Tujuh jam sebelumnya
Aldo menarik Najla menjauh dari kerumunan orang di acara pameran dan membawa gadis itu ke tempat sepi setelah mencari dan menemukannya karena merasa keberatan dengan pesan singkat yang Najla kirimkan. Najla Mehrunnisa: Lo tau akibatnya kalo lo batalin kesepakatan kita sayang 💋 Kasih minumannya dan anter temen lo ke kamar 3005 Aldo mengacak surai hitamnya di depan Najla, seperti tengah frustasi. "Lo serius?" tanyanya dengan kedua mata menyorot tajam. Najla memasang senyumnya lantas melipat kedua tangan di depan dada. Tahu arah pembicaraan mereka meski Aldo tidak mengatakannya. "Ya," jawabannya kembali menunjukkan deretan gigi rapinya. Aldo menghela napas kasar secara terang-terangan. Ia bergerak maju lalu menyudutkan lawan bicaranya ke tembok. "Gue akan lakuin apa pun yang lo mau. Tapi nggak satu ini!" katanya dengan bersungguh-sungguh. Najla sPelita diam di bawah guyuran shower. Tidak melakukan apa-apa. Hanya diam. Air dingin mengucuri tubuhnya sejak setengah jam yang lalu. Kulit putihnya berubah pucat, bibirnya membiru, dan jemari tangannya menjadi keriput karena terlalu lama terkena air. Bayangan itu berputar di kepalanya. Mencuri lamunannya sampai-sampai suara gemericik air yang berisik tidak terdengar indra telinganya. Ia memang tidak sadar karena berada di bawah pengaruh obat bius saat itu, tapi Pelita tahu apa yang terjadi. Ia merasakan semuanya. Seseorang menghampirinya, melucuti pakaiannya, lalu melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kepadanya. Pelita tentu saja ingin melawan. Menghentikan apa yang terjadi. Tapi tubuhnya tidak mau diajak kompromi seberapa keras pun ia mencoba dan berusaha. Obat bius itu sukses melumpuhkannya hingga Pelita bahkan tidak bisa membuka pejaman mata. Ia tidak bisa bicara dan menggerakkan anggota badannya.
Kamar 3005. Pukul 08.02. "Kenapa jadi lo sih? Brengsek!" Yang diajak bicara hanya diam, memasang seringaian. Tidak menoleh dan tetap melanjutkan aktivitasnya berpakaian. "Lo bisu? Atau tuli ha?" Wajah Najla memerah saking marahnya. Perempuan itu misuh-misuh melihat laki-laki di depannya duduk kembali di ranjang setelah memakai pakaiannya untuk mengenakan sepatu, tidak menghiraukannya sama sekali sambil memunggunginya. Aldo tetap bergeming sama seperti sebelumnya. Di balik selimut yang membungkus tubuh polosnya, kepala Najla semakin mendidih. Ia meraih bantal yang ada di sisinya dan melempar benda itu ke punggung Aldo. Puk! "Bajingan lo!" umpat Najla. Kali ini Aldo menoleh ke arahnya. Laki-laki itu tersenyum miring, "Ha ha. Toh, semalam lo juga menikmati. Kenapa sekarang marah sama gue?" Najla merapatkan gigi mendengar itu. "Gue di bawah pengaruh obat
Aldo berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang hampir jatuh karena pukulan Adhim lalu menatap Adhim bingung penuh tanya. Lidahnya sedikit mengeluarkan darah karena tergigit. "Minuman apa yang lo kasih ke gue semalam?" tanya Adhim yang membuat Aldo langsung terdiam. "Mi-minunan apa?" tanyanya kemudian. Adhim mendengkus di depannya. "Minuman yang lo kasih ke gue setelah acara pameran," tegasnya. Aldo kembali bergeming. Adhim sendiri terus menatapnya tanpa kata. Saat itu Aldo sadar jika Adhim terlihat berantakan tidak seperti biasa. "Gue minta maaf, Bang," lirih Aldo. "Ada yang mau jebak lo. Minuman itu ... itu wine berkadar alkohol tinggi. Dan---" "Dan lo kerja sama sama dia?!" Adhim memotong dan menatap Aldo dengan tatapan tidak percaya, sedih, juga terluka. Ia merasa dikhianati oleh orang yang sudah ia anggap teman baiknya. "Maafin gue," lirih Aldo sambil menunduk. "Tapi, Bang. Lo ha
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian di hotel berbintang lima itu. Pelita sudah kembali ke rutinitasnya dan June masih belum ada kabar sama seperti sebelumnya. Namun, Arina masih terus berusaha menghubunginya. WhatsApp, E-mail, Instagram, LINE, Telegram, semuanya, Arina terus men-drop pesannya. Gadis bersurai kecokelatan itu mengkhawatirkan Pelita, ia berharap June segera kembali agar bisa menjaga Pelita.Sehari setelah Pelita memilih beristirahat di apartemen pascaacara peragaan busana di hari pertama pameran digelar, Arina dan Pelita benar-benar bicara saat bertemu di kampus. Arina hendak jujur menceritakan semuanya pada atasan sekaligus temannya itu. Namun, Pelita mengatakan jika dirinya tidak mau mendengar apa pun, karena sejatinya, Pelita sudah mengetahui segalanya.Ia mendengar semua yang dikatakan Arina malam itu. Obat bius, Arka, jebakan, diancam, juga permohonan maaf Arina. Pelita mendengar semuanya.Mata Pelita memang terpejam dan tubuhnya
Adhim menatap lurus-lurus layar ponselnya yang menampilkan foto Zulfa. Adik tersayangnya itu tersenyum manis dengan wajah cantik innocent-nya. Seperti malaikat.Laki-laki itu menghela napas berat.Setiap melihat Zulfa, maka Adhim akan selalu teringat akan perempuan yang dizaliminya malam itu. Keduanya sangat mirip, seolah pinang dibelah menjadi dua. Sekarang Adhim percaya jika di dunia ini ada tujuh manusia yang memiliki wajah serupa. Zulfa dan perempuan itu mungkin 'salah duanya'.Ditemani Aldo, Adhim kembali datang ke hotel berbintang lima malam itu---di hari kedua pameran digelar setelah Aldo menekan bel pintu apartemennya dan menyuarakan penjelasannya.Bukan untuk mengikuti acara pameran---pagi di mana ia terbangun dengan kondisi tanpa busana, Adhim menghubungi Suta dan mengatakan jika ia sudah tidak berminat mengikuti acara pameran itu lagi. Suta yang sejak semalam mencari keberadaan Adhim pun menayakan apa yang terjadi kepada Adhim sehingga
Sore hari Kota Bandung. Langit mulai berwarna jingga dengan matahari yang semakin condong ke arah barat, bersiap kembali ke peraduan untuk menyinari belahan bumi yang lain.Tidak terjadi kemacetan di jalan raya. Namun, kendaraan beroda dua, tiga, empat, dan seterusnya harus merayap dalam kepadatan untuk sampai pada tujuan.Suara lagu yang mengalun merdu memenuhi mobil BMW putih yang dikendarai Pelita. I Love You 3000-nya Stephanie Poetri yang diputar berulang-ulang oleh Arina yang duduk di sisi kirinya bergantian dengan F Yo Love Song-nya Agnes Mo, On the Ground dan Gone-nya Rose Blackpink, juga Hari Bahhagia-nya Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah---beberapa lagu favorit Arina yang belakangan sangat suka gadis itu dengar.Sejak June tidak ada, Pelita kembali terbiasa mengendarai mobilnya sendiri ke mana pun ia pergi. Kuliah, bekerja, berbelanja, ke mana saja.Begitu juga hari ini. Setelah jam kuliah di kampus berakhir, bersama Arina, gadis canti
"Sori, Bang. Gue belum dapet identitas perempuan itu," ucap Aldo pelan yang hanya diangguki kepala oleh Adhim. "Gue udah mata-matain Arka belakangan ini, tapi gue nggak dapet apa-apa," tambah laki-laki dengan tato di lengan kanan itu bernada menyesal atas apa yang ia sampaikan."Haah." Adhim hanya menghela napas panjang.Dua minggu telah berlalu sejak kejadian di hotel pascaacara pameran malam itu.Aldo langsung mengawasi gerak-gerik Arka setelah ia tahu laki-laki itulah yang menyewa kamar yang ditempati Adhim dan perempuan yang tidur bersamanya. Namun, sepanjang Aldo menyuruh orang membuntuti Arka yang belakangan tidak pernah muncul di kampus, ia tidak mendapatkan informasi apa-apa selain Arka yang lebih sering menghabiskan waktunya di arena balap dan markas geng motornya, Arcas.Aldo diliputi perasaan bersalah. Dan setiap ia melihat Adhim yang terlihat semakin hari semakin suram dengan kantung mata hitam dan tebal di bawah netranya, rasa bersala
Pukul 9 malam. Pelita menyingkap selimut putih yang menutup kakinya, ia meletakkan buku yang sedang dibacanya ke atas nakas lalu turun dari tempat tidur---buku itu adalah salah satu buku yang diperolehnya dari Cecilia untuk riset---lantaran tidak bisa fokus membaca. Gadis itu membawa kakinya yang dibalut sandal bulu berwarna merah muda ke pinggir ruangan, melihat dengan gusar kalender berdiri yang ia letakkan di atas meja kayu bercat putih gading yang ada di samping vas bunga kristal berisi bunga lavender yang menunjukkan bulan baru. Sudah tanggal 4. Awal bulan. Tapi Pelita belum juga mendapatkan tamu datang bulannya. Menstruasinya terlambat datang nyaris seminggu ini. Tanpa sadar gadis itu menggigiti kuku jemari tangan kanannya. Pelita merasa cemas. Terlambat datang bulan memang bukan hal baru baginya. Tapi sejak pembicaraannya dengan Arina saat belanja di supermarket beberapa hari yang lalu, Pelita selalu memikirkannya