"Sudah tenang?" ucap Aulia sewaktu-waktu setelah tangisku mereda. Kuurai pelukan itu, setelah kutumpahkan sesak, kecewa dan sakit hati yang ada di dadaku bersamaan dengan air mata yang keluar.
Aku mengangguk. Terasa tangan meremas genggaman tangan.
"Ceritalah. Akan kudengarkan segala beban yang ada di dalam benakmu." Aku mengangguk mendengar ucapan Aulia. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan sebelum kumulai bercerita.
"Mas Pandu meminta izin untuk menikah lagi," ucapku dengan singkat tapi mampu membuat raut wajah perempuan yang ada di hadapanku ini terkejut. Terbukti dengan kedua bola matanya yang mendelik dan bibir yang melongo.
"Alasannya?" Satu kata yang keluar dari bibir Aulia.
"Katanya karena aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologinya untuk sempat puluh hari ke depan. Semua lelaki pasti senang kalau istri habis melahirkan?" bertanya dan Aulia mengangguk.
"Hanya karena itu, Pandu ingin menikah lagi?" tanya Aulia dengan wajah heran, tak percaya. Aku mengangguk. Aulia beranjak dari tempat duduknya.
"Tidak! Nggak mungkin kalau hanya soal itu. Aku yakin pasti ada sesuatu yang dari kamu. Rasa-rasanya nggak masuk akal saja kalau seorang lelaki ingin menikah lagi hanya soal urusan ranjang. Ya kali, kalau si istri memang sengaja tidak mau memberikan haknya . Lah ini kan karena habis melahirkan. Mana ada suami yang haknya di saat istri belum selesai nifas?" Dengan geram Aulia berucap.
"Gila! Benar-benar gila!" lanjut Aulia.
"Tapi selamat aku berumah tangga dengan Mas Pandu menurutku kepuasan biologis merupakan hal nomor satu baginya," jawabku.
"Iya aku tahu, hal itu memang sangat penting entah untuk perempuan ataupun laki-laki. Tapi tidak masuk akal aja sih kalau hanya karena dia mau menikah lagi. televisi ...." Aulia ucapannya.
"Kecuali kenapa?" seruku tak sabar menantikan kelanjutan yang ingin dikatakan oleh Aulia.
"Kecuali jika sebelum ini Pandu bermain di belakangmu. Lalu menggunakan alasan itu agar kamu menyetujui pernikahan keduanya. Istilahnya menemukan pembenaran untuk menikah lagi. Iya nggak sih? Iya kan?" ucap dan tanya Aulia. Perempuan itu kini kembali duduk.
"Begini loh, Vit. Jika Pandu menikah lagi hanya kamu tidak bisa melayaninya untuk sementara waktu. Lantas apa kelak ia akan menikah lagi jika istri keduanya juga lahir?"
"Entahlah. Aku juga tidak tahu," ucapku seraya mengedikkan kedua bahuku.
Sesaat kemudian keadaan terasa hening. Tak ada yang bersuara. Hanya suara detak jam yang terdengar dan menembus gendang telinga.
"Aku juga sempat menemukan seperti kamu, kalau Mas Pandu sebelumnya telah berselingkuh. Mas Pandu pun sudah menyebutkan satu nama. Nama perempuan yang akan menjadi adik maduku."
Wajah itu terlihat begitu tak terlupa, ia bertanggung jawab atas kepala. Mungkin ia benar-benar tidak menyangka.
"Siapa nama perempuan itu?" tanya Aulia.
"Lidya," lirihku.
"Sepertinya mereka memang sudah lama berhubungan. Mana mungkin secepat itu mendapatkan calon istri. Tidak suka itu kan, Vit? Apalagi hanya untuk dijadikan istri kedua. Dan ya ... hanya dibandingkan satu seratus dari sekian perempuan yang dijadikan istri kedua," dia.
