Adhim menatap lurus-lurus layar ponselnya yang menampilkan foto Zulfa. Adik tersayangnya itu tersenyum manis dengan wajah cantik innocent-nya. Seperti malaikat.
Laki-laki itu menghela napas berat.Setiap melihat Zulfa, maka Adhim akan selalu teringat akan perempuan yang dizaliminya malam itu. Keduanya sangat mirip, seolah pinang dibelah menjadi dua. Sekarang Adhim percaya jika di dunia ini ada tujuh manusia yang memiliki wajah serupa. Zulfa dan perempuan itu mungkin 'salah duanya'.Ditemani Aldo, Adhim kembali datang ke hotel berbintang lima malam itu---di hari kedua pameran digelar setelah Aldo menekan bel pintu apartemennya dan menyuarakan penjelasannya.Bukan untuk mengikuti acara pameran---pagi di mana ia terbangun dengan kondisi tanpa busana, Adhim menghubungi Suta dan mengatakan jika ia sudah tidak berminat mengikuti acara pameran itu lagi. Suta yang sejak semalam mencari keberadaan Adhim pun menayakan apa yang terjadi kepada Adhim sehinggaSore hari Kota Bandung. Langit mulai berwarna jingga dengan matahari yang semakin condong ke arah barat, bersiap kembali ke peraduan untuk menyinari belahan bumi yang lain.Tidak terjadi kemacetan di jalan raya. Namun, kendaraan beroda dua, tiga, empat, dan seterusnya harus merayap dalam kepadatan untuk sampai pada tujuan.Suara lagu yang mengalun merdu memenuhi mobil BMW putih yang dikendarai Pelita. I Love You 3000-nya Stephanie Poetri yang diputar berulang-ulang oleh Arina yang duduk di sisi kirinya bergantian dengan F Yo Love Song-nya Agnes Mo, On the Ground dan Gone-nya Rose Blackpink, juga Hari Bahhagia-nya Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah---beberapa lagu favorit Arina yang belakangan sangat suka gadis itu dengar.Sejak June tidak ada, Pelita kembali terbiasa mengendarai mobilnya sendiri ke mana pun ia pergi. Kuliah, bekerja, berbelanja, ke mana saja.Begitu juga hari ini. Setelah jam kuliah di kampus berakhir, bersama Arina, gadis canti
"Sori, Bang. Gue belum dapet identitas perempuan itu," ucap Aldo pelan yang hanya diangguki kepala oleh Adhim. "Gue udah mata-matain Arka belakangan ini, tapi gue nggak dapet apa-apa," tambah laki-laki dengan tato di lengan kanan itu bernada menyesal atas apa yang ia sampaikan."Haah." Adhim hanya menghela napas panjang.Dua minggu telah berlalu sejak kejadian di hotel pascaacara pameran malam itu.Aldo langsung mengawasi gerak-gerik Arka setelah ia tahu laki-laki itulah yang menyewa kamar yang ditempati Adhim dan perempuan yang tidur bersamanya. Namun, sepanjang Aldo menyuruh orang membuntuti Arka yang belakangan tidak pernah muncul di kampus, ia tidak mendapatkan informasi apa-apa selain Arka yang lebih sering menghabiskan waktunya di arena balap dan markas geng motornya, Arcas.Aldo diliputi perasaan bersalah. Dan setiap ia melihat Adhim yang terlihat semakin hari semakin suram dengan kantung mata hitam dan tebal di bawah netranya, rasa bersala
Pukul 9 malam. Pelita menyingkap selimut putih yang menutup kakinya, ia meletakkan buku yang sedang dibacanya ke atas nakas lalu turun dari tempat tidur---buku itu adalah salah satu buku yang diperolehnya dari Cecilia untuk riset---lantaran tidak bisa fokus membaca. Gadis itu membawa kakinya yang dibalut sandal bulu berwarna merah muda ke pinggir ruangan, melihat dengan gusar kalender berdiri yang ia letakkan di atas meja kayu bercat putih gading yang ada di samping vas bunga kristal berisi bunga lavender yang menunjukkan bulan baru. Sudah tanggal 4. Awal bulan. Tapi Pelita belum juga mendapatkan tamu datang bulannya. Menstruasinya terlambat datang nyaris seminggu ini. Tanpa sadar gadis itu menggigiti kuku jemari tangan kanannya. Pelita merasa cemas. Terlambat datang bulan memang bukan hal baru baginya. Tapi sejak pembicaraannya dengan Arina saat belanja di supermarket beberapa hari yang lalu, Pelita selalu memikirkannya
"Hoek hoek hoek." Suara perempuan muntah itu berasal dari sebuah kamar mandi apartemen yang terletak di bagian dapur. Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Saat memasak untuk sarapan, Pelita tiba-tiba merasa sangat mual yang memaksanya berlari ke arah kamar mandi terdekat untuk memuntahkan isi perutnya setelah mematikan kompor listriknya yang tengah menggoreng telur mata sapi dengan minyak zaitun di atas wajan teflon. Perut gadis itu terasa bergejolak seperti dikocok. Namun, saat Pelita memuntahkan isi perutnya, hanya cairan berwarna bening yang keluar. Ia membasuh mulut untuk menghilangkan bekas muntahannya yang hanya berupa zat cair itu lantas berkumur agar rasa pahit yang dirasakan indra perasanya pudar. Seketika saja gadis itu diliputi ketakutan. Pelita ingat kembali akan siklus datang bulannya yang terlambat datang sampai sekarang dan alat pemeriksa kehamilan yang digunakannya semalam. Tanpa berpikir panjang, ia kemudian b
