Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 20.00 Wib. Sejak Mas Pandu ke luar karena tangisan Daffa, ia tak kunjung pulang. Aku beringsut dari sebelah ranjang, melihat Daffa sedang tertidur nyenyak. Lalu aku melangkah menuju jendela, kusibak tirai dan kubuka jendela. adalah angin yang menghambur ke tubuhku.
Aku berdiri dengan tubuh bersandar, ucapan Mas Pandu saat ia mengatakan keinginannya terus terngiang di telingaku. Hingga membuat dada ini kembali terasa sesak. Seperti ada bongkahan batu yang menghimpit dadaku.
Kini, rasa sakit dan kecewa melebur menjadi satu. Hingga mampu menghancurkan duniaku.
"Ya Allah...sadarkan suamiku," lirihku. Tak pernah kusangka, lelaki yang telah kuperjuangkan di depan Papa kini tega menorehkan luka. Tega mengingkari janji yang pernah diucapkannya.
Aku tahu betul bagaimana Mas Pandu, baginya kebutuhan biologi adalah hal nomor satu. Di saat aku tak mampu memberikan kepuasan di atas peraduan karena datang bulan, ia selalu berlagak dan berlagak. Namun jika ia memutuskan untuk memberikanku madu di saat tak bisa melayaninya setelah melahirkan, benar-benar keterlaluan itu suatu hal yang benar-benar terjadi?
Apakah yang diucapkannya itu hanya sebuah alasan? Atau dia sudah merencanakan semua ini sejak lama? Atau sebelumnya mereka memang sudah memiliki hubungan?
Jika semua itu baru sebuah rencana, tapi mengapa Mas Pandu sudah menyiapkan sebuah nama? Lidya....
Atau, atau dan atau.
Aarrgghh... aku benci dengan semua ini.
Kuremas rambut dengan kedua mata. Gigiku bergemelatuk, seiring gemuruh di dada semakin terasa. Air mata mulai menetes. Tetesan demi tetesan itu kini berubah menjadi deraian, hingga ciptakan suara tangisan yang terdengar begitu memilukan.
Ya Allah....
Apa yang harus kulakukan?
Aku kaget saat tiba-tiba kurasakan ada seseorang yang memeluk tubuhku dari belakang. Aku menoleh. Ternyata Mas Pandu. Kuurai pelukannya dari tubuhku, "lepaskan, Mas."
"Vit...." Mas Pandu sudah berdiri di sampingku. Aku bergeming. Aku membocorkan ke arah luar. Tak kupedulikan kehadiran lelaki itu. Hati ini masih terasa sakit. Sakit sekali.
"Pikirkanlah yang mengatakan tadi. Kuharap kamu bisa menerima keputusanku," ucapnya tanpa rasa bersalah. Kehembuskan napas panjang, lalu aku menoleh ke arahnya.
"Jika aku tak menyetujuimu, Lalu apa kamu akan berani mencoba untuk menikahinya?" bertanya dengan mengungkapkan tajam pada iris hitam lelaki itu.
"Dengan atau tanpa persetujuan dari kamu, aku akan tetap menikah dengan Lidya," ucap Mas Pandu tegas. Aku tersenyum sungging, lalu kualihkan pandanganku. Sungguh, hati ini semakin terasa nyeri. Bahkan untuk meneguk ludah pun terasa begitu sulit.
"Lantas mengapa kau minta persetujuanku, jika bagaimana pun jawabanku, kau akan tetap pada pendirianmu," ucapku dengan berusaha setenang mungkin, meskipun dada bergemuruh tak karuan.
"Jangan menangis, Vit. Tahan! Tahan air matamu! Ingat janjimu pada Papamu!" batinku berusaha menguatkan. tidak bisa dipungkiri, saat ini hanya kurasakan rasa, perih, kecewa, dan sakit duniaku ... hancur.
"Seharusnya kamu bersyukur, jika aku meminta izinmu itu artinya aku masih menghargaimu." Ucapan Mas Pandu berhasil perhatianku. Kutatap wajah yang tanpa rasa bersalah itu dengan sorot mata tak percaya. sebelum kepala ini menggeleng. Bagaimana bisa lelaki itu muncul seperti itu?
Beruntung? Menghargai ku? Dengan cara berkhianat dan menikah lagi?
