Share

Bab 4. Mi Instan

Author: Astika Buana
last update Last Updated: 2022-11-17 22:57:33

"Sa-saya tidak bisa menyalakan kompor gas," ucapku kemudian menunduk, menghindari sorot matanya.

Dengan langkah panjangnya, Den Langit mendekat dan dengan memiringkan kepala dia bertanya, "Selama ini, kamu masak pakai apa?" Tercium nada curiga di sana.

Aku menunduk sambil memilin ujung baju kaos, mengikuti saran Laila. 

"Ini kamu lakukan pada posisi, saat seharusnya merasa gugup atau takut. Gunakan waktu jeda ini untuk berpikir. Mengerti?" ucapnya saat itu. "Jangan bersikap seperti sekarang. Posisikan menjadi orang yang tidak banyak tahu, orang dari tempat yang tidak ada teknologi. Tapi, aku kok ragu, kami bisa melakukan ini."

Huuft, Laila meragukan aku. Belum tahu dia, aku jago berkilah.

"Di kampung tidak ada kompor gas, Den. Kami menggunakan kayu bakar dan kompor sumbu. Sa-saya takut dengan kompor gas, takut meledak." Aku mengangkat dagu, meliriknya sebentar dan kembali menunduk. 

Tidak ada reaksi darinya, dia hanya memandangku. Apa aktingku tidak menyakinkan, ya?

"Ha-ha-ha ...!" Tawanya mengagetkanku, aku menatapnya dengan mengernyitkan dahi.

"Zaman sekarang, masih ada orang seperti kamu. Orang sudah akan pindah ke Mars, eh kamu masih takut kompor gas!" ledek Den Langit dan terus tertawa terkekeh.

Aku melirik dan menarik sedikit ujung bibir ini, akhirnya lolos. 

Untuk hal ini, aku berkata jujur. Ketakutanku karena dahulu saat kecil, pernah terjadi ledakan kompor gas di rumah. Aku mengerti, ini karena kebocoran. Namun, memegang knopnya saja, aku merasa akan ada ledakan kemudian. 

Ketakutan ini sampai sekarang. Karena itulah, aku menggunakan kompor induksi--kompor energi elektromagnetik--cukuplah untuk diriku yang masih lajang. Itupun jarang dipakai.

"Ayo! Aku temani masak!" teriaknya, kemudian mendahuluiku masuk ke dapur. Terpaksa, aku mengikutinya.

"Benar, kamu tidak makan?" tanyanya saat menjerang air. 

"Tidak, Den. Perempuan, tidak baik makan tengah malam," jawabku sambil menyiapkan mangkok dan pelengkap mi instan: sawi hijau, cabe kecil, bakso, dan sosis sapi. Aku beri keratan memanjang di tiga sisi sosir, kemudian baru dipotong-potong, begitu juga bakso dikerat silang.

Dengan cekatan, Den Langit merebus air, memasukkan mi dan pelengkapnya. Setelah itu, memberikan kepadaku. Memang, aku tidak jago masak. Namun untuk penyajian makanan, lumayan bisa diandalkan. Mi dimasukkan mangkok, sawi, dan menyusul sosis dan bakso berbentuk bunga, kemudian aku tata rapi.

"Cantik .... "

Aku menoleh ke arahnya, sejenak suasana menjadi hening. Kesan manis begitu lekat pada laki-laki berewokan ini, jauh dari kata sangar.

"Maksud saya, mi ini cantik! Ada bunga sosis dan bakso. Kalau makan, ada yang cantik gini, jadi semangat!" Kemudian dia duduk di meja makan, menungguku menghidangkan makanan. 

Huuft! 

Aku menghela napas, mengingat kebersamaan kami tadi. Sesaat, aku lupa kalau berperan sebagai pembantu. 

Ini bisa merusak rencana risetku.

Kalau ketahuan, bisa jadi Den Ajeng menyebutku ganjen. Pembantu yang berani menggoda anak majikan. 

Ganjen yang artinya genit, ya, bukan gajah mangan jenang.

*

Pagi subuh, aku sudah dibangunkan Bulek Ningsih. Setelah salah bersama, kami memulai aktifitas. Bik Ningsih pergi ke pasar dan aku mulai membersihkan dalam  rumah.

Tadi sempat ditanya Bik Ningsih, apakah aku memasak tadi malam. Aku jawab saja, Den Langit yang masak, tanpa menceritakan kalau aku menemaninya. 

