"Nama kamu bagus. Lintang Astuti. Saya panggil kamu, apa?" tanya wanita tua di depanku.
Aku mengangkat dagu, menatapnya. Dia duduk tegak dengan kepala mendongak, baju kebaya berhias bordiran dan rambut berwarna hitam semburat putih disasak ke atas, terlihat jelas, dia seorang priyayi.
"Ditanya kok malah bengong!"
Suara kerasnya mengalihkan perhatianku.
"As-Astuti saja, Bu." Aku langsung duduk dengan menegakkan badan, namun kepala kembali menunduk menatap lantai.
"Panggil saya, Den Ajeng. Kamu ini tidak bisa masak, tapi pintar bersih-bersih, benar?"
"Iya, Den Ajeng."
"Saya juga tidak butuh tukang masak! Kerjaan kamu membersihkan rumah, jangan sampai ada debu. Kalau nyapu, dirapikan juga. Pembantu yang dulu, kerja tidak pakai otak. Dia nyapu, tapi meja, buffet dan lemari tidak dibersihkan! Kamu beneran bisa bersih-bersih?!"
"Bisa."
"Saya tidak suka pembantu jorok, bau, apalagi ganjen. Di rumah ini, ada anak saya laki-laki. Sekarang, bawa bawaanmu ke kamar yang di ujung. Satu jam lagi, saya tunggu. Cepat!"
"Iya, Den Ajeng," jawabku, kemudian langsung ke belakang dengan membawa tas lusuh berisi pakaian.
"Eh, kamu sini dulu!"
Teriakannya menghentikan langkahku. Aku berbalik menghampirinya.
"Jangan meninggalkan saya bicara dengan memunggungi saya. Kamu harus mundur dulu, baru balik badan. Ngerti?!"
Aku terperangah mendengarnya, ini hal baru untukku. Aku mengangguk dan melakukan apa yang diperintahkan, mundur beberapa langkah kemudian berbalik menuju kamar.
Suasana terasa berbeda. Terasa jelas, sikapnya menjaga jarak antara majikan dan pembantu. Ada aturan khusus yang baru aku mengerti.
Aku suka ini.
*
Masih ada waktu tiga puluh menit, aku sudah merapikan kamar kecil yang ditunjukkan tadi. Bersih, rapi dan lumayan nyaman, walaupun jauh dari kamarku di rumah. Di sini hanya ada jendela kecil menghadap halaman belakang, tidak seperti kamarku dengan jendela lebar menghadap kolam renang dan taman.
Yah, di sinilah aku terdampar. Aku ingin riset melengkapi bahan tulisanku sekarang, tentang pembantu yang teraniaya.
"Gila kamu, Lintang! Beneran ingin jadi pembantu beneran? Serius?!" protes Laila temanku, beberapa hari yang lalu.
Dia mempunyai perusahaan penyedia tenaga kerja, biasanya perusahaanku mencari penjahit di sana. Aku minta tolong untuk mencari majikan yang rewel.
"Beneran. Aku serius, La. Aku sudah riset dengan ngobrol dengan pembokat, tapi aku tidak dapat feelnya. Walaupun, aku menulis fiksi, jangan sampai cacat logika. Iya, kan?"
"Tapi, kagak sampai gitu, kali! Kuat, kamu?" Laila memastikan lagi
"Kalau bersih-bersih, itu hal kecil bagiku. Asal jangan masak, ya? Laila, semakin orangnya rewel semakin aku suka. Ingat, ya!"
Aku memang mempunyai usaha garmen yang sudah bersistem. Dasar design sepenuhnya dariku dan akan dikembangkan tim design. Sudah ada tim pemasaran, tim produksi, dan ada direktur operasional yang menjalankan keseharian perusahaan. Tugasku hanya kebijakan umum, kontrol dan memberikan design di setiap musim.
Itu saja.
Seterusnya, aku nganggur!
Saat masuk musim pemasaran dan produksi, aku mempunyai luang untuk menulis karangan fiksi. Awalnya hanya iseng, dan sekarang semakin asyik. Dalam segala pekerjaan, aku menuntut kesempurnaan, termasuk dalam menulis. Aku tidak mau nanti dibully karena masuk akal. Bisa malu, apalagi tulisan ini di posting di internet, yang jejak digitalnya seumur hidup.
Karena itulah, risetku ini harus sempurna. Semua properti disiapkan oleh Laila, mulai dari tas bekas, baju lusuh, sandal jepit trepes, dan ponselku diganti ponsel jadul. Bahkan selama dua minggu, aku dilarang menggunakan lotion atau perawatan kulit lainnya. Beneran dia ngerjain aku.