Setelah kupikir-pikir, yang dikatakan oleh Aulia ada benarnya. status sebagai istri kedua sangat dihindari oleh kebanyakan perempuan. Lantas mana mungkin dalam hitungan hari Mas Pandu berhasil mendapatkan calon madu untukku.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" Kuangkat kedua bahuku sebagai jawaban atas pertanyaan Aulia. Karena jujur, aku pun masih bingung dengan langkah apa yang akan kuambil.
"Jangan gegabah. Biar kuselidiki suamimu itu," ucapnya dengan raut wajah yang terlihat serius.
"Beneran? kamu serius?" bertanya tak percaya.
"Iya aku nggak mau rumah tangga kamu hancur begitu saja. Tapi aku lebih nggak rela Jika kamu disakitin dan disia-siakan begitu saja. Aku nggak mau itu terjadi!" dia dan aku mengangguk. Sungguh kali ini saya merasa beruntung sekali memiliki sahabat yang begitu baik.
"Boleh aku bertanya?"
"Ya. Katakan saja!"
"Untuk aset-aset yang seperti rumah, mobil, dan rumah kontrakan yang kamu sewakan itu, semua dipegang siapa?"
"Aku yang Pegang. Semua atas namaku." Mendengarkan ucapanku membuat senyum tercetak jelas di bibir Aulia.
"Kenapa kamu tidak memilih memilih bercerai saja, Vit? Toh semua harta, kamu yang menguasai. Untuk membagi apa yang ingin diungkapkan oleh suami yang ingin berbagi cinta dan memiliki? Biarkan dia keluar dari rumah ini hanya membawa pakaian yang menempel di tubuhnya," yang sepertinya menahan geram.
"Tidak ada itu, Lia. Selama menjadi suami, Mas Pandu baik dan aku pantas menjadi istri. Apalagi dia lelaki yang bertanggung jawab dan juga menyayangiku. Bukan hal yang mudah untuk melepaskannya begitu saja."
"Vit,… lelaki yang memang mencintai istrinya, dia tidak akan rela melihat wanitanya terluka apalagi dengan teganya sampai membagi cinta," ucap Aulia penuh penekanan.
"Sekarang aku minta tolong sama kamu, selidiki saja Mas Pandu. Untuk kedepannya, jujur saja... aku belum mengetahuinya. Hanya satu tujuanku, aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di belakangku. Apakah Mas Pandu memang bermain api atau ada alasan lain, mungkin...."
"Ya! Aku pasti akan melakukannya," balasnya cepat.
"Vit...,"
"Ya?"
"Coba bayangkan saja jika kemungkinan terburuk akan terjadi, misalnya suamimu– Pandu memang serius ingin menikah lagi. Langkah apa yang akan kamu lakukan? Aku yakin suamimu sudah menikah, pernikahan itu akan dilakukan tak lama lagi. Mengingat alasan yang diucapkan pada Anda itu. "
Kuhela nafas panjang dan kuhembuskan secara kasar.
"Tidak... aku belum tahu. selamanya aku bertahan atau pergi meninggalkan. Jika memang benar menakdirkan cukup sekian rumah tangga kami, kurelakan Mas Pan kami bersama wanitanya. Tentu saja beserta waktunya."
"Maksud kamu? ucap Aulia dengan kening berkerut.
"Ya... jika aku memilih melepaskan, tentu akan kulepaskan pula. Biar Mas Pandu yang merawat," ucapanku kali ini membuat wajah Aulia kembali terkejut.
"Setelah kejadian malam di mana Mas Pandu mengatakan ingin menikah lagi, setiap melihat wajah Daffa membuat hati ini kembali terasa sakit, Lia. Gara-gara melahirkan Daffa membuat Mas Pandu akan menikah lagi," ucapku dengan kepala menunduk.
Tak mengangkat lama punggung tangan Aulia menempel di keningku, mengangkat punggung tangan. Sedetik kemudian kedua tangan Aulia mengusap wajahnya dengan kasar.
