Katanya setiap manusia itu dikarunia lima panca Indra yang berfungsi untuk mendukung kehidupan sehari-harinya, seperti indera peraba, indera penciuman, indra pendengar, indera perasa, dan indera melihat. Namun katanya, ada juga beberapa orang yang memiliki kelebihan dengan memiliki indera keenam yang tak dimiliki oleh semua orang. Katanya indera keenam ini berhubungan dengan hal-hal gaib atau berhubungan juga dengan ramal meramal. Mengenai semua kebetulan yang akhir-akhir ini sering aku alami, seperti melihat suci yang terjatuh dari tangga, melihat diri sendiri yang dikejar-kejar oleh si pelaku pembunuhan. Bahkan melihat kematian Ibu yang bersimbah darah, lalu semua itumenjadi kenyataan. Aku tak tahu tepatnya kapan, tapi seingatku dulu ayah pernah bercerita Hari itu aku mengadu sambil menangis mendapati bahwa kucing peliharaanku mati. Sehari sebelumnya, aku bermimpi bahwa kucing tersebut bisa bicara, mengucapkan salam perpisahan serta ucapan terima kasih karena aku telah merawatnya. A
Kulangkahkan kakiku memasuki salah satu rumah sakit besar di daerah Jakarta Selatan. Aroma obat-obatan begitu menusuk indra penciumanku, saat aku pertama kali memasuki rumah sakit ini. Memusingkan, membuatku ingin muntah saat menciumnya. Rumah sakit jadi salah satu tempat yang paling tak kusukai setelah kematian Ibu. Pasalnya, setelah kejadian tabrak lari, Ibu akhirnya bisa dibawa ke rumah sakit. Namun sayang pihak rumah sakit mengatakan bahwa Ibu sudah meninggal bahkan sebelum sampai di sana. Bukan pihak rumah sakit yang salah, namun rasanya ada beberapa tempat yang memberikan kenangan pahit bagi hidupku, beberapa tempat diantaranya rumah sakit dan juga jalanan dekat kompleks rumahku dahulu, daerah Sentul. Karena itulah Ayah memutuskan untuk pindah ke Jakarta agar aku bisa lebih fokus menyembuhkan diriku pasca kematian Ibu. Juga agar aku bisa melupakan kejadian menyakitkan yang sudah menimpa Ibu. Nyatanya, luka karena kehilangan tak bisa hilang begitu saja. Rasanya sampai kapan pu
Banyak yang bilang, dalam hidup ini kita harus memiliki prasangka baik pada apapun itu, entah pada manusia, bahkan pada kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup. Namun rasanya sulit bagi kita untuk selalu berprasangka baik jika sudah dihadapkan pada suatu peristiwa yang dapat membahayakan diri sendiri. Layaknya aku yang saat ini tengah diselimuti rasa curiga pada Sarah. Teman yang baru kukenal selama kurang lebih empat bulan lamanya. Gadis itu masih menatap kosong padaku. Di sampingku, Satria masih diam membisu, di antara kami masih sibuk dengan isi kepala masing-masing. Selama ini, aku tak pernah punya masalah apapun dengan Sarah. Aku pertama kali bertemu sarah di kantin, Satria yang mengenalkan kami berdua. Menurut Satria sarah merupakan salah satu sahabat perempuan nya selain aku. Dia mengenal sarah sejak masa orientasi. Tanpa sengaja ditempatkan di kelas yang sama bersama Benny. Ketiganya menjadi teman juga sahabat yang tak pernah terpisahkan. Meskipun tahun ini mereka harus di
