Pov Pandu***Aku duduk di atas motor seraya jemariku memainkan benda pipih itu. Kubuka aplikasi berlogo telepon dan berwarna hijau itu. Tak butuh waktu lama untuk mencari nomor Andi. Lalu kupilih menu panggil.Tersambung.Bergegas kutempelkan benda pipih itu di telinga kananku saat panggilan sudah diangkat olehnya."Halo, Bos. Ada apa?" tanya Andi dari seberang sana. "Kamu di mana?" tanyaku. "Di rumah. Ada apa?""Oh, baguslah kalau kamu udah pulang. Aku ke rumah kamu sekarang ya. Ada urusan penting yang ingin kubicarakan sama kamu," ucapku kemudian. "Pasti soal duit kan?" Aku tergelak saat mendengar tebakan yang dilontarkan oleh Andi. "Yaudah. Ke sini lah," perintah Andi. "Ok. Aku meluncur ke sana sekarang ya."Panggilan kumatikan. Bergegas kunyalakan motor maticku lalu kukendarai menuju rumah Andi. ****"Sebanyak itu, Ndu? Lah, yang dua puluh juta saja belum kamu kembalikan, malah sekarang kamu pinjam sebanyak itu," ucap Andi setelah kujelaskan apa tujuanku datang padanya.
Aku dan Andy melangkah menuju ke luar rumah mewah tersebut. Aku masuk ke dalam mobil, begitu pun dengan yang dilakukan oleh Andy. Temanku itu duduk di belakang kemudi.Kukenakan sabuk pengaman saat aku sudah menghenyakkan tubuhku di kursi. Sesaat kemudian terdengar suara deru mesin yang mulai menyala lalu mobil mulai bergerak. Bergerak dan bergerak, hingga akhirnya mulai melaju."Kamu sering datang ke sana, Ndi? Kok sepertinya Tante Zessy kenal dekat denganmu. Bahkan, saat baru saja melihatmu dia langsung menawarkan barang baru. Apa yang dimaksud barang baru itu seorang pel*cur?" tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Andy hanya terkekeh mendengar pertanyaanku. "Nggak perlu kujawab pasti kamu tahu lah jawabannya," ucap Andy sesaat setelah ia menghentikan tawanya. "Jadi benar kamu sering ke sana?" Masih dalam rasa tak percaya aku berucap. "Ya. Bisa dibilang begitu." Aku terhenyak mendengarkan pengakuan lelaki itu. Jujur, aku tak menyangka Andy sering menyewa perempuan di luar untuk
Aku melangkah kembali menuju kamar. Lagi-lagi aku hanya bisa menggelengkan kepala seraya tersenyum saat baru saja kubuka pintu, terlihatlah Lidya yang masih disibukkan oleh baju-baju barunya. "Bagus nggak, Mas?" tanya Lidya sesaat setelah ia menoleh ke arahku. Ia menyadari kedatanganku melalui pantulan cermin yang ada di depannya. "Bagus kok. Kamu itu udah cantik, pakai apapun tetap cantik," pujiku seraya melangkah ke dalam setelah kututup daun pintu. Langsung kupeluk tubuh itu dari belakang, kuletakkan daguku di atas pundaknya. "Kamu senang?" tanyaku yang dibalas anggukan secara cepat olehnya. "Sekarang giliran bahagiain Mas ya. Lagi pengen ...," ucapku. "Gampang lah itu, Mas. Oh ya, Mas, kok temen Mas itu gampang banget di pinjemin uang sebanyak itu? Apa dia benar-benar kaya?" Cepat kuangkat kepalaku dari pundak Lidya lalu melangkah ke arah ranjang. Sesekali kuusap hidungku, berusaha menetralkan degup jantung yang berdetak semakin kencang. Kuhenyakkan tubuhku di sudut ranjan
Pandanganku langsung tertuju pada Papa yang berdiri dengan memasang wajah bengis. Bahkan terlihat dengan jelas dada itu naik turun seiring deru napas yang terdengar begitu memburu. "Ada apa sih, Pa?" tanyaku pura-pura tidak tahu, meskipun aku tahu pasti ini soal video Mama yang melabrak selingkuhan Papa itu. "Mama kamu benar-benar bikin malu! Bikin ribut di tempat umum!" ucap Papa dengan nada suara geram."Tapi Mama nggak terima Papa berkhianat!" ucap Mama yang masih bersembunyi di balik punggungku. Nada suaranya terdengar bergetar. Papa berjalan mendekat ke arahku lalu dengan cepat ditariknya tubuh Mama dengan begitu kasar. "Pa, jangan kasar kayak gitu sama Mama," protesku. "Diam, kau!" bentaknya seraya mengarahkan telunjuknya ke arah wajahku dengan jarak yang begitu dekat. "Kau tak terima dengan perselingkuhan ini? Lantas kenapa kau mendukung putramu itu berselingkuh? Kenapa kau mainkan sandiwara itu agar Vita menerima kehadiran Lidya, ha?! Sekarang kau tahu kan bagaimana rasa
