Zulfa Zahra El-Faza
Aku tidak tahu bagiamana menggambarkan seberapa besar cintaku kepada suamiku. Namun seluruh hatiku, hanya dirinya yang berhasil menguasainya. Yang terdalam sekalian, hanya Gus Fatih yang telah berpijak. Untuk yang pertama kalinya dan satu-satunya, dia raja yang menduduki kerajaan yang ada di dalam sana.Seminggu adalah waktu yang kumiliki untuk tinggal dan menetap di Kediri. Setelah empat malam tiga hari menghabiskan waktu bersama di area privat, aku dan Gus Fatih akhirnya kembali ke kamar ndalem. Tersisa dua hari lagi karena sebelum tinggal di gazebo, kami berdua telah menghabiskan satu malam di kamarku.Aku menutup novel yang ada di genggaman tanganku. Ya, novel yang sebelumnya kuduga milik Mas Adhim yang beberapa waktu lalu kutemukan di laci kamar gazebo. Aku baru mengkhatamkannya hari ini. Alasannya, setelah waktu itu, Gus Fatih tidak pernah membiarkanku membacanya. Menyentuhnya saja tak diizinkan. Katanya, saat membaca aku berakhirZulfa Zahra El-FazaPercayalah, hampir di setiap hal-hal ajaib yang kualami, Mas Adhim selalu berada di baliknya. Seperti saat ini contohnya, aku dan Mas Adhim sedang jalan bersama di mal untuk berbelanja barang-barang yang akan dibawanya kembali ke Bandung dua hari lagi.Aku tahu ini bukan gayanya sama sekali. Mas Adhim suka yang praktis. Jadi membawa barang jauh-jauh dari Kediri ke Bandung adalah hal yang seharusnya buang-buang waktu dan tenaga untuknya.Ini pasti hanya alasannya saja agar kami bisa diizinkan Umi untuk pergi berdua. Toh, bukankah akan sulit saat Mas Adhim membawa barang-barang yang dibelinya dengan motor gede yang dikendarainya pulang? Sesedikit apa pun itu. Kecuali jika Masku itu memang berniat kembali ke Bandung menggunakan Jip Wrangler putih kesayangannya. Dan tentu saja, itu juga berarti Mas Adhim harus rela meninggalkan motor gede yang tak kalah disayanginya di garasi ndalem.Aku masih mengenakan gamis kuning bermotif bunga
Zulfa Zahra El-FazaKamu sudah makan siang?Pesan itu baru saja dikirim oleh Gus Fatih.Saat ini aku sedang mampir di salah satu warung makan pinggir jalan yang menjajakan bakso dan mie ayam. Satu mangkok mie ayam yang dipadukan dengan bakso sudah kandas di depanku beserta batok es degan kelapa yang kosong telah kuhabiskan tetes terakhirnya, bersisian dengan milik Mas Adhim.Sedangkan Mas Adhim sendiri, ia tengah menjawab telepon dari Mas Alim di luar. Zidan asyik bermain-main dengan boneka kuda-kudaan miliknya yang dari ndalem sengaja dibawa oleh Mas Adhim dan diletakkannya di dashboard mobil.Kami duduk di salah satu lincak yang disediakan pemilik warung di dalam. Sebuah tempat duduk berupa bangku panjang yang terbuat dari kayu bambu. Terpisah dari tempat duduk para pembeli yang lain.Jika aku tidak salah kira, sepertinya Mas Adhim mengenal baik pemilik warungnya.Seorang perempuan di atas paruh baya seumuran Mbok Hali