"Menghargaiku, kau bilang? Mas, apa seperti itu bentuk yang layak kuterima setelah melahirkanmu? Anda tahu melahirkan rasa sakitnya, kerasnya perjuanganku saat putramu, apa kau masih membayangkan hal itu?!"
"Jaga ucapanmu, Vit!" Raut wajah itu kini terlihat merah padam. Bahkan rahangnya mulai mengeras dengan napas yang terlihat terlihat.
"Apa salah menikah yang kukatakan, Mas? Kau ingin lagi hanya karena aku tak bisa melayanimu untuk sementara waktu. Apa jangan-jangan sebenarnya kau sudah bermain di belakangku?" Kupandang dihadapi dengan menyelidik.
"Kenapa sekarang kau malah menuduhku?!" desisnya tak terima.
"Mas ... apa susahnya kau tahan hasratmu selama empat puluh hari saja? Nggak lama, Mas. Hanya Kemana-mana!"
"Vit... setelah punya anak, waktumu akan habis untuk merawat Daffa. Tak mungkin kamu bisa mengurusku setiap waktu. Dan kupikir ini yang terbaik. Setidaknya aku tidak akan bermain di belakangmu."
"Kupikir kamu akan menikah, dan akan menceraikannya setelah masa nifasku habis," gumamku.
"Vit...."
"Sudahlah, Mas. Aku lelah. Jangan membahas tentang ini lagi. Pikirkan dulu keinginanmu itu. Jika kamu kekeh dengan keinginanmu, cinta pada kegagalan, kamu siap kehilanganku dan juga Daffa," ucapku namun penuh penekanan. Tujuanku hanya ingin memberikan sedikit ancaman. Saya tersenyum agar lelaki itu berpikir lagi dan mengurungkan niatnya.
Mas Pandu meraih kedua tanganku, lalu digenggam dengan sedikit meremasnya. "Aku tak akan menceraikan mu, Vit. Aku meminjam."
"Ck, kau pikir ada perempuan yang rela dimadu?" Kutarik kedua tanganku dari genggamannya dengan kasar.
"Keluarlah, Mas!"
"Vit...."
"Keluar!"
"Baik. Oke. Tapi tahu yang tadi kukatakan."
"Keluaarr!" Mas Pandu melangkah pelan menuju pintu, ia berhenti lalu menoleh ke arahku. Kualihkan pandanganku darinya.
Ya Allah. Rasanya sakit sekali.
surga air mata mengalir begitu derasnya. Kududukkan di bibir ranjang. Kuremas sprei dengan kerasnya, sebagai bentuk luapan rasa sakit dan rapuhnya hati ini.
Suara tangisakan mulai terdengar, seiring kedua bahuku yang mulai terguncang.
Tuhan .... nikmatnya rasa sakit yang kurasakan malam ini. Baru sesaat kukecap kebahagiaan, seketika tergantikan oleh kekecewaan.
"Mama... Papa... Vita hancur...."
Tuhan, langkah apa yang harus kuambil?
Mahligai rumah tangga yang sudah kubangun tujuh tahun haruskah hancur begitu saja karena orang ketiga?
Ya, aku dan Mas Pandu sudah menikah tujuh tahun. Di usia pernikahan tujuh tahun ini lah baru kudapatkan sosok malaikat kecil yang baru saja kulahirkan tiga hari yang lalu.
Selama penantian seorang buah hati, Mas Pandu selalu setia denganku. Berkali-kali kuminta ia menceraikanku, dan menikahi perempuan lain yang mampu memberikan keturunan dengan cepat, ia selalu menolaknya. Bahkan di saat aku membahas tentang itu, Mas Pandu selalu marah dan marah. Memang lelaki itu teguh dengan pendiriannya, tak ada seorang pun yang bisa membelokkan apa yang terbesit dalam angannya, aku tahu itu.
Bahkan, saat Mama mertua memaksa Mas Pandu untuk menikah lagi, dengan tegas menolak. Masih kuingat dengan jelas apa yang dikatakan olehnya, "Jika aku memiliki seorang anak, Vita lah yang harus menjadi ibunya. Harus dari vita-lah anakku dilahirkan, bukan dari rahim perempuan lain."
Sekarang keinginan kami sudah terwujud, Tuhan telah menganugerahkan sosok malaikat kecil sebagai pelengkap kebahagiaan kami. Bayi kecil yang begitu tampan. Tuhan telah mewujudkan impian kami, lalu mengapa di saat Tuhan mengabulkan do'a yang selalu kupanjatkan di setiap sujudku, niatan untuk lagi malah terbersit dalam pikiran Mas Pandu?
