Adhim tidak pernah segerogi ini sepanjang hidupnya. Tangannya berkeringat dingin dan perutnya terasa melilit. Berkali-kali, laki-laki kekar dengan rambut panjang itu menyesap cairan kopi hitamnya sedikit demi sedikit, berharap kafein yang terkandung dalam kopi itu bisa meredakan rasa cemasnya. Namun, bukannya reda, rasa cemas itu semakin menggila seiring berputarnya detik waktu. Matanya tidak berhanti menatap awas pintu kaca yang ada di hadapannya.
Siang ini, Adhim rencananya akan bertemu dengan Pelita setelah berminggu-minggu berlalu sejak kejadian hari itu. Bersama Aldo, ia datang lima belas menit lebih awal ke kafe Haris yang rencananya akan dijadikan tempat pertemuan. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja levis berwarna abu-abu, jaket kain biru dongker yang melapisi kemeja levisnya dan celana jins dengan warna serupa kemeja yang robek-robek di beberapa bagian khas dirinya. Rambut panjangnya digerai. Beberapa menit ter"Gimana? Macho banget, kan, Kakaknya?" Arina berbisik lirih ke telinga Pelita sambil terkikik mendapati wajah temannya itu yang terlihat benar-benar terkejut melihat sosok Adhim. Pelita mundur sedikit. Ia hampir pergi dari tempat itu andai saja Arina tidak menggandeng tangannya dan Pelita kembali mendapatkan kesadaran dan akal sehatnya. "Assalamu'alaikum, Kak Adhim," sapa Arina kepada Adhim sambil mengangguk dan tersenyum lebar. "Wa'alaikumussalam," jawab Adhim pelan. Pandangannya masih fokus pada satu orang, Pelita. Tak lama, laki-laki itu kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di samping Aldo. "Baru sampek?" tanyanya yang sebenarnya sekadar basa-basi. Adhim menatap lekat-lekat Pelita yang juga masih menatapnya sedari tadi. Wajah cantik gadis itu terlihat tanpa ekspresi. Mungkin di luar Adhim juga terlihat biasa saja. Namun, laki-laki itu bahkan susah payah menahan tangannya yang gemetaran agar ti
Pelita melanjutkan wawancaranya lagi dengan Adhim. Gadis itu ingin menuntaskan semua pertanyaannya agar ia tidak perlu berurusan dengan Adhim lagi ke depannya. Ia tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang sudah mengambil kesuciannya itu. Meski di sisi lain, ia tidak menyangka jika Adhim adalah seorang putra kiai. Sesuatu yang sebetulnya cukup menarik bagi Pelita karena penampilan Adhim yang terlihat nyeleneh dan urakan. Pelita sebenarnya penasaran sosok seperti apa Adhim. Bagaimana bisa Adhim tidur dengannya malam itu? Apa laki-laki itu masih memiliki hubungan dengan Arka, laki-laki yang berencana menghancurkan hidup Pelita? Kenapa Adhim tega melakukannya? Pelita ingat jika dirinya mencium bau alkohol di tubuh Adhim hari itu. Bagaimana bisa seorang anak kiai mabuk-mabukan? Kenapa laki-laki itu berani mengambil mahkotanya? Bukankah itu jelas-jelas perbuatan zina? Pelita menoleh pada Arina saat gadis itu memanggil namanya. Sesi wawancaran
Jika Pelita ditanya bagaimana perasaannya bertemu dengan Adhim, seseorang yang telah mengambil apa yang seharusnya ia berikan kepada suaminya kelak sebagai istri, gadis itu merasa marah, kesal, sedih, dan takut. Hatinya kacau. Saat ia bersusah payah melupakan kejadian di kamar hotel itu, Adhim malah muncul di depannya ketika Pelita mulai bisa menerima keadaan dirinya yang tidak lagi sama seperti sebelumnya. Laki-laki itu muncul di hadapannya sebagai sosok putra kiai yang selama ini menjadi narasumber incarannya. Dan sekarang, laki-laki itu berkata ia akan mempertanggungjawabkan perbuatan tak bermoralnya. Pelita dilema tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Gadis itu kembali mencoba mengambil kalung miliknya yang ada di tangan Adhim. Namun, laki-laki itu kembali mencegahnya. "Tolong maafkan saya," ucap Adhim. "Hukum saya. Saya benar-benar akan menerima semuanya asal kamu mau memaafkan saya. Tolong, Pelita. Tolo
Pelita melangkah gontai di jalan setapak yang menghubungkan taman dan selasar salah satu gedung kampus yang masih puluhan meter di depan sana. Kakinya terasa lemas, begitu juga tubuhnya. Gadis itu tidak kuasa melangkah lagi saat mata hazelnya melihat sebuah bangku taman kosong tidak jauh darinya. Pelita mendudukkan diri di sana dengan air matanya yang mulai menetes satu demi satu. "Tolong maafkan saya. Saya tahu apa yang saya lakukan pada kamu tak termaafkan. Tapi saya mohon, biarkan saya sedikit menebus dosa saya. Kamu bisa menghukum saya dengan cara apa pun yang kamu mau. Saya juga rela masuk penjara asal kamu memaafkan saya. Tolong, izinkan saya mempertanggungjawabkan perbuatan saya." Pelita merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. Ia teringat kata-kata Adhim sewaktu mereka berada di kamar mandi perempuan kafe Haris. Laki-laki itu terdengar tulus. Tidak ada kebohongan di matanya. Tapi, memaafkan orang y
Selama perjalanan tidak ada seorang pun yang berbicara di antara June dan Pelita di dalam mobil. Keduanya diam di tempat duduknya masing-masing. June di balik kursi kemudi mobil Pelita, dan Pelita di kursi penumpang yang ada di sebelah kirinya.June sebenarnya mengendarai mobilnya sendiri tadi saat berangkat ke kampus. Namun karena Pelita juga membawa mobil sendiri, ia sengaja meninggalkan mobil BMW putih miliknya yang sama seperti milik Pelita itu di kampus agar ia bisa pergi satu mobil dengan Pelita, menyopiri gadis itu seperti sebelumnya.Hari ini June baru kembali dari Singapura. Pesawat yang dinaikinya dari Bandara Internasional Changi Singapura landing sempurna di Bandara Internasional Husein Sastranegara Bandung pagi ini. Dan hal pertama yang ingin laki-laki itu lakukan setibanya ia di Bandung adalah menemui Pelita, karena itu, ia langsung pergi ke kampus untuk menyelesaikan urusan cutinya kemarin sekaligus menemui perempuan yang dicintainya itu.Su
Nur Walis Pelita POV Jika ditanya perasaan apa yang kumiliki pada Kak June, maka aku menyayanginya. Dia adalah orang luar pertama yang peduli padaku, sayang padaku, bahkan tulus mencintaiku. Kak June adalah malaikat tanpa sayapku. Dia pelindungku. Saat kecil, sejak pindah ke Jakarta aku tidak memiliki teman. Rumah kami berdiri di kawasan elite dan tidak ada anak kecil lain yang kukenal di sekitar kompleks, sangat berbeda ketika kami masih tinggal di Yogyakarta, temanku sangat banyak dan ada di mana-mana. Di Jakarta, Papa melarangku keluar dari rumah selain les dan sekolah. Hari-hariku kuhabiskan untuk bermain boneka dan masak-masakan di dalam rumah atau di taman bersama bibi, sebab kakakku sendiri, Kak Leon, dia tidak pernah mau jika kuajak bermain boneka. Sesekali aku juga bermain dengan Mama saat Mama tidak pergi ke butik atau toko bunganya. Suatu hari, Kak Leon pulang bersama seorang temannya. Dan
"Bang, lo ada sesuatu sama Pelita?" Pertanyaan lirih yang baru saja dilontarkan Aldo itu sukses membuat Adhim menghentikan aktivitasnya, mengikat gelang tali hitam dengan bandul batu giok warna hijau di ujung. Laki-laki berambut gondrong itu melirik sekilas ke arah temannya itu lantas meneruskan kegiatannya lagi, tanpa mengatakan sepatah kata pun. Merasa tidak mendapat respons, Aldo mencondongkan badannya ke arah Adhim. Menoleh ke arah pintu sejenak yang tidak sepenuhnya tertutup lantas berbisik lirih ke telinga Adhim setelah yakin tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka, "Jangan bilang kalau Pelita adalah cewek itu." Adhim langsung menoleh cepat ke arah Aldo mendengar penuturan laki-laki itu. Mata elangnya menatap ke arah pintu sebentar lantas melihat wajah Aldo lagi. "Apa maksud lo?" tanya Adhim dengan wajah biasa. Namun, ada riak keterkejutan dalam parasnya. Aldo menghela napas. Ia bangkit d
Setya pun segera berlalu. "Kenapa, Pelita?" June langsung melempari Pelita pertanyaan seperginya Setya dari hadapan mereka. "Kenapa kamu menghalangi aku menghajar laki-laki kurang ajar itu?" "Kak, tolong ...," lirih Pelita. June menghela napas sambil mengistirahatkan kedua tangannya di masing-masing pinggang. Dua buah kancing kemeja paling atasnya ia lepaskan serampangan. "Dia udah kurang ajar sama kamu," katanya beberapa saat kemudian, menatap lembut namun dengan suara yang masih bernada tidak terima. "Enggak, Kak." Pelita menggeleng dengan tatapan mata yang seolah memohon pengertian June. June mendesah sambil mengurut pangkal hidung bangirnya menggunakan sebelah tangan, "Aku nggak ngerti lagi sama kamu, Pelita. Bisa-bisanya kamu menyetujui kontrak kerja sama sama orang seperti Setya saat aku ke Singapura kemarin? Kamu seharusnya nggak taken kontrak itu!" Pelita tersenyum simpul
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-