Aku mulai dengan membersihkan ruang keluarga. Jajaran pigura foto, tertata rapi di atas meja panjang. Beberapa, ada foto hitam putih menggunakan baju tradisional dan foto di waktu sekarang.

Di dinding ada foto dengan pigura kayu berukir indah. Den Ajeng duduk memangku bayi, diapit seorang laki-laki berkumis dan seorang anak laki-laki. Mereka menggunakan baju adat Jawa. 

Sebentar!

Ada pigura foto yang tergeletak di meja depan televisi, aku mengambilnya. Dua remaja laki-laki berangkulan. Yang satu berkumis tipis dan satunya lagi terlihat masih muda dan menawan. Mereka tertawa bersama, tawa yang mirip. Mungkin yang berkumis ini Den Bumi, kalau begitu, yang menawan ini adalah Den Langit?

Ya, aku ingat. 

Tadi malam, aku melihatnya terisak sambil memegang pigura foto. Berarti, foto ini yang membuatnya menangis. Mungkin dia merindukan kakaknya.

"Tutik! Ambilkan saya berkas meeting hari ini di map warna merah. Saya tunggu di meja makan," ucap Den Langit mengagetkanku. Tiba-tiba saja dia ada dibelakangku. Pelan, aku letakkan pigura foto itu, dan berbalik menghadapnya.

"Nama kamu Tutik, kan?"

"Astutik, Den."

"Yah, sama saja! Aku panggil kamu Tutik saja! Dengar yang saya suruh tadi?"

"Iya," jawabku, kemudian mundur dan meninggalkannya. Aku berusaha menjaga jarak, demi riset berhasil.

Aku meletakkan sapu dan lap di belakang, mencuci tangan, kemudian ke ruang kerja. Tadi aku akan mengambil map warna merah, tetapi di meja ada tiga tersebut. Satu berisi berkas penawaran barang, kedua berisi portfolio, dan yang ketiga berisi perjanjian kerja sama. 

Kalau melihat isinya, ini pasti ketiganya akan dibawa. Semua menunjang untuk bahan meeting.

"Ketiga map saya masukkan di tas ini, Den. Tolong diperiksa. Apakah ini benar?" Aku meletakkan di kursi di sebelahnya. 

Den Langit menaruh sendok dan garpu, kemudian menatapku. "Saya tadi bilang apa? Kenapa kamu berikan ketiga map? Saya bilang jumlahnya?"

"Ada apa, Lang? Kok ribut?" Den Ajeng, ibunya baru saja datang dan duduk di depannya. "Astuti ada salah?" tanyanya lagi.

Aku menatap Den Langit dan Den Ajeng bergantian, kemudian dengan menundukkan kepala menjelaskan alasanku. "Tadi Den Langit menyuruh mengambil map warna merah, karena di meja ada tiga, ya, saya bawa semua."

"Kenapa kamu tidak ambil satu?" tanyanya menyelidik. Aku merasa, dia mulai mencurigai sesuatu. Kalau aku jelaskan, isi ketiganya adalah bahan meeting, pasti dia akan curiga.

"Ka-kalau begitu, saya salah. Maaf." 

Aku harus bersikap tidak mengerti dan bingung, dengan mengembalikan map itu ke ruang kerja. 

"Saya akan kembalikan ini," ucapku sambil meraih tas berisi map tadi. Aku terkesiap, tanganku yang memegang tas, digenggamnya.

"Kamu tidak salah. Ini benar, kok," kata Den Langit dengan nada melunak. Tangan satunya melepas tanganku, dan sekarang tas berada di tangannya. Aku terpaku dengan tangan masih menggantung di udara. 

"Langit, Langit! Kamu ini jangan jahil ke Astuti. Kasihan dia!" celetuk Den Ajeng menyadarkanku. 

Segera aku permisi dan meninggalkan mereka. Meregangkan badan yang pegal karena selalu membungkukkan badan. Sikap badan yang biasanya tegak, sementara aku tinggalkan. Leher juga terasa kaku, seharian harus menunduk. 

"Tik, dipanggil Den Ajeng" panggil Bulek Ningsih dari jendela dapur. 

"Saya?" tanyaku sambil menunjuk diriku.

"Iya, cepetan. Di ruang tengah."

Aku langsung ke sana, semoga tidak ada masalah. Aku kawatir, dia tahu tentang kejadian semalam.

Di ruang tengah, sudah ada mereka berdua yang duduk di kursi sofa. Den Ajeng langsung menunjuk kursi kecil, untuk aku duduk. Ada apa lagi ini?

