja. "Kalo lu terus begitu, bukannya kasus ini yang pecah, malah kepala lu yang pecah." Aku mendongak menatap Satria. Menatapnya dengan tatapan paling sendu yang bisa kuberikan. Rasanya aku sudah tak mampu lagi menemukan jalan keluar sekali
Di antara banyak nya hal di dunia ini, memiliki sahabat yang selalu ada menjadi salah satu hal yang paling aku syukuri. Khususnya kehadiran Satria di hidupku. Dia benar-benar sebuah anugrah yang tak bisa tergantikan oleh apapun. Semenjak Ibu meninggal, aku benar-benar tak punya teman mengobrol selain Mbok Iroh. Ayah sibuk bekerja dan jarang pulang ke rumah. Sore ini, aku menatap sekeliling. Menatap gerak gerik Satria yang tengah bermain games di handphone sambil sesekali melahap cemilan dan sirup yang baru saja disajikan ulang oleh Mbok Iroh. Sedang Benny sendiri sudah pulang dari tiga puluh menit yang lalu. Hening. Tak ada yang saling berbicara di antara kami. Kami masih sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku yang masih sibuk mengerjakan tugas Mading, menulis beberapa informasi dan tips yang akan diterbitkan untuk esok hari, sedang satria yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun entah mengapa, kami merasa nyaman dengan situasi hening ini. Seolah tak satria tak perlu melaku
Katanya setiap manusia itu dikarunia lima panca Indra yang berfungsi untuk mendukung kehidupan sehari-harinya, seperti indera peraba, indera penciuman, indra pendengar, indera perasa, dan indera melihat. Namun katanya, ada juga beberapa orang yang memiliki kelebihan dengan memiliki indera keenam yang tak dimiliki oleh semua orang. Katanya indera keenam ini berhubungan dengan hal-hal gaib atau berhubungan juga dengan ramal meramal. Mengenai semua kebetulan yang akhir-akhir ini sering aku alami, seperti melihat suci yang terjatuh dari tangga, melihat diri sendiri yang dikejar-kejar oleh si pelaku pembunuhan. Bahkan melihat kematian Ibu yang bersimbah darah, lalu semua itumenjadi kenyataan. Aku tak tahu tepatnya kapan, tapi seingatku dulu ayah pernah bercerita Hari itu aku mengadu sambil menangis mendapati bahwa kucing peliharaanku mati. Sehari sebelumnya, aku bermimpi bahwa kucing tersebut bisa bicara, mengucapkan salam perpisahan serta ucapan terima kasih karena aku telah merawatnya. A
Kulangkahkan kakiku memasuki salah satu rumah sakit besar di daerah Jakarta Selatan. Aroma obat-obatan begitu menusuk indra penciumanku, saat aku pertama kali memasuki rumah sakit ini. Memusingkan, membuatku ingin muntah saat menciumnya. Rumah sakit jadi salah satu tempat yang paling tak kusukai setelah kematian Ibu. Pasalnya, setelah kejadian tabrak lari, Ibu akhirnya bisa dibawa ke rumah sakit. Namun sayang pihak rumah sakit mengatakan bahwa Ibu sudah meninggal bahkan sebelum sampai di sana. Bukan pihak rumah sakit yang salah, namun rasanya ada beberapa tempat yang memberikan kenangan pahit bagi hidupku, beberapa tempat diantaranya rumah sakit dan juga jalanan dekat kompleks rumahku dahulu, daerah Sentul. Karena itulah Ayah memutuskan untuk pindah ke Jakarta agar aku bisa lebih fokus menyembuhkan diriku pasca kematian Ibu. Juga agar aku bisa melupakan kejadian menyakitkan yang sudah menimpa Ibu. Nyatanya, luka karena kehilangan tak bisa hilang begitu saja. Rasanya sampai kapan pu