"Kenapa?"
"Astaga... apa saat ini ada jin yang menempel di tubuhmu?" ucapan Aulia membuatku bingung. aku goyang.
"Bagaimana mungkin kamu merelakan anak yang telah kamu lahirkan dengan mempertaruhkan nyawa, lalu dengan mudahnya kau berikan pada orang lain?" ucap Aulia.
"Kamu yakin mereka berdua akan merawat putramu dengan baik? Kamu yakin putramu akan bahagia bersama. Dan satu lagi, apa kamu siap kehilangan sosok yang telah lama kamu tunggu-tunggu. Kamu siap?" lanjut Aulia. Perempuan itu melihat dengan tajam.
"Lah, gimana lagi? Jika wajah Daffa membuat hati ini terasa terasa, Lia. Kamu tidak tahu bagaimana. Kamu tidak tahu melihat ingin tahu dalam hatiku. Kau tahu... sakit duniaku hancur, Lia. Hancur!" Nada suaraku kali ini kembali terdengar serak.
"Aku benar-benar tak menyangka kamu akan mengatakan ini, Vit," ucap Aulia dengan menggelengkan-gelengkan kepalanya.
"Apa kamu lupa berapa lama kamu menanti kehadirannya? Apa kamu masih mengingat ucapanmu? Oke. sekarang aku ingatkan. Dengarkan!" Aulia menghembuskan napas panjang.
"Lia, ada satu doa yang tak pernah pernah kupanjatkan. Aku berharap Tuhan segera memberiku momongan, aku berharap agar Tuhan segera menitipkan janin di dalam rahimku. Aku selalu membayangkan bahagianya aku, saat melihat bayi berada di pelukanku. hati ini saat melihat mata jernih pada wajah mungil itu kuberikan ASI untuknya.Ketika kucium, aroma khas bayi akan menguar di hidung seorangku.Kelak, jika Tuhanku habiskan hari-hariku untuk melewati masa tumbuh kembangnya.Kau tahu, Lia, aku akan menerima tak akan kusewa baby sitter dan aku tidak mau memberikan susu formula untuknya, kelak." ucapan dari bibir Aulia terngiang-ngiang di telingaku.
Masih dengan jelas kapan dan di mana saya mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang kuucapkan saat usia pernikahanku sudah menginjak lima tahun, dan saat itu aku begitu menghitung bayi mungil sebagai pelengkap kebahagiaanku.
"Kau mengingatnya sekarang? Kau mengatakan hal itu dengan mata terpejam dan bibir tersenyum, seolah-olah kamu sedang terbuai di dalam anganmu."
dada ini terasa sesak, seperti ada bongkahan batu besar yang menghimpit dadaku. Rasa sesak kian terasa, hingga ciptakan cairan bening yang memenuhi kelopak mata. Sedetik kemudian, cairan bening itu menjadi buliran-buliran bening yang bersarang di sudut mata. Hingga akhirnya...,
Tes!
Air mata terjatuh dengan sendirinya.
"Kini Tuhan telah memberimu apa yang kamu inginkan dan Nantikan. Lantas, mengapa kamu sia-siakan? Ya, aku tahu. Kamu kecewa karena suamimu. Tapi apa dengan menyia-nyiakan anak yang kamu lahirkan lantas rasa kecewamu akan hilang? kecewanya Sang Maha Pemberi setelah permintaan permintaanmu, lalu dengan mudahnya kau memperbaiki kepercayaan yang diberikan-Nya?"
aku goyang.
"Dulu kamu rela mengkonsumi obat setiap hari sebagai ikhtiar agar kamu segera diberi keturunan. Bahkan apa yang orang katakan, langsung kamu lakukan. Vit, sadar! Jadikan anak kamu sebagai kekuatan, bukan menjadikan dia sebagai tempat pelampiasan!"
