"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Anton.
"Istri Bapak tidak apa-apa. Dia hanya syok saja," tutur sang dokter.
"Lalu, bagaimana keadaan anak saya?" tanya Anton lagi. Dokter yang ber-name tag Toni itu hanya menghela napas.
"Maaf, saya harus menyampaikan ini, kondisi anak Bapak semakin memburuk. Sam harus segera melakukan transplantasi jantung. Jantungnya kini sudah sangat rusak dan kondisi seperti ini bisa kapan saja terjadi," jelas Dokter Toni.
"Apa tidak ada cara lain untuk menyelamatkan anak saya selain melakukan transplantasi jantung?" tanya Anton frustasi, "berapapun biayanya akan saya bayar asalkan putra saya selamat."
"maaf, Pak. Jantung Sam sudah benar-benar rusak, jalan satu-satunya untuk menyelamatkannya hanya mengganti jantungnya dengan jantung baru. Kami sudah melakukan operasi untuk menutup lubangnya, tapi kembali lagi jantungnya sudah sangat rusak sehingga operasi penutupan lubang pun tidak ada gunanya la
Mata Baskara berbinar masih belum percaya bisa duduk bersama di meja makan dengan ayah dan kedua kakaknya. Sebuahmomentyang dulu hanya sebatas angan kini telah menjadi kenyataan. Mereka sedang sarapan bersama di meja makan. Tidak ada yang berbicara hanya terdengar suara sendok dan garpu yang saling beradu, semuanya fokus pada makanannya masing-masing. Nugroho melirik Baskara dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah itu ia menghentikan sarapannya lalu beranjak dari sana begitu saja dan tidak lama Brisia mengikutinya. Baskara hanya menundukkan kepalanya, ternyata pemuda itu masih belum diterima di keluarga ini. Meski dia sudah tinggal satu atap dengan keluarganya, tetapi kenapa rasa sakit itu tak kunjung hilang? Kapan kebahagiaan akan berpihak kepadanya? Bianca menepuk punggung tangan sang adik pelan seraya tersenyum padanya. "Percaya sama Kakak. Lambat laun mereka akan menerima kamu di sini. Jangan menyerah! Kak
Sedari tadi Dirgantara hanya memainkan ponselnya. Benda pipih itu berputar-putar di atas meja. Pemuda itu begitu penasaran dengan jawaban yang nantinya akan dia dapatkan. Jujur saja menunggu adalah hal yang paling dibenci olehnya. "Bang Di kenapa sih?" tanya Rain pusing melihat tingkah kakaknya yang akhir-akhir ini terlihat berbeda. Dirgantara menatap adiknya itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan sebelum menariknya masuk ke dalam kamar. Rain semakin tidak mengerti dengan kakaknya itu, dia seperti bukan Dirgantara yang Rain kenal. "Ini benar Bang Di, kan?" tanya Rain dengan wajah polosnya. Pemuda itu mengerutkan alisnya bingung dengan pertanyaan sang adik. "Bukan orang jahat yang nyamar jadi Abang aku?" tanya gadis itu semakin ngaco. Pletak! Dirgantara melayangkan satu jitakkan ke kepalanya, membuat Rain cemberut seraya mengelus kepalanya yang terasa sedikit sa
Name : AngkasaOrigin of school : SMA 2 GarudaAccepted into Waseda University Japan, majoring in Architecture and Building on the Full Scholarship pathway.Wanita itu langsung memeluk putranya dengan perasaan yang teramat bahagia dan bangga."Selamat, A. Ibu bangga sama Aa." Maya memeluk erat tubuh Angkasa, begitupun dengan Angkasa yang membalas pelukan ibunya tak kalah erat.Tidak sia-sia usahanya belajar mati-matian selama ini. Sekarang Angkasa bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri seperti cita-citanya tanpa harus membebani orang tuanya dengan biaya yang pastinya sangatlah mahal."Aa, itu surat apa?" Tanya gadis kecil itu seraya menghampiri kakak dan ibunya.Angkasa meren
Kriiing!Kriiing!"Thanks, God," ucap Samudra ketika suara melengking itu membangunkannya dari kematian sementaranya.Pemuda itu selalu mengucap syukur ketika membuka mata karena Tuhan telah memberinya kesempatan untuk hidup, ia tidak akan lalai dengan perintah-Nya.Waktu masih menunjukan pukul 04.30 WIB dan tidak lama terdengar lantunan suara adzan yang sangat indah. Samudra segera bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat subuh, setelah itu bersiap-siap untuk pergi ke sekolah."Den, bangun, sudah pagi." Panggil Teti mengetuk pintu kamar."Iya, aku sudah bangun kok, Bi." Samudra sedikit berteriak agar wanita paruh baya itu mendengarnya kemudian ia mulai memasangkan alat ECG di badannya seperti yang sudah Dokter Leon ajarkan.Pemuda itu tersenyum miris menatap pantulan dirinya di cermin, alat itu sudah terpasang di dada bidangnya. Dia terlihat seperti seorang robot yang memerlukan rangkaian kabel agar teta