Tuhan ... Aku tak tahu rencana apa yang akan Engkau berikan. Aku tak tahu, takdir apa yang akan kuterima. Satu harapanku, berikanlah aku kekuatan jika kelak takdir-Mu tak sesuai dengan anganku.
Sungguh... malam ini dipenuhi dengan derai air mata. Aku menoleh ke arah jam di dinding, ternyata sudah larut malam. Aku terlalu rapuh, hancur hingga membuatku terlarut dalam tangisan dan tangisan. Membuatku menyadari selama itu pula aku terisak dalam tangisku.
Kurebahkan tubuhku, kucari posisi tidur ternyamanku dan berusaha kupejamkan kedua mataku. Namun usahaku sia-sia. Mata ini masih terjaga.
Kembali kuubah posisiku, kusandarkan tubuhku di kepala ranjang saat terlintas nama sosok perempuan yang telah beberapa kali disebut oleh Mas Pandu dalam kami malam ini.
"Lidya. Siapa dia?" bertanya pada diri sendiri.
Aku mencoba mengingat-ingat nama itu. Kukorek rekaman ingatanku. Namun saya tidak memperhatikan mengingat sosok orang yang memiliki nama tersebut.
"Aku harus cari tahu siapa dia," tekadku.
Satu prinsipku, aku tak akan memaafkan seorang suami yang berselingkuh dan melakukan KDRT.
Andai saja kutemukan fakta kalau Mas Pandu memang tidak pernah bermain di belakangku dalam artian 'selingkuh', mungkin bertahan adalah pilihanku. Perlahan akan kubuat Mas Pandu melupakan sosok perempuan itu. Pastinya agar pernikahan itu tak akan pernah terjadi.
Sungguh... Mas Pandu adalah sosok lelaki yang begitu sempurna, menurutku. Ia tak pernah berlaku kasar, apalagi lelaki yang bertanggung jawab. Selama ini pun ia juga menjadi sosok suami yang baik. Berat jika harus melepaskan dia begitu saja. Apalagi saat ini ada Daffa di antara kita.
Namun jika kutemukan fakta sebaliknya, maka berpisahlah jalan yang akan kuambil.
Mas ... mudah-mudahan kau tak melakukan hal yang sedari dulu begitu kubenci. -mudahan tak pernah kau nodai Mudah cinta yang suci.
Malam ini bagaikan mimpi yang buruk. Buruk sekali. Bahkan tak pernah terbayangkan aku berada di dalam situasi yang seperti ini.
tempat aku tak menoleh ke arah Daffa, terlihat tidurnya malam ini begitu nyaman. Mungkinkah bayi kecil itu merasakan apa yang dia rasakan?
Bahkan bibir mungil itu mengeluarkan suara seperti tangisan.
Kuelus tubuh Daffa agar ia kembali terbuai dalam mimpinya.
Bersambung ya.
Mataku mengerjap pelan saat terasa ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku dan memanggil namaku dengan pelan."Ada apa, Mbok?" bertanya saat lamat-lamat terlihat Mbok Jum sedang berdiri di samping sampingku. Kedua mataku kembali menutup, sungguh kedua mata ini masih ingin terpejam. Enggan untuk terbuka."Den Daffa nangis, Bu. Mungkin dia haus," jawab Mbok Jum dengan posisi berdiri seraya menimang Daffa.