"Kamu ngapain di sini, Mas?!" pekik Vita saat melihatku sudah berada di dalam kamarnya. "Emang apa salahnya aku di sini? Bukannya ini juga kamarku?" ucapku dengan enteng. Pandangan Vita beralih pada laptop yang layarnya masih menyala itu. "Kenapa? Kamu terkejut foto dan video itu sudah kuhapus?" ucapku. Bergegas Vita berjalan menuju nakas lalu tangannya mengoperasikan laptop itu. Aku tersenyum sinis. "Ternyata kau bukan perempuan bod*h seperti yang aku pikirkan ya," ucapku dengan nada meledek. Membuat Vita langsung menoleh ke arahku. "Apa maksudmu, Mas?" tanya Vita dengan nada bergetar. Lagi, aku tersenyum sinis. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Papa, cepat atau lambat Vita akan mengurus perceraian itu, dan aku yakin Vita akan menggunakan foto dan Video itu sebagai buktinya. Namun semua tak semudah itu. Barang bukti telah kuhapus. Tak ada alasan yang kuat lagi bagi hakim untuk mengabulkan gugatan cerai itu. Dengan mudah aku akan menampik dan memutar balikkan fakta, hingga
Aku terus melangkah dan melangkah. Tak kupedulikan Vita yang berusaha menghentikan langkahku. Namun, saat baru saja di ambang pembatas antara ruang tamu dan keluarga, tiba-tiba Vita berteriak."Ma ... bawa Daffa lari ...!" Berkali-kali kutepis tangan itu. "Lepaskan!" bentakku. Aku terus melangkah. Namun langkahku seketika terhenti saat tiba-tiba aku melihat ada segerombolan orang berdiri di belakang Mama mertua. "Mau apa kamu, ha?!"Sialan!Mama benar-benar membuatku muak. Terlihat Vita langsung berlari ke arah mereka, ada raut wajah kelegaan yang terlihat di wajah itu. "Pergi dari sini atau kau akan dihajar oleh mereka!" bentak Mama seraya menunjuk ke arah segerombolan perempuan yang ada di belakangnya– beberapa warga yang tinggal di sekitar komplek ini. Bahkan mereka masing-masing membawa senjata. Bukan senjata tajam, melainkan seperti spatula, sapu dan tangan kanan Mama mertua membawa pemukul kasur yang terbuat dari rotan. Pemukul yang ia gunakan untuk ... menghajarku kemari
Saat jemariku menari-nari di atas layar ponsel, tiba-tiba benda pipih yang ada di tanganku itu berdering. Nomor asing terpampang sebagai pemanggilnya."Halo ...," sapaku saat panggilan sudah kuangkat dan kudekatkan di telinga kananku. "Kamu di mana, Mas? Ini aku Lidya," ucap seseorang di seberang sana dengan nada khawatir. "Di jalan. Ada apa? Ini nomor siapa?" tanyaku. "Mas, jemput aku! Tasku dicopet!""Allahu Akbar ...," lirihku seraya mengacak rambut dengan kasar. "Ke sini, Mas. Jemput aku. Aku udah nggak pegang uang sama sekali," rengek Lidya dari seberang sana. Aku menghembuskan napas berat.Sepertinya hari ini hari yang begitu sial. Uang yang tinggal tak seberapa itu kini telah lenyap begitu saja. "Kok bisa sih, Lid? Kenapa kamu begitu ceroboh?" sahutku dengan nada yang begitu geram.Sejak tadi aku sudah dibuat emosi, sekarang tambah lagi masalahnya. Entahlah ... aku benar-benar frustasi. Pikiran ini sudah tidak mampu berjalan lagi.Belum lagi soal hutang yang kujadikan Mam
Terlihat raut wajah itu seperti syok. Bahkan terlihat dengan jelas Lidya menelan ludahnya dengan susah payah. Tak ada satu kalimat yang keluar dari bibirnya. Hanya gerakan kepala menggeleng yang terlihat. "Kamu jangan khawatir, semua akan baik-baik saja. Tak akan kubiarkan lelaki manapun bisa menjamah tubuhmu ...," ucapku berusaha membuatnya agar bisa membuat hatinya tenang. "Percayalah, Lid ... semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa membayar hutang-hutang itu. Tak mengapa jika Vita menggugat cerai diriku. Kamu lah yang akan menjadi satu-satunya perempuan di hati Mas. Seperti yang kamu inginkan sejak dulu ...."Kutarik tubuh Lidya ke dalam dekapanku. Bibir itu masih menutup dengan sempurna. Kuelus pucuk kepala itu, sesekali bibirku mendarat di sana, mengecupnya dengan penuh kasih sayang. Beberapa menit Lidya berada dalam dekapanku. Namun, tak berselang lama ia mulai menarik tubuhnya untuk terlepas dari pelukanku. "Apa kamu sudah nggak waras, Mas? Kamu jadikan aku sebagai jamina
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai
"Kamu kerja di sini?" tanya Pak Gunawan dengan raut wajah mencemooh saat sudah berdiri di hadapanku. Aku mengalihkan pandanganku. Ternyata si tua bangka ini selain doyan kawin juga suka jajan kayak gini. Emang keterlaluan. Udah mau bau kamboja, eh malah berkilah. Nggak sadar umur kayaknya ini orang."Kalau kamu dulu mau nikah sama aku, kamu nggak bakalan jadi pelac*r di sini. Sok-sokan nolak. Padahal kalau kamu mau nikah denganku, hidupmu bakalan enak." Aku hanya mencebikkan bibirku saat mendengarkan penuturan lelaki itu sembari memutar bola mata malas. Terlihat Pak Gunawan seperti sedang mencari seseorang tak berselang lama ia berjalan menuju ke arah Mami Zessy. Terjadi perbincangan di antara mereka lalu tak berselang lama Pak Gunawan kembali mendekat ke arahku. "Sekarang layanin aku," ucap Pak Gunawan sembari menarik tanganku begitu saja. Aku menepis cekalan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput itu. Mendapatkan penolakanku, tentu saja membuat Pak Gunawan langsung menolehkan
"Pelayanan kamu sungguh memuaskan. Tak menyesal saya bayar kamu mahal," bisik lelaki yang baru pertama kali membooking jasaku. Aku tersenyum samar lalu berkata, "Sering-sering ke sini ya." Aku memainkan jemariku di dada lelaki itu sembari sesekali mencubit kecil dada yang ditumbuhi beberapa bulu halus di bagian sana. Ya, aku dan dia saat ini sedang merebahkan tubuh di ranjang setelah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kugunakan lengan lelaki itu sebagai bantalan kepalaku. "Pasti," ucapnya kemudian. Bergegas aku bangkit dari pembaringan lalu beringsut dari ranjang dan mengambil satu per satu pakaianku yang tercecer di lantai kamar ini. Aku mulai menggunakan baju-bajuku dengan posisi memunggungi lelaki itu. "Kamu nggak pulang? Masih betah di sini?" ucapku sembari mengerling nakal ke arahnya setelah semua baju sudah kukenakan. Sedangkan ia masih merebahkan tubuhnya dengan kedua lengan ditekuk ke belakang sebagai bantal, sembari menatapku dan tersenyum samar. "Sebenarnya aku masi
Pov Pandu**"Meskipun saya hanya seorang pembantu, saya juga harus memilih soal pasangan lah, Pak. Masa iya saya mau dijadikan istri kedua?""Pembantu?" tanya kami serempak. Lidya mengangguk cepat. "Iya, saya bekerja di sini sebagai pembantu. Tentunya atas keinginan saya sendiri. Bukan karena seperti yang dikatakan oleh dia kalau saya dijadikan alat pelunas hutang. Ini saya baru pulang belanja." Lidya memperlihatkan kantong kresek yang ada di tangannya. Terkejutlah aku dengan pengakuan yang Lidya kemukakan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika aku hanyalah sekedar teman yang sempat ingin memilikinya namun ia menolak? Bagaimana mungkin ia mengatakan jika ia di sini bekerja hanya sebagai pembantu. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres di sini. Pasti Lidya disuruh dan diancam agar tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku yakin Lidya dalam pengaruh tekanan. "Sayang, kamu jangan takut. Ada dua polisi di sini. Bicaralah dengan jujur. Katakan jika kamu diculik dan dijadikan psk di sini.