Samudra terperanjat ketika rasa sakit itu kembali menyapanya. Dengan napas yang tersengal, dia mencoba meraih toples obat yang ada di samping tempat tidur.
Namun, kali ini rasa sakit itu tidak dapat ditahan lagi. Bagaikan beribu belati yang sangat panas ditancapkan tepat ke jantungnya.
Pemuda itu tersungkur ke lantai, meraung-raung kesakitan seraya mencengkram dadanya kuat-kuat. Tubuhnya basah bermandikan keringat yang bulirnya sebesar biji jagung, wajahnya sudah pucat pasi.
"Bunda, Ayah, Bibi, tolong!" Teriak Samudra sekeras yang ia bisa. Walaupun pada kenyataannya teriakannya itu hanya seperti bisikan.
Tidak ada yang mendengar permintaan tolong pemuda malang itu, dia semakin merintih kesakitan. Pasokan udara pun semakin sulit untuk ia dapatkan, kelopak matanya semakin terasa berat dan lelah.
Samudra ... sekarat.
“Tuhan, apakah ini akhir hidupku? Jika ini waktunya, tolong jemput aku tanpa rasa sakit dan jangan buat Bunda terus bersedi
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Anton."Istri Bapak tidak apa-apa. Dia hanya syok saja," tutur sang dokter."Lalu, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Anton lagi. Dokter yang ber-name tagToni itu hanya menghela napas."Maaf, saya harus menyampaikan ini, kondisi anak Bapak semakin memburuk. Sam harus segera melakukan transplantasi jantung. Jantungnya kini sudah sangat rusak dan kondisi seperti ini bisa kapan saja terjadi," jelas Dokter Toni."Apa tidak ada cara lain untuk menyelamatkan anak saya selain melakukan transplantasi jantung?" tanya Anton frustasi, "berapapun biayanya akan saya bayar asalkan putra saya selamat.""maaf, Pak. Jantung Sam sudah benar-benar rusak, jalan satu-satunya untuk menyelamatkannya hanya mengganti jantungnya dengan jantung baru. Kami sudah melakukan operasi untuk menutup lubangnya, tapi kembali lagi jantungnya sudah sangat rusak sehingga operasi penutupan lubang pun tidak ada gunanya la
Mata Baskara berbinar masih belum percaya bisa duduk bersama di meja makan dengan ayah dan kedua kakaknya. Sebuahmomentyang dulu hanya sebatas angan kini telah menjadi kenyataan. Mereka sedang sarapan bersama di meja makan. Tidak ada yang berbicara hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu, semuanya fokus pada makanannya masing-masing. Nugroho melirik Baskara dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah itu ia menghentikan sarapannya lalu beranjak dari sana begitu saja dan tidak lama Brisia mengikutinya. Baskara hanya menundukkan kepalanya, ternyata pemuda itu masih belum diterima di keluarga ini. Meski dia sudah tinggal satu atap dengan keluarganya, tetapi kenapa rasa sakit itu tak kunjung hilang? Kapan kebahagiaan akan berpihak kepadanya? Bianca menepuk punggung tangan sang adik pelan seraya tersenyum padanya. "Percaya sama Kakak. Lambat laun mereka akan menerima kamu di sini. Jangan menyerah! Kak
Sedari tadi Dirgantara hanya memainkan ponselnya. Benda pipih itu berputar-putar di atas meja. Pemuda itu begitu penasaran dengan jawaban yang nantinya akan dia dapatkan. Jujur saja menunggu adalah hal yang paling dibenci olehnya. "Bang Di kenapa sih?" tanya Rain pusing melihat tingkah kakaknya yang akhir-akhir ini terlihat berbeda. Dirgantara menatap adiknya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan sebelum menariknya masuk ke dalam kamar. Rain semakin tidak mengerti dengan kakaknya itu, dia seperti bukan Dirgantara yang Rain kenal. "Ini benar Bang Di, kan?" tanya Rain dengan wajah polosnya. Pemuda itu mengerutkan alisnya bingung dengan pertanyaan sang adik. "Bukan orang jahat yang nyamar jadi Abang aku?" tanya gadis itu semakin ngaco. Pletak! Dirgantara melayangkan satu jitakkan ke kepalanya, membuat Rain cemberut seraya mengelus kepalanya yang terasa sedikit sa