Banyak yang bilang, dalam hidup ini kita harus memiliki prasangka baik pada apapun itu, entah pada manusia, bahkan pada kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup. Namun rasanya sulit bagi kita untuk selalu berprasangka baik jika sudah dihadapkan pada suatu peristiwa yang dapat membahayakan diri sendiri. Layaknya aku yang saat ini tengah diselimuti rasa curiga pada Sarah. Teman yang baru kukenal selama kurang lebih empat bulan lamanya. Gadis itu masih menatap kosong padaku. Di sampingku, Satria masih diam membisu, di antara kami masih sibuk dengan isi kepala masing-masing. Selama ini, aku tak pernah punya masalah apapun dengan Sarah. Aku pertama kali bertemu sarah di kantin, Satria yang mengenalkan kami berdua. Menurut Satria sarah merupakan salah satu sahabat perempuan nya selain aku. Dia mengenal sarah sejak masa orientasi. Tanpa sengaja ditempatkan di kelas yang sama bersama Benny. Ketiganya menjadi teman juga sahabat yang tak pernah terpisahkan. Meskipun tahun ini mereka harus di
Musim hujan masih bertahan jauh lebih lama di tahun ini, hari ini Ibukota kembali diguyur hujan lebat. Seolah semakin membuat hati yang pilu terasa lebih pilu. Aku menatap ke arah luar jendela mobil yang menampilkan tampias air hujan. Memberikan kesan sendu yang sangat pekat di hati.Jauh di dalam lubuk hatiku teriris hebat menyaksikan betapa sesak tangisan seorang ibu yang kehilangan anak semata wayangnya dalam usia yang sangat muda. Pagi tadi sekolah kembali dihebohkan dengan kabar yang tak mengenakkan bagi siapapun yang mendengarnya. Suci yang sudah terbaring koma selama kurang lebih satu bulan tak mampu lagi bertahan.Gadis berkulit pulih dengan rambut coklat itu mengakhiri hidupnya setelah segala upaya keras para tenaga medis kerahkan. Setelah rapalan doa kedua orangnya minta tiap malam demi kesembuhan putri mereka.Tentunya setelah semua rasa sesal dan bersalah melingkupi hati. Aku masih ingat bagaimana pilu dan perihnya tangis kehilangan Ibu Marta saat jenazah Suci diturunka
“Gue udah ambil keputusan,” pernyataan itu keluar pertama kali dari mulutku di hadapan kedua orang yang masih mematung, sembari menautkan kedua alis mereka. Tentunya mereka sedang kebingungan saat ini. Mungkin keduanya mempertanyakan hendak dibawa kemana pembicaraan ini. Aku menarik nafas panjang, lalu kembali melanjutkan, “Gue mau berhenti cari tahu siapa pelaku pembunuhan dan teror di sekolah.” Sekilas, aku mendongak menanti reaksi yang diberikan oleh Satria juga Sarah.Sepulang dari kegiatan mading tadi, aku mengirimi pesan pada Satria juga Sarah. Memberitahu bahwa ada yang perlu ku katakan pada mereka, tentunya tanpa keterlibatan Benny. Karena memang lelaki itu membuat keputusan untuk berhenti melakukan pencarian, bahkan tak ingin terlibat dengan semua hal yang berhubungan dengan kasus pembunuhan maupun teror. Meskipun demikian, mungkin saja aku akan mengirimi lelaki itu sebuah pesan dengan pernyataan yang sama. Bukan tanpa maksud apapun, hanya ingin meyakinkan bahwa lelaki itu t