"Melamar pembokat harus total, pembokat itu kulitnya kagak mulus, kukunya juga bukan bekas meni pedi kayak ini! Supaya penyamaran kamu kagak cacat logika!" papar Laila
Demi riset, aku turuti anjurannya. Mbak di rumah sampai heran, aku ikutan bersih-bersih juga. Pekerjaan seperti ini, sebenarnya bukan hal berat untukku yang menyukai kebersihan dan kerapian. Teman-temanku sampai menyebutku penderita OCD, hanya gara-gara ini.
"Astuti! Astuti!" teriakan dari Den Ajeng.
Akhirnya, aku harus bersiap memulai riset.
*
Pekerjaan pertama, aku membersihkan dan merapikan ruang kerja anaknya. Selama bekerja, majikanku ini menunggui sambil bercerita tentang keseharian, termasuk anak semata wayangnya ini.
Dia bernama Raden Langit Baksoro. Kesehariannya di perusahaan batik yang sebelumnya dikelola bapaknya--suami Den Ajeng. Sejak suami Den Ajeng meninggal dua tahun yang lalu, Den Langit yang masih kuliah terpaksa berhenti dan konsentrasi di perusahaan warisan itu.
"Kasihan Langit, dia tidak bisa menikmati masa mudanya. Saya pun membantu, walaupun hanya sekedar mengelola keuangan. Itu pun sepertinya tidak sanggup lagi. Langkah Langit begitu cepat, saya tidak bisa mengimbangi," ucapnya dengan menatap jendela.
Aku mendengarkan keluh kesahnya sambil menata file yang berantakan sesuai dengan abjad, dan merapikan map di meja disamakan dengan warna sampul. Kebiasaanku saat bekerja, entah ini sesuai atau tidak.
"Sekarang saya bingung, Langit membuka pemasaran ke luar negeri. Pembayaran tidak menggunakan rupiah lagi. Orang Singapur minta rekening dollar, orang Jepang minta rekening yen, malah orang Perancis minta rekening euro. Pusing, saya!" Majikanku ini, memijit pelipisnya sambil memejamkan mata.
Aku menoleh ke arahnya, apa yang dipusingkan? Mendapat pemasukan, kok malah bingung.
"Saya kemarin ke bank langganan, dia hanya mempunyai rekening dollar US. Jadi, kalau ada yang kirim yen, harus diputer dulu ke dollar, itu pun saat penarikan, diputer lagi jadi rupiah. Pusing saya nulis di laporan," ucapnya lagi. Sekarang tidak hanya memijit pelipis, tetapi berpindah memijit kepala dengan kedua tangannya.
"Eh, Astuti! Kenapa saya malah curhat ke kamu, ya. Mana tahu kamu tentang dollar, euro, yen, atau rekening bank!" Satu sudut bibir ditarik ke atas, kemudian dia berjalan mendekati jendela dan berguman, entah apa.
Aku menjadi kasihan.
"Ada tabungan multicurrency namanya. Tabungan dengan dua belas mata uang dalam satu rekening, Den. Kita juga bisa mencairkan dalam bentuk rupiah atau dalam mata uang asing. Tukar valas juga bisa lewat online!" celetukku dengan semangat.
Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut.
"Darimana kau tahu?"
Duh!
Harusnya aku tetap bersikap tidak tahu. Kalau seperti ini, penyamaranku menjadi cacat logika.
Gajah mangan kawat tenan, iki.
Gawat!
******
Den Ajeng langsung menoleh ke arahku dengan kedua alis bertaut."Darimana kau tahu?" Aku menatapnya, kemudian meletakkan buku katalog tebal di sebelah komputer. Otakku berputar mencari alasan yang masuk logika. Lucu, kalau baru satu hari penyamaranku sudah terbongkar."Sa-saya pernah dengar dari majikan sebelumnya, Den Ajeng. Dia mempunyai barang yang dijual ke luar negeri. Karena saya yang membersihkan kantor, jadi saya sering dengar gituan."Den Ajeng mengangguk-angguk, sambil berguman, "Aku pikir kamu tahu beneran. Ya tidak mungkinlah. Mosok orang seperti kamu ngerti multi-multian!""Yo, wes! Aku tinggal dulu. Ingat! Yang bersih dan rapi!" teriaknya dengan tangan menjulur ke atas rak folder. Kemudian dia memperhatikan jemarinya, terakhir tersenyum, mungkin itu tanda puas.Lega rasanya.Aku lolos.***Rumah ini lumayan besar. Kelihatan sekali mereka dulu orang berada. Bangunan dengan ornamen ukiran kayu dimana-mana. Bagus, namun aku tidak terlalu suka, karena pencahayaan yang kura
