Zulfa Zahra El-Faza
Dua puluh menit yang lalu Neng Shofiya sudah pamit dan kembali pulang ke ndalemnya, pesantren salaf milik keluarga Gus Aji yang ada di Sidoarjo.Aku ingin menahannya, tapi kepergiannya yang tanpa pamit kepada keluarga membuatku tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah sekian lama, aku dan dia bisa menjalin pertemanan pada akhirnya.Dari dulu Neng Shofiya memang gadis yang pemberani dan seolah tidak memiliki rasa takut terhadap apa pun—selain terkenal akan sifat manja dan tingkahnya yang suka berbuat apa saja sesukanya. Jadi, aku tidak terlalu terkejut ketika ia bilang saat pergi kemari, ia tidak izin terlebih dulu pada Gus Aji.Dia memang sangat nekat.Neng Shofiya tentu saja tahu, tidak diperbolehkan hukumnya seorang perempuan yang sudah menikah pergi keluar rumah tanpa izin suami, tapi Neng Shofiya bersikap seolah tidak peduli. Aku maklum, mungkin ia sudah tidak tahan lagi sampai melakukannya. Semoga saja tidak terlaluGadis pemilik manik sendu itu menatap ke luar jendela. Pemandangan langit malam yang bertabur bintang dan bulan keemasan yang bersinar terang tidak dapat memunculkan senyum di bibirnya. Wajah ayunya tertekuk. Sepoi angin yang seharusnya menyejukkan pun kehilangan arti. Nyaris, gadis itu tidak merasakan apa-apa sama sekali sampai sekelebat bayangan hadir dalam memori. Menyentakkan sabuah nama berkali-kali dalam relung terdalam hatinya.Sebuah nama yang begitu indah namun terenggut begitu saja karena kenaifannya. Nama yang membawa gadis yang sedang berdiri di balik bingkai jendela itu pergi jauh-jauh menyeberang dari negeri asalnya. Karena, ya, sekarang ia ada di sini hanya untuk mengambil apa yang menjadi miliknya kembali.Baginya sudah cukup ia tersakiti. Meski apa yang akan ia lakukan nanti akan melukai orang lain, ia tidak peduli. Cukup untuk semuanya, ia sudah cukup ‘mengalah’ selama ini. Perbuatannya sudah benar, ia meyakinkan dirinya sendiri.Memejamk
Pagi menuju siang.Di kamar, Zulfa mengeluarkan semua paper bag yang diperolehnya saat di Kediri dari lemari pakaian tempatnya menyimpan barang-barang itu. Sudah lebih dari seminggu ia pulang kembali ke Jombang, tetapi selama itu juga, Zulfa belum mengeluarkan dan membereskan isinya.Mumpung tidak ada Mas Fatih, pikir perempuan muda itu lalu mulai membuka paper bag-nya satu per satu.Dari paper bag hitam yang ukurannya cukup besar, Zulfa mengeluarkan isinya yang membuat wajahnya sedikit merah. Tidak ada siapa-siapa, tetapi melihatnya membuat Zulfa malu seketika. Kain warna-warni yang sekarang berada di pangkuannya itu adalah pemberian uminya, Nyai Azizah. Beberapa lingerie dengan model yang bervariasi.Zulfa sudah menolaknya. Namun, Nyai Azizah tetap memaksa putrinya itu membawa lingerie-lingerie itu pulang. Karena dari awal, Nyai Azizah membeli benda keramat itu memang untuknya. Zulfa akhirnya pun tidak bisa menolak dan hanya bisa pasrah menerima
“Neng, bagaimana kalau tahun ini perlombaan yang diadakan ditambah lagi jumlahnya dari tahun sebelumnya?”Zinda berbicara dengan semangat 45 kepada Zulfa yang duduk tak jauh dari sisinya.“Melihat antusiasme para santri tahun lalu, aku yakin, Agustusan tahun ini jika lombanya diperbanyak arek-arek akan tambah semangat dan senang, Neng!” Gadis bermata sipit itu menambahkan.Sejenak, suasana di ruang pertemuan itu menjadi lengang. Semua mata kemudian menatap lurus pada Zulfa yang duduk meleseh seperti mereka—para pengurus pondok—di atas karpet biru tua yang menjadi pusat perhatian sekaligus pemimpin rapat di ruangan berukuran 12 x 5 meter itu.“Lomba seperti apa?” Lembut, perempuan dengan jilbab ungu yang menjadi pusat perhatian itu menyahut.“Kerohanian, Neng.” Zinda menjawab masih dengan pijar di matanya. “Lomba jasmani suduh cukup seperti tahun lalu saja, tapi di bidang kerohanian, selain lomba banjari, qiro'ah, lalaran, pidato, ceramah,