Aku beringsut dari ranjang tidur, lalu melangkah ke arah pintu.
"Vit...." Langkahku terhenti mendengar panggilan Aulia. Aku menoleh ke arahnya.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku mau ambil Daffa," ucapku yang dibalas anggukan dan senyuman oleh Aulia.
Kali ini aku benar-benar menjadi seorang Ibu yang bod*h dan egois. Untung saja kedatangan Aulia tepat pada waktunya. Andai kata ia tak datang hari ini, mungkin hanya ada penyesalan yang akan kurasakan.
Bersambung ya.
"Mbok." Panggilanku membuat tubuh Mbok Jum terlonjak kaget, cepat ia menoleh ke arahku. Lalu terlihat Mbok Jum meletakkan serbet yang tadi ia gunakan untuk membersihkan guci di ruangan keluarga. Tepat di depan kamarku."Maaf, Bu. Simbok kaget," ucapnya dengan tubuh sedikit membungkuk."Daffa di mana, Mbok?""Den Daffa?" tanya Mbok Jum seperti tidak percaya, aku mengangguk. Sedetik kemudian terlihat cairan bening menggenang di kedua pelupuk matanya."Mbok?!" "Eh, iya, Bu. Ibu sudah baikan?""Ya. Saya baik-baik saja, Mbok."Cepat Mbok Jum menghapus buliran bening yang hampir saja terjatuh dari tempatnya."Simbok nangis?""Enggak, Bu. Sebentar, Bu. Tadi Bu Vita tanya di mana Den Daffa kan? Bu Vita istirahat di kamar saja. Biar Simbok bawa Den Daffa ke kamar Bu Vita."
"Sekuat apapun kalian membujukku, tak akan bisa mengurungkan niatku. Vit, percayalah Lidya itu perempuan yang baik. Kamu hanya perlu sedikit beradaptasi, seiring berjalannya waktu kamu akan terbiasa dengan posisimu. Kamu hanya perlu belajar untuk sedikit berbagi."Mendengar ucapan Mas Pandu membuat hati ini terasa nyeri, serasa ada yang meremasnya, kuat. Satu ucapan tapi mampu memporak-porandakan cinta ini. Satu ucapan tapi membuatku seperti terhempas dengan begitu kerasnya.Apa dia pikir semudah itu membagi seorang suami?Kukira dengan kedatangan Mama mertua bisa merubah segalanya. Namun semua hanya angan-angan belaka. Ucapan dan kemarahan Mama mertua tidak ada artinya.Hanya air mata sebagai bentuk betapa sakit dan kecewa nya diri ini."Sudah. Tidak perlu berdebat lagi. Sama sekali t
"Assalamualaikum, Ma...," ucapku setelah kuangkat panggilan itu. Jantung ini terpacu jauh lebih kencang."Waalaikum salam. Vit kamu tahu foto suami kamu yang tersebar di dunia maya?"Deg.Sesaat kupejamkan kedua mataku. Benar dugaanku, soal itulah yang membuat Mama menghubungiku."Fo–foto mana, Ma? Vita nggak tahu," ucapku berbohong."Lihatlah akun faceb**k bernama Senja Mentari, dia memposting beberapa foto suami kamu dengan perempuan lain. Sekarang di mana Pandu?" Terdengar sekali nada suara Mama seperti orang menahan amarah."Mas Pandu sedang bekerja, Ma. Biar nanti kutanyakan sama Mas Pandu sial itu.""Jika suami kamu terbukti selingkuh, tinggalkan dia! Kau mengerti?!""I–iya, Ma. Sudah ya Ma,