Ada yang pernah berkata bahwa seorang wanita tak pernah bisa bersahabat dengan lawan jenis, karena satu di antaranya pasti pernah merasakan perasaan melebihi rasa sayang seorang sahabat. Untuk kali ini, aku ingin mengamini kalimat tersebut. Sejak tadi Satria masih menatap kosong pada minuman di hadapannya, sembari jari jemarinya menari bebas di atas meja. Menggambar garis-garis abstrak tak kasat mata tanpa dia sadari. Aku menebak bahwa pernyataan Sarah tadi cukup mengguncang dan mengejutkan baginya.“Gue selama ini suka sama Satria, tapi dia lebih suka sama lu, Dev.” “Hah? Gue? Lu suka sama gue?” dapat kulihat satria menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal.“Iya, lu. Siapa lagi yang punya nama Satria di sini?” “Maksudnya apa sih?” Lelaki di hadapanku masih saja menatap bodoh pada Sarah. Seolah tak dapat mempercayai apa yang sudah didengarnya.“Bohong lah. Mana mungkin gue suka sama lu? Bercanda, Sat. Gila kaku banget sih!” Gelak tawa terdengar begitu saja dari Sarah. Aku y
Jika aku tahu caranya menghilang dari kehidupan ini, mungkin aku akan menghilang saat ini juga. Setelah pertengkaran semalam, aku bahkan tak mampu menatap mata Satria. Rasa bersalah semakin menghantui dan menyelimuti. Sempat tak tidur semalaman hanya untuk sekedar mengucapkan permintaan maaf pada Satria juga Benny. Namun berkali-kali itu pula, pesanku hanya mampu diketik tanpa pernah bisa dikirim pada si pemiliknya. Pagi ini Satria tiba-tiba saja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk bertukar tempat dengan Hendra- si pendiam yang sering duduk di paling pojok kelas. Duduk dengan orang asing membuatku amat sangat kikuk. Belum lagi pelajaran Matematika yang amat sangat membuatku mengantuk juga pusing, maka dengan terpaksa aku akhirnya memilih untuk keluar kelas dengan alasan pergi ke toilet. Membolos sehari saja tidak apa bukan? Hari ini aku ingin pergi ke tempat di mana tak ada siapapun yang menemukanku. Maka dengan tak tentu arah, aku melangkahkan kaki begitu saja. Berjalan kemanapun
Ada beberapa hal yang kadang disesali dalam hidup, mungkin momen ini jadi salah satu momen yang akan paling kusesali. Walau dalam skala yang kecil bukan termasuk penyesalan yang besar. Namun tetap saja, rasanya aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga puluh menit membolos dengan duduk berhadapan si berandal macam Fadil. Sejak tadi lelaki itu hanya sibuk minum kopi juga makan pisang goreng gula merah buatan Bu Enah-Pemilik warkop belakang sekolah. Tak ada sedikitpun pembahasan mengenai Pak Salim keluar dari mulutnya. Aku yang mulai jengah dengan tingkah lakunya akhirnya mencoba memulai pembicaran. “Gue mau balik ke kelas.” ujarku bangkit begitu saja. Fadil masih diam di tempatnya. Masih menyantap pisang goreng yang tinggal tersisa potongan kecil. “Bu, Pisang gorengnya tiga lagi, ya, terus sama mie ayamnya dua porsi, kaya biasa nggak usah pakai sayur. Eh satunya pakai sayur deh,” Melihat tingkah lakunya yang tak menggubris ucapanku, aku menghela nafas panjang beberapa kali. Mendengar hel
Di usiaku sekarang, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di ruang BK untuk menerima sebuah hukuman. Salah jika ada yang mengatakan bahwa ruang BK hanya untuk siswa berandal yang tak berprestasi. Pada kenyataannya, aku pernah beberapa kali memasuki ruangan ini untuk konsultasi mengenai penjurusan juga minat serta bakat belajar - di sekolahku dahulu. Namun detik ini, aku sudah menjelma menjadi siswa yang membangkang. Aku duduk seorang diri di deretan bangku yang masih kosong. Di sampingku ada tv cembung jaman dahulu yang sedang menyala. Menampilkan berita kenaikan BBM yang membuat masyarakat miskin semakin sulit saja menjalani kehidupan. Sempat hendak membuka mulut, hanya untuk sekedar menyampaikan pendapat. Tapi aku memilih untuk bungkam, lalu menatap sekilas pada seorang wanita yang mengenakan hijab. Kulihat Bu Susan tengah mencatat beberapa poin tentang kenakalan yang sudah kulakukan. Dari arah berlawanan terdengar suara pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang tadi pagi menem