Name : AngkasaOrigin of school : SMA 2 GarudaAccepted into Waseda University Japan, majoring in Architecture and Building on the Full Scholarship pathway.Wanita itu langsung memeluk putranya dengan perasaan yang teramat bahagia dan bangga."Selamat, A. Ibu bangga sama Aa." Maya memeluk erat tubuh Angkasa, begitupun dengan Angkasa yang membalas pelukan ibunya tak kalah erat.Tidak sia-sia usahanya belajar mati-matian selama ini. Sekarang Angkasa bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri seperti cita-citanya tanpa harus membebani orang tuanya dengan biaya yang pastinya sangatlah mahal."Aa, itu surat apa?" Tanya gadis kecil itu seraya menghampiri kakak dan ibunya.Angkasa meren
Kriiing!Kriiing!"Thanks, God," ucap Samudra ketika suara melengking itu membangunkannya dari kematian sementaranya.Pemuda itu selalu mengucap syukur ketika membuka mata karena Tuhan telah memberinya kesempatan untuk hidup, ia tidak akan lalai dengan perintah-Nya.Waktu masih menunjukan pukul 04.30 WIB dan tidak lama terdengar lantunan suara adzan yang sangat indah. Samudra segera bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh, setelah itu bersiap-siap untuk pergi ke sekolah."Den, bangun, sudah pagi." Panggil Teti mengetuk pintu kamar."Iya, aku sudah bangun kok, Bi." Samudra sedikit berteriak agar wanita paruh baya itu mendengarnya kemudian ia mulai memasangkan alat ECG di badannya seperti yang sudah Dokter Leon ajarkan.Pemuda itu tersenyum miris menatap pantulan dirinya di cermin, alat itu sudah terpasang di dada bidangnya. Dia terlihat seperti seorang robot yang memerlukan rangkaian kabel agar teta
Setelah berjam-jam belajar matematika yang membuat kepala serasa ingin pecah itu akhirnya mereka dapat bernapas lega ketika bel istirahat berbunyi. Kelas yang tadinya penuh, seketika kosong ditinggalkan penghuninya. "Ayo ke kantin! Anak-anak pasti senang banget kamu sudah masuk sekolah lagi," ajak Bintang. Samudra masih diam di tempatnya, dia yakin teman-temannya akan menginterogasinya karena beberapa hari ini selalu absen. Jujur saja, pemuda itu belum menyiapkan jawaban. "Masih banyak yang belum aku salin, kamu duluan saja." Tolaknya seraya kembali membuka buku catatannya. Bintang mengerutkan alis, bingung. Lalu menarik paksa sahabatnya itu untuk ikut bersamanya. *** Refleksmereka semua berdiri ketika Samudra dan Bintang datang. Dan benar saja pemuda itu langsung dicercar berbagai pertanyaan. "Kamu sebenarnya sakit apa sih? Perasaan sering banget absen." Angkasa mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat jaraknya