Wajah itu terlihat bingung menatapku. Keningnya berkerut dengan alis yang saling bertautan.Kututup mulutku dengan telapak tanganku agar tawa ini bisa terhenti.Bagaimana aku tak menertawakan dirinya, saat ini ia menggunakan dalih agama untuk mendukung niatnya memperistri perempuan lain, sedangkan sebelumnya Mas Pandu telah mencicipi tubuh perempuan yang belum halal untuk disentuhnya?"Kenapa kamu tertawa? Bukankah yang kukatakan itu benar adanya? Bahkan Tuhan menjanjikan surga untuk perempuan yang rela dan ikhlas untuk di madu."Aku mengangguk seraya menahan bibir agar tak lagi menyemburkan tawa. Mas Pandu mengangkat sebelah alisnya."Memang poligami itu diizinkan dalam agama," ucapku terjeda. Mas Pandu mengangguk."Aku pun juga mendukung seorang lelaki diperbolehkan untuk poligami. Bahkan aku jug
"Hai, selamat pagi," sapaku yang membuat Lidya terkesiap. Lidya melihat uluran tanganku yang menggantung di udara. Dengan cepat dia menerima uluran tanganku."Pagi juga, Mbak Vita," ucapnya dengan suara yang dibuat-buat. Aku tersenyum, paksa."Silahkan duduk," ucapku dengan tenang, meskipun gemuruh di dada terasa tak beraturan.Aku berjalan menuju sofa single, lalu menghempaskan tubuhku di sana. Sebenarnya ingin sekali kuhajar perempuan itu, kucakar wajahnya dan kurobek mulutnya itu.Namun sepertinya aku tidak sekejam itu. Aku masih memiliki hati, tidak seperti dirinya.Entah memang mati atau dipaksa mati nurani pada diri Mas Pandu, tanpa memikirkan perasaanku dia duduk tepat di samping Lidya, selingkuhannya itu. Bahkan sesekali mereka saling melirik lalu tersenyum. Aku tahu itu."Seperti permintaan kamu, Vit, aku memba
"Bu ... ini ponsel milik siapa?" Tiba-tiba Mbak Ratih berucap seraya menyerahkan benda pipih yang begitu asing di penglihatanku ke arahku.Kuletakkan sendok yang kugunakan untuk menyuap makanan. Kuterima ponsel itu.Dahiku mengernyit saat kubolak-balik ponsel itu namun tetap tak kukenali siapa pemilik ponsel yang ada di tanganku ini. Ponsel berukuran lima inchi dengan warna putih. Akhirnya kutekan tombol power."Tidak dikunci," lirihku.Saat kuusap layar ponsel itu, foto perempuan yang baru saja bertamu ke rumahku langsung terpampang dengan jelas di layar pipih itu.Ya, aku yakin ini ponsel milik Lidya. Tidak salah lagi. Karena wallpaper tersebut bergambar foto Lidya.Lalu ponsel ini ada di tangan Mbak Ratih?"Apakah ponsel ini tertinggal atau memang sengaja ditinggal?" lirihku.&
RAHASIA YANG TERKUAK******Mobil yang sejenak terparkir di halaman rumah, kembali melaju."Mbok, titip Daffa," teriakku pada Simbok yang entah mendengarnya atau tidak. Aku berjalan menuju di mana kunci mobil berada.Saat aku melangkah ke luar, terlihat Mbak Ratih tergopoh-gopoh berjalan ke arahku."Ada apa, Bu? Nyari simbok?" sesaat kuhentikan langkahku."Bilang ke Simbok, titip Daffa sebentar, Mbak," ucapku."Iya, Bu," jawabnya.Aku melangkah menuju carport. Aku duduk di balik kemudi. Segera kulajukan kendaraanku ke luar dari halaman dan berbelok ke area mana Mas Pandu tadi berbelok.Kutambah kecepatan laju mobil, untuk mencari di mana mobil Mas Pandu saat ini.Usahaku tidak sia-sia. Mobil Mas Pandu melaju tepat di depanku.
