Sampai malam hari, aku belum menemukan solusi untuk hari besuk.
Tidak mungkin menyuruh petugas bank untuk tidak mengenaliku. Apalagi, kelebihan pelayanan mereka adalah mengenal lebih dekat nasabah. Mulai satpam, teller, dan costumer sevice, setiap aku datang pasti menyapa dengan menyebut namaku, Mbak Lintang.
Usahaku memang mengembangkan toko kain warisan. Setelah kedua orang tuaku meninggal secara bersamaan karena kecelakaaan, terpaksa aku yang mengelola.
Saat itulah, aku menerapkan ilmu yang aku dapat dari sekolah fashion design. Aku membuat design pakaian dengan menggunakan stok kain di toko. Meningkatkan nilai jual dan mengembangkan jangkauan pasar.
Untuk mempercepat langkahku, aku menjual toko dan berpindah ke pinggiran kota dengan lahan yang lebih luas. Ini juga satu caraku untuk bertahan hidup, menyingkirkan kesedihan akan kehilangan mereka. Sejak itu, aku yang anak tunggal menjadi sebatang kara.
Bermodal pengetahuan pasar, aku menawarkan melalui internet ke beberapa calon pembeli di dalam dan di luar negeri, jangkauan yang tidak terbatas. Aku juga mengikuti pameran yang disponsori oleh departemen perdagangan.
Sampai sekarang, usaha ini berkembang pesat. Aku membangun sistem kerja, sehingga perusahaan tetap jalan, walaupun aku tidak berada di kantor sepanjang waktu.
Hal-hal kunci saja yang tetap di tanganku, seperti design dasar dan tema di setiap musim, juga pengeluaran anggaran dana di setiap musim produksi.
Designku ini yang menjadi identitas disetiap produk yang berlabel, Lintang Soul.
"Astuti ... Astuti .... Buka pintu, ini Bulek Ningsih." Namaku dipanggil sambil ketukan di pintu kamar. Segera aku membukanya.
"Tik, ke depan, yuk. Pak Salim beli martabak," ucap Bulek Ningsih sambil menarikku untuk mengikutinya.
Pak Salim memang tinggal di rumah ini juga, tetapi di bangunan terpisah. Di depan dekat pintu gerbang, ada bangunan kecil sebagai tempat tidur Pak Salim. Sekalian jaga dan membukakan pintu gerbang saat ada yang datang.
"Kok sepi, Bulek?" tanyaku setelah melihat ke sekeliling. Di garasi tinggal satu mobil tua yang parkir, mobil Den Langit tidak ada.
"Den Ajeng dan Den Langit pergi kondangan. Temenin saya di sini, ya," sahut Pak Salim.
Kami berbincang, sekalian aku menggali informasi tentang mereka berdua. Mereka sudah lama kerja di sini, malah semenjak Den Langit sejak bocah.
Mereka juga bertanya tentangku. Aku ceritakan saja bahwa aku sebatang kara, pastinya tanpa menyebut pekerjaanku sebenarnya.
"Sabar, ya. Anggap saja kami ini saudaramu. Jangan merasa sendiri," ucap Bulek Ningsing sambil menepuk bahuku.
Sebenarnya, aku tidak suka menceritakan hal ini. Teringat kejadian tragis itu, membuat hatiku terasa perih kembali.
Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan menikmati martabak telor ini. Mengusir sedih di hati.
Makan apapun kalau bersama-sama, rasanya lain. Aku merindukan kebersamaan ini. Sudah lama, aku tidak makan sambil berbincang santai seperti ini.
Keseharianku selama ini diisi dengan bagaimana cara supaya berkembang atau sekadar bertahan, minimal bisa menggaji karyawan. Perbincanganku hanya seputar pekerjaan dan teman berbicara pun para manager.
Setelah mulai menulis, aku seperti mendapatkan dunia baru, teman, sahabat, bahkan penggemar. Walaupun ini sekadar di dunia maya. Aku bisa saling menyapa tanpa ada jarak.