Terlahir sebagai anak tunggal membuatku terbiasa mengambil semua keputusan seorang diri. Tak ada seorang pun yang bisa menjadikan tempat bercerita dan berbagai selain kedua orang tua, khususnya Ibu. Ibu menjadi tempat paling nyaman bagiku untuk menceritakan semua hal. Sayang, selama Ibu meninggal, aku sudah tak punya tempat untuk bercerita. Tak punya tempat untuk sekedar menumpahkan segala keresahan dan kegundahan hati. Bahkan untuk sekedar bercerita mengenai hal sepele seputar masalah sekolah saja aku tak mampu menceritakannya pada Ayah. Bukankah aku sudah bercerita sebelumnya, bahwa Ayah telah banyak berubah semenjak kematian Ibu? Kematian memang selalu membawa banyak perubahan selain luka yang mendalam. Satria menjadi satu-satunya tempat yang bisa kupercaya, namun jika sudah begini, kepada siapa lagi aku bercerita? Terlebih mengenai semua kejadian hari ini. “Jika kamu melangkah mungkin ada hasil, mungkin tidak ada hasil. Tapi, jika kamu tidak melangkah, sudah pasti tidak ada has
Musim hujan masih bertahan jauh lebih lama di tahun ini, hari ini Ibukota kembali diguyur hujan lebat. Seolah semakin membuat hati yang pilu terasa lebih pilu. Aku menatap ke arah luar jendela mobil yang menampilkan tampias air hujan. Memberikan kesan sendu yang sangat pekat di hati.Jauh di dalam lubuk hatiku teriris hebat menyaksikan betapa sesak tangisan seorang ibu yang kehilangan anak semata wayangnya dalam usia yang sangat muda. Pagi tadi sekolah kembali dihebohkan dengan kabar yang tak mengenakkan bagi siapapun yang mendengarnya. Suci yang sudah terbaring koma selama kurang lebih satu bulan tak mampu lagi bertahan.Gadis berkulit pulih dengan rambut coklat itu mengakhiri hidupnya setelah segala upaya keras para tenaga medis kerahkan. Setelah rapalan doa kedua orangnya minta tiap malam demi kesembuhan putri mereka.Tentunya setelah semua rasa sesal dan bersalah melingkupi hati. Aku masih ingat bagaimana pilu dan perihnya tangis kehilangan Ibu Marta saat jenazah Suci diturunka
“Gue udah ambil keputusan,” pernyataan itu keluar pertama kali dari mulutku di hadapan kedua orang yang masih mematung, sembari menautkan kedua alis mereka. Tentunya mereka sedang kebingungan saat ini. Mungkin keduanya mempertanyakan hendak dibawa kemana pembicaraan ini. Aku menarik nafas panjang, lalu kembali melanjutkan, “Gue mau berhenti cari tahu siapa pelaku pembunuhan dan teror di sekolah.” Sekilas, aku mendongak menanti reaksi yang diberikan oleh Satria juga Sarah.Sepulang dari kegiatan mading tadi, aku mengirimi pesan pada Satria juga Sarah. Memberitahu bahwa ada yang perlu ku katakan pada mereka, tentunya tanpa keterlibatan Benny. Karena memang lelaki itu membuat keputusan untuk berhenti melakukan pencarian, bahkan tak ingin terlibat dengan semua hal yang berhubungan dengan kasus pembunuhan maupun teror. Meskipun demikian, mungkin saja aku akan mengirimi lelaki itu sebuah pesan dengan pernyataan yang sama. Bukan tanpa maksud apapun, hanya ingin meyakinkan bahwa lelaki itu t