Beberapa saat mendengarkan obrolan mereka, menurutku hanya ada beberapa poin yang penting, selebihnya hanya obrolan yang menurutku begitu memuakkan. Daripada kubuang-buang waktuku, aku memutuskan untuk keluar dari restoran, pastinya setelah membayar semua tagihan makanku.Di sepanjang perjalanan menuju di mana mobilku terparkir, pikiran ini terus berkelana kemana-mana. Memikirkan banyak hal yang tentunya membuat kepala ini berdenyut nyeri.Kubuka pintu mobil lalu tubuhku menyelinap masuk dan duduk di belakang kemudi. Kuputar kunci lalu sedetik kemudian suara deru mobil terdengar.Kembali kulajukan kendaraanku menuju rumah dengan perasaan penuh amarah. Meninggalkan mereka yang sedang bersenang-senang.Di sepanjang perjalanan, berkali-kali tanganku memukul setir mobil sebagai bentuk luapan kemarahan yang kini sedang terasa.Aku sungguh tak menyangka,
Pov Pandu**Bertahun-tahun lamanya aku mendekam di balik jeruji besi karena kasus penculikan anak yang tak jadi itu. Selama bertahun-tahun itu pula aku hidup dalam penuh perasaan penyesalan. Apalagi aku hanya bisa memantau perkembangan Daffa melalui foto-foto yang ditunjukkan oleh Mama yang tentu saja membuat diri ini semakin sesak tiada terkira. Andai, andai dan andai. Andai aku tak melakukan perselingkuhan itu, pasti sampai saat ini aku hidup bahagia bersama keluarga kecilku. Hidup bersama Vita dan juga Daffa. Namun, penyesalan hanya tinggallah penyesalan. Tak berguna. Hukuman dengan beberapa tahun hidup di balik jeruji besi bagiku tak ada apa-apanya dibandingkan hidup dalam kungkungan sebuah penyesalan.Memang, kehancuran seorang lelaki akan terjadi jika ia telah menyakiti pasangannya. Dan aku telah membuktikannya. Soal Lidya, aku sudah tak tahu lagi bagaimana kabarnya. Perempuan itu tengah hidup bahagia di sana. Ia sedang menikmati perannya sebagai seorang psk. Tak bisa
Pov Author**Dua orang polisi ditugaskan untuk berpura-pura menjadi pelanggan yang tengah mencari gadis belia pada Mami Zessy. Tentunya hal ini ada campur tangan dari Indah. Indah beralasan di hadapan mami Zessy jikalau kedua polisi yang tengah menyamar itu adalah salah seorang kenalannya yang berniat untuk mencari jasa esek-esek. Oleh sebab itulah Indah mengajaknya ke tempat dirinya bekerja dan bernaung selama ini. Kedua polisi yang menyamar itu pun masuk ke dalam club rahasia milik mami Zessy tanpa adanya kendala yang berarti. Cukup lancar sebab Indah lah jalur mereka masuk ke dalam sana. Hingga akhirnya kedua polisi itu benar-benar berada di dalam club di mana di dalamnya benar-benar seperti apa yang Indah ceritakan saat pelaporan kemarin. Diam-diam kedua polisi itu merekam setiap kejadian dan perbuatan orang-orang yang ada di dalamnya. Mulai dari penari striptis, para ladies escort peneman para pria hidung belang, serta model bug*l yang siap disewa bagi siapa yang berani memb