"Astuti, kamu kemarin bicara tabungan multi-multian itu, lo? Saya sudah cerita kepada Langit," ucap Den Ajeng.

"Tabungan di bank apa itu?" tanya Den Langit dengan menatapku lekat.

Duh, aku harus cari cerita yang tepat dan masuk akal di pikiran mereka. Dengan begitu mereka percaya dan aku bisa melanjutkan programku ini.

"E .... Saya pernah ikut majikan ke bank. Momong anaknya, Den. Itu, bank yang plangnya merah yang dekat alun-alun. Saya baca promosi yang dipasang. Tulisannya tabungan multicurrency, katanya satu nomor tabungan bisa berisi dua belas mata uang. Majikan saya yang tanya ke tukang bank," paparku dengan hati-hati. 

Aku berusaha memilih kata yang paling sederhana, supaya tidak ketahuan. Ternyata susah juga.

"Bank apa namanya?" tanya Den Langit. 

"Sa-saya tidak tahu," jawabku cepat. Kalau aku kasih tahu nama banknya, aku akan terkesan menggurui mereka. Tidak! Aku harus tetap bersikap tidak tahu, walaupun mulut ini sudah gatal.

"Kalau begitu, besuk kamu ikut aku ke sana!" ucapnya setelah minum dan beranjak pergi. Begitu juga Den Ajeng, mengikuti Den Langit ke depan, mengantar anak semata wayang berangkat kerja.

Aku diam mematung. Kalau aku ikut dia ke bank, bisa jadi berantakan.

Duh! 

Bagaimana caranya mengatasi petugas costumer service di bank itu. Sedangkan, aku sudah dikenal sebagai nasabah prioritas.

Pusing, aku!

*******

Related chapters

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 5. Berbincang

    Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola. Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara. Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pe

    Last Updated : 2022-11-17
  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 6. Merasa Disayangi

    Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa

    Last Updated : 2022-11-17
  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 7. Obrolan Bikin GR

    Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul

    Last Updated : 2022-12-06
  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 8.  Gelenyar Indah

    Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem

    Last Updated : 2022-12-06
  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 9. Di Sampingnya

    "Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen

    Last Updated : 2022-12-07
  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 10.  Luruskan Niat

    Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai. Jadi, pagi-pagi aku harus memulai bersih-bersih rumah.Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita di bab pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Nyonya. Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun, atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?

    Last Updated : 2022-12-08
  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 11. Penampilan

    "Tutik, kamu sudah datang ternyata. Tolong bantu saya menyortir sampel ini," ucapnya yang baru masuk ruangan.Den langit menaruh keranjang penuh dengan sampel kain batik. Aku bergegas membantu nya. Syukurlah, dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Buktinya dia tidak bertanya."Besuk ada tamu. Dia pembeli besar, jadi kita harus siapkan semuanya. Orang belakang juga saya suruh membersihkan areal dalam dan luar pabrik. Aku ingin image pabrik ini bersih, tertata, dan rapi. Pokoknya, zero mistake! Everything must be perfect. ""Ya, Den. Saya pastikan tidak ada yang salah, dan semuanya sempurna. Sample ini diberi nama sesuai daftar, kan?" tanyaku, kemudian mendongakkan wajah menunggu jawaban yang tak kunjung kudengar. Den Langit menatapku tajam dengan dahi berkerut."Saya salah, Den?""Tidak! Malah bener sekali. Ternyata kamu mengerti bahasa Inggris, ya? Kamu mengerti apa yang aku katakan? Kamu ini sering membuatku kaget."Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud. Bahas

    Last Updated : 2022-12-08
  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 12. Adegan Suami Istri

    Aku sudah mulai bersiap meninggalkan keluarga ini. Terutama tugas yang berhubungan dengan Den Langit, semua aku tata rapi sesuai periode dan berurut sesuai abjad. Semua untuk memudahkan dia saat aku sudah tidak di sini."Seharusnya Den Langit mempunyai sekretaris yang membantu. Seperti di sinetron itu," celetukku kemarin. "Untuk apa, Tik. Mereka biasanya jual tampang saja. Diajak kerja malah sibuk dandan. Malah stres!" jawabnya, kemudian menatapku. "Kan ada kamu yang membantuku?""Saya kan cuma pembantu, Den. Bukan sekretaris yang ikut bos kemana-mana. Saya pun tidak bisa ke sini terus." Aku harus mulai menjaga jarak dengan Den Langit. Jangan sampai dia tergantung kepadaku terus."Ok ok. Kasihan kamu juga. Nanti usulanmu aku pertimbangkan!"Syukurlah, akhirnya dia mengerti. Pelan-pelan aku menarik langkah ini untuk menghilang sebagai Tutik dan kembali ke duniaku sebenarnya."Tik! Astuti!" teriak Bulek Ningsih tergopoh menghampiriku. Dia mengangkat ujung kain yang digunakan untuk lan