Terlahir sebagai anak tunggal membuatku terbiasa mengambil semua keputusan seorang diri. Tak ada seorang pun yang bisa menjadikan tempat bercerita dan berbagai selain kedua orang tua, khususnya Ibu. Ibu menjadi tempat paling nyaman bagiku untuk menceritakan semua hal. Sayang, selama Ibu meninggal, aku sudah tak punya tempat untuk bercerita. Tak punya tempat untuk sekedar menumpahkan segala keresahan dan kegundahan hati. Bahkan untuk sekedar bercerita mengenai hal sepele seputar masalah sekolah saja aku tak mampu menceritakannya pada Ayah. Bukankah aku sudah bercerita sebelumnya, bahwa Ayah telah banyak berubah semenjak kematian Ibu? Kematian memang selalu membawa banyak perubahan selain luka yang mendalam. Satria menjadi satu-satunya tempat yang bisa kupercaya, namun jika sudah begini, kepada siapa lagi aku bercerita? Terlebih mengenai semua kejadian hari ini. “Jika kamu melangkah mungkin ada hasil, mungkin tidak ada hasil. Tapi, jika kamu tidak melangkah, sudah pasti tidak ada has
Di usiaku sekarang, aku baru pertama kali menginjakkan kaki di ruang BK untuk menerima sebuah hukuman. Salah jika ada yang mengatakan bahwa ruang BK hanya untuk siswa berandal yang tak berprestasi. Pada kenyataannya, aku pernah beberapa kali memasuki ruangan ini untuk konsultasi mengenai penjurusan juga minat serta bakat belajar - di sekolahku dahulu. Namun detik ini, aku sudah menjelma menjadi siswa yang membangkang. Aku duduk seorang diri di deretan bangku yang masih kosong. Di sampingku ada tv cembung jaman dahulu yang sedang menyala. Menampilkan berita kenaikan BBM yang membuat masyarakat miskin semakin sulit saja menjalani kehidupan. Sempat hendak membuka mulut, hanya untuk sekedar menyampaikan pendapat. Tapi aku memilih untuk bungkam, lalu menatap sekilas pada seorang wanita yang mengenakan hijab. Kulihat Bu Susan tengah mencatat beberapa poin tentang kenakalan yang sudah kulakukan. Dari arah berlawanan terdengar suara pintu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang tadi pagi menem
Ada beberapa hal yang kadang disesali dalam hidup, mungkin momen ini jadi salah satu momen yang akan paling kusesali. Walau dalam skala yang kecil bukan termasuk penyesalan yang besar. Namun tetap saja, rasanya aku sudah menyia-nyiakan waktu tiga puluh menit membolos dengan duduk berhadapan si berandal macam Fadil. Sejak tadi lelaki itu hanya sibuk minum kopi juga makan pisang goreng gula merah buatan Bu Enah-Pemilik warkop belakang sekolah. Tak ada sedikitpun pembahasan mengenai Pak Salim keluar dari mulutnya. Aku yang mulai jengah dengan tingkah lakunya akhirnya mencoba memulai pembicaran. “Gue mau balik ke kelas.” ujarku bangkit begitu saja. Fadil masih diam di tempatnya. Masih menyantap pisang goreng yang tinggal tersisa potongan kecil. “Bu, Pisang gorengnya tiga lagi, ya, terus sama mie ayamnya dua porsi, kaya biasa nggak usah pakai sayur. Eh satunya pakai sayur deh,” Melihat tingkah lakunya yang tak menggubris ucapanku, aku menghela nafas panjang beberapa kali. Mendengar hel
Jika aku tahu caranya menghilang dari kehidupan ini, mungkin aku akan menghilang saat ini juga. Setelah pertengkaran semalam, aku bahkan tak mampu menatap mata Satria. Rasa bersalah semakin menghantui dan menyelimuti. Sempat tak tidur semalaman hanya untuk sekedar mengucapkan permintaan maaf pada Satria juga Benny. Namun berkali-kali itu pula, pesanku hanya mampu diketik tanpa pernah bisa dikirim pada si pemiliknya. Pagi ini Satria tiba-tiba saja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk bertukar tempat dengan Hendra- si pendiam yang sering duduk di paling pojok kelas. Duduk dengan orang asing membuatku amat sangat kikuk. Belum lagi pelajaran Matematika yang amat sangat membuatku mengantuk juga pusing, maka dengan terpaksa aku akhirnya memilih untuk keluar kelas dengan alasan pergi ke toilet. Membolos sehari saja tidak apa bukan? Hari ini aku ingin pergi ke tempat di mana tak ada siapapun yang menemukanku. Maka dengan tak tentu arah, aku melangkahkan kaki begitu saja. Berjalan kemanapun