Mendengar kalimat demi kalimat yang terlontar dari bibir Mami Zessy, seketika membuat dadaku terasa bergemuruh dengan hebat dan tanpa sadar tanganku terkepal dengan kuat. "Bagaimana pun caranya, kalian harus berhasil menyingkirkan Indah secepatnya. Perempuan itu sudah tak guna. Penyakitan pula. Jika penyakit yang diidap oleh Indah terdengar oleh pelanggan, takutnya nanti akan memberikan nilai buruk," ucap Mami Zessy yang seketika membuat jantung berdegup dengan kencang. "Kenapa tidak disuruh pergi saja, Bos? Nggak perlu repot-repot melenyapkan dia kan," ungkap salah satu orang yang ada di sana. Aku hapal betul siapa pemilik suara itu. Parto. Ya, suara itu adalah Parto. Anak buah Mami Zessy. "Kalau dia keluar begitu saja, dia bisa menyebarkan keberadaan lokalisasi ini. Bisa gawat jika ada polisi yang dengar," ucap Mami Zessy. Kali ini nada suaranya sedikit meninggi. Tentu karena tak suka dengan apa yang dikatakan oleh anak buahnya itu. "Baik, Bos. Secepatnya kami akan membereskan
Pov Indah**Mataku mengerjap beberapa kali saat samar-samar aku mendengar suara yang sangat aku kenal sedang menggerutu. Sejenak aku diam, mengumpulkan kesadaranku yang sepenuhnya belum kembali. Aku memindai ke segala sudut ruangan. Ternyata aku sedang di dalam kamar milikku. "Bukankah aku tadi sedang melayani tamu?" batinku bertanya pada diri sendiri. Ya, aku ingat betul. Tadi aku melayani tamu dalam keadaan kepala yang begitu pusing. Tubuh terasa begitu tak sehat. Sekelebat aku teringat jika aku tadi pingsan saat akan memulai tugasku. Aku menatap Mami Zessy yang tengah berdiri dengan posisi memunggungiku. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan secara perlahan. Dengan gerakan pelan, aku bangkit dari pembaringan. Baru saja tubuhku ingin bangkit, tiba-tiba kepala terasa berdenyut sakit. Seketika kembali kurebahkan tubuhku sembari kupijit pelipisku dengan pelan. Mendengar suara yang kutimbulkan dari pergerakanku, seketika membuat tubuh Mami Zessy memutar. Kini pandangan kami salin
Pov Indah**"Kamu udah denger kalau Lidya telah meninggal secara mengenaskan?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh salah satu teman seprofesiku itu seketika membuatku tersentak kaget. "Maksud kamu mati mengenaskan bagaimana?" tanyaku sembari menatapnya dengan bingung. "Lidya meninggal sewaktu melayani pelanggan yang memiliki kelainan seks. Kamu tahu kan Om Handoko? Nah, itu dia orangnya," ucapnya yang semakin membuat keningku berkerut. Ya, aku tahu saat Om Handoko berjalan mesra dengan sebelah tangan merangkul pinggang Lidya menuju ke arah kamar. Banyak yang mengidam-idamkan dibooking oleh Om Handoko karena uangnya yang berlimpah, apalagi setiap ke sini, Om Handoko selalu menyewa kamar VVIP. Dan sempat ada kabar jika siapa pun yang melayani lelaki itu, pasti akan diberikan bonus yang terbilang begitu banyak. Tak ayal juga kalau Om Handoko juga terkadang berani membayar dua kali lipat. Wajar saja jika Om Handoko memberikan bonus sebanyak itu, pada para ladies yang hanya menemaninya
Pov Author**Jarum jam di dinding sedang menunjukkan pukul sepuluh malam. Hanya detak jarum jam yang memecah keheningan malam, sedangkan di sudut kamar di mana meja rias itu berada, Lidya sedang duduk di depan cermin sembari memoleskan aneka make up ke wajah cantiknya. Perempuan itu menghabiskan waktunya lebih lama untuk mempercantik dirinya di malam ini, karena akan ada tamu yang selalu ia tunggu-tunggu kedatangannya. Tentu saja Lidya ingin terlihat paripurna di depan pria yang akan membayar jasanya malam ini. Ia merupakan pelanggan paling royal. Pria itu akan membayar Lidya mahal. Tidak hanya itu, Lidya juga akan mendapatkan uang jutaan rupiah untuk bonus jika Lidya berhasil memuaskan hasratnya. Selama bertahun-tahun bekerja menjadi pemuas napsu, Lidya sudah lebih dari lima kali melayani pelanggannya yang akan ia temui malam ini.Lidya tak pernah kapok dengan lelaki ini. Ya, lelaki yang malam ini akan menyewanya adalah salah satu pelanggannya yang memiliki kelainan seks. Sesuai