Terlahir sebagai anak tunggal membuatku terbiasa mengambil semua keputusan seorang diri. Tak ada seorang pun yang bisa menjadikan tempat bercerita dan berbagai selain kedua orang tua, khususnya Ibu. Ibu menjadi tempat paling nyaman bagiku untuk menceritakan semua hal. Sayang, selama Ibu meninggal, aku sudah tak punya tempat untuk bercerita. Tak punya tempat untuk sekedar menumpahkan segala keresahan dan kegundahan hati. Bahkan untuk sekedar bercerita mengenai hal sepele seputar masalah sekolah saja aku tak mampu menceritakannya pada Ayah. Bukankah aku sudah bercerita sebelumnya, bahwa Ayah telah banyak berubah semenjak kematian Ibu? Kematian memang selalu membawa banyak perubahan selain luka yang mendalam. Satria menjadi satu-satunya tempat yang bisa kupercaya, namun jika sudah begini, kepada siapa lagi aku bercerita? Terlebih mengenai semua kejadian hari ini. “Jika kamu melangkah mungkin ada hasil, mungkin tidak ada hasil. Tapi, jika kamu tidak melangkah, sudah pasti tidak ada has
Di usiaku sekarang, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di ruang BK untuk menerima sebuah hukuman. Salah jika ada yang mengatakan bahwa ruang BK hanya untuk siswa berandal yang tak berprestasi. Pada kenyataannya, aku pernah beberapa kali memasuki ruangan ini untuk konsultasi mengenai penjurusan juga minat serta bakat belajar - di sekolahku dahulu. Namun detik ini, aku sudah menjelma menjadi siswa yang membangkang. Aku duduk seorang diri di deretan bangku yang masih kosong. Di sampingku ada tv cembung jaman dahulu yang sedang menyala. Menampilkan berita kenaikan BBM yang membuat masyarakat miskin semakin sulit saja menjalani kehidupan. Sempat hendak membuka mulut, hanya untuk sekedar menyampaikan pendapat. Tapi aku memilih untuk bungkam, lalu menatap sekilas pada seorang wanita yang mengenakan hijab. Kulihat Bu Susan tengah mencatat beberapa poin tentang kenakalan yang sudah kulakukan. Dari arah berlawanan terdengar suara pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang tadi pagi menem
Ada beberapa hal yang kadang disesali dalam hidup, mungkin momen ini jadi salah satu momen yang akan paling kusesali. Walau dalam skala yang kecil bukan termasuk penyesalan yang besar. Namun tetap saja, rasanya aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga puluh menit membolos dengan duduk berhadapan si berandal macam Fadil. Sejak tadi lelaki itu hanya sibuk minum kopi juga makan pisang goreng gula merah buatan Bu Enah-Pemilik warkop belakang sekolah. Tak ada sedikitpun pembahasan mengenai Pak Salim keluar dari mulutnya. Aku yang mulai jengah dengan tingkah lakunya akhirnya mencoba memulai pembicaran. “Gue mau balik ke kelas.” ujarku bangkit begitu saja. Fadil masih diam di tempatnya. Masih menyantap pisang goreng yang tinggal tersisa potongan kecil. “Bu, Pisang gorengnya tiga lagi, ya, terus sama mie ayamnya dua porsi, kaya biasa nggak usah pakai sayur. Eh satunya pakai sayur deh,” Melihat tingkah lakunya yang tak menggubris ucapanku, aku menghela nafas panjang beberapa kali. Mendengar hel
Jika aku tahu caranya menghilang dari kehidupan ini, mungkin aku akan menghilang saat ini juga. Setelah pertengkaran semalam, aku bahkan tak mampu menatap mata Satria. Rasa bersalah semakin menghantui dan menyelimuti. Sempat tak tidur semalaman hanya untuk sekedar mengucapkan permintaan maaf pada Satria juga Benny. Namun berkali-kali itu pula, pesanku hanya mampu diketik tanpa pernah bisa dikirim pada si pemiliknya. Pagi ini Satria tiba-tiba saja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk bertukar tempat dengan Hendra- si pendiam yang sering duduk di paling pojok kelas. Duduk dengan orang asing membuatku amat sangat kikuk. Belum lagi pelajaran Matematika yang amat sangat membuatku mengantuk juga pusing, maka dengan terpaksa aku akhirnya memilih untuk keluar kelas dengan alasan pergi ke toilet. Membolos sehari saja tidak apa bukan? Hari ini aku ingin pergi ke tempat di mana tak ada siapapun yang menemukanku. Maka dengan tak tentu arah, aku melangkahkan kaki begitu saja. Berjalan kemanapun