Pernah aku mempunyai penggemar yang ternyata penjahitku sendiri. Awalnya, aku tidak mengenalnya karena dia bagian produksi. Dari dialah, aku bisa berbincang biasa seperti sekarang. Bertanya tentang apa yang diharapkan atau apa yang dikeluhkan, tanpa ada canggung.
Ya iyalah, dia hanya tahu sebatas nama pena.
Selama mendengar obrolan mereka, aku melirik mobil antik yang kelihatan tetap mengkilap. Mobil Jaguar klasik Land Rover berwarna tosca.
Aku penasaran.
"Pak Salim, itu mobil siapa? Bagus."
Bulek Ningsih dan Pak Salim langsung terdiam, saling pandang dan menatapku bersamaan. Aku mengernyitkan dahi, ada apa ini?
Bulek Ningsih mengusap kedua lengan dan menoleh ke kanan kiri. "Astuti ... jangan tanya hal gituan. Aku merinding," celetuknya.
Aku semakin tidak mengerti, menoleh ke arah mobil itu. Warna tosca dengan lampu bulat berbingkai warna silver, terlihat cantik. Apalagi jaguar loncat menambah mobil ini terlihat berkelas. Aku suka.
"Itu mobil Den Besar, suaminya Den Ajeng. Mobil inilah yang dipakai saat kecelakaan itu," ucap Pak Salim dengan suara pelan. "Sejak itu, mobil tidak pernah dipakai, yah, paling saya yang panasin putar komplek saja."
"Awalnya, pintu depan penyok. Setelah dimasukkan bengkel, jadi bagus lagi," tambah Bulek Ningsih.
"Kadang-kadang, Den Langit duduk di dalam mobil itu. Lama banget." Tatapan Pak Salim menerawang, tergambar kesedihan. "Anak itu, kasihan. Sejak ditinggal keduanya, hampir tidak pernah istirahat. Setiap hari, kerja dan kerja terus. Penampilan sampai tidak terurus seperti itu."
"Iya, Tik. Walaupun penampilannya sangar, Den Langit itu hatinya lembut. Kalau marah atau ngomel, kami ini maklum. Mungkin dia capek kerja. La wong kata orang, pabrik batik dulunya hampir bangkrut."
"Tapi sekarang maju, Yu," sahut Pak Salim memotong ucapan Bulek Ningsih. "Sekarang itu, malah yang datang wong Londo. Embuh bicara apa. Cas cia cus, gitu."
"Den Langit, bisa?"
"Wah, malah lancar. Mereka pesan banyak, malah pabrik sekarang kewalahan."
"Memang Kang Salim tahu, mereka omong apa?"
"Ya tidak tahu. Kira-kira aja!" jawab Pak Salim sambil tertawa, disambut gelak tawa Bulek Ningsih.
Aku tersenyum mendengar percakapan mereka. Ada rasa pengertian dan sayang saat Den Langit kelihatan lelah, dan ada harapan ketika yang diusahakan mulai berkembang. Rasa sayang terpancar dari ucapan mereka
"Astuti, kita tidur, yuk. Katanya besuk akan pergi dengan Den Langit?"
"Eh, iya, Bulek. Aku hampir lupa."
Duh iya, aku lupa belum tahu caranya meloloskan diri. Ini tidak bisa dibatalkan, kecuali kalau aku benar-benar tidak bisa, mungkin karena sakit.
Yah, betul!
Karena sakit.
***
"Tik ... Astuti ...." Suara Bulek Ningsih, kemudian terdengar pintu dibuka pelan.
"Kamu sakit, Tik? Badanmu kok panas?!"
Tangannya meraba keningku, aku membuka mata dan mencoba menjawab pertanyaannya. Namun, aku tidak mampu. Tenggorokanku serak dan sakit. Penyakitku kumat.
Yes!
Usahaku berhasil!
Bulik Ningsih menyelimutiku sampai leher, dan memastikan kakiku juga terselimuti. Aku menatapnya nanar sambil menunjuk leher ini.
"Kamu istirahat saja, Bulek yang nyapu. Dibuatkan teh anget, ya. Nanti tak ngomong ke Den Langit, kamu sakit," ucapnya kemudian pergi meninggalkanku.
Aku tersenyum lemas teringat usahaku tadi malam. Radang tenggorokanku pasti kambuh saat minum air dingin, apalagi air es dalam jumlah banyak. Itu yang aku lakukan semalaman. Ditambah, kipas angin yang terpusat kepadaku dengan kecepatan maksimal.
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak.
Ini demi riset untuk tulisanku berikutnya.
Duh!
Sampai berkorban seperti ini.
*****
Biasanya kalau kambuh, radang akan menjalar ke pita suara, dan suaraku menjadi serak, seperti sekarang ini.Aku meringkuk menahan tenggorokan yang sakit, kalau dibiarkan bisa bertambah parah. Penyakit ini sudah langganan untukku, biasanya kalau terlalu banyak minum air dingin atau terlalu lelah. Segera aku kirim pesan ke dokter langganan, untuk mengirim obat seperti biasanya. Tentunya, dikirim atas nama Astuti ke rumah ini."Tik? Apa bulek kerok? Kamu ini masuk angin, kalau dibiarkan bisa parah. Mau, ya?" bujuk Bulek Ningsih, setelah meletakkan teh hangat.Aku menggeleng, kemudian menunjuk leher yang sakit. "Saya sudah pesan obat. Sebentar lagi dikirim," ucapku dengan suara serak. Aku meringis menahan sakit."Wes, tidak usah banyak bicara. Minum dulu teh ini, nanti tak belikan bubur saja. O ya, Den Langit juga sudah pergi, malah bareng Den Ajeng," jelasnya melegakanku.*Setelah makan bubur, minum obat yang dikirim tadi, dan tidur, keadaanku membaik. Sakit di tenggorokan berkurang, wa
Sejak pembicaraan kemarin, aku selalu diolok-olok oleh Bulek Ningsih dan Pak Salim. Setiap kesempatan ada saja bahan untuk dibahas. "Tik, pisange enak?" "Yo enak, to, Yu. Pisange Cah Bagus rasane spesial," sahut Pak Salim, diakhiri tawa mereka. “Hus! Jangan dibandingkan pisang yang sudah kedaluarso. Pasti beda, lebih seger dan manis.” “Tur gede dan bikin kenyang!” Aku hanya menanggapi dengan senyuman. Guyonan orang tua yang bikin otak traveling kemana-mana. Mendengar suara tawa di rumah ini, menimbulkan suasana yang berbeda. Rumah seperti hidup dan tidak suram seperti sebelumnya. Gak apa-apa, lah, aku dijadikan obyek penderita. Namun, guyonan ini tidak berhenti sampai disitu, pembicaraan tentang aku dan Den Langit mulai bergulir liar. Timbul asumsi yang mulai tidak terkendali. Seperti sekarang. Kami makan sarapan bersama. Tentunya setelah Den Langit pergi kerja. Nasi pecel dengan lauk tempe goreng, dilengkapi rempeyek kacang tanah. "Den Langit tidak bawa mobil?" tanya Bul
Pekerjaanku tidak hanya membersihkan rumah, namun lebih banyak menata berkas di ruang kerja. Ini atas perintah Den Langit. Semua rak, satu persatu aku rapikan. [Mbak Lintang, saya butuh tanda tangan. Kita janjian di mana?] Pesan dari Mbak Rahmi asisten pribadiku. Selain Laila, Mbak Rahmi juga tahu penyamaranku ini. Dia yang aku tunjuk sebagai perantara orang kantor dan aku.[Satu jam lagi di toko pojokan yang ada pohon rindang] Aku membalas pesan, kemudian bergegas merapikan tumpukan berkas ini."Bulek Ningsih, saya ke toko dulu.""Beli apa, Tik? Minta tolong Pak Salim saja, dia di depan."Dia meletakkan panci di kompor dan mendekatiku. "Den Langit makan siang di rumah. Itu saya buatkan soto daging kesukaannya. Kalau kamu pergi dan dia mencarimu gimana? Saya tidak ngerti kalau disuruh cari ini dan itu."Aku menatapnya sambil mencari alasan untuk bisa keluar menemui Mbak Rahmi. "Harus saya sendiri, Bulek. Belanjaan saya untuk datang bulan. Tidak enak kalau menyuruh Pak Salim mem
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang pen
Sudah satu minggu ini, aku membantu Den Langit di kantor. Itu pun setelah pekerjaan di rumah selesai. Jadi, pagi-pagi aku harus memulai bersih-bersih rumah.Malam harinya, mulai aku menulis cerita dari hasil riset. Tema bukan tentang pembantu teraniaya, tetapi tentang pembantu yang mampu membantu pekerjaan majikan. Tak disangka, cerita di bab pertama yang aku pos di media sosial mendulang ribuan like. Padahal, aku belum memberi judul cerita.Beberapa penulis senior mendorongku untuk menulis lagi dan diingatkan tidak lupa memberi judul. Semangat menulisku mulai menggebu, lelah karena bekerja sudah tidak kuhiraukan. Aku tetapkan cerita bersambung ini berjudul Pembantu Rasa Nyonya. Malam-malam berikutnya, aku begadang untuk menulis dan dipos di platform. Itu pun, atas saran penulis lainnya. Dengan nama pena, Astika Buana. Pernah, Mbak Rahmi bertanya, kenapa menggunakan nama pena dan tidak memakai nama sendiri. Bukankan ini kerugian, saat nama sebenarnya tidak dikenal di dunia nyata?
"Tutik, kamu sudah datang ternyata. Tolong bantu saya menyortir sampel ini," ucapnya yang baru masuk ruangan.Den langit menaruh keranjang penuh dengan sampel kain batik. Aku bergegas membantu nya. Syukurlah, dia tidak mendengar apa yang aku katakan. Buktinya dia tidak bertanya."Besuk ada tamu. Dia pembeli besar, jadi kita harus siapkan semuanya. Orang belakang juga saya suruh membersihkan areal dalam dan luar pabrik. Aku ingin image pabrik ini bersih, tertata, dan rapi. Pokoknya, zero mistake! Everything must be perfect. ""Ya, Den. Saya pastikan tidak ada yang salah, dan semuanya sempurna. Sample ini diberi nama sesuai daftar, kan?" tanyaku, kemudian mendongakkan wajah menunggu jawaban yang tak kunjung kudengar. Den Langit menatapku tajam dengan dahi berkerut."Saya salah, Den?""Tidak! Malah bener sekali. Ternyata kamu mengerti bahasa Inggris, ya? Kamu mengerti apa yang aku katakan? Kamu ini sering membuatku kaget."Aku mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud. Bahas
Aku sudah mulai bersiap meninggalkan keluarga ini. Terutama tugas yang berhubungan dengan Den Langit, semua aku tata rapi sesuai periode dan berurut sesuai abjad. Semua untuk memudahkan dia saat aku sudah tidak di sini."Seharusnya Den Langit mempunyai sekretaris yang membantu. Seperti di sinetron itu," celetukku kemarin. "Untuk apa, Tik. Mereka biasanya jual tampang saja. Diajak kerja malah sibuk dandan. Malah stres!" jawabnya, kemudian menatapku. "Kan ada kamu yang membantuku?""Saya kan cuma pembantu, Den. Bukan sekretaris yang ikut bos kemana-mana. Saya pun tidak bisa ke sini terus." Aku harus mulai menjaga jarak dengan Den Langit. Jangan sampai dia tergantung kepadaku terus."Ok ok. Kasihan kamu juga. Nanti usulanmu aku pertimbangkan!"Syukurlah, akhirnya dia mengerti. Pelan-pelan aku menarik langkah ini untuk menghilang sebagai Tutik dan kembali ke duniaku sebenarnya."Tik! Astuti!" teriak Bulek Ningsih tergopoh menghampiriku. Dia mengangkat ujung kain yang digunakan untuk lan
POV Langit BaskoroSemenjak meninggalnya Romo Baskoro dan Mas Bumi, duniaku menjadi terbalik.Keseharianku yang biasanya pergi ke kampus, nge-band, dan nongkrong di cafe, hilang sekejap. Tiba-tiba tanggung jawab besar tertumpuk di pundakku. Aku harus bertanggung jawab dengan keluarga dan perusahaan.Memang dalam keluarga ada dua putra, aku dan Mas Bumi. Namun, Romo lebih menyiapkan Mas Bumi sebagai putra pertama sebagai pemegang pabrik batik. Awalnya merasa tersisih, dan aku merasa Mas Bumi dianak emaskan. Mas Bumilah yang memberiku pengertian."Dek Langit, Romo tidak bermaksud seperti itu. Malah sebenarnya, Mas ingin seperti Dek Langit. Diberi kebebasan untuk kuliah apapun dan bisa ngumpul dengan teman. Lihat Mas, kuliah diharusnya mengambil managemen bisnis. Setelah itu langsung ke pabrik sampai sore. Teman pun, hanya orang pabrik atau relasi bisnis," keluhnya kala itu. Kami mempunyai kebiasaan menghabiskan malam dengan bernyanyi dan mengobrol di halaman belakang. Itu karena hanya
Hari indah tiba. Rencana indah yang kami persembahkan untuk Mahardika tiba. Ini diprakarasi Mas Langit. Suamiku ini mendirikan rumah singgah untuk anak-anak terlantar dengan nama Mahardika. Harapannya, kami bisa mencetak Mahardika muda. Memberi harapan pada setiap anak-anak yang membutuhkan. Kami pun mendatangkan semua karyawan butik dari semua cabang, berkumpul untuk memanjatkan doa bersama untuknya. Menyatakan bahwa kami semua bersamanya. Kisahnya yang sudah aku tulis, juga sudah dibukukan. Kami bagian untuk semua yang hadir, sebagai tanda menetapkan Mahardika selalu abadi di hati kita semua. "Mas Langit, Dika pasti senang melihat ini semua," ucapku sambil mengapit lengannya. Dari balkon kami melihat keramaian di bawah. Kami duduk di bangku panjang, mengamati mereka yang mengenang Mahardika dengan suka cita, seperti harapannya. Candra dan Surya pun tidak lepas dari kegemasan para undangan. Mereka tertawa terkekeh bercanda dengan anak-anak. "Pasti, Sayang. Dengan ini semua
Hariku seakan hilang. Dia yang biasanya selalu ada untukku, pergi. Hatiku pun seperti terkoyak.Sakit*Di sinilah aku, terpekur di depan makam yang bertuliskan namanya, Mahardika. "Kamu keterlaluan, Dika. Merahasiakan sakitmu dan meninggalkan aku begitu saja. Kamu mengesalkan." Tanganku gemetar meraba nisan penanda, tidak pernah terlintas sedikitpun perpisahan dengannya seperti ini. Begitu mendadak dan seperti mimpi.Setelah sadar dari pingsanku, kami langsung mengatur pejalanan ke ibu kota, tempat Mahardika dimakamkan. Menurut Magdalena, semua sudah diatur oleh Mahardika. Bahkan, apartemen juga sudah dirapikan. Dia mewariskan apartemen atas nama Candra dan Surya. Dalam pesannya, tempat ini bisa digunakan anakku saat berkunjung dan tetap merasakan kehadirannya di sana.Foto kebersamaan Mahardika dan si Kembar terpampang seperti gallery di dinding. Mulai dari lahir sampai pertemuan terakhir. Yang membuatku tersedu kembali, ada kamar tertuliskan nama anak-anakku. Di dalamnya ada du
Satu bulan, dua bulan, bahkan si Kembar sudah bisa merangkak, tidak ada kabar sama sekali dari Mahardika.Terakhir sebelum berangkat, dia memberitahukan kalau nomor telpon tidak diaktifkan lagi. Katanya, dia akan berganti menggunakan nomor Singapura. Namun sampai saat ini belum ada kabar."Mungkin mereka sibuk. Biarkan mereka bahagia. Aku yakin, Mahardika percaya sekali denganmu sehingga menyerahkan ini semua," hibur Mas Langit saat aku mengeluh tentang Mahardika.Untuk pekerjaan butik tidak ada kendala apapun. Akupun masih membuat rancangan baju dan mengontrol kegiatan secara online. Mas Langit lah yang sesekali keliling ke butik-butik itu. Memastikan keadaan real di sana.Lama tidak mendengar kabar dari Mahardika, hidupku seperti ada yang kurang. Kadang aku termangu di kamar yang biasa dia diami. Mengingat saat dia bercanda dengan anak-anak di sana. Apakah dia tidak kangen dengan Candra dan Surya? Mereka sekarang pas lucu-lucunya. Pipi yang gembul, bicara ngoceh bahasa bayi, dan mer
Kebahagiaanku lengkap sudah. Sebagai wanita yang sudah menyandang status istri dan ibu. Sehari-hari, aku disibukkan oleh si kembar. Walaupun ada suster yang merawat, tetap mereka dalam pengawasanku. Bulek Ningsih, dikukuhkan tinggal di sini. Tugasnya bertanggung jawab kepada makanan kami sekeluarga termasuk asupan untuk si kecil. Ibu menyatakan lebih nyaman di Jogja. Katanya, kampung halaman membuat perasaan hati tenang. Hanya sesekali saja, beliau datang untuk menjenguk rumah, dan di saat itulah kami berkumpul bersama.Pekerjaanku di garmen seperti biasa, aku meminjam tangan Mbak Rahmi untuk mengawasi kantor. Hanya sesekali saja, aku mampir dan melihat-lihat pekerjaan dan kesejahteraan karyawan. Aku ingin, hubungan kami tidak sekadar atasan dan bawahan, tetapi juga keluarga besar. Aku pun semakin menikmati dunia kepenulisan yang ternyata semakin menarik. Kakiku seakan masuk menjelajah seluk beluk yang ternyata tidak sesederhana yang kutahu di awal. Keikutsertaanku di beberapa grup
POV Lintang Astuti"Lintang sayang. Ini suamimu."Bisikan kalimat itu berulang kali kudengar. Samar, kemudian semakin jelas. Perlahan, mata ini kubuka paksa. Masih terasa berat dan sinar terang menerobos menyilaukan. Wajah sumringah suamiku menyambut dengan teriakan bersyukur. Masih terasa lelah dan mengantuk, namun masih bisa merasakan hujan kecupan di dahiku."Aku siapa?""Mas Langit. Suami Lintang Astuti," jawabku atas pertanyaan konyolnya. "Aku!? Aku!?" Wajah satu lagi muncul. Senyumnya tidak kalah lebar."Kamu siapa? Kok mirip Dika?" tanyaku kembali. Kesal rasanya, baru bangun sudah ditanya aneh-aneh."Kalau sudah bikin kesal, berarti kamu sudah normal," balas Mahardika dengan senyum lebar. "Dah! Kalian mesra-mesraan sana! Aku nungguin keponakanku aja!" tambahnya sambil menepuk bahu suamiku. "Selamat, ya, Mama Lintang."Aku dan Mas Langit berpandangan dan tersenyum melihat tingkah Mahardika yang beranjak ke luar ruangan.Tinggal kami berdua, saling bertatapan dengan senyum da
POV Langit BaskoroMenunggu. Kata ini yang sangat tidak aku sukai. Seperti saat ini.Kami harus mengambil pilihan kedua, operasi. Kondisi Lintang istriku lemah, tidak memungkinkan untuk melahirkan si Kembar. Kalau dipaksakan akan beresiko besar. Aku tidak mau menerima kemungkinan buruk. Mereka harus selamat.Ditemani Mahardika, kami berdua terpekur di ruang tunggu. Sama-sama diam dengan pikiran masing-masing. Lintang. Sepertinya nama ini pun disematkan karena dia diperuntukkan untukku. Sejauh-jauhnya dia pergi, pasti akan kembali kepadaku, Langit. Itu yang kuyakini setelah tahu nama lengkapnya, Lintang Astuti.Dulu, awalnya memang aku tidak tahu data pribadinya dia. Astuti, itu saja yang aku tahu. Namun, semenjak kepergiannya dari rumah, aku mencari tahu tentangnya kepada Ibu. Malam terakhir bersamanya, sangat berbekas di hati. Akupun tidak mengerti, kenapa seperti ini. Berdekatan dengan perempuan, itu hal biasa bagiku. Entah, berapa orang yang pernah dekat denganku, akupun tidak
Pagi-pagi Mahardika sudah datang. Mas Langit yang menelponnya.Entah, apa yang dibicarakan mereka. Dari meja makan, aku lihat mereka berbincang serius. Mas Langit seperti memberi arahan kepada Dika. "Dika, kau makan saja dulu. Aku tadi sudah makan roti," ucap suamiku kemudian meneguk teh hangat. Setelahnya, aku berdiri merapikan kemeja. Bersiap mengantarkan dia pergi kerja."I love you," bisik Mas Langit saat mengecup pipiku. Wajah ini menghangat, bukan karena apa, karena Mahardika menatap kami dengan lekat."Ini contoh memperlakukan istri," seloroh Mas Langit. Dia menggoda Mahardika lagi seperti biasanya. "Cepetan Magdalena diikat! Biar si Kembar cepet punya adik!" tambahnya."Iya. Ini lagi usaha! Cepet berangkat sana. Tenang saja, semua pesanmu aku laksanakan!" teriak Mahardika sambil menunjukkan jempolnya.Aku mengantar Mas Langit sampai depan. Walaupun dengan langkah pelan, aku tetap melakukannya. Mengantar suami bekerja seperti memberi semangat dan doa untuk suami supaya peker
Sesuai janjinya, Mahardika datang ke rumah. Dia menunggu kelahiran si Kembar. Yang berbeda sekarang, dia tidak tidur di rumah seperti biasanya, namun dia tinggal di hotel. Alasannya, ke kota ini sambil mengurus pekerjaan sekaligus menunggu waktu lahiran.Aku mengerti, dalam pikiranku ini dikarenakan dia sudah tidak sendiri lagi. Ada Magdalena, yang bisa jadi merasa aneh dengan yang dilakukan. Menunggu istri orang melahirkan.Katanya, dia hanya mengawasi pekerjaan sesekali saja, jadi bisa menemaniku di siang hari saat Mas Langit ke pabrik. Mas Langit pun tidak keberatan dengan hal ini, dia merasa tenang. Padahal di rumah sudah ada Bulek Ningsih dan perawat yang khusus mengawasiku, dengan adanya Mahardika semua lebih aman. Itu kata suamiku.Di rumah, Mahardika disibukkan dengan mempersiapkan kamar si Kembar. Kamar dan perabotannya, sudah dilengkapi Mas Langit, sekarang giliran Mahardika mengatur kelambu, sprei, baju, selimut, dan semua yang berbahan kain. Memang dia sudah bilang sedari
Memang kesendirian sering menimbulkan pikiran negatif. Kalau biasanya tidak ada Mas Langit, aku di ribetin dengan cerewetnya Mahardika, ini sudah satu bulan dia tidak ada kabar. Mungkin dia tenggelam dengan kesibukan butik. Terakhir, dia ada fashion show di Singapura.Kesal hati ini, tiba-tiba dia tidak muncul sama sekali. Apa dia tidak kangen dengan keponakannya ini? Aku mengelus perutku yang membuncit sangat. Untuk jalanpun mulai kesusahan, kadang dada ini sesak saat mereka meluruskan badan. Bahkan pernah, kakinya berbayang di perut. Seandaikan Dika tahu, pasti dia senang sekali.'Dika, aku kangen.'Kenapa tidak aku hubungi saja? Aku raih ponsel di atas nakas. Lebih baik aku hubungi sambil menunggu Mas Langit yang masih membersihkan badan.Aku mengernyitkan dahi, menatap foto profilnya. Dia berfoto dengan perempuan cantik dengan berlatar belakang patung Singa lambang Singapura. Mereka tertawa bersama, menandakan bahagia.Senyum ini mengembang dengan sendirinya, menatap foto ini se