Pukul 9 malam. Pelita menyingkap selimut putih yang menutup kakinya, ia meletakkan buku yang sedang dibacanya ke atas nakas lalu turun dari tempat tidur---buku itu adalah salah satu buku yang diperolehnya dari Cecilia untuk riset---lantaran tidak bisa fokus membaca.
Gadis itu membawa kakinya yang dibalut sandal bulu berwarna merah muda ke pinggir ruangan, melihat dengan gusar kalender berdiri yang ia letakkan di atas meja kayu bercat putih gading yang ada di samping vas bunga kristal berisi bunga lavender yang menunjukkan bulan baru. Sudah tanggal 4. Awal bulan. Tapi Pelita belum juga mendapatkan tamu datang bulannya. Menstruasinya terlambat datang nyaris seminggu ini. Tanpa sadar gadis itu menggigiti kuku jemari tangan kanannya. Pelita merasa cemas. Terlambat datang bulan memang bukan hal baru baginya. Tapi sejak pembicaraannya dengan Arina saat belanja di supermarket beberapa hari yang lalu, Pelita selalu memikirkannya"Hoek hoek hoek." Suara perempuan muntah itu berasal dari sebuah kamar mandi apartemen yang terletak di bagian dapur. Jam menunjukkan pukul 05.30 pagi. Saat memasak untuk sarapan, Pelita tiba-tiba merasa sangat mual yang memaksanya berlari ke arah kamar mandi terdekat untuk memuntahkan isi perutnya setelah mematikan kompor listriknya yang tengah menggoreng telur mata sapi dengan minyak zaitun di atas wajan teflon. Perut gadis itu terasa bergejolak seperti dikocok. Namun, saat Pelita memuntahkan isi perutnya, hanya cairan berwarna bening yang keluar. Ia membasuh mulut untuk menghilangkan bekas muntahannya yang hanya berupa zat cair itu lantas berkumur agar rasa pahit yang dirasakan indra perasanya pudar. Seketika saja gadis itu diliputi ketakutan. Pelita ingat kembali akan siklus datang bulannya yang terlambat datang sampai sekarang dan alat pemeriksa kehamilan yang digunakannya semalam. Tanpa berpikir panjang, ia kemudian b
Seberkas cahaya mentari masuk lewat celah antargorden berwarna cokelat apartemen hunian Pelita. Di sofa ruang tengah, Arina duduk dengan kedua kaki bersila di atas sofa dengan jemari yang sibuk menebar cinta di Instagram.Sedangkan Pelita, si pemilik apartemen, gadis itu tampak sibuk sendirian di dapur, berkutat dengan bahan-bahan makanan yang akan diolahnya untuk sarapan.Hari ini hari Minggu. Pelita tidak memiliki jadwal apa pun seperti biasa. Gadis itu berencana menghabiskan weekend-nya dengan 'bermalas-malasan' di apartemen seharian.Bersih-bersih ruangan, mencuci bajunya sendiri yang biasanya di-laundry, menanam bunga di balkon, mencoba resep baru, menonton film, fangirling, menulis, atau mungkin membaca ulang Supernova. Pelita ingin menghabiskan me time-nya.Namun seperti sebelum-sebelumnya, tamu tak diundang berwujud gadis cerewet dengan rambut kecokelatan dan kulit eksotis berwarna sawo matang menggagalkan rencananya.Pagi-pagi se
Sedikit demi sedikit, Pelita berusaha menghabiskan sandwich isi sayurnya diselingi meminum air putih. Ia memberikan jus alpukatnya yang masih tersisa banyak pada Arina dan temannya itu dengan senang hati langsung menerimanya.Pelita juga berpesan pada Arina agar gadis itu bersedia membungkus makanan lain yang masih tersisa di atas meja makan untuk dibawa pulang nanti. Jangan sampai telur mata sapi dan perkedel kentangnya mubazir, karena untuk makan siang, Pelita mungkin akan membuat sayur asem atau olahan yang lain karena tidak ingin merasa mual lagi jika makan telur mata sapi atau perkedel kentang itu."Eh, eh, eh! IG Bang June aktif! Dia barusan posting foto, Lit!" Arina yang sudah menyelesaikan sarapannya berseru heboh.Gadis itu langsung berdiri dari kursi makannya yang ada di depan Pelita dan pindah duduk di kursi yang ada di samping temannya yang hanya bengong menatapnya itu. Menunjukkan ponselnya yang menampilkan postingan Instagram June pada layarn