Suara Mbok Jum yang memanggilku dengan diiringi ketukan halus pada daun pintu membuatku tersadar dari lamunan."Masuk," ucapku datar dengan tubuh yang masih terduduk di ranjang dan bersandar di kepala ranjang. Sedetik kemudian terlihat tubuh Mbok Jum menyembul dari balik pintu.Perempuan berbaju sederhana yang telah mengabdikan dirinya selama tujuh tahun menjadi ART di rumahku itu melangkah mendekat dengan membawa nampan di kedua tangannya."Bu Vita sarapan dulu ya. Kasihan dari tadi pagi perutnya belum terisi," ucap Mbok Jum seraya menyerahkan s
"Sudah tenang?" ucap Aulia sewaktu-waktu setelah tangisku mereda. Kuurai pelukan itu, setelah kutumpahkan sesak, kecewa dan sakit hati yang ada di dadaku bersamaan dengan air mata yang keluar.Aku mengangguk. Terasa tangan meremas genggaman tangan."Ceritalah. Akan kudengarkan segala beban yang ada di dalam benakmu." Aku mengangguk mendengar ucapan Aulia. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan sebelum kumu
"Mbok." Panggilanku membuat tubuh Mbok Jum terlonjak kaget, cepat ia menoleh ke arahku. Lalu terlihat Mbok Jum meletakkan serbet yang tadi ia gunakan untuk membersihkan guci di ruangan keluarga. Tepat di depan kamarku."Maaf, Bu. Simbok kaget," ucapnya dengan tubuh sedikit membungkuk."Daffa di mana, Mbok?""Den Daffa?" tanya Mbok Jum seperti tidak percaya, aku mengangguk. Sedetik kemudian terlihat cairan bening menggenang di kedua pelupuk matanya."Mbok?!" "Eh, iya, Bu. Ibu sudah baikan?""Ya. Saya baik-baik saja, Mbok."Cepat Mbok Jum menghapus buliran bening yang hampir saja terjatuh dari tempatnya."Simbok nangis?""Enggak, Bu. Sebentar, Bu. Tadi Bu Vita tanya di mana Den Daffa kan? Bu Vita istirahat di kamar saja. Biar Simbok bawa Den Daffa ke kamar Bu Vita."
"Sekuat apapun kalian membujukku, tak akan bisa mengurungkan niatku. Vit, percayalah Lidya itu perempuan yang baik. Kamu hanya perlu sedikit beradaptasi, seiring berjalannya waktu kamu akan terbiasa dengan posisimu. Kamu hanya perlu belajar untuk sedikit berbagi."Mendengar ucapan Mas Pandu membuat hati ini terasa nyeri, serasa ada yang meremasnya, kuat. Satu ucapan tapi mampu memporak-porandakan cinta ini. Satu ucapan tapi membuatku seperti terhempas dengan begitu kerasnya.Apa dia pikir semudah itu membagi seorang suami?Kukira dengan kedatangan Mama mertua bisa merubah segalanya. Namun semua hanya angan-angan belaka. Ucapan dan kemarahan Mama mertua tidak ada artinya.Hanya air mata sebagai bentuk betapa sakit dan kecewa nya diri ini."Sudah. Tidak perlu berdebat lagi. Sama sekali t
"Assalamualaikum, Ma...," ucapku setelah kuangkat panggilan itu. Jantung ini terpacu jauh lebih kencang."Waalaikum salam. Vit kamu tahu foto suami kamu yang tersebar di dunia maya?"Deg.Sesaat kupejamkan kedua mataku. Benar dugaanku, soal itulah yang membuat Mama menghubungiku."Fo–foto mana, Ma? Vita nggak tahu," ucapku berbohong."Lihatlah akun faceb**k bernama Senja Mentari, dia memposting beberapa foto suami kamu dengan perempuan lain. Sekarang di mana Pandu?" Terdengar sekali nada suara Mama seperti orang menahan amarah."Mas Pandu sedang bekerja, Ma. Biar nanti kutanyakan sama Mas Pandu sial itu.""Jika suami kamu terbukti selingkuh, tinggalkan dia! Kau mengerti?!""I–iya, Ma. Sudah ya Ma,
Wajah itu terlihat bingung menatapku. Keningnya berkerut dengan alis yang saling bertautan.Kututup mulutku dengan telapak tanganku agar tawa ini bisa terhenti.Bagaimana aku tak menertawakan dirinya, saat ini ia menggunakan dalih agama untuk mendukung niatnya memperistri perempuan lain, sedangkan sebelumnya Mas Pandu telah mencicipi tubuh perempuan yang belum halal untuk disentuhnya?"Kenapa kamu tertawa? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Bahkan Tuhan menjanjikan surga untuk perempuan yang rela dan ikhlas untuk di madu."Aku mengangguk seraya menahan bibir agar tak lagi menyemburkan tawa. Mas Pandu mengangkat sebelah alisnya."Memang poligami itu diizinkan dalam agama," ucapku terjeda. Mas Pandu mengangguk."Aku pun juga mendukung seorang lelaki diperbolehkan untuk poligami. Bahkan aku jug