Bagi Zulfa, memang sudah menjadi seharusnya semua berjalan dengan baik-baik saja. Memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, kedua kakak yang begitu peduli padanya, ayah dan ibu mertua yang mengasihinya pun suami yang mencintainya. Ya, meski yang terakhir itu Zulfa simpulkan sendiri karena sampai saat ini, sebagai suami belum pernah ada kata cinta yang diucapkan Fatih kepadanya. Namun, Zulfa baik-baik saja.Cinta memang tidak harus selalu diungkapkan lewat kata-kata bukan? Selalu, kalimat itu yang setia Zulfa tanamkan dalam benaknya.Pagi ini, dengan baju muslimah yang terlihat semi formal, Zulfa mendudukkan diri di salah satu bangku depan ruang kelas yang berisi sekitar empat puluhan santri putri yang sedang melangsungkan lalaran nadhom Imrithi yang dipercayakan Bu Nyai Fatimah—sang ibu mertua—kepadanya.Alhamdulillahil-ladzi qad waffaqoLil ilmi 'khoiro 'kholqihi wa lit-tuqoKhatta nahat qulubuhum linahwihiFamin 'adhimi sya'
Zulfa Zahra El-Faza“Masmu di mana, Nduk?”Ibu yang kakinya sedang kupijat melempar tanya kepadaku. Beliau menepuk tanganku yang masih mengurut kedua kakinya sebagai isyarat agar aku menghentikan pekerjaanku kemudian menatap padaku intens.Saat ini, kami berdua berada di dalam kamar Ibu dan Abah Kiai. Ibu menyelonjorkan kaki di atas tempat tidur dengan aku yang duduk di pinggiran ranjangnya untuk memijat kaki beliau.“Mas Fatih medhal, Bu. Sehabis Zuhur tadi, Mas pamit ke luar sama Cak Danang.” Aku menjelaskan.“Howalah. Ya wes.” Ibu mengangguk. Ketika aku berniat kembali memijat kakinya, Ibu mencegahku dengan gelengan kepala. “Sudah, Fa. Kamu kembali ke kamarmu saja. Ibu mau ke pondok putri sebentar nilik arek-arek. Kamu mengerjakan apa gitu, atau mungkin mau omong-omongan sama Dewi.” Beliau turun dari ranjang.Keluar dari kamar Ibu bersama beliau, aku langsung kembali ke kamarku setelah menutup pintu kayu bercat putih tulang ru
Zulfa Zahra El-FazaDua puluh menit yang lalu Neng Shofiya sudah pamit dan kembali pulang ke ndalemnya, pesantren salaf milik keluarga Gus Aji yang ada di Sidoarjo.Aku ingin menahannya, tapi kepergiannya yang tanpa pamit kepada keluarga membuatku tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah sekian lama, aku dan dia bisa menjalin pertemanan pada akhirnya.Dari dulu Neng Shofiya memang gadis yang pemberani dan seolah tidak memiliki rasa takut terhadap apa pun—selain terkenal akan sifat manja dan tingkahnya yang suka berbuat apa saja sesukanya. Jadi, aku tidak terlalu terkejut ketika ia bilang saat pergi kemari, ia tidak izin terlebih dulu pada Gus Aji.Dia memang sangat nekat.Neng Shofiya tentu saja tahu, tidak diperbolehkan hukumnya seorang perempuan yang sudah menikah pergi keluar rumah tanpa izin suami, tapi Neng Shofiya bersikap seolah tidak peduli. Aku maklum, mungkin ia sudah tidak tahan lagi sampai melakukannya. Semoga saja tidak terlalu
Gadis pemilik manik sendu itu menatap ke luar jendela. Pemandangan langit malam yang bertabur bintang dan bulan keemasan yang bersinar terang tidak dapat memunculkan senyum di bibirnya. Wajah ayunya tertekuk. Sepoi angin yang seharusnya menyejukkan pun kehilangan arti. Nyaris, gadis itu tidak merasakan apa-apa sama sekali sampai sekelebat bayangan hadir dalam memori. Menyentakkan sabuah nama berkali-kali dalam relung terdalam hatinya.Sebuah nama yang begitu indah namun terenggut begitu saja karena kenaifannya. Nama yang membawa gadis yang sedang berdiri di balik bingkai jendela itu pergi jauh-jauh menyeberang dari negeri asalnya. Karena, ya, sekarang ia ada di sini hanya untuk mengambil apa yang menjadi miliknya kembali.Baginya sudah cukup ia tersakiti. Meski apa yang akan ia lakukan nanti akan melukai orang lain, ia tidak peduli. Cukup untuk semuanya, ia sudah cukup ‘mengalah’ selama ini. Perbuatannya sudah benar, ia meyakinkan dirinya sendiri.Memejamk