Setelah berjam-jam belajar matematika yang membuat kepala serasa ingin pecah itu akhirnya mereka dapat bernapas lega ketika bel istirahat berbunyi. Kelas yang tadinya penuh, seketika kosong ditinggalkan penghuninya. "Ayo ke kantin! Anak-anak pasti senang banget kamu sudah masuk sekolah lagi," ajak Bintang. Samudra masih diam di tempatnya, dia yakin teman-temannya akan menginterogasinya karena beberapa hari ini selalu absen. Jujur saja, pemuda itu belum menyiapkan jawaban. "Masih banyak yang belum aku salin, kamu duluan saja." Tolaknya seraya kembali membuka buku catatannya. Bintang mengerutkan alis, bingung. Lalu menarik paksa sahabatnya itu untuk ikut bersamanya. *** Refleksmereka semua berdiri ketika Samudra dan Bintang datang. Dan benar saja pemuda itu langsung dicercar berbagai pertanyaan. "Kamu sebenarnya sakit apa sih? Perasaan sering banget absen." Angkasa mencondongkan tubuhnya ke depan, membuat jaraknya
"Dirga," panggil Wira dari ruang keluarga."Iya, Pa?" Pemuda itu keluar dari tempat favoritnya."Ikut Papa ke kantor, sekarang." Pria dewasa itu mulai beranjak dari posisi terakhirnya serta langsung meminta anak sulungnya ikut dengannya.Ah, bukan meminta, lebih tepatnya memaksa. Karena Dirgantara tidak diberi kesempatan untuk berbicara.Dirgantara hanya mengerucutkan bibir, kesal. Lantas dengan langkah gontai dia menuju kamarnya untuk mengganti pakaiannya.Tidak selang beberapa lama, pemuda itu sudah siap dengan setelan jas berwarna hitam lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilapnya. Sangat cocok dijuluki sebagai pengusaha muda.Sang ayah berdecak kagum melihat penampilan anak sulungnya itu. Dirgantara benar-benar cerminan dirinya saat muda dulu."Kita mau ngapain sih, Pa? Gerah tahu." Protes pemuda itu membuka kembali jas yang telah ia kenakan.Wira hanya menggelengkan kepalanya, memaklumi tingkah putra sulungnya itu. Pria dew
Hari ini Samudra mengajak Rain pergi ke sebuah taman hiburan. Bahkan, pemuda itu sudah menyewa tempat ini khusus untuk mereka berdua agar bebas bermain apa saja tanpa gangguan dari siapapun."Sam, kamu seriusbookingtempat ini?" tanya Rain masih tidak percaya.Pemuda itu hanya nyengir memperlihatkan barisan giginya yang rapih."Ih, kebiasaan. Ngapain sih? Buang-buang uang tahu," lanjutnya."Apa sih yang enggak buat kamu," kata pemuda itu berhasil membuat Rain tersipu."Sudah, dari pada kamu terus ngoceh mending sekarang nikmatin saja semua permainannya." Samudra memegang tangannya dan menariknya pergi.Semua permainan menyenangkan sudah ada di depan mata, gadis itu bebas memilih wahana apa saja yang akan ia naiki. Namun, Rain ingat kalau sebagian permainan ini berbahaya untuk pemuda itu. Jadi dia memilih permainan yang kira-kira aman juga untuk Samudra."Aku mau naik komedi putar," ucap Rain dengan mata berbinar ka
Sedari tadi pemuda itu terus menenggelamkan seluruh tubuhnya dalam selimut tebal. Bibirnya bergetar, matanya terasa begitu panas.Pemuda malang itu terserang demam."Dek, makan dulu, ya. Dari pulang sekolah kamu belum makan lho," ucap Bianca. Baskara hanya menggeleng lemah sembari meringkukkan tubuhnya.Wanita itu membuka selimut yang menutupi tubuh adiknya, pupil matanya membesar ketika menyadari kondisi adiknya cukup mengkhawatirkan.Keringat dingin bercucuran dari keningnya, wajahnya pucat dan bibirnya bergetar."Dingin, Kak," lirih Baskara."Astagfirullah, badan kamu panas banget. Sebentar!" Bianca berlari mengambil jaket untuk adiknya."Kita ke dokter, ya." Pinta wanita itu seraya memakaikan jaket ke tubuh panas sang adik.Lagi-lagi Baskara hanya menggeleng. Dan ini sifat yang tidak disukai oleh Bianca. Adiknya begitu keras kepala sama seperti ayahnya. Dia hanya menghela napas, jikalau pun berdebat, Bianca pasti akan kalah