Pov Lidya**"Aaaa tidak! Lepaskan aku lepas!" Aku memekik ketakutan saat tangan berbulu dan perut yang membuncit dan hanya menggunakan celana kolor itu merabai seluruh tubuhku. Ada perasaan jijik dan mual saat membayangkan kalau aku harus melayani si bandot tua ini. Deru napas lelaki itu terdengar begitu memburu, bahkan rasa mual itu semakin menjadi saat hembusan napas lelaki itu menyapu tengkuk leherku.Di sinilah aku sekarang, di tempat yang asing dan jauh dari jangkauan mata manusia umum. Sebab, hanya orang-orang berduitlah yang bisa memasuki tempat ini. Air mataku terus mengalir deras membasahi kedua pipiku tanpa bisa dikendalikan. Tubuh bandot tua ini terus saja menghentak area intimku dari atas. Masih teringat jelas saat mami Zesy memaksaku untuk memakai pakaian seksi dan meriasku sedemikian rupa hingga merubah wajahku menjadi secantik artis papan atas. "Mery! Cepat kau dandani perempuan ini, aku gak mau lihat dia kucel dengan wajah masamnya itu!" pekik mami Zesy pada seor
Pov Papa Pandu**"Bagaimana dengan operasinya, Dok?" Dengan cepat pertanyaan itu kulontarkan saat melihat dokter telah keluar dari ruang operasi yang menangani Pandu. Ponsel yang ada di genggamanku langsung kumasukkan ke dalam saku celana setelah kumatikan sambungan telepon dengan Vita. "Alhamdulillah, operasi berjalan dengan lancar. Tinggal menunggu pasien siuman," jelas dokter tersebut. Aku menghela napas lega lalu kuusap wajahku dengan kedua tanganku.Tangis Heny– istriku tak hentinya meraung-raung. Bahkan, berkali-kali Heny bersimpuh di kaki kedua polisi yang menjaga Pandu di luar ruangan bersama kami. "Pa ... tolong bebaskan Pandu. Berikan pengacara terbaik," ucap Heny yang tak hentinya membujukku sembari memegang lenganku. "Saya permisi dulu. Mari ...," pamit lelaki berpakaian khas seorang dokter tersebut. Selang beberapa jam, keadaan Pandu semakin membaik. Ia telah sadar dan dipindah alihkan ke ruang rawat inap. Aku dan Heny menunggunya, tak lupa ada dua orang polisi ya
Pov Pandu***Di sini lah aku sekarang, duduk meringkuk di pojok sel tahanan meratapi nasib yang menimpa diriku. Sudah kehilangan satu biji telorku, ditambah dengan menggunakan baju yang bertuliskan tahanan pada bagian belakang punggungku. Entahlah ... kehancuran ini dimulai kala aku membawa masuk ke dalam tempat tinggalku bersama Vita. Sekarang yang ada di kepalaku adalah keadaan Lidya. Entah di mana Lidya sekarang berada. Jika ia masih di kontrakan, tentu ia akan sering mengunjungiku di rumah sakit waktu itu, namun Lidya sekali pun tak menjengukku. Hal itu tentu saja begitu menggangguku. Pikiran ini terus memikirkan keadaan Lidya yang entah di mana rimbanya. Tak mengapa jika ia kembali lagi bersama orangtuanya dan lebih memilih meninggalkanku daripada ia harus berada dalam kungkungan Tante Zessy."Ada pengunjung," ucap penjaga yang menjaga sel tahanan ini yang seketika menyadarkanku dari lamunan."Siapa, Pak?""Lihat saja sendiri!" ketus penjaga lapas berkumis tebal dan berperu
Pov Lidya**"Lid, besok sudah mulai bekerja lagi. Kau mengerti? Besok sudah ada yang booking kamu," ucap Mami Zessy yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu, entah kapan pintu itu terbuka aku tak tahu, karena posisiku memunggungi keberadaannya.Sudah satu minggu lamanya kejadian itu berlalu, namun masih terekam jelas di ingatanku. Kejadian di mana Mami Zessy melelang tubuhku dengan harga tiga puluh juta. Hari itu, hari yang benar-benar membuatku terpuruk dan begitu hancur. Tak pernah terlintas dalam benakku kalau aku akan melewati hari-hari sebagai seorang wanita pemuas napsu para lelaki itu hidung belang. Setelah kejadian itu aku hanya bisa meratap dan menangisi nasib malang yang menimpa diriku. Hari-hariku penuh dalam linangan air mata. Andai, andai dan andai. Entah siapa yang harus kusalahkan dalam hal ini. Setelah hari itu berlalu, Mami Zessy memberikanku kesempatan untuk memulihkan tubuhku selepas aku melayani tamu kemarin selama satu minggu. Dan satu minggu itu kini telah