"Dirga," panggil Wira dari ruang keluarga."Iya, Pa?" Pemuda itu keluar dari tempat favoritnya."Ikut Papa ke kantor, sekarang." Pria dewasa itu mulai beranjak dari posisi terakhirnya serta langsung meminta anak sulungnya ikut dengannya.Ah, bukan meminta, lebih tepatnya memaksa. Karena Dirgantara tidak diberi kesempatan untuk berbicara.Dirgantara hanya mengerucutkan bibir, kesal. Lantas dengan langkah gontai dia menuju kamarnya untuk mengganti pakaiannya.Tidak selang beberapa lama, pemuda itu sudah siap dengan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilapnya. Sangat cocok dijuluki sebagai pengusaha muda.Sang ayah berdecak kagum melihat penampilan anak sulungnya itu. Dirgantara benar-benar cerminan dirinya saat muda dulu."Kita mau ngapain sih, Pa? Gerah tahu." Protes pemuda itu membuka kembali jas yang telah ia kenakan.Wira hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi tingkah putra sulungnya itu. Pria dew
Hari ini Samudra mengajak Rain pergi ke sebuah taman hiburan. Bahkan, pemuda itu sudah menyewa tempat ini khusus untuk mereka berdua agar bebas bermain apa saja tanpa gangguan dari siapapun."Sam, kamu seriusbookingtempat ini?" tanya Rain masih tidak percaya.Pemuda itu hanya nyengir memperlihatkan barisan giginya yang rapih."Ih, kebiasaan. Ngapain sih? Buang-buang uang tahu," lanjutnya."Apa sih yang enggak buat kamu," kata pemuda itu berhasil membuat Rain tersipu."Sudah, dari pada kamu terus ngoceh mending sekarang nikmatin saja semua permainannya." Samudra memegang tangannya dan menariknya pergi.Semua permainan menyenangkan sudah ada di depan mata, gadis itu bebas memilih wahana apa saja yang akan ia naiki. Namun, Rain ingat kalau sebagian permainan ini berbahaya untuk pemuda itu. Jadi dia memilih permainan yang kira-kira aman juga untuk Samudra."Aku mau naik komedi putar," ucap Rain dengan mata berbinar ka
Setelah pulang dari sekolah, Samudra kembali mengantar gadis itu ke rumah sakit tempat gadis itu dirawat. Lelaki itu mencium tangan ibunya Viola ketika berpapasan di depan ruangan yang gadis itu tempati. Samudra meminta maaf karena mengajak Viola pergi sampai senja seperti ini. Namun, bukannya memarahinya, wanita paruh baya itu jusrtu mengucapkan terima kasih padanya karena telah membuat senyum putrinya kembali. Setelah itu Samudra pamit pulang. Lagi pula gadis itu sebentar lagi harus meminum obatnya dan beristirahat. Saat dilorong rumah sakit tiba-tiba ia menyandarkan tubuhnya ke dinding saat dadanya terasa sakit, napasnya sesak dan pandangannya tampak kabur. Samudra tidak dapat menyangkal bahwa tubuhnya kelelahan, bahkan lelaki itu lagi-lagi melupakan obat yang harus dikonsumsinya. Ia berjalan dengan langkah terseok-seok sembari sebelah tangannya digunakan untuk berpegangan pada apapun yang bisa menahan beban tubuhnya. Namun, semakin lama Samudra me
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya mereka telah sampai ke sebuah bangunan yang tidak asing bagi Samudra, tetapi asing untuk gadis itu. Ya, mereka berdua kini sedang berada di sekolah lelaki itu sekarang. Viola menatap bangunan megah itu dengan mata yang berbinar. Senyuman indah itu tidak pernah luntur dari wajah pucatnya. “Ayo masuk!” Ajak Samudra seraya menggandeng tangannya. Viola menarik tangannya membuat lelaki itu mengerutkan keningnya. Bingung melihat wajah Viola yang terlihat cemas. “Apa mereka tidak akan mengusirku? Aku bukan siswi di sini,” ucap gadis itu menundukkan kepalanya. “Ya ampun aku pikir kenapa,” saut Samudra, “tenang saja ada puluhan siswi yang bersekolah di sini. Mereka tidak mungkin sadar kalau kamu bukan salah satu siswi di sini.” “Kamu yakin?” tanya gadis itu masih cemas akan ketahuan. “Ya,” jawab Samudra seyakin mungkin, “ayo akan aku buktikan.” Lanjutnya kembali menggenggam tan