Ada yang pernah berkata bahwa seorang wanita tak pernah bisa bersahabat dengan lawan jenis, karena satu di antaranya pasti pernah merasakan perasaan melebihi rasa sayang seorang sahabat. Untuk kali ini, aku ingin mengamini kalimat tersebut. Sejak tadi Satria masih menatap kosong pada minuman di hadapannya, sembari jari jemarinya menari bebas di atas meja. Menggambar garis-garis abstrak tak kasat mata tanpa dia sadari. Aku menebak bahwa pernyataan Sarah tadi cukup mengguncang dan mengejutkan baginya.“Gue selama ini suka sama Satria, tapi dia lebih suka sama lu, Dev.” “Hah? Gue? Lu suka sama gue?” dapat kulihat satria menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal.“Iya, lu. Siapa lagi yang punya nama Satria di sini?” “Maksudnya apa sih?” Lelaki di hadapanku masih saja menatap bodoh pada Sarah. Seolah tak dapat mempercayai apa yang sudah didengarnya.“Bohong lah. Mana mungkin gue suka sama lu? Bercanda, Sat. Gila kaku banget sih!” Gelak tawa terdengar begitu saja dari Sarah. Aku y
Banyak yang bilang, dalam hidup ini kita harus memiliki prasangka baik pada apapun itu, entah pada manusia, bahkan pada kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup. Namun rasanya sulit bagi kita untuk selalu berprasangka baik jika sudah dihadapkan pada suatu peristiwa yang dapat membahayakan diri sendiri. Layaknya aku yang saat ini tengah diselimuti rasa curiga pada Sarah. Teman yang baru kukenal selama kurang lebih empat bulan lamanya. Gadis itu masih menatap kosong padaku. Di sampingku, Satria masih diam membisu, di antara kami masih sibuk dengan isi kepala masing-masing. Selama ini, aku tak pernah punya masalah apapun dengan Sarah. Aku pertama kali bertemu sarah di kantin, Satria yang mengenalkan kami berdua. Menurut Satria sarah merupakan salah satu sahabat perempuan nya selain aku. Dia mengenal sarah sejak masa orientasi. Tanpa sengaja ditempatkan di kelas yang sama bersama Benny. Ketiganya menjadi teman juga sahabat yang tak pernah terpisahkan. Meskipun tahun ini mereka harus di
Kulangkahkan kakiku memasuki salah satu rumah sakit besar di daerah Jakarta Selatan. Aroma obat-obatan begitu menusuk indra penciumanku, saat aku pertama kali memasuki rumah sakit ini. Memusingkan, membuatku ingin muntah saat menciumnya. Rumah sakit jadi salah satu tempat yang paling tak kusukai setelah kematian Ibu. Pasalnya, setelah kejadian tabrak lari, Ibu akhirnya bisa dibawa ke rumah sakit. Namun sayang pihak rumah sakit mengatakan bahwa Ibu sudah meninggal bahkan sebelum sampai di sana. Bukan pihak rumah sakit yang salah, namun rasanya ada beberapa tempat yang memberikan kenangan pahit bagi hidupku, beberapa tempat diantaranya rumah sakit dan juga jalanan dekat kompleks rumahku dahulu, daerah Sentul. Karena itulah Ayah memutuskan untuk pindah ke Jakarta agar aku bisa lebih fokus menyembuhkan diriku pasca kematian Ibu. Juga agar aku bisa melupakan kejadian menyakitkan yang sudah menimpa Ibu. Nyatanya, luka karena kehilangan tak bisa hilang begitu saja. Rasanya sampai kapan pu