"Kamu kerja di sini?" tanya Pak Gunawan dengan raut wajah mencemooh saat sudah berdiri di hadapanku. Aku mengalihkan pandanganku. Ternyata si tua bangka ini selain doyan kawin juga suka jajan kayak gini. Emang keterlaluan. Udah mau bau kamboja, eh malah berkilah. Nggak sadar umur kayaknya ini orang."Kalau kamu dulu mau nikah sama aku, kamu nggak bakalan jadi pelac*r di sini. Sok-sokan nolak. Padahal kalau kamu mau nikah denganku, hidupmu bakalan enak." Aku hanya mencebikkan bibirku saat mendengarkan penuturan lelaki itu sembari memutar bola mata malas. Terlihat Pak Gunawan seperti sedang mencari seseorang tak berselang lama ia berjalan menuju ke arah Mami Zessy. Terjadi perbincangan di antara mereka lalu tak berselang lama Pak Gunawan kembali mendekat ke arahku. "Sekarang layanin aku," ucap Pak Gunawan sembari menarik tanganku begitu saja. Aku menepis cekalan tangan yang sudah dipenuhi oleh keriput itu. Mendapatkan penolakanku, tentu saja membuat Pak Gunawan langsung menolehkan
"Pelayanan kamu sungguh memuaskan. Tak menyesal saya bayar kamu mahal," bisik lelaki yang baru pertama kali membooking jasaku. Aku tersenyum samar lalu berkata, "Sering-sering ke sini ya." Aku memainkan jemariku di dada lelaki itu sembari sesekali mencubit kecil dada yang ditumbuhi beberapa bulu halus di bagian sana. Ya, aku dan dia saat ini sedang merebahkan tubuh di ranjang setelah merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kugunakan lengan lelaki itu sebagai bantalan kepalaku. "Pasti," ucapnya kemudian. Bergegas aku bangkit dari pembaringan lalu beringsut dari ranjang dan mengambil satu per satu pakaianku yang tercecer di lantai kamar ini. Aku mulai menggunakan baju-bajuku dengan posisi memunggungi lelaki itu. "Kamu nggak pulang? Masih betah di sini?" ucapku sembari mengerling nakal ke arahnya setelah semua baju sudah kukenakan. Sedangkan ia masih merebahkan tubuhnya dengan kedua lengan ditekuk ke belakang sebagai bantal, sembari menatapku dan tersenyum samar. "Sebenarnya aku masi
Pov Pandu**"Meskipun saya hanya seorang pembantu, saya juga harus memilih soal pasangan lah, Pak. Masa iya saya mau dijadikan istri kedua?""Pembantu?" tanya kami serempak. Lidya mengangguk cepat. "Iya, saya bekerja di sini sebagai pembantu. Tentunya atas keinginan saya sendiri. Bukan karena seperti yang dikatakan oleh dia kalau saya dijadikan alat pelunas hutang. Ini saya baru pulang belanja." Lidya memperlihatkan kantong kresek yang ada di tangannya. Terkejutlah aku dengan pengakuan yang Lidya kemukakan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika aku hanyalah sekedar teman yang sempat ingin memilikinya namun ia menolak? Bagaimana mungkin ia mengatakan jika ia di sini bekerja hanya sebagai pembantu. Aku yakin, pasti ada yang tidak beres di sini. Pasti Lidya disuruh dan diancam agar tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku yakin Lidya dalam pengaruh tekanan. "Sayang, kamu jangan takut. Ada dua polisi di sini. Bicaralah dengan jujur. Katakan jika kamu diculik dan dijadikan psk di sini.