Setelah pulang sekolah Samudra tidak langsung pulang ke rumahnya ataupun pergi bersama anak-anak Nature Squad seperti yang selalu mereka lakukan. Lelaki itu pergi untuk menemui teman barunya, Viola, gadis yang sempat ia pikir sebagai laki-laki botak yang hendak bunuh diri. Tok tok tok! “Masuk,” ucap seorang wanita paruh baya dari dalam. Samudra menyembulkan kepalanya seperti seorang anak kecil yang sedang bermain petak umpet. Baik wanita paruh bay aitu ataupun gadis cantik yang sedang duduk di kursi roda sama-sama tidak bisa menyembunyikan tawanya melihat kelakuannya yang menggemaskan. “Ayo masuk, Nak Sam,” ujar wanita paruh baya itu lagi yang tidak lain adalah ibu dari Viola. Ia sudah cukup tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai teman putrinya itu dan ia juga senang karena kehadiran Samudra, putrinya terlihat lebih ceria dan banyak tersenyum. Lelaki itu langsung masuk dan tidak lupa untuk menutup pintunya kembali. Kemudian ia
Sam dan Viola sama-sama menatap ke depan, melihat orang-orang yang berjalan ke sana ke mari. "Kamu serius mau menjadi bapak peri untukku?" tanya gadis itu membuat kening pemuda itu berkerut. “Bapak peri?” tanya Samudra tidak mengerti. “Bukankah kamu tadi mengatakan akan menciptakan memori indah untukku? Kupikir kamu seperti ibu peri dalam cerita dongeng, tapi berhubung kau seorang laki-laki jadi kau bapak, bukan ibu,” jawab gadis itu membuat Samudra membuka mulutnya tidak percaya bisa bertemu dengan gadis sepolos dirinya. “Iya.” Jawab pemuda itu seraya menganggukan kepalanya ke atas dan ke bawah. "Caranya?" tanya Viola lagi. Pemuda itu kembali melangkahkan kakinya seraya mendorong kursi roda Viola, lalu dia duduk di salah satu kursi panjang dan menatap mata gadis itu dengan serius. "Mimpimu apa?" tanyanya. "Hah!" Viola mengerjap beberapa kali ketika mata mereka beradu. Dia merasa sangat gugup di tatap seperti itu.
Hari ini Baskara sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit begitu pun dengan Bianca. Nugroho dengan cekatan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik untuk kedua anaknya. Bianca yang melihat perubahan dari ayahnya itu merasa sangat bahagia sampai menitihkan air mata karena terharu, sementara Brisia tidak tau entah ke mana. Wanita itu tidak ikut menjemput kedua saudaranya."Kak Brisia mana Yah?" tanya Bianca."Entahlah. Mungkin Kakakmu sedang sibuk dengan urusannya," jawab pria dewasa itu seraya fokus menyetir.Baskara menatap kakaknya dengan tatapan penuh kasih sayang, sedari tadi dia terus menggenggam tangan Bianca tanpa mau melepaskannya."Kak, kepalanya masih sakit?" tanya pemuda itu khawatir."Sedikit," jawab Bianca sembari memegang perban yang terlilit di kepalanya."Jangan cemas! Kakak tidak apa-apa," lanjutnya tidak ingin membuat sang adik cemas.Nugroho yang sedang fokus menyetir, mengintip ke harmonisan kakak beradik itu lewat k