"Darah!" pekik Indah sembari jemarinya menunjuk ke arahku. Aku mengedarkan pandang ke arah yang ditunjuk, terlihat darah segar mengalir melewati sela-sela kedua pahaku yang seketika membuatku membelalakkan kedua netraku. Area perutku semakin terasa seperti diremas-remas, sakit. Apalagi di bagian pinggang serasa ada yang menusuk-nusuknya. Aku meringis kesakitan, sesekali kugigit bibir bagian bawah saat rasa nyeri semakin menjadi. Rasanya begitu sakit. Sakit sekali. Baru kali ini aku merasakan rasa sakit yang amat luar biasa. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitku. Tubuhku sedikit membungkuk dengan tangan meremas area perutku sembari mengeluarkan rintihan kesakitan. "Ayo kita balik. Kamu masih bisa jalan kan?" tanya Indah. Terlihat gurat kekhawatiran pada wajah itu. "Aku bantu jalan ya," ucap Indah yang kubalas dengan anggukan. Akhirnya aku mulai berjalan, tentunya dengan tubuh yang tertopang oleh tubuh Indah. Rasa sakit ini semakin menjadi hingga membuat langkah ini
Pov Papa Lidya"Memang anakmu itu nggak bisa diatur sama sekali!" teriakku pada Hana– istriku. Perempuan hanya bisa menunduk sembari menautkan kedua tangannya ke depan. Terlihat perempuan itu telah memainkan ke sepuluh jemarinya. Mungkin ingin menutupi ketakutannya karena menyaksikan kemarahanku yang sangat luar biasa."Entah gimana pikiran anakmu itu. Sudah dicarikan lelaki yang berduit, malah kabur memilih si Pandu yang kere itu. Apa coba yang diharapkan dari lelaki itu?" ucapku dengan geram.Bagaimana tidak marah jika anak yang sudah diberikan kesempatan untuk hidup enak malah memilih neraka untuk masa depannya. Ia malah memilih menjadi PSK sebagai alat pelunas hutang. Sebagai orangtua tentu tak terima jika anaknya hidup sengsara. Bukankah lebih baik menjadi istri ke lima, tapi hidup penuh dengan bergelimang harta daripada hidup sengsara bagaikan di neraka? Toh meskipun menjadi istri kelima, Pak Gunawan bisa bersikap adil. Selain itu Pak Gunawan pasti bisa menjaga Lidya.Jika h
"Aku istirahat dulu," pamit Parjo sembari bangkit dari tempat duduknya. "Pikirkan usulanku tadi. Lelaki tua itu telah mempermalukanmu pada mereka. Kau telah ditertawakan oleh tetangga-tetanggamu saat diusir dengan begitu hinanya," ucap Parjo sembari menepuk pelan pundakku. Terlihat Parjo melangkah meninggalkanku yang masih duduk termangu di kursi yang ada di teras rumah sembari menatap jalan raya yang telah terlihat sepi. Aku menghela napas berat lalu aku bangkit dari tempat dudukku, masuk ke dalam rumah dan langsung berjalan menuju ke kamar yang telah ditempati oleh Hana. Saat pintu itu terbuka, terlihat Hana sedang duduk dengan pandangan kosong menatap ke arah tembok kamar. "Belum tidur?" Perempuan itu tersentak kaget saat mendengar ucapanku. Sesaat kemudian netranya memandang ke arahku yang berjalan mendekat ke arahnya. Aku menghempaskan tubuhku duduk di samping Hana. Aku menoleh ke arah jam yang menggantung di dinding, jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Ter
Pov Pandu**Sudah berbulan-bulan lamanya aku berada di dalam sel tahanan ini. Selama itu, belum ada sidang soal kasus yang membelitku. Aku hanya bisa duduk di sudut sel tahanan ini dan berharap semoga masa hukuman yang kujalani tidak terlalu lama. Selama berbulan-bulan di sini, Mama dan Papa sering mengunjungiku. Setidaknya setiap satu minggu sekali, kedua orangtuaku itu selalu menyempatkan diri untuk datang menemuiku. Walau hanya sekedar untuk memberikan kiriman makanan untukku. Biasanya kedua orangtuaku aku datang mengunjungiku setiap hari kamis. Entah kenapa mereka memilih hari itu. Setiap datang ke sini, aku selalu menanyakan soal keberadaan Lidya. Namun, berkali-kali aku tanya, mereka selalu menjawab jika Lidya tak diketahui di mana rimbanya. Aku semakin yakin jika Lidya ditangkap oleh germ* itu untuk dijadikan psk, karena Papa mengatakan jika orangtua Lidya pun juga tengah mencari keberadaannya. Beberapa kali orangtua Lidya melaporkan atas hilangnya Lidya. Akan tetapi, kas