“Eh kamu besok jangan lupa pinjam mobil ya.” kata Embun, ”Sabtu ini kita ada meeting sama dua klien. Alya dan Devan kan tanggal resepsinya maju. ”tambahnya lagi mengingatkan Nara.
“Jadi besok aku sama Zia yang ke tempat Alya dan Devan ya? Mbak sama Nadira yang ketemu Lusi dan Bima?” tanya Nara memastikan, ”Kamu besok jangan pakai acara kesiangan ya. Sabtu sore itu daerah utara macet.” kata Nara sambil menunjuk Zia yang duduk di sebelahnya. Dengan sigap Zia mengacungkan kedua ibu jarinya ke hadapan Nara, ”Siap kanjeng ratu.” sahutnya geli.# “Besok dirimu juga enggak ada jadwal kunjungan pasien?” tanya Ara begitu melihat Arka keluar dari ruang prakteknya sore itu dengan wajah lelah. Arka mengangguk sambil menutup mulutnya yang menguap dengan lebar, ”Akhirnya bisa bangun siang.” sahutnya lalu menyeka kedua sudut matanya. “Dirimu kan tiap hari minggu tidur sampai siang.” ujar Ara sambil menyipitkan mata. “Enak saja. Aku sukKebetulan lagi atau lagi-lagi kebetulan nih? 🤣🤣🤣 Ditunggu ya pembaca lanjutannya kisah Nara. Jangan lupa vote dan reviewnya. Terima kasih 😁♥
“Kamu yakin enggak salah tempat?” tanya Rio dengan dahi berkerut saat menelepon Arka, ia sudah menunggu sekitar tiga puluh menit dan tidak menemukan sosok yag dicarinya.Arka memutar matanya, ”Ya enggak dong! Tadi pagi kan aku ke sana.” ujarnya heran, ”Apa kamu coba telepon saja?” tanyanya menawarkan.#“Siapa nih?” ujar Nara begitu melihat ada panggilan masuk diponselnya.“Nomor enggak dikenal?” tanya Zia, ”Klien baru mungkin.” tebaknya.Dengan tenang Nara mengangkatnya, ”Halo, selamat siang.” sapanya ramah. Namun dalam hitungan detik ekspresi wajahnya langsung berubah jadi panik.#“Kok dimatiin?” tanya Rio sambil menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut bingung.#“Mukamu kenapa? Siapa yang telepon? Kok langsung diputus?” tanya Ara begitu mereka berhenti di lampu merah.Mata Nara membesar, ”Kayaknya mas Rio yang telepon.” sahutnya dengan nada meninggi.“Rio yang telepon?” ulang Ara ikut pan
“Dokter jadi ini semua jadwal pasien memang sengaja dimajukan?” tanya perawat yang sedang membantu Ara di ruang prakteknya.Ara mengangguk dengan pelan, ”Iya sus. Mumpung aku lagi banyak waktu.” jawabnya asal.Perawat itu pun hanya memutar matanya, ”Dok kalau lagi banyak waktu mendingan dokter istirahat.” sarannya tiba-tiba, ”Itu muka dokter sih sama tembok putihnya beda tipis.” ujarnya lagi sambil menunjuk wajah Ara yang pucat karena kelelahan.#Nara menjatuhkan diri dengan malas ke atas kursi kerjanya, karena lagi-lagi ia harus sampai terlalu awal di kantor.“Ih sudah datang saja ini jeng satu.” goda Zia yang tiba-tiba muncul tidak lama kemudian dengan membawa kantong berisi sarapannya.“Itu cuma ada satu?” tanya Nara sambil menunjuk bungkusan yang dibawa oleh sahabatnya itu.Zia mengangguk sambil tersenyum, ”Tentu saja!” sahutnya.“Dasar pelit! Punya uang banyak tapi beli sarapan selalu hanya satu bungku