"Beneran, ini yang nganter sampeyan?" tanya Lek Ningsih memastikan. Tadi dia sempat heran, kenapa Den Langit menyuruhku yang mengantar minumannya. Katanya, dia paling anti dengan orang baru."Sini dulu, Tik," pintanya, menarikku lebih dekat. Dia mengendus-endus rambut dan bajuku. "Aman! Den Langit itu, paling tidak suka dengan orang jorok. Juga bau wangi parfum seperti minyak nyong-nyong. Sampeyan tidak bau, malah seger."Dia belum tahu, ini titik terendah keadaanku. Tanpa perawatan apapun, hanya roll on dengan aroma shea butter favoritku."Ini, Den Langit." Aku menyodorkan teh di sebelahnya, kemudian segera akan berlalu. "Heh, siapa yang menyuruhmu keluar? Kamu harus di sini! Siapa nama kamu?!" Teriaknya setelah menyesap teh."Saya Astuti."Dia meletakkan berkas di tangannya, dan berdiri mendekatiku. Bau wewangian kayu menguar lekat bersamaan jarak yang mulai terkikis. Aku mulai sesak napas, dia begitu dekat."Minggir kamu, Tik!" ucapnya dengan memegang kedua bahu ini dan mendoron
"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. "Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah."Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?"Ha-ha-ha ...!" Ta
Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pe
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen
Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua
Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du
Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer
Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup
POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da
POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak
Pagi-pagi Mahardika sudah datang. Mas Langit yang menelponnya.Entah, apa yang dibicarakan mereka. Dari meja makan, aku lihat mereka berbincang serius. Mas Langit seperti memberi arahan kepada Dika. "Dika, kau makan saja dulu. Aku tadi sudah makan roti," ucap suamiku kemudian meneguk teh hangat. Setelahnya, aku berdiri merapikan kemeja. Bersiap mengantarkan dia pergi kerja."I love you," bisik Mas Langit saat mengecup pipiku. Wajah ini menghangat, bukan karena apa, karena Mahardika menatap kami dengan lekat."Ini contoh memperlakukan istri," seloroh Mas Langit. Dia menggoda Mahardika lagi seperti biasanya. "Cepetan Magdalena diikat! Biar si Kembar cepet punya adik!" tambahnya."Iya. Ini lagi usaha! Cepet berangkat sana. Tenang saja, semua pesanmu aku laksanakan!" teriak Mahardika sambil menunjukkan jempolnya.Aku mengantar Mas Langit sampai depan. Walaupun dengan langkah pelan, aku tetap melakukannya. Mengantar suami bekerja seperti memberi semangat dan doa untuk suami supaya peker
Sesuai janjinya, Mahardika datang ke rumah. Dia menunggu kelahiran si Kembar. Yang berbeda sekarang, dia tidak tidur di rumah seperti biasanya, namun dia tinggal di hotel. Alasannya, ke kota ini sambil mengurus pekerjaan sekaligus menunggu waktu lahiran.Aku mengerti, dalam pikiranku ini dikarenakan dia sudah tidak sendiri lagi. Ada Magdalena, yang bisa jadi merasa aneh dengan yang dilakukan. Menunggu istri orang melahirkan.Katanya, dia hanya mengawasi pekerjaan sesekali saja, jadi bisa menemaniku di siang hari saat Mas Langit ke pabrik. Mas Langit pun tidak keberatan dengan hal ini, dia merasa tenang. Padahal di rumah sudah ada Bulek Ningsih dan perawat yang khusus mengawasiku, dengan adanya Mahardika semua lebih aman. Itu kata suamiku.Di rumah, Mahardika disibukkan dengan mempersiapkan kamar si Kembar. Kamar dan perabotannya, sudah dilengkapi Mas Langit, sekarang giliran Mahardika mengatur kelambu, sprei, baju, selimut, dan semua yang berbahan kain. Memang dia sudah bilang sedari
Memang kesendirian sering menimbulkan pikiran negatif. Kalau biasanya tidak ada Mas Langit, aku di ribetin dengan cerewetnya Mahardika, ini sudah satu bulan dia tidak ada kabar. Mungkin dia tenggelam dengan kesibukan butik. Terakhir, dia ada fashion show di Singapura.Kesal hati ini, tiba-tiba dia tidak muncul sama sekali. Apa dia tidak kangen dengan keponakannya ini? Aku mengelus perutku yang membuncit sangat. Untuk jalanpun mulai kesusahan, kadang dada ini sesak saat mereka meluruskan badan. Bahkan pernah, kakinya berbayang di perut. Seandaikan Dika tahu, pasti dia senang sekali.'Dika, aku kangen.'Kenapa tidak aku hubungi saja? Aku raih ponsel di atas nakas. Lebih baik aku hubungi sambil menunggu Mas Langit yang masih membersihkan badan.Aku mengernyitkan dahi, menatap foto profilnya. Dia berfoto dengan perempuan cantik dengan berlatar belakang patung Singa lambang Singapura. Mereka tertawa bersama, menandakan bahagia.Senyum ini mengembang dengan sendirinya, menatap foto ini se