+62 xxxxAssalamu'alaikum. Selamat malam. Mohon maaf mengganggu waktunya. Apakah benar ini dengan Kak Adhim?Di sela-sela kegiatan workout malamnya, Adhim dikejutkan dengan sebuah pesan yang tiba-tiba masuk ke dalam aplikasi WhatsApp-nya.Akhir-akhir ini, Adhim biasanya tidak terlalu peduli jika ada orang yang menghubunginya malam-malam. Namun entah kenapa, kali ini Adhim merasa terpanggil untuk mengecek pesan yang masuk ke dalam ponselnya itu.Drtt ... Drtt ....Belum selesai Adhim berpikir untuk membalasnya atau tidak, sebuah pesan datang lagi dari nomor yang sama.+62 xxxxSaya Pelita, adik tingkat Kakak dari Fakultas Hukum yang kemarin ingin melakukan wawancara dengan Kakak.Buntalan chat terakhir dari nomor asing itulah yang membuat laki-laki bersurai panjang itu terkejut sampai memelototkan mata.Nomor itu tidak menampilkan foto profil atau informasi lain. Namun jika orang di balik itu memang Pelita, Adhim
Adhim tidak pernah segerogi ini sepanjang hidupnya. Tangannya berkeringat dingin dan perutnya terasa melilit. Berkali-kali, laki-laki kekar dengan rambut panjang itu menyesap cairan kopi hitamnya sedikit demi sedikit, berharap kafein yang terkandung dalam kopi itu bisa meredakan rasa cemasnya. Namun, bukannya reda, rasa cemas itu semakin menggila seiring berputarnya detik waktu. Matanya tidak berhanti menatap awas pintu kaca yang ada di hadapannya. Siang ini, Adhim rencananya akan bertemu dengan Pelita setelah berminggu-minggu berlalu sejak kejadian hari itu. Bersama Aldo, ia datang lima belas menit lebih awal ke kafe Haris yang rencananya akan dijadikan tempat pertemuan. Laki-laki itu mengenakan setelan kemeja levis berwarna abu-abu, jaket kain biru dongker yang melapisi kemeja levisnya dan celana jins dengan warna serupa kemeja yang robek-robek di beberapa bagian khas dirinya. Rambut panjangnya digerai. Beberapa menit ter
"Gimana? Macho banget, kan, Kakaknya?" Arina berbisik lirih ke telinga Pelita sambil terkikik mendapati wajah temannya itu yang terlihat benar-benar terkejut melihat sosok Adhim. Pelita mundur sedikit. Ia hampir pergi dari tempat itu andai saja Arina tidak menggandeng tangannya dan Pelita kembali mendapatkan kesadaran dan akal sehatnya. "Assalamu'alaikum, Kak Adhim," sapa Arina kepada Adhim sambil mengangguk dan tersenyum lebar. "Wa'alaikumussalam," jawab Adhim pelan. Pandangannya masih fokus pada satu orang, Pelita. Tak lama, laki-laki itu kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di samping Aldo. "Baru sampek?" tanyanya yang sebenarnya sekadar basa-basi. Adhim menatap lekat-lekat Pelita yang juga masih menatapnya sedari tadi. Wajah cantik gadis itu terlihat tanpa ekspresi. Mungkin di luar Adhim juga terlihat biasa saja. Namun, laki-laki itu bahkan susah payah menahan tangannya yang gemetaran agar ti
Pelita melanjutkan wawancaranya lagi dengan Adhim. Gadis itu ingin menuntaskan semua pertanyaannya agar ia tidak perlu berurusan dengan Adhim lagi ke depannya. Ia tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang sudah mengambil kesuciannya itu. Meski di sisi lain, ia tidak menyangka jika Adhim adalah seorang putra kiai. Sesuatu yang sebetulnya cukup menarik bagi Pelita karena penampilan Adhim yang terlihat nyeleneh dan urakan. Pelita sebenarnya penasaran sosok seperti apa Adhim. Bagaimana bisa Adhim tidur dengannya malam itu? Apa laki-laki itu masih memiliki hubungan dengan Arka, laki-laki yang berencana menghancurkan hidup Pelita? Kenapa Adhim tega melakukannya? Pelita ingat jika dirinya mencium bau alkohol di tubuh Adhim hari itu. Bagaimana bisa seorang anak kiai mabuk-mabukan? Kenapa laki-laki itu berani mengambil mahkotanya? Bukankah itu jelas-jelas perbuatan zina? Pelita menoleh pada Arina saat gadis itu memanggil namanya. Sesi wawancaran
Jika Pelita ditanya bagaimana perasaannya bertemu dengan Adhim, seseorang yang telah mengambil apa yang seharusnya ia berikan kepada suaminya kelak sebagai istri, gadis itu merasa marah, kesal, sedih, dan takut. Hatinya kacau. Saat ia bersusah payah melupakan kejadian di kamar hotel itu, Adhim malah muncul di depannya ketika Pelita mulai bisa menerima keadaan dirinya yang tidak lagi sama seperti sebelumnya. Laki-laki itu muncul di hadapannya sebagai sosok putra kiai yang selama ini menjadi narasumber incarannya. Dan sekarang, laki-laki itu berkata ia akan mempertanggungjawabkan perbuatan tak bermoralnya. Pelita dilema tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Gadis itu kembali mencoba mengambil kalung miliknya yang ada di tangan Adhim. Namun, laki-laki itu kembali mencegahnya. "Tolong maafkan saya," ucap Adhim. "Hukum saya. Saya benar-benar akan menerima semuanya asal kamu mau memaafkan saya. Tolong, Pelita. Tolo