"Hai Julio! Kamu udah bangun? Aku pikir kamu belum di dalam jadi kamu nyuruh aku buat nunggu. Aku kaget waktu tahu kamu udah tidur di sini. Tapi kamu susah banget dibangunin." "Jawab pertanyaanku Jave! Kamu ngapain di sini?" "Apa maksud kamu? Kamu kan yang ajak aku ke sini? Dan kamu yang kasih kunci ini ke aku." Julio mengerutkan keningnya, omong kosong apa yang sedang Javeline katakan? Pikirnya. "Aku gak melakukan itu. Jangan bohong kamu jave!" "Julio! Kamu apa - apaan sih! Jelas - jelas kamu yang ajak aku ke sini setelah kita semakin dekat dua minggu terakhir?" "Kita? Semakin dekat dua minggu terakhir ini? Kamu lagi ngelindur ya?" Javeline tidak habis pikir dengan penyangkalan Julio. "Siapa yang lagi ngelindur? Apa kamu beneran udah bangun dari tidur? Lihat ini!" Javeline membuka ruang obrolan antara dirinya dan Julio di aplikasi perpesanan yang ada di ponselnya. Julio membacanya dari awal sampai akhir. Semakin dia menggulir rangkaian obrolan itu, semakin dia bingung. Dia b
"Javeline, apa benar kamu di sini bersama Julio Young?" "Javeline, apa Julio ada di dalam?" "Apa benar kalian memiliki hubungan spesial?" "Sejak kapan kalian dekat?" Serbuan pertanyaan dari para wartawan itu membuat Javeline gelagapan. Julio mendengar apa yang terjadi. Ingin rasanya dia kabur tapi tidak ada jalan untuk kabur. "Julio keluarlah!""Ya, ya, keluarlah!" Teriakan para wartawan itu benar - benar memuakkan. Julio akhirnya keluar dan menghadapi mereka. "Julio, aku gak tahu harus apa," ucap Javeline yang juga sedang kebingungan. Begitu Julio berdiri di samping Javeline, sontak semua lampu kamera menyala kembali. Mereka mengambil foto lagi. "Ini adalah kesalahan! Tolong kalian bubarlah!" teriak Julio. Namun, bukannya pergi dan membubarkan diri seperti yang Julio inginkan, para wartawan itu malah mencercanya sekali lagi dengan serbuan pertanyaan. "Kami tidak akan menjawab semua pertanyaan sekarang. Kami akan melakukan konferensi pers besok!" ucap Julio sekali lagi.
Fiolina sebenarnya tahu bahwa sejak pukul 10 malam, Julio tidak berhenti menghubunginya. Ada puluhan telepon dan puluhan pesan dari lelaki itu. Fiolina sengaja tidak mematikan ponselnya untuk mempermainkan Julio. Berkebalikan dengan Julio yang tidak bisa tidur hingga dini hari, Fiolina malah bersantai menonton drama korea di rumah Sarah sambil menikmati seember besar popcorn. "Kamu gak berniat bicara atau menemui Julio sama sekali?" tanya Sarah. "Besok aku temui dia. Masih ada yang harus aku sampaikan ke dia. Dia harus tahu kenapa aku benci sama dia." Sarah mengangguk. "Kamu gak kasihan sama dia?" DEG! Mendadak seperti ada beban yang begitu besar menimpa dada Fiolina setelah Sarah melontarkan pertanyaan tersebut. Itu bukan pertanyaan yang mudah dijawab olehnya. "Gak," jawab Fiolina singkat. Walaupun kelihatannya dia mengucapkan itu tanpa ragu, namun sebenarnya hatinya cukup goyah. "Reputasinya kali ini benar - benar hancur," komentar Sarah. "Dia pasti frustasi haha!" Fiolina
Julio membaca kalimat itu dan matanya terbelalak. "I- ini apa maksudnya?" "Ini makam anak kita. Ya, walaupun secara medis dia masih berupa gumpalan darah waktu aku keguguran, tapi bagiku dia tetap adalah anakku. Dan kamu ayahnya." "Kapan kamu keguguran? Kenapa kamu gak pernah bilang kalau kamu hamil?" "Aku juga gak tahu kalau aku hamil. Masa awalku jadi istrimu dulu sangat buruk. Aku harus jadi korban kekejaman keluarga kamu dan sikap kamu yang seenaknya. Aku sampai gak sadar bahwa aku telat menstruasi." Julio masih mendengarkan. "Saat aku kabur dari kejaran kamu dan bodyguardmu karena Sarah mengkhianatiku, tiba - tiba aku pendarahan. Ferdian lalu membawa aku ke rumah sakit dan ternyata aku keguguran. Aku memutuskan gak cerita sama kamu karena..." "Karena apa Fio?" Fio berbalik menatap Julio. Air matanya sudah tergenang, tapi dia tahan mati - matian agar tidak jatuh. "Karena aku udah terlanjur benci sama kamu! Kamu memperlakukan aku seperti pelayan. Kamu gak memberiku kesempa
Ya, wanita itu adalah Fiolina. Julio tersenyum tenang. "Dan sepertinya kamu berniat menggantikan aku bicara di sini kan?" "Dan sepertinya kamu sangat pintar dalam menebak," jawab Fiolina. "Tolong, berikan kursi dan mic untuk Nyonya Fiolina Young di sebelah saya." Fiolina mengerutkan keningnya. Tindakan Julio baru saja benar - benar tidak dia sangka. Sebenarnya, apa yang terjadi pada lelaki ini, dia seolah tidak melakukan perlawanan apapun kepada Fiolina. "Bagaimana tanggapan Anda sebagai istri Pak Julio atas berita perselingkuhan itu?" Seorang wartawan bertanya begitu Fiolina duduk di tempatnya. "Itu adalah benar," jawab Fiolina singkat. Julio hanya tersenyum saja. "Saya punya bukti," tambah Fiolina. Dia mengambil ponselnya dari dalam tas dan menyerahkannya kepada operator agar menampilkannya di layar LCD. Saat melihat apa yang ditampilkan Fiolina, keadaan kembali ricuh, lalu berubah menjadi tenang lagi karena semua orang menunggu penjelasan Fiolina. "Ini adalah capture scre
"Siapa kamu? Kenapa kamu lempar telur busuk ke aku?" tanya Fiolina dengan geram sambil menghampiri anak laki - laki yang sepertinya masih bersekolah di sekolah menengah pertama itu. "Suamimu pembunuh! Pasti kamu juga menikmati hasil korupsi dia kan!? Kalian berdua sangat kejam!" anak itu berteriak dan sekali lagi melempar sebutir telur ke kepala Fiolina. "Stop! Berhenti lempar telur ke aku!" Melihat pertengkaran mereka, dua orang petugas keamanan menghampiri mereka. "Anak kecil, sana pulang! Jangan buat kekacauan di sini!" bentar salah seorang petugas keamanan itu. "Aku gak akan pulang sebelum aku lihat Julio dan istrinya mati!" anak itu berteriak semakin keras seperti orang kesurupan. Karena geram, kedua petugas keamanan itu menyeret anak itu menjauh. "Lepaskan!" anak itu berusaha melepaskan diri dari kedua petugas keamanan yang jauh lebih besar dan kuat darinya. "AKU ADALAH ANAK DARI PEKERJA YANG MATI KARENA KORUPSI JULIO YOUNG! DENGAR YA FIOLINA, SAMPAI KAPANPUN AKU GAK RE
PLAK! "Oma gak peduli apa kamu selingkuh atau tidak tapi kenapa kamu biarkan Fiolina mempermalukan kamu di depan semua orang!?" "Maaf Oma." "Maaf? Cuma itu yang bisa kamu katakan?" 18"Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mzcengundurkan diri?" "Gak perlu mengundurkan diri," Oma menghela nafas lelah. "Karena kamu sudah dipecat. Dewan pemegang saham telah sepakat untuk memberhentikan kamu." "Oma bisa bantu kamu untuk lolos dari hukum. Tapi tekanan dari para dewan sangat besar. Oma ataupun Gani gak bisa bantu pertahankan kamu di sini." "Gak papa Oma. Julio ngerti kok." *****"Harusnya rumahnya sekitar sini. Aku udah tanya asisten Julio tadi. Nomor 17B. Mana ya?" Fiolina celingukan sambil mengendarai mobilnya pelan - pelan. "Coba depan belok kiri," kata Sarahm "Harusnya sih kalau lihat urutan nomornya, 17B sebelah kiri."Fiolina mengikuti saran sahabatnya itu. Ternyata Sarah benar, begitu mereka belok kiri, mereka melihat beberapa karangan bunga yang ternyata sebagian besar d
"Apa kita akan mengunjungi rumah semua korban? Ada empat kan?" tanya Sarah lagi."Iya. Tapi yang dua lagi besok. Kamu mau ikut lagi gak besok?" "Kalau kamu aja aku mau - mau aja." "Oke. Bentar lagi kita nyampe di rumah kedua." Fiolina mengendarai mobilnya melewati sebuah perkampungan. Sampai pada ujung jalan dia harus memarkir mobilnya karena rumah yang dia tuju ada di dalam gang kecil yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. "Permisi, apa Bapak tahu rumah Pak Jefrika Akbar?" Fiolina bertanya pada seorang laki - laki paruh baya yang sedang bersantai di depan rumahnya."Pak Jefri yang meninggal beberapa hari yang lalu?" "Iya benar Pak." "Lurus aja Neng terus sampai pojok. Rumah paling pojok yang cat hijau itu rumah Pak Jefri." "Oke makasih ya Pak." Fiolina menuju rumah yang dimaksud oleh lelaki tadi.Tidak seperti rumah ayah Zein, rumah ini jauh lebih sepi. Hanya ada 3 orang pria yang berbincang - bincang dengan seorang nenek di ruang tamu. Rumah ini juga sangat sederhana
2 hari kemudian. "Argh! Kenapa gaunnya begini? Ini... ini sobek!" teriak seorang penata rias yang akan turut mendandani Fiolina untuk upacara pemberkatan hari ini. Fiolina dengan panik menghampiri penata rias itu. Fiolina terperangah melihat gaun pernikahannya yang sudah sobek. "Astaga! Kenapa bisa begini?" keluh Fiolina. Terry berlari menghampiri setelah mendengar kehebohan di kamar Fiolina. "Ada apa?" tanyanya. "Ma, lihat ini gaunku sobek!" "Ya Tuhan! Siapa yang melakukan ini sih?" Nicole menampakkan ekspresi sebal. "Ma, apa yang harus aku lakukan?" rengek Fiolina.Nicole terlihat berpikir sejenak. Dia lalu membongkar lemari Fiolina dan mengeluarkan sebuah kotak. "Ini, pakai ini aja," ucap Terry sambil menyerahkan gaun pernikahan lawas Fiolina dari dalam kotak. Fiolina meragu."Udah gak papa. Ini masih bagus." "Iya aku tahu ini masih bagus. Tapi ini gaun pernikahanku dan Julio dulu. Bagaimana perasaan Ferdian kalau tahu?""Ferdian akan tahu keadaannya. Gaun kamu robek dan
TING TONG! Bel pintu rumah Nicole berbunyi. Ibu kandung dari Julio itu jarang menerima tamu. Dia tidaj punya banyak teman terlebih setelah dia menjalani beberapa tahun hidupnya untuk perawatan di rumah sakit jiwa. Keadaannya sekarang tentu jauh lebih baik. Dia sudah ikhlas dan hari - harinya jauh lebih bahagia. Sekarang, dia banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi sebanyak yang dia mampu. Pagi ini dia juga sedang menulis puisi saat seseorang membunyikan bel pintu rumahnya. Dengan segera dia bangkit dari kursi santainya lalu membuka pintu. "Nicole, apa kabar?" tamu itu menyapa Nicole. "Terry? Ada apa?" Terry melah menangis dan berlutut di hadapan Nicole. "Maaf, maafkan aku... tolong maafkan aku." Nicole bingung dengan sikap Terry yang tiba - tiba. Terry memeluk kakinya seperti anak kecil yang tidak mau ditinggal ibunya. "Terry, cukup, kenapa kamu begini? Ayo masuk, jangan di luar rumah," Nicole membantu Terry berdiri dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Terry duduk
"Fiolina, Fio! Bangun Nak!" Terry membangunkan Fiolina yang saat tengah malam dia dapati tertidur di lantai kamarnya, tersungkur dengan mengenakan gaun pengantin. Fiolina mengerjapkan matanya. Dia terbangun dengan tubuh yang lemas. "Kamu kenapa tidur di sini? Dan kenapa kamu pakai gaun ini? Mama tadinya mau kasih tahu kamu kalau Jovan udah tidur sama Papa kamu di kamar kami. Tapi... kamu..." "Aku gak papa Ma. Aku ketiduran karena kecapekan," Fiolina hendak bangkit berdiri, namun Terry menahannya. "Fio, mata kamu sangat bengkak. Kamu habis menangis?" Fiolina menggeleng. "Jangan bohong. Mama ini ibu kamu. Mama tahu kalau kamu lagi sedih. Kamu habis menangis kan? Kenapa Nak?" Fiolina menggeleng lagi. Tapi kali ini dia tidak mampu menahan air matanya lagi. Sekuat apapun Fiolina, setegar apapun dia, dia tidak pernah bisa menutupi kesedihannya di depan ibunya. Karena baginya ibunya adalah tempat ternyaman untuknya berkeluh kesah. Terry tak banyak bertanya, dia seketika merangkul Fio
"Jovan.. hati - hati! Pelan - pelan yang naik tangganya," teriak Fiolina. Jovan hanya mengangkat satu tangannya membentuk tanda 'OK' lalu lanjut menaiki tangga perosotan yang mungkin sudah dua puluh kali dia naiki. Tidak jauh ada area bermain, ada Ferdian yang sedang duduk sambil memegang bola kaki. Dia beristirahat setelah setengah jam penuh bermain bola bersama Jovan.Julio mengawasi dari dalam mobilnya yang berjarak kurang lebih 50 meter dari mereka. Dia merasa hatinya sakit, Jovan adalah anak kandungnya dan sekarang Ferdian bermain dengan bebas bersama anak itu sedangkan dirinya harus sembunyi - sembunyi hanya untuk memandangnya bermain. Dia ingin anaknya. Dia juga ingin istrinya kembali. Tapi egonya terlalu besar untuk menjadi menantu Terry. Julio pulang dengan beban berat di dalam hatinya. Sepulang dari bermain di taman bersama Fiolina dan Ferdian, Jovan dikagetkan dengan rumah Keluarga Chow yang penuh dengan bingkisan. "Wow, apa ini Oma?" tanyanya. "Seseorang mengirim
Fiolina melihat sekeliling playground dan tidak menemukan Sarah dan Jovan. Dia tidak mendengar teriakan Jovan yang memanggilnya sebelum ini. Jadi, dia menelepon Sarah. Sarah menjawab panggilannya. "Halo, Fiolina, hm... ini Jovan lagi sama aku. Kali lagi...." Julio menarik ponsel Sarah dan mengambil alihnya. "Halo Fiolina. Jovan dan Sarah sedang bersama aku. Lihatlah ke arah jam 10." "Julio?" "Ya aku Julio."Fiolina panik. Dia menoleh ke arah jam 10 dan mendapati ada Jovan, Sarah, Julio dan Glins! Dia segera mendatangi mereka sambil memikirkan kebohongan apa yang akan dia ucapkan kepada Julio. "Kalian sedang apa di sini?" ucap Fiolina basa - basi. Tidak tahu harus berkata apa. Jantungnya berdebar. "Jovan, apa dia mama kamu?" tanya Julio kepada Jovan. "Iya. Dia mama," jawab Jovan. Julio menatap tajam ke arah Fiolina. Fiolina berusaha menghindari tatapannya. "Jovan, berapa usia kamu?" "Hm... sebentar. Usiaku empat tahun," jawabnya sambil memperagakan angka lima dengan jari -
"Yang benar?" ucap Julio. Julio pun berlutut agar dia sejajar dengan anak laki - laki yang menabraknya barusan. "Benar juga, kita sangat mirip," ucap Julio. "Oke, aku akui Om memang ganteng. Tapi Om tua dan aku masih kecil," celatuk Jovan. Julio dan Glins tertawa renyah. Julio sengaja mengajak Glins ke mall hari ini untuk membelikannya barang - barang yang Glins mau sebagai ganti kalung yang dia berikan pada Javeline. Tidak disangka seorang anak kecil berlarian dan menabrak Julio dengan keras. "Itu sudah pasti," ucap Julio. "Maksudku, kamu mirip Om waktu Om masih kecil dulu." "Oh begitu rupanya," ujar Jovan. "Tapi, kalau dilihat - lihat pun, sekarang kalian tetap mirip," komentar Glins. "Kalian cocok sebagai ayah dan anak." "Benar juga. Ngomong - ngomong di mana orang tuamu? Kenapa kamu sendirian?" tanya Julio. "Itu dia masalahnya. Aku tersesat. Mama sedang belanja dan menitipkan aku pada tante. Tante ke toilet dan aku pergi dari playground diam - diam karena mengejar kereta
Javeline menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang Julio barusan lakukan. Bertahun - tahun dia mencintai Julio. Selama ini cintanya selalu bertepuk sebelah tangan, tapi sekarang Julio menyiapkan hadiah mahal untuknya dan melamarnya di depan semua orang. "Iya, aku mau," jawab Javeline dengan raut penuh kebahagiaan Julio lalu memasangkan kalung itu ke lehernya. Saat Julio berada di balik punggung Javeline, dia menatap Glins yang memberinya tatajam tajam. Julio membentuk ekspresi wajah meminta maaf yang membuat Glins memutar matanya. Javeline melirik ke meja sebelah dan melihat wajah datar Fiolina di sana, dia merasa puas. "Permisi aku mau ke toilet dulu," Fiolina meninggalkan mejanya untuk menuju ke toilet. Dia berdiri di depan kaca besar toilet wanita, tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya dia hanya mencuci tangannya untuk membuang waktu. Dia sangat membenci Julio. Laki - laki itu menceraikannya tanpa memberinya kesempatan untuk memahami situasinya. Setelahnya, Julio ba
DEG! Jantung Fiolina berasa hampir copot. Dia bersyukur Jovan tidak ikut. "Stt! bukankah itu keluarga Young di meja sebelah?" bisik Terry. Sontak Bernard dan juga Ferdian melirik ke meja sebelah. Namun mereka tahu untuk tidak menatap terlalu lama. "Iya benar itu mereka. Berikan sapaan sewajarnya kalau mereka menoleh. Selebihnya kita nikmati saja makan malam kita," ucap Bernard lirih. Julio juga sedikit terkejut saat dia tanpa sengaja melirik ke meja sebelahnya dan melihat ada keluarga chow di sana. Pandangannya tertuju pada Fiolina yang menurutnya semakin cantik. Namun dia mendadak sebal saat melihat siapa yang duduk di samping Fiolina. Julio berusaha untuk mengabaikan. "Itu Fiolina dan keluarganya," bisik Glins kepada Julio. "Ya aku tahu," ucap Julio. Oma mendengar apa yang Glins bisikkan kepada Julio. Dia pun menoleh dan bertemu tatap dengan Bernard. Untuk sopan santun, Oma mengangukkan kepalanya dan tersenyum untuk menyapa mereka. Bernard pun menganggukkan kepalanya da
Hari Jumat yang dinantikan Jovan pun tiba. Mulai pagi, dia bangun dengan penuh semangat membayangkan keseruan di camp memasak yang akan dia ikuti. "Ingat semua pesan Mama ya, selalu bilang ke pengawas kalau merasa sakit, lapar atau apapun yang butuh bantuan. Jangan sungkan, anggap mereka pengganti Mama oke? Dan jangan menganggu anak lain. Sebaliknya, adukan ke pangawas kalau ada yang mengganggumu," Fiolina mengulang- ulang wejangannya kepada Jovan. "Iya Ma. Aku sudah hafal itu. Jangan khawatir." "Nah, ini dia kita sampai," Fiolina menghentikan mobilnya. "Aku turun sekarang." "Hati - hati sayang ya, kiss me," Fiolina menyodorkan pipinya ke wajah Jovan. "Muach," Jovan mengecupnya lalu turun dan melambaikan tangan. Fiolina meninggalkannya dengan perasaan campur aduk. Dia senang Jovan berani, tapi dia juga sedikit patah hati karena harus menahan rindu selama 7 hari. Dia belum pernah berpisah dengan Jovan selama itu. "Jovan gak nangis?" tanya Terry begitu Fiolina tiba lagi di apart