Pagi menuju siang.Di kamar, Zulfa mengeluarkan semua paper bag yang diperolehnya saat di Kediri dari lemari pakaian tempatnya menyimpan barang-barang itu. Sudah lebih dari seminggu ia pulang kembali ke Jombang, tetapi selama itu juga, Zulfa belum mengeluarkan dan membereskan isinya.Mumpung tidak ada Mas Fatih, pikir perempuan muda itu lalu mulai membuka paper bag-nya satu per satu.Dari paper bag hitam yang ukurannya cukup besar, Zulfa mengeluarkan isinya yang membuat wajahnya sedikit merah. Tidak ada siapa-siapa, tetapi melihatnya membuat Zulfa malu seketika. Kain warna-warni yang sekarang berada di pangkuannya itu adalah pemberian uminya, Nyai Azizah. Beberapa lingerie dengan model yang bervariasi.Zulfa sudah menolaknya. Namun, Nyai Azizah tetap memaksa putrinya itu membawa lingerie-lingerie itu pulang. Karena dari awal, Nyai Azizah membeli benda keramat itu memang untuknya. Zulfa akhirnya pun tidak bisa menolak dan hanya bisa pasrah menerima
“Neng, bagaimana kalau tahun ini perlombaan yang diadakan ditambah lagi jumlahnya dari tahun sebelumnya?”Zinda berbicara dengan semangat 45 kepada Zulfa yang duduk tak jauh dari sisinya.“Melihat antusiasme para santri tahun lalu, aku yakin, Agustusan tahun ini jika lombanya diperbanyak arek-arek akan tambah semangat dan senang, Neng!” Gadis bermata sipit itu menambahkan.Sejenak, suasana di ruang pertemuan itu menjadi lengang. Semua mata kemudian menatap lurus pada Zulfa yang duduk meleseh seperti mereka—para pengurus pondok—di atas karpet biru tua yang menjadi pusat perhatian sekaligus pemimpin rapat di ruangan berukuran 12 x 5 meter itu.“Lomba seperti apa?” Lembut, perempuan dengan jilbab ungu yang menjadi pusat perhatian itu menyahut.“Kerohanian, Neng.” Zinda menjawab masih dengan pijar di matanya. “Lomba jasmani suduh cukup seperti tahun lalu saja, tapi di bidang kerohanian, selain lomba banjari, qiro'ah, lalaran, pidato, ceramah,
Setelah melaporkan penculikan Pelita ke kantor polisi, Adhim dan Aldo memutuskan mencari tempat penginapan di Karawang. Mereka memutuskan menginap semalam di sebuah hotel yang ada di kota itu sembari memikirkan langkah yang harus mereka lakukan selanjutnya. Mereka memesan satu kamar untuk berdua. Mengingat kondisi Adhim, Aldo tidak tega jika harus membiarkan Adhim tidur sendirian. Jam menunjukkan pukul 23.17 WIB. Aldo pamit keluar untuk mencari makan malam untuk dirinya dan Adhim. Ketika Aldo kembali, laki-laki berambut cepak itu mendapati Adhim yang terisak di atas hamparan sajadah dalam doanya. Aldo paham Adhim pasti sangat terluka dan cemas akan keadaan Pelita. Aldo menunda melangkahkan tungkainya benar-benar masuk ke dalam kamar itu apalagi membuat suara agar tidak mengganggu Adhim. Ia tetap bergeming di pintu sampai Adhim sendiri yang menyadari keberadaannya.
