Zulfa Zahra El-Faza
Kamu sudah makan siang?Pesan itu baru saja dikirim oleh Gus Fatih.Saat ini aku sedang mampir di salah satu warung makan pinggir jalan yang menjajakan bakso dan mie ayam. Satu mangkok mie ayam yang dipadukan dengan bakso sudah kandas di depanku beserta batok es degan kelapa yang kosong telah kuhabiskan tetes terakhirnya, bersisian dengan milik Mas Adhim.Sedangkan Mas Adhim sendiri, ia tengah menjawab telepon dari Mas Alim di luar. Zidan asyik bermain-main dengan boneka kuda-kudaan miliknya yang dari ndalem sengaja dibawa oleh Mas Adhim dan diletakkannya di dashboard mobil.Kami duduk di salah satu lincak yang disediakan pemilik warung di dalam. Sebuah tempat duduk berupa bangku panjang yang terbuat dari kayu bambu. Terpisah dari tempat duduk para pembeli yang lain.Jika aku tidak salah kira, sepertinya Mas Adhim mengenal baik pemilik warungnya.Seorang perempuan di atas paruh baya seumuran Mbok HaliBagi Zulfa, memang sudah menjadi seharusnya semua berjalan dengan baik-baik saja. Memiliki keluarga yang sangat menyayanginya, kedua kakak yang begitu peduli padanya, ayah dan ibu mertua yang mengasihinya pun suami yang mencintainya. Ya, meski yang terakhir itu Zulfa simpulkan sendiri karena sampai saat ini, sebagai suami belum pernah ada kata cinta yang diucapkan Fatih kepadanya. Namun, Zulfa baik-baik saja.Cinta memang tidak harus selalu diungkapkan lewat kata-kata bukan? Selalu, kalimat itu yang setia Zulfa tanamkan dalam benaknya.Pagi ini, dengan baju muslimah yang terlihat semi formal, Zulfa mendudukkan diri di salah satu bangku depan ruang kelas yang berisi sekitar empat puluhan santri putri yang sedang melangsungkan lalaran nadhom Imrithi yang dipercayakan Bu Nyai Fatimah—sang ibu mertua—kepadanya.Alhamdulillahil-ladzi qad waffaqoLil ilmi 'khoiro 'kholqihi wa lit-tuqoKhatta nahat qulubuhum linahwihiFamin 'adhimi sya'
Zulfa Zahra El-Faza“Masmu di mana, Nduk?”Ibu yang kakinya sedang kupijat melempar tanya kepadaku. Beliau menepuk tanganku yang masih mengurut kedua kakinya sebagai isyarat agar aku menghentikan pekerjaanku kemudian menatap padaku intens.Saat ini, kami berdua berada di dalam kamar Ibu dan Abah Kiai. Ibu menyelonjorkan kaki di atas tempat tidur dengan aku yang duduk di pinggiran ranjangnya untuk memijat kaki beliau.“Mas Fatih medhal, Bu. Sehabis Zuhur tadi, Mas pamit ke luar sama Cak Danang.” Aku menjelaskan.“Howalah. Ya wes.” Ibu mengangguk. Ketika aku berniat kembali memijat kakinya, Ibu mencegahku dengan gelengan kepala. “Sudah, Fa. Kamu kembali ke kamarmu saja. Ibu mau ke pondok putri sebentar nilik arek-arek. Kamu mengerjakan apa gitu, atau mungkin mau omong-omongan sama Dewi.” Beliau turun dari ranjang.Keluar dari kamar Ibu bersama beliau, aku langsung kembali ke kamarku setelah menutup pintu kayu bercat putih tulang ru
Zulfa Zahra El-FazaDua puluh menit yang lalu Neng Shofiya sudah pamit dan kembali pulang ke ndalemnya, pesantren salaf milik keluarga Gus Aji yang ada di Sidoarjo.Aku ingin menahannya, tapi kepergiannya yang tanpa pamit kepada keluarga membuatku tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah sekian lama, aku dan dia bisa menjalin pertemanan pada akhirnya.Dari dulu Neng Shofiya memang gadis yang pemberani dan seolah tidak memiliki rasa takut terhadap apa pun—selain terkenal akan sifat manja dan tingkahnya yang suka berbuat apa saja sesukanya. Jadi, aku tidak terlalu terkejut ketika ia bilang saat pergi kemari, ia tidak izin terlebih dulu pada Gus Aji.Dia memang sangat nekat.Neng Shofiya tentu saja tahu, tidak diperbolehkan hukumnya seorang perempuan yang sudah menikah pergi keluar rumah tanpa izin suami, tapi Neng Shofiya bersikap seolah tidak peduli. Aku maklum, mungkin ia sudah tidak tahan lagi sampai melakukannya. Semoga saja tidak terlalu
Gadis pemilik manik sendu itu menatap ke luar jendela. Pemandangan langit malam yang bertabur bintang dan bulan keemasan yang bersinar terang tidak dapat memunculkan senyum di bibirnya. Wajah ayunya tertekuk. Sepoi angin yang seharusnya menyejukkan pun kehilangan arti. Nyaris, gadis itu tidak merasakan apa-apa sama sekali sampai sekelebat bayangan hadir dalam memori. Menyentakkan sabuah nama berkali-kali dalam relung terdalam hatinya.Sebuah nama yang begitu indah namun terenggut begitu saja karena kenaifannya. Nama yang membawa gadis yang sedang berdiri di balik bingkai jendela itu pergi jauh-jauh menyeberang dari negeri asalnya. Karena, ya, sekarang ia ada di sini hanya untuk mengambil apa yang menjadi miliknya kembali.Baginya sudah cukup ia tersakiti. Meski apa yang akan ia lakukan nanti akan melukai orang lain, ia tidak peduli. Cukup untuk semuanya, ia sudah cukup ‘mengalah’ selama ini. Perbuatannya sudah benar, ia meyakinkan dirinya sendiri.Memejamk
Pagi menuju siang.Di kamar, Zulfa mengeluarkan semua paper bag yang diperolehnya saat di Kediri dari lemari pakaian tempatnya menyimpan barang-barang itu. Sudah lebih dari seminggu ia pulang kembali ke Jombang, tetapi selama itu juga, Zulfa belum mengeluarkan dan membereskan isinya.Mumpung tidak ada Mas Fatih, pikir perempuan muda itu lalu mulai membuka paper bag-nya satu per satu.Dari paper bag hitam yang ukurannya cukup besar, Zulfa mengeluarkan isinya yang membuat wajahnya sedikit merah. Tidak ada siapa-siapa, tetapi melihatnya membuat Zulfa malu seketika. Kain warna-warni yang sekarang berada di pangkuannya itu adalah pemberian uminya, Nyai Azizah. Beberapa lingerie dengan model yang bervariasi.Zulfa sudah menolaknya. Namun, Nyai Azizah tetap memaksa putrinya itu membawa lingerie-lingerie itu pulang. Karena dari awal, Nyai Azizah membeli benda keramat itu memang untuknya. Zulfa akhirnya pun tidak bisa menolak dan hanya bisa pasrah menerima
“Neng, bagaimana kalau tahun ini perlombaan yang diadakan ditambah lagi jumlahnya dari tahun sebelumnya?”Zinda berbicara dengan semangat 45 kepada Zulfa yang duduk tak jauh dari sisinya.“Melihat antusiasme para santri tahun lalu, aku yakin, Agustusan tahun ini jika lombanya diperbanyak arek-arek akan tambah semangat dan senang, Neng!” Gadis bermata sipit itu menambahkan.Sejenak, suasana di ruang pertemuan itu menjadi lengang. Semua mata kemudian menatap lurus pada Zulfa yang duduk meleseh seperti mereka—para pengurus pondok—di atas karpet biru tua yang menjadi pusat perhatian sekaligus pemimpin rapat di ruangan berukuran 12 x 5 meter itu.“Lomba seperti apa?” Lembut, perempuan dengan jilbab ungu yang menjadi pusat perhatian itu menyahut.“Kerohanian, Neng.” Zinda menjawab masih dengan pijar di matanya. “Lomba jasmani suduh cukup seperti tahun lalu saja, tapi di bidang kerohanian, selain lomba banjari, qiro'ah, lalaran, pidato, ceramah,
Kedua kelopak mata itu bergerak samar, membuat bulu mata lentik yang ada di atasnya bergetar lucu hingga beberapa detik kemudian, sepasang mata dengan sinar lembut yang ada di baliknya menampakkan diri dari pejamannya.Seingat Zulfa, ia berada di kamar pondoknya bersama Zinda tadi, tetapi sekarang, ruangan dengan langit-langit putih yang menyambut indra penglihatannya dan terasa adem pun sejuk itu sama sekali bukan kamar pondoknya.Deru mesin AC—sesuatu yang tidak ada di kamar pondok—terdengar samar di telinga. Tempatnya berbaring pun berbeda karena terasa lebih empuk dan nyaman. Lalu wangi ruangan yang bercumbu dengan indra pembaunya, Zulfa tahu benar jika sekarang ia sudah tidak ada di kamar pondok, melainkan berada di kamarnya sendiri.“Nduk ....”Suara familier itu menarik atensi Zulfa pada seseorang yang kini berdiri di sisinya.Di sisi kanannya, tepatnya di samping ranjang, wajah cantik yang sudah dihiasi keriput milik Nyai Fatimah
Atmosfer bahagia melingkupi keluarga ndalem setelah kabar kehamilan itu mengudara.Akhirnya, setelah sekian lama di ndalem Kiai Adnan akan ada suara tangis dan tawa bayi lagi setelah dua puluh empat tahun sejak Fatih dilahirkan. Kiai Adnan dan Nyai Fatimah jelas sangat senang. Begitu juga Fatih dan Zulfa yang segera akan memiliki anak pertama mereka.Pagi ini, ada begitu banyak hadiah yang dikirim Kiai Hisyam dan Nyai Azizah—orang tua Zulfa ke ndalem Kiai Adnan selaku besan setelah mendengar kabar bahagia mengenai kehamilan putrinya.Bukan barang elektronik—karena nilai gunanya memang belum pasti akankah terpakai atau tidak sebab di ndalem Kiai Adnan sudah barang tentu terdapat banyak, tetapi berkarung-karung beras hasil panen, dua buah drum berisi ikan bandeng tambakan, puluhan ekor ayam pedaging, lusinan telur, juga kebutuhan pokok khas dapur seperti gula, minyak, dan lainnya di samping bingkisan berisi pakaian baru dan perhiasan.Semuanya diant