Arka setengah berlari menuju kamar rawat pak Yono dengan wajah khawatir. Namun dengan cepat lengan Ara menahannya, “Buru-buru amat dok? Sampai enggak sempat ganti baju dulu?” canda Ara sambil menunjuk sahabatnya itu dari atas sampai ke bawah karena Arka datang masih dengan mengenakan pakaian medis ruang operasi.“Ya jelas buru-buru lah. Bagaimana keadaan papaku?” tanya Arka dengan napas terengah-engah.Ara dengan santai mengacungkan kedua ibu jarinya, “Dokter Lukas langsung melesat kemari begitu aku telepon.” jelasnya bangga.“Makasih ya. Untung ada kamu.” sahut Arka lagi sambil menarik napas lega.“Jadi aku harus terharu apa enggak nih?” canda Ara sambil menumpuk kedua telapak tangannya di depan dada.Sudah jelas kalau kata-kata Ara barusan akan dibalas dengan tatapan jijik dari sahabatnya itu.“Kalau begitu mendingan sekarang dirimu makan terus pulang, mandi ambil baju untuk besok dan besoknya lagi baru habis it
Akhirnya hari ini pak Yono diijinkan untuk pulang. Arka sengaja meminta ijin agar bisa mengantar ayahnya pulang ke rumah siang ini.“Semua sudah beres.” ujar Arka sambil menunjukkan beberapa lembar kertas di tangannya.“Obatnya papa mas?” tanya Nara memastikan sambil sibuk melipat pakaian pak Yono, ”Habis ini aku kembali ke kantor ya.” ujarnya lagi.Arka langsung mengerutkan dahi, ”Kamu mau masuk kerja hari ini?” tanyanya heran, ”Masa iya kamu lebih sibuk dari aku? Kalian kan usaha sendiri masa kaku banget? Bukannya sekantor sudah pada tahu kalau papa hari ini keluar dari rumah sakit?” tanyanya lagi berturut-turut.Nara menghela napas panjang begitu mendengar ocehan kakaknya, ”Sudah ada mas, mama ditambah lagi.” ujarnya sambil menunjuk Ara yang tiba-tiba muncul membawa sekantong obat milik pak Yono yang ia rebut paksa dari tangan perawat sesaat sebelum masuk ke dalam kamar rawat.“Aku? Kenapa? Ganteng ya?” tanya Ara sambil menunjuk
Untuk kesekian kalinya dalam beberapa waktu belakangan ini Nara kembali muncul di kantor dengan wajah lelah. “Itu muka kenapa lagi?” tanya Embun yang melihat rekan bisnisnya itu menopak wajah dengan kedua tangan sambil memejamkan mata. Dengan perlahan Nara membuka matanya kemudian ia menghela napas panjang, ”Tadi malam itu hampir saja kami ketahuan mas Arka.” katanya mulai bercerita. Kedua alis Embun terangkat karena bingung, ”Ketahuan? Kami?” ulangnya karena tidak menangkap kata-kata yang Nara ucapkan. “Ketahuan apa?” tanya Zia yang baru tiba dengan tangan menenteng sarapannya. Nara dengan spontan menutup hidungnya, ”Itu apaan? Kenapa bau pedasnya tercium sampai ke sini.” ujarmya heran. “Mi goreng.” sahut Zia cepat, ”Jadi apa yang ketahuan?” ulang penasaran. “Setengah piring mi setengah piring sa
“Mbak kok rasanya ada yang kurang ya?” gumam Zia tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan menatap Embun.Embun mengangkat kedua alisnya, ”Apa yang kurang?” tanyanya heran, ”Sarapanmu tadi pagi?” tebaknya setengah bercanda.Zia menghela napas pelan, ”Bukan. Ini enggak ada hubungannya sama sarapanku tadi.” sahutnya cepat, ”Itu mbak soal undangan yang dititip sama mbak Alya kemarin.” kata Zia menyampaikan maksudnya.“Apa yang aneh? Alya kan memang tahunya dua Nara itu pasangan.” sahut Embun begitu menangkap hal yang dimaksud oleh rekannya itu.“Justru itu mbak!!” seru Zia tiba-tiba dengan nada meninggi hingga membuat Embun tanpa sadar memeluk dirinya sendiri.“Kamu bikin kaget orang saja!” omel Embun kaget.“Mbak bisa bayangin kalau seandainya mereka semua enggak sengaja ke kumpul jadi satu.” ujar Zia kini malah dengan suara berbisik seakan ada yang bisa mendengar pembicaran dirinya dan Embun.Embun me