Grup Chat Cowok Soleh 🤟🏻😌 Dibuat oleh Aldoganteng, 05/11/xx AdhimHisyam: Istri gue diculik Arka Jeffreyy_: Hah? Kapan? Gimana bisa bang? Bondan😈: Kobisa bang? Arka kan lagi jadi buron Suta_cowoksunda: Mba Pelitanya udah ketemu? Pcc bang Bondan😈: Dimana diculiknya bang? [@Suta_cowoksunda (Pcc bang)] Otw nyamperin Jeffreyy_: Bang lo yakin mbak Pelita diculik Arka? Udah coba lo hubungi? Aldoganteng: Jangan banyak tanya lu pada. Bantu nyari!!! . Aldo melirik Adhim yang diam tanpa kata di sisinya. Seperti orang melamun dengan ponsel yang masih menyala di pegangan kedua tangannya. Mata cokelat laki-laki berambut gondrong itu tampak menatap kosong layar plasma benda pipih di tangannya itu. . Gru
Kedua kelopak mata itu terbuka pelan, mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang diterima oleh retina matanya, hingga tak lama kemudian, netra berwarna cokelat madu yang ada di baliknya terlihat dengan sempurna. Hatinya membatin; Ini di mana? Apa yang terjadi? Sampai ... Cklek! Suara pintu yang terkuak dari sisi sebelah kanannya menarik penuh atensinya. Kepalanya terasa pusing. Dan sosok yang muncul dari balik pintu yang kini berjalan ke arahnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada itu langsung membuat kedua matanya membola. Tak lama kemudian ia pun sadar, sesuatu telah membatasi pergerakannya. Sosok yang lebih dari cukup untuk dikenalinya itu pun tersenyum menyeringai melihat keterkejutannya. **** Setelah kurang lebih satu jam berkendara dengan kecepatan biasa-biasa saja yang tentu saja
Bunyi nada sambung telepon itu terdengar beberapa kali tanpa sahutan, membuat subjek yang menelepon mengerutkan kening di awal dan segera didera keresahan setelah berkali-kali mengulang tetap tak mendapat balasan. "Pelita, ayo angkat telepon saya," desis Adhim kemudian berusaha menghubungi Pelita lagi. Tiba-tiba perasaannya menjadi sangat tidak enak kali ini. Mata sewarna kopi Adhim melirik jam di dinding kokoh apartemennya dengan tangan yang tetap sibuk menempelkan segenggam ponsel di telinga. Pukul 16.47 WIB, seharusnya waktu yang lebih dari cukup bagi Pelita untuk mengabarinya jika istrinya itu sudah akan atau bahkan sampai Kota Bandung. Tetapi kenapa belum? Dan mengapa pula Pelita tidak kunjung mengangkat teleponnya? Adhim mengacak-acak surai hitamnya pada percobaan ke sekian kalinya, Pelita tetap tidak menjawab panggilannya.
"Bang." Aldo yang baru kembali dari menuntaskan hajatnya di kamar mandi memanggil Adhim. Kini mereka ada di sebuah rest area Kota Bogor, habis beristirahat untuk menunaikan salat Zuhur dan mencari makan siang. Pekerjaan keduanya di Bogor sudah selesai. Lebih cepat dari yang Adhim dan Aldo perkirakan sebelumnya. Perkiraan semula, mereka akan menyelesaikan urusan bisnisnya di Bogor malam nanti, kemudian baru akan kembali ke Bandung keesokan pagi setelah mengistirahatkan diri. Namun ternyata tidak. Pekerjaannya selesai lebih cepat di luar prediksi. "Kita jadi balik Bandung habis ini, Bang?" tanya Aldo santai sembari mendudukkan dirinya kembali di sebuah bangku kayu yang ada di depan Adhim. "Hm," balas Adhim dengan gumaman. Manik cokelatnya mengawasi Aldo yang meraih gelas esnya dan meyesap minuman dingin itu tanpa sisa.
"Bang, lo harus lihat ini!" seruan Aldo itu berhasil membuat Adhim menoleh dengan dahi mengernyit begitu menatap apa yang ditunjukkan oleh temannya itu. "Apa ini, Do?" balas Adhim dengan tanya. Ia benar-benar tidak paham apa maksud titik-titik serupa koordinat yang ditampilkan Aldo di layar ponselnya. "Lo lihat titik ini? Ini lokasi kita, Bang, Bogor," terang Aldo. Sebelah alis Adhim terangkat menatap manik mata Aldo. "Iya. Terus?" tanyanya. "Lo lihat titik koordinat yang ada di Jakarta?" Kepala Adhim menggeleng ringan tidak paham apa yang hendak dikatakan temannya. "Ini titik koordinat yang ngasih tunjuk lokasi keberadaan Pelita, Bang." Kedua netra Adhim membola mencoba mencerna apa yang baru saja disampaikan Aldo kepadanya. "Maksud lo apa?" tanya Adhim. "Pelita? Di Jakarta?" "Jadi, lo tahu, Bang?" balas Aldo dengan tanya. "Dan emang bener, kalau Pelita ada di Jakarta?" Ia melempari tanya kepada Adhim lagi. Kepala Adhim menggeleng. "Nggak mungkin, Do.
Baru saja pesan itu terkirim, layar ponselnya langsung menampilkan notifikasi panggilan telepon dari Adhim. Pelita pun segera mengangkatnya. "Assalamualaikum, Pelita. Kamu sedang apa? Nggak tahu kenapa saya khawatir sama kamu." Pelita merasa bersalah mendengar nada cemas yang begitu kentara dalam suara Adhim itu. "Halo, Pelita. Ada apa? Kenapa saya tidak bisa menelepon kamu dari bakda Magrib tadi? Pelita? Halo?" Pelita menggigit bibir bawahnya. "H-halo, Kak Adhim. Waalaikumussamalam," jawabnya pada akhirnya setelah beberapa lama membisu dalam jeda waktu. "Maaf, Kak. Saya baru tahu Kakak nelepon." Ganti Adhim yang tidak langsung menjawab. "Pelita. Suara kamu ... kenapa?" sahut Adhim kemudian dengan nada penuh selidik. Kali ini Pelita merasakan tremor di tangannya menyadari suaranya yang pasti terdengar sengau setelah hampir seharian menangis di telinga Adhim. "Pelita?" Suara berat Adhim yang terdengar cemas mengalun lagi. "Halo, Pelita?" Pelita kali ini mencoba mengatu
Pelita menatap sendu tubuh papanya yang terbaring di atas bed rumah sakit dari kaca transparan berbentuk persegi panjang yang dipasang di permukaan pintu kamar rawat papanya itu, sejak beberapa menit yang lalu. Masih tidak menyangka, papanya yang bugar dan sehat ketika terakhir kali ditemuinya kini berbaring tak berdaya dengan tubuh yang kehilangan banyak berat badan dan pucat di atas brangkar itu, sedang diperiksa dan ditangani oleh dokter pribadinya. "Papa harus sembuh, Pa. Jangan tinggalkan Pelita kayak Mama." Perempuan itu berbisik lirih sembari menyeka matanya yang basah akan air mata. Pelita sudah terbiasa menangis tanpa suara. Ia hanya perlu mengendalikan isakan agar tidak keluar dari labiumnya. "Aku sayang Papa." Perempuan itu berusaha keras mengeyahkan rasa sesak yang mendera dadanya. "Pelita." Dokter Duta yang semula berada di dalam ruangan bersama beberapa orang perawat keluar menemui Pelita dan langsung dihadiahi pertanyaan olehnya. "Dokter, gimana kondisi Papa sa
"Maafin saya, Kak. Saya harus ke Jakarta tanpa bilang Kak Adhim. Papa saya butuh saya sekarang."Pelita bermonolog sendiri setelah memasukkan beberapa potong baju dan pakain ke tas tangannya yang memiliki ukuran sedang."Saya nggak mau ganggu kerja Kak Adhim," gumamnya lagi kemudian mengusap pipinya yang sedari tadi basah oleh air mata.Perempuan itu kini mengusap perut besarnya."Kamu juga yang kuat ya, Dek," katanya beralih mengajak bicara bayi yang ada di dalam kandungannya. "Mama harus ketemu Papanya Mama di Jakarta. Beliau butuh bantuan Mama. Maafin Mama yang bertindak egois karena harus pergi saat kamu udah mau lahir beberapa minggu lagi. Tapi Mama harus lakuin ini untuk kakek kamu. Mama minta tolong, bantu Mama, ya?! Kamu harus kuat, dan jangan rewel selama kita pergi tanpa Ayah kamu. Mama sayang kamu."Senyuman sedikit terukir di bibir cantik itu saat merasakan gerakan-gerakan yang dibuat bayinya yang seolah merespons setiap kata-