Uhuk! Uhuk!Sedari tadi Rita terus batuk-batuk, dia merasakan seluruh badannya tidak enak dan suhu tubuhnya sedikit hangat, sepertinya wanita itu terserang demam.Bintang yang menyadarinya langsung pergi ke dapur untuk membuatkan sup jagung kesukaan ibunya. Namun, setelah masakannya jadi dan siap untuk di antarkan dia baru menyadari bahwa ibunya tidak mungkin memakannya jika Bintang yang memberikannya.Lantas pemuda itu kembali ke atas untuk meminta bantuan Bima untuk mengantarkannya dan meminta merahasiakan bahwa sup ini Bintang yang membuatnya.Awalnya Bima tidak setuju, tetapi setelah dia melihat sorot mata adiknya, dia pun luluh.Tok tok tok!Bimamengetuk pintu kamar ibunya dengan membawa semangkuk sup jagung yang dibuatkan Bintang. Wanita itu tersenyum ketika melihat putra kebanggaannya datang."Makan dulu, Ma," ucap pemuda itu sembari duduk di pinggir tempat tidur siap menyuapi sang ibu.Wanita itu
"Argh!Apa yang baru saja aku lakukan?" Netranya menerawang jauh ke laut lepas yang membentang kebiruan, membiarkan ombak menyapu kakinya. Pemuda itu masih tidak percaya dengan apa yang diakukannya, membongkar begitu saja rahasia yang selama ini dia simpan rapat-rapat.Saat sedang melampiaskan kekesalannya tiba-tiba Samudra melihat seorang pemuda berkepala plontos berjalan ke tengah laut."Woy!!" Cegah Samudra langsung menarik tangannya dan betapa terkejutnya ketika mendengar suara pemuda itu yang terdengar seperti suara perempuan."Lepaskan aku!" bentaknya."Kamu perem--"Gadis berkepala plontos itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca lalu menghempas tangan Samudra dan langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun.Dengan masih keterkejutannya Samudra kembali mengejar gadis itu untuk meminta maaf karena telah menganggapnya seorang laki-laki, Samudra yakin ucapannya itu sudah membuat gadis itu tersinggung.
Maya melihat putra sulungnya sedang membereskan pakaian dan beberapa perlengkapan yang akan pemuda itu bawa."Aa, yakin mau berangkat besok? Bukankah Aa bilang berangkat setelah kelulusan?" tanyanya. Pemuda itu hanya mengangguk dengan lemah."Kenapa terburu-buru sekali?” tanyanya lagi. Wanita paruh bay aitu masih merasa aneh dengan keberangkatan putranya yang tiba-tiba.“Mungkin hanya dengan cara ini aku bisa lupain dia, Bu,” jawab Angkasa dalam batinnya.Tok! Tok! Tok!"Siapa yang bertamu, ya?" pikir Maya. Dia pun pergi dari kamar putranya untuk membukakan pintu."Assalamu'alaikum," ucap seseorang di luar rumah memberi salam."Wa'alaikumusalam," jawab wanita itu, "eh, Nak Sam, silakan masuk.""Angka nya ada Tante?" tanya Samudra dengan ramah.Wanita itu tersenyum memperlihatkan sifat keibuannya. "Sebentar, Tante panggilkan. Silakan duduk, Nak."Maya kembali masuk untuk memanggi
"Sarah, sebenarnya Sam itu siapa kamu?" tanya Angkasa membuat Sarah menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaan pemuda itu. "Lho, kamu juga tau kan dia sepupu aku," jawabnya. "Sepupu ya?" Pemuda itu tersenyum miring, "bohong!" "Bohong? Apa maksudnya Bohong? Kenapa kamu malah nuduh aku bohong? Kamu kenapa sih? Kalau memang tidak mau berteman denganku lagi ya sudah, tapi bukan begini caranya," gadis itu menjadi kesal karena telah dianggap berbohong. "Aku cemburu!" aku Angkasa sudah tidak bisa membohongi perasaannya lagi. Setelah mengatakan itu Angkasa menarik napas Panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cemburu melihatmu pelukan dengannya. Gak ada sepupu yang memberikan perhatian lebih sampai meluk-meluk gitu. Perhatian kamu tuh seperti seorang wanita kepada lelakinya,bulshitkalau kalian tidak ada hubungan apa-apa," lanjutnya membuat Sarah mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu masih terkejut