Ada yang pernah berkata bahwa seorang wanita tak pernah bisa bersahabat dengan lawan jenis, karena satu di antaranya pasti pernah merasakan perasaan melebihi rasa sayang seorang sahabat. Untuk kali ini, aku ingin mengamini kalimat tersebut. Sejak tadi Satria masih menatap kosong pada minuman di hadapannya, sembari jari jemarinya menari bebas di atas meja. Menggambar garis-garis abstrak tak kasat mata tanpa dia sadari. Aku menebak bahwa pernyataan Sarah tadi cukup mengguncang dan mengejutkan baginya.“Gue selama ini suka sama Satria, tapi dia lebih suka sama lu, Dev.” “Hah? Gue? Lu suka sama gue?” dapat kulihat satria menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal.“Iya, lu. Siapa lagi yang punya nama Satria di sini?” “Maksudnya apa sih?” Lelaki di hadapanku masih saja menatap bodoh pada Sarah. Seolah tak dapat mempercayai apa yang sudah didengarnya.“Bohong lah. Mana mungkin gue suka sama lu? Bercanda, Sat. Gila kaku banget sih!” Gelak tawa terdengar begitu saja dari Sarah. Aku y
Banyak yang bilang, dalam hidup ini kita harus memiliki prasangka baik pada apapun itu, entah pada manusia, bahkan pada kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup. Namun rasanya sulit bagi kita untuk selalu berprasangka baik jika sudah dihadapkan pada suatu peristiwa yang dapat membahayakan diri sendiri. Layaknya aku yang saat ini tengah diselimuti rasa curiga pada Sarah. Teman yang baru kukenal selama kurang lebih empat bulan lamanya. Gadis itu masih menatap kosong padaku. Di sampingku, Satria masih diam membisu, di antara kami masih sibuk dengan isi kepala masing-masing. Selama ini, aku tak pernah punya masalah apapun dengan Sarah. Aku pertama kali bertemu sarah di kantin, Satria yang mengenalkan kami berdua. Menurut Satria sarah merupakan salah satu sahabat perempuan nya selain aku. Dia mengenal sarah sejak masa orientasi. Tanpa sengaja ditempatkan di kelas yang sama bersama Benny. Ketiganya menjadi teman juga sahabat yang tak pernah terpisahkan. Meskipun tahun ini mereka harus di
Kulangkahkan kakiku memasuki salah satu rumah sakit besar di daerah Jakarta Selatan. Aroma obat-obatan begitu menusuk indra penciumanku, saat aku pertama kali memasuki rumah sakit ini. Memusingkan, membuatku ingin muntah saat menciumnya. Rumah sakit jadi salah satu tempat yang paling tak kusukai setelah kematian Ibu. Pasalnya, setelah kejadian tabrak lari, Ibu akhirnya bisa dibawa ke rumah sakit. Namun sayang pihak rumah sakit mengatakan bahwa Ibu sudah meninggal bahkan sebelum sampai di sana. Bukan pihak rumah sakit yang salah, namun rasanya ada beberapa tempat yang memberikan kenangan pahit bagi hidupku, beberapa tempat diantaranya rumah sakit dan juga jalanan dekat kompleks rumahku dahulu, daerah Sentul. Karena itulah Ayah memutuskan untuk pindah ke Jakarta agar aku bisa lebih fokus menyembuhkan diriku pasca kematian Ibu. Juga agar aku bisa melupakan kejadian menyakitkan yang sudah menimpa Ibu. Nyatanya, luka karena kehilangan tak bisa hilang begitu saja. Rasanya sampai kapan pu