Seberkas cahaya mentari masuk lewat celah antargorden berwarna cokelat apartemen hunian Pelita. Di sofa ruang tengah, Arina duduk dengan kedua kaki bersila di atas sofa dengan jemari yang sibuk menebar cinta di Instagram.Sedangkan Pelita, si pemilik apartemen, gadis itu tampak sibuk sendirian di dapur, berkutat dengan bahan-bahan makanan yang akan diolahnya untuk sarapan.Hari ini hari Minggu. Pelita tidak memiliki jadwal apa pun seperti biasa. Gadis itu berencana menghabiskan weekend-nya dengan 'bermalas-malasan' di apartemen seharian.Bersih-bersih ruangan, mencuci bajunya sendiri yang biasanya di-laundry, menanam bunga di balkon, mencoba resep baru, menonton film, fangirling, menulis, atau mungkin membaca ulang Supernova. Pelita ingin menghabiskan me time-nya.Namun seperti sebelum-sebelumnya, tamu tak diundang berwujud gadis cerewet dengan rambut kecokelatan dan kulit eksotis berwarna sawo matang menggagalkan rencananya.Pagi-pagi se
Sedikit demi sedikit, Pelita berusaha menghabiskan sandwich isi sayurnya diselingi meminum air putih. Ia memberikan jus alpukatnya yang masih tersisa banyak pada Arina dan temannya itu dengan senang hati langsung menerimanya.Pelita juga berpesan pada Arina agar gadis itu bersedia membungkus makanan lain yang masih tersisa di atas meja makan untuk dibawa pulang nanti. Jangan sampai telur mata sapi dan perkedel kentangnya mubazir, karena untuk makan siang, Pelita mungkin akan membuat sayur asem atau olahan yang lain karena tidak ingin merasa mual lagi jika makan telur mata sapi atau perkedel kentang itu."Eh, eh, eh! IG Bang June aktif! Dia barusan posting foto, Lit!" Arina yang sudah menyelesaikan sarapannya berseru heboh.Gadis itu langsung berdiri dari kursi makannya yang ada di depan Pelita dan pindah duduk di kursi yang ada di samping temannya yang hanya bengong menatapnya itu. Menunjukkan ponselnya yang menampilkan postingan Instagram June pada layarn
+62 xxxxAssalamu'alaikum. Selamat malam. Mohon maaf mengganggu waktunya. Apakah benar ini dengan Kak Adhim?Di sela-sela kegiatan workout malamnya, Adhim dikejutkan dengan sebuah pesan yang tiba-tiba masuk ke dalam aplikasi WhatsApp-nya.Akhir-akhir ini, Adhim biasanya tidak terlalu peduli jika ada orang yang menghubunginya malam-malam. Namun entah kenapa, kali ini Adhim merasa terpanggil untuk mengecek pesan yang masuk ke dalam ponselnya itu.Drtt ... Drtt ....Belum selesai Adhim berpikir untuk membalasnya atau tidak, sebuah pesan datang lagi dari nomor yang sama.+62 xxxxSaya Pelita, adik tingkat Kakak dari Fakultas Hukum yang kemarin ingin melakukan wawancara dengan Kakak.Buntalan chat terakhir dari nomor asing itulah yang membuat laki-laki bersurai panjang itu terkejut sampai memelototkan mata.Nomor itu tidak menampilkan foto profil atau informasi lain. Namun jika orang di balik itu memang Pelita, Adhim
Adhim tidak pernah segerogi ini sepanjang hidupnya. Tangannya berkeringat dingin dan perutnya terasa melilit. Berkali-kali, laki-laki kekar dengan rambut panjang itu menyesap cairan kopi hitamnya sedikit demi sedikit, berharap kafein yang terkandung dalam kopi itu bisa meredakan rasa cemasnya. Namun, bukannya reda, rasa cemas itu semakin menggila seiring berputarnya detik waktu. Matanya tidak berhanti menatap awas pintu kaca yang ada di hadapannya. Siang ini, Adhim rencananya akan bertemu dengan Pelita setelah berminggu-minggu berlalu sejak kejadian hari itu. Bersama Aldo, ia datang lima belas menit lebih awal ke kafe Haris yang rencananya akan dijadikan tempat pertemuan. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja levis berwarna abu-abu, jaket kain biru dongker yang melapisi kemeja levisnya dan celana jins dengan warna serupa kemeja yang robek-robek di beberapa bagian khas dirinya. Rambut panjangnya digerai. Beberapa menit ter
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-