    Last Updated : 2022-12-09

Latest chapter

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 54.  Selamanya

    Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 53. Kehilangan

    Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 52.  Mahardika yang Keterlaluan

    Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 51. Aku Serahkan

    Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 50. Istri

    POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 49.  Papa dan Paman

    POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 48.  Awalku

    Pagi-pagi Mahardika sudah datang. Mas Langit yang menelponnya.Entah, apa yang dibicarakan mereka. Dari meja makan, aku lihat mereka berbincang serius. Mas Langit seperti memberi arahan kepada Dika. "Dika, kau makan saja dulu. Aku tadi sudah makan roti," ucap suamiku kemudian meneguk teh hangat. Setelahnya, aku berdiri merapikan kemeja. Bersiap mengantarkan dia pergi kerja."I love you," bisik Mas Langit saat mengecup pipiku. Wajah ini menghangat, bukan karena apa, karena Mahardika menatap kami dengan lekat."Ini contoh memperlakukan istri," seloroh Mas Langit. Dia menggoda Mahardika lagi seperti biasanya. "Cepetan Magdalena diikat! Biar si Kembar cepet punya adik!" tambahnya."Iya. Ini lagi usaha! Cepet berangkat sana. Tenang saja, semua pesanmu aku laksanakan!" teriak Mahardika sambil menunjukkan jempolnya.Aku mengantar Mas Langit sampai depan. Walaupun dengan langkah pelan, aku tetap melakukannya. Mengantar suami bekerja seperti memberi semangat dan doa untuk suami supaya peker

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 47.  Nama Rahasia

    Sesuai janjinya, Mahardika datang ke rumah. Dia menunggu kelahiran si Kembar. Yang berbeda sekarang, dia tidak tidur di rumah seperti biasanya, namun dia tinggal di hotel. Alasannya, ke kota ini sambil mengurus pekerjaan sekaligus menunggu waktu lahiran.Aku mengerti, dalam pikiranku ini dikarenakan dia sudah tidak sendiri lagi. Ada Magdalena, yang bisa jadi merasa aneh dengan yang dilakukan. Menunggu istri orang melahirkan.Katanya, dia hanya mengawasi pekerjaan sesekali saja, jadi bisa menemaniku di siang hari saat Mas Langit ke pabrik. Mas Langit pun tidak keberatan dengan hal ini, dia merasa tenang. Padahal di rumah sudah ada Bulek Ningsih dan perawat yang khusus mengawasiku, dengan adanya Mahardika semua lebih aman. Itu kata suamiku.Di rumah, Mahardika disibukkan dengan mempersiapkan kamar si Kembar. Kamar dan perabotannya, sudah dilengkapi Mas Langit, sekarang giliran Mahardika mengatur kelambu, sprei, baju, selimut, dan semua yang berbahan kain. Memang dia sudah bilang sedari

  • Niat Menyamar Malah Dilamar   Bab 46. Pacar Baru?

    Memang kesendirian sering menimbulkan pikiran negatif. Kalau biasanya tidak ada Mas Langit, aku di ribetin dengan cerewetnya Mahardika, ini sudah satu bulan dia tidak ada kabar. Mungkin dia tenggelam dengan kesibukan butik. Terakhir, dia ada fashion show di Singapura.Kesal hati ini, tiba-tiba dia tidak muncul sama sekali. Apa dia tidak kangen dengan keponakannya ini? Aku mengelus perutku yang membuncit sangat. Untuk jalanpun mulai kesusahan, kadang dada ini sesak saat mereka meluruskan badan. Bahkan pernah, kakinya berbayang di perut. Seandaikan Dika tahu, pasti dia senang sekali.'Dika, aku kangen.'Kenapa tidak aku hubungi saja? Aku raih ponsel di atas nakas. Lebih baik aku hubungi sambil menunggu Mas Langit yang masih membersihkan badan.Aku mengernyitkan dahi, menatap foto profilnya. Dia berfoto dengan perempuan cantik dengan berlatar belakang patung Singa lambang Singapura. Mereka tertawa bersama, menandakan bahagia.Senyum ini mengembang dengan sendirinya, menatap foto ini se

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status