“Sus dokter Nara mana ya?” tanya Arka begitu hanya menemukan perawat waktu membuka ruang praktek sahabatnya itu.Perawat yang bertugas di ruang praktek Ara memutar mata, ”Harusnya sih sebentar lagi datang dok.” jawabnya,”Enggak bilang akan telat sih dok.”jelasnya lagi.Arka mengeluarkan ponsel dari saku jas kerjanya lalu menghubungi sahabatnya itu, ”Kok enggak ada sinyal?” gumamnya sambil memandang layar ponselnya, ”Lagi ke mana itu anak? Di dalam gua?” tanyanya heran.#“Sekarang kita sudah di dalam mobil. Terus kamu mau terus ngelihatin aku kayak begitu?” tanya Ara sambil memiringkan kepalanya.Nara menghela napas lelah karena harus memakan waktu cukup lama untuk bisa menyeret pria satu ini, padahal dialah yang menjadi penyebab dari semua masalah ini.“Mas tahu enggak siapa teman mbak Davina yang menikah minggu ini?” tanya Nara akhirnya.Ara menggelengkan kepalanya, ”Kirain ada hal penting apa yang mau diomongin. Ya jelas en
"Itu anak sudah putus asa ya?" tanya Embun yang langkahnya terhenti saat hendak keluar untuk mengambil air minum.Zia memutar mata, "Iya nih. Jeng satu itu bahkan bilang kalau perlu akan daftar dulu untuk ketemu sama mas Ara." ujarnya, "Aku tuh selama bertahun-tahun kenal Nara, baru kali ini lihat dia mau repot karena urusan macam begini." komentarnya lagi."Enggak kamu doang kali. Aku juga baru kali ini, lihat itu anak jadi aneh begini." tambah Embun menanggapi.#“Tunggu yang jadi masalahkan kalau kita ketemu sama Davina dan Alya tapi kan minggu ini kamu kerja di tempat lain?” sahut Ara santai begitu selesai mendengar kekhawatiran yang disampaikan oleh adik sahabatnya itu. Nara memutar matanya, "Ya benar juga sih kata mas tapi kan bisa saja ada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi tiba-tiba." ujarnya berandai-andai."Kamu lagi belajar nulis cerita ya?" tanya Ara sambil memutar matanya, "Maksudmu bisa saja ada kejadian ya
“Mas dokter!” panggil pak Asep begitu melihat Ara.“Pak Asep? Apa kabar pak?” sahut Ara sambil tersenyum ramah, ”Sama siapa pak?” tanyanya.Pak Asep ikut tersenyum, ”Baik mas dokter.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang punggung Ara, ”Menemani Indah bawa si kembar periksa.” jelasnya.Begitu menoleh Ara melihat sepasang anak berusia empat tahun sedang berlari ke arah mereka.“Siang mas dokter, sudah lama sekali. Apa kabar?” sapa Indah.Ara tersenyum begitu melihat Indah, ”Wah mereka sudah besar ya.” ujarnya sambil berjongkok menyapa si kembar, ”Kalian Nara kan?” tanyanya sambil tertawa.#“Nara belum datang?” tanya Arka sambil menganggukkan kepala begitu melihat pak Asep dan Indah.Ara melirik jam di pergelangan tangannya, ”Harusnya sudah di sini.” jawabnya sambil mencari, ”Itu dia.” katanya sambil menunjuk ke arah lift.#“Jalanan macet banget tadi.” jelas Nara napas terengah-engah.“Y
“Ya ampun ini jeng satu.” ujar Zia begitu tiba di kