Cepat kualihkan pandanganku dari sana– pura-pura tidak melihat keberadaannya lalu aku melangkah masuk ke dalam rumah, namun saat tubuh ini hampir melewati ambang pintu, suara lelaki itu terdengar memanggil namaku. Kuhentikan langkahku lalu memutar tubuh. "Kamu di sini, Mas?" ucapku. Lelaki itu berjalan mendekat ke arahku lalu berdiri di teras rumah– tak jauh dari tempatku berdiri. "Iya. Vit, tolong ambilkan ponselku di dalam dong," pinta Mas Pandu."Tapi di dalam ada Mama, Mas," ucapku. "Ponsel saja, Vit. Aku butuh nomor seseorang.""Untuk?""Aku membutuhkan uang, dan hanya temanku itu lah yang akan meminjamiku. Aku kemarin sudah ke sana, tapi dia nggak di rumah. Sedang di luar kota. Jadi aku harus menghubunginya via telepon. Kamu tahu sendiri kan besok acara pernikahan kami digelar. Dan harus segera dibayar. Kalau tidak mereka akan membatalkannya," ungkap Mas Pandu."Aku bolak-balik ke sini. Tapi selalu ada Mama kamu di depan. Tapi syukurlah kali ini kamu yang menemui. Tolong am
Pov Pandu**Lidya– satu-satunya perempuan di masa lalu yang kembali membuatku jatuh cinta. Setelah sekian lama tak pernah jumpa, akhirnya Tuhan mempertemukan aku dan perempuan di masa laluku. Perempuan yang mambuatku mengenal apa artinya cinta– untuk pertama kalinya. Masih teringat dengan jelas di dalam benakku, saat mau tak mau kita harus berpisah. Sungguh ... hal yang kita mimpikan sama. Membawa hubungan itu ke jenjang pernikahan. Namun harapan hanyalah suatu harapan. Hubungan kami harus kandas begitu saja karena tak ada restu dari orang tua Lidya. Sedih, kecewa melebur menjadi satu.Masih teringat dengan jelas saat-saat kedua orang tua Lidya menolakku. Menolak saat aku mengatakan niatku yang ingin melamar dan mempersunting putrinya. "Kamu lelaki miskin, mau di bawa ke mana masa depan Lidya jika hidup bersamamu?!" Begitulah satu kalimat yang terus terngiang di telingaku. Padahal aku tahu betul latar belakang keluarga Lidya pun tak jauh berbeda denganku– sama-sama dari kalanga
Pov Pandu***Aku, Lidya dan Mama berjalan menuju ke rumah. Mataku menyipit ketika netra ini melihat seorang perempuan bergaun merah tanpa lengan sedang duduk di sofa ruang tamu. Namun aku kembali terhenyak saat tangan Papaku melingkar di atas pundak perempuan itu. Bahkan terlihat dengan jelas pemandangan di depan mata saat mereka saling melempar senyum. Lelaki yang merupakan Papa kandungku itu sesekali menyentuh dagu perempuan itu. "Ndu, siapa perempuan itu?!" pekik Mama saat beliau baru saja melihat ada seorang wanita di dalam sana. "Nggak tau, Ma," lirihku. Kulirik Lidya yang hanya menatap ke arah mereka melalui jendela kaca yang tirainya pum masih terbuka. "Kenapa di larut malam seperti ini ada perempuan?" Kini nada suara Mama terdengar bergetar. Dengan langkah panjang dan cepat, bergegas Mama melangkah masuk. Brak!Pintu yang tak terkunci itu terhempas menabrak tembok saat Mama mendorongnya dengan keras. Kutarik tangan Lidya agar berjalan dengan cepat untuk menghampiri M
"Sudahlah, Ma .... Mungkin Papa sedang khilaf. Mudah-mudahan Papa akan sadar dengan kesalahannya. Mama yang sabar. Pasti Mama akan bisa menerima semuanya. Seperti yang Vita lakukan."Tiba-tiba Mama melepaskan pelukannya lalu menatapku dengan tajam. Apakah ada yang salah dengan perkataanku? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Vita bisa menerima kehadiran Lidya dalam hitungan hari. Jadi begitu pun dengan Mama. Mama pasti akan bisa bersabar untuk sementara waktu seraya berusaha menyadarkan kembali Papa yang telah berselingkuh. Terasa Lidya menyenggol lenganku. Aku menatapnya, sedangkan Lidya terlihat melotot ke arahku. "Apa sih?! Bukannya benar yang aku katakan? Bahkan dengan terang-terangan aku minta izin nikah sama Vita. Tapi lihatlah Vita bisa nerima kamu. Kan Mama cuma diselingkuhin, bukan berati mau nikah lagi," ucapku menjelaskan apa yang ada di kepalaku. Lagi-lagi Lidya menyenggol lenganku seraya mata yang masih mendelik. "Ma ...," panggilku saat melihat Mama yang sedan
Saat langkahku semakin dekat, kedua orang lelaki yang sedari tadi berdiri di depan rumah itu langsung menoleh ke arahku. "Bapak kenapa ada di rumah saya ya?" tanyaku saat aku sudah berdiri di depan mereka. Kini hanya berjarak satu meter saja. Bukannya menjawab, kedua lelaki itu malah saling berbisik lalu melenggang pergi begitu saja tanpa permisi. Entah kenapa ada yang sedang tidak beres saat ini. Kedua orang itu masuk ke dalam mobil yang terparkir di bahu jalan– tepat di depan rumahku. Ketika mobil itu telah melaju, aku kembali melanjutkan langkahku yang sempat terhenti. "Ma ... kita sarapan, yuk," ucapku saat melewati kamar Mama. Tanpa menunggu jawaban bergegas aku melangkah menuju ruang makan dengan membawa tiga bungkus makanan tersebut. Luletakkan makanan itu di atas meja. Kedua netraku menangkap Lidya yang sedang berdiri seperti sedang membuat sesuatu. Dari aroma yang menguar, aroma kopi menerobos indra penciumanku. Aku berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah mengendap
Hanya membutuhkan waku tiga puluh menit untuk sampai di rumah Andi. Namun keningku berkerut dengan alis yang saling bertautan saat melihat ada mobil yang sangat tak asing telah terparkir di halaman rumah itu. "Bukankah itu rumah milik kedua orang yang tadi berdiri di depan rumahku?" lirihku seraya berusaha mengingat kembali. Memastikan kalau aku tak salah tebak. "Ya, itu milik kedua lelaki tadi. Aku tak salah lagi," ucapku lagi. Akhirnya aku memutuskan memarkir motor di halaman lalu melangkah menapak ke lantai teras rumah. Rumah berlantai empat dan dipadupadankan dengan cat berwarna emas ini selalu terlihat sepi. Aku berhenti di balik pintu, lalu tanganku terulur memencet bel yang terpasang di sisi pintu. Aku berdecak kesal saat dua kali memencet bel dengan jeda yang lumayan lama namun tak kunjung ada yang membuka pintu. Kuulangi untuk memanggil penghuni rumah ini. Tak berselang lama terdengar seperti ada seseorang yang membuka pintu dari dalam. Tak berselang lama terlihatlah so
Pov Pandu***Aku duduk di atas motor seraya jemariku memainkan benda pipih itu. Kubuka aplikasi berlogo telepon dan berwarna hijau itu. Tak butuh waktu lama untuk mencari nomor Andi. Lalu kupilih menu panggil.Tersambung.Bergegas kutempelkan benda pipih itu di telinga kananku saat panggilan sudah diangkat olehnya."Halo, Bos. Ada apa?" tanya Andi dari seberang sana. "Kamu di mana?" tanyaku. "Di rumah. Ada apa?""Oh, baguslah kalau kamu udah pulang. Aku ke rumah kamu sekarang ya. Ada urusan penting yang ingin kubicarakan sama kamu," ucapku kemudian. "Pasti soal duit kan?" Aku tergelak saat mendengar tebakan yang dilontarkan oleh Andi. "Yaudah. Ke sini lah," perintah Andi. "Ok. Aku meluncur ke sana sekarang ya."Panggilan kumatikan. Bergegas kunyalakan motor maticku lalu kukendarai menuju rumah Andi. ****"Sebanyak itu, Ndu? Lah, yang dua puluh juta saja belum kamu kembalikan, malah sekarang kamu pinjam sebanyak itu," ucap Andi setelah kujelaskan apa tujuanku datang padanya.
Aku dan Andy melangkah menuju ke luar rumah mewah tersebut. Aku masuk ke dalam mobil, begitu pun dengan yang dilakukan oleh Andy. Temanku itu duduk di belakang kemudi.Kukenakan sabuk pengaman saat aku sudah menghenyakkan tubuhku di kursi. Sesaat kemudian terdengar suara deru mesin yang mulai menyala lalu mobil mulai bergerak. Bergerak dan bergerak, hingga akhirnya mulai melaju."Kamu sering datang ke sana, Ndi? Kok sepertinya Tante Zessy kenal dekat denganmu. Bahkan, saat baru saja melihatmu dia langsung menawarkan barang baru. Apa yang dimaksud barang baru itu seorang pel*cur?" tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Andy hanya terkekeh mendengar pertanyaanku. "Nggak perlu kujawab pasti kamu tahu lah jawabannya," ucap Andy sesaat setelah ia menghentikan tawanya. "Jadi benar kamu sering ke sana?" Masih dalam rasa tak percaya aku berucap. "Ya. Bisa dibilang begitu." Aku terhenyak mendengarkan pengakuan lelaki itu. Jujur, aku tak menyangka Andy sering menyewa perempuan di luar untuk
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai
"Kamu kerja di sini?" tanya Pak Gunawan dengan raut wajah mencemooh saat sudah berdiri di hadapanku. Aku mengalihkan pandanganku. Ternyata si tua bangka ini selain doyan kawin juga suka jajan kayak gini. Emang keterlaluan. Udah mau bau kamboja, eh malah berkilah. Nggak sadar umur kayaknya ini orang."Kalau kamu dulu mau nikah sama aku, kamu nggak bakalan jadi pelac*r di sini. Sok-sokan nolak. Padahal kalau kamu mau nikah denganku, hidupmu bakalan enak." Aku hanya mencebikkan bibirku saat mendengarkan penuturan lelaki itu sembari memutar bola mata malas. Terlihat Pak Gunawan seperti sedang mencari seseorang tak berselang lama ia berjalan menuju ke arah Mami Zessy. Terjadi perbincangan di antara mereka lalu tak berselang lama Pak Gunawan kembali mendekat ke arahku. "Sekarang layanin aku," ucap Pak Gunawan sembari menarik tanganku begitu saja. Aku menepis cekalan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput itu. Mendapatkan penolakanku, tentu saja membuat Pak Gunawan langsung menolehkan
"Pelayanan kamu sungguh memuaskan. Tak menyesal saya bayar kamu mahal," bisik lelaki yang baru pertama kali membooking jasaku. Aku tersenyum samar lalu berkata, "Sering-sering ke sini ya." Aku memainkan jemariku di dada lelaki itu sembari sesekali mencubit kecil dada yang ditumbuhi beberapa bulu halus di bagian sana. Ya, aku dan dia saat ini sedang merebahkan tubuh di ranjang setelah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kugunakan lengan lelaki itu sebagai bantalan kepalaku. "Pasti," ucapnya kemudian. Bergegas aku bangkit dari pembaringan lalu beringsut dari ranjang dan mengambil satu per satu pakaianku yang tercecer di lantai kamar ini. Aku mulai menggunakan baju-bajuku dengan posisi memunggungi lelaki itu. "Kamu nggak pulang? Masih betah di sini?" ucapku sembari mengerling nakal ke arahnya setelah semua baju sudah kukenakan. Sedangkan ia masih merebahkan tubuhnya dengan kedua lengan ditekuk ke belakang sebagai bantal, sembari menatapku dan tersenyum samar. "Sebenarnya aku masi
Pov Pandu**"Meskipun saya hanya seorang pembantu, saya juga harus memilih soal pasangan lah, Pak. Masa iya saya mau dijadikan istri kedua?""Pembantu?" tanya kami serempak. Lidya mengangguk cepat. "Iya, saya bekerja di sini sebagai pembantu. Tentunya atas keinginan saya sendiri. Bukan karena seperti yang dikatakan oleh dia kalau saya dijadikan alat pelunas hutang. Ini saya baru pulang belanja." Lidya memperlihatkan kantong kresek yang ada di tangannya. Terkejutlah aku dengan pengakuan yang Lidya kemukakan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika aku hanyalah sekedar teman yang sempat ingin memilikinya namun ia menolak? Bagaimana mungkin ia mengatakan jika ia di sini bekerja hanya sebagai pembantu. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres di sini. Pasti Lidya disuruh dan diancam agar tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku yakin Lidya dalam pengaruh tekanan. "Sayang, kamu jangan takut. Ada dua polisi di sini. Bicaralah dengan jujur. Katakan jika kamu diculik dan dijadikan psk di sini.