Kedua kelopak mata itu bergerak samar, membuat bulu mata lentik yang ada di atasnya bergetar lucu hingga beberapa detik kemudian, sepasang mata dengan sinar lembut yang ada di baliknya menampakkan diri dari pejamannya.Seingat Zulfa, ia berada di kamar pondoknya bersama Zinda tadi, tetapi sekarang, ruangan dengan langit-langit putih yang menyambut indra penglihatannya dan terasa adem pun sejuk itu sama sekali bukan kamar pondoknya.Deru mesin AC—sesuatu yang tidak ada di kamar pondok—terdengar samar di telinga. Tempatnya berbaring pun berbeda karena terasa lebih empuk dan nyaman. Lalu wangi ruangan yang bercumbu dengan indra pembaunya, Zulfa tahu benar jika sekarang ia sudah tidak ada di kamar pondok, melainkan berada di kamarnya sendiri.“Nduk ....”Suara familier itu menarik atensi Zulfa pada seseorang yang kini berdiri di sisinya.Di sisi kanannya, tepatnya di samping ranjang, wajah cantik yang sudah dihiasi keriput milik Nyai Fatimah
Atmosfer bahagia melingkupi keluarga ndalem setelah kabar kehamilan itu mengudara.Akhirnya, setelah sekian lama di ndalem Kiai Adnan akan ada suara tangis dan tawa bayi lagi setelah dua puluh empat tahun sejak Fatih dilahirkan. Kiai Adnan dan Nyai Fatimah jelas sangat senang. Begitu juga Fatih dan Zulfa yang segera akan memiliki anak pertama mereka.Pagi ini, ada begitu banyak hadiah yang dikirim Kiai Hisyam dan Nyai Azizah—orang tua Zulfa ke ndalem Kiai Adnan selaku besan setelah mendengar kabar bahagia mengenai kehamilan putrinya.Bukan barang elektronik—karena nilai gunanya memang belum pasti akankah terpakai atau tidak sebab di ndalem Kiai Adnan sudah barang tentu terdapat banyak, tetapi berkarung-karung beras hasil panen, dua buah drum berisi ikan bandeng tambakan, puluhan ekor ayam pedaging, lusinan telur, juga kebutuhan pokok khas dapur seperti gula, minyak, dan lainnya di samping bingkisan berisi pakaian baru dan perhiasan.Semuanya diant
Perempuan itu menghela kasar napasnya. Wajahnya merah padam dengan rahang mengeras karena bertemunya gigi atas dan gigi bawah miliknya yang dengan kuat dirapatkan. Mata cokelat madunya berkilat-kilat sarat akan amarah.Shofiya Nada Hannan.Perempuan itu adalah Shofiya Nada Hannan.Sejak kecil, Shofiya benci dengan yang namanya diabaikan. Yang membuatnya lebih benci lagi adalah saat dinomorduakan, apalagi dinomor sekiankan.Apa pun yang Shofiya inginkan, tanpa bersusah payah perempuan itu akan mendapatkannya, karena abahnya, Kiai Hannan teramat menyayanginya.Dia cantik, memiliki paras yang hampir selalu diidam-idamkan dan dielukan oleh semua orang. Kalangan mayoritas pasti akan menilainya ‘nyaris sempurna’ dengan wajah ayu khas bangsawan Jawanya.Wajah oval dengan dua manik mata bundar yang irisnya berwarna kecokelatan, bibir semerah cherry, dua buah alis yang melengkung indah, hidung berukuran sedang dengan tinggi menjulang, jug
Zulfa Zahra El-Faza“Huh ... huh ... huh ....”Aku terperanjat dari posisiku dengan napas yang memburu. Tenggorokanku seperti tercekat, seolah ada banyak sekam yang mengganjal di dalamnya. Apa yang barusan kulihat benar-benar seperti nyata. Tubuhku bergetar mengingat jelas bagaimana detailnya.“Kenapa, Fa?”Menoleh ke samping kanan, aku melihat Gus Fatih yang juga terbangun dari tidur. Nada suara dan ekspresi wajahnya tampak begitu khawatir menatapku. Lampu meja yang berada di atas nakas bagian sisinya telah ia nyalakan. Membuat kamar kami yang semula gelap dirubung oleh cahaya remang-remang yang berasal dari pijarnya. Sekarang pukul dua dini hari.Bluk!Bukannya menjawabnya, aku langsung menyurukkan tubuh untuk memeluk masku itu. Sungguh, aku takut apa yang kulihat dalam mimpi benar-benar terjadi. Sangat takut sekali.“Kenapa, Cah Ayu?” Gus Fatih kembali menanyaiku.Aku bisa merasakan tubuhnya yang semula tegan
“Apa yang kamu lakukan, Shofiya?”Aji menggeram sembari memelototi seorang perempuan cantik yang duduk di pinggiran ranjang tempat tidur. Wajah laki-laki itu merah padam dengan rahang mengeras yang mempertontonkan urat lehernya yang tegang menyembul, seolah mau lepas.Shofiya, perempuan yang menjadi penyebab marahnya gus muda yang tidak lain adalah suami perempuan itu sendiri hanya menunduk dengan nyali yang berada di ambang menuju angka nol.Dalam hati merutuki diri sendiri karena kebodohannya yang membuat Aji sampai memarahinya seperti ini. Ya, dia memang ingin berinteraksi dengan Aji. Interaksi manusia normal yang tinggal seatap dengan bercakap-cakap santai semisal. Tidak muluk-muluk, bukan? Namun, Shofiya tidak menyangka, saat untuk pertama kalinya Aji terlebih dulu mengajaknya bicara, suaminya itu malah menatapnya dengan bara kebencian di matanya.Mungkin tindakan perempuan itu memang melewati batas, tetapi di sisi lain benaknya membenarkan p