"Hai, selamat pagi," sapaku yang membuat Lidya terkesiap. Lidya melihat uluran tanganku yang menggantung di udara. Dengan cepat dia menerima uluran tanganku."Pagi juga, Mbak Vita," ucapnya dengan suara yang dibuat-buat. Aku tersenyum, paksa."Silahkan duduk," ucapku dengan tenang, meskipun gemuruh di dada terasa tak beraturan.Aku berjalan menuju sofa single, lalu menghempaskan tubuhku di sana. Sebenarnya ingin sekali kuhajar perempuan itu, kucakar wajahnya dan kurobek mulutnya itu.Namun sepertinya aku tidak sekejam itu. Aku masih memiliki hati, tidak seperti dirinya.Entah memang mati atau dipaksa mati nurani pada diri Mas Pandu, tanpa memikirkan perasaanku dia duduk tepat di samping Lidya, selingkuhannya itu. Bahkan sesekali mereka saling melirik lalu tersenyum. Aku tahu itu."Seperti permintaan kamu, Vit, aku memba
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai
"Kamu kerja di sini?" tanya Pak Gunawan dengan raut wajah mencemooh saat sudah berdiri di hadapanku. Aku mengalihkan pandanganku. Ternyata si tua bangka ini selain doyan kawin juga suka jajan kayak gini. Emang keterlaluan. Udah mau bau kamboja, eh malah berkilah. Nggak sadar umur kayaknya ini orang."Kalau kamu dulu mau nikah sama aku, kamu nggak bakalan jadi pelac*r di sini. Sok-sokan nolak. Padahal kalau kamu mau nikah denganku, hidupmu bakalan enak." Aku hanya mencebikkan bibirku saat mendengarkan penuturan lelaki itu sembari memutar bola mata malas. Terlihat Pak Gunawan seperti sedang mencari seseorang tak berselang lama ia berjalan menuju ke arah Mami Zessy. Terjadi perbincangan di antara mereka lalu tak berselang lama Pak Gunawan kembali mendekat ke arahku. "Sekarang layanin aku," ucap Pak Gunawan sembari menarik tanganku begitu saja. Aku menepis cekalan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput itu. Mendapatkan penolakanku, tentu saja membuat Pak Gunawan langsung menolehkan
"Pelayanan kamu sungguh memuaskan. Tak menyesal saya bayar kamu mahal," bisik lelaki yang baru pertama kali membooking jasaku. Aku tersenyum samar lalu berkata, "Sering-sering ke sini ya." Aku memainkan jemariku di dada lelaki itu sembari sesekali mencubit kecil dada yang ditumbuhi beberapa bulu halus di bagian sana. Ya, aku dan dia saat ini sedang merebahkan tubuh di ranjang setelah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kugunakan lengan lelaki itu sebagai bantalan kepalaku. "Pasti," ucapnya kemudian. Bergegas aku bangkit dari pembaringan lalu beringsut dari ranjang dan mengambil satu per satu pakaianku yang tercecer di lantai kamar ini. Aku mulai menggunakan baju-bajuku dengan posisi memunggungi lelaki itu. "Kamu nggak pulang? Masih betah di sini?" ucapku sembari mengerling nakal ke arahnya setelah semua baju sudah kukenakan. Sedangkan ia masih merebahkan tubuhnya dengan kedua lengan ditekuk ke belakang sebagai bantal, sembari menatapku dan tersenyum samar. "Sebenarnya aku masi
Pov Pandu**"Meskipun saya hanya seorang pembantu, saya juga harus memilih soal pasangan lah, Pak. Masa iya saya mau dijadikan istri kedua?""Pembantu?" tanya kami serempak. Lidya mengangguk cepat. "Iya, saya bekerja di sini sebagai pembantu. Tentunya atas keinginan saya sendiri. Bukan karena seperti yang dikatakan oleh dia kalau saya dijadikan alat pelunas hutang. Ini saya baru pulang belanja." Lidya memperlihatkan kantong kresek yang ada di tangannya. Terkejutlah aku dengan pengakuan yang Lidya kemukakan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika aku hanyalah sekedar teman yang sempat ingin memilikinya namun ia menolak? Bagaimana mungkin ia mengatakan jika ia di sini bekerja hanya sebagai pembantu. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres di sini. Pasti Lidya disuruh dan diancam agar tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku yakin Lidya dalam pengaruh tekanan. "Sayang, kamu jangan takut. Ada dua polisi di sini. Bicaralah dengan jujur. Katakan jika kamu diculik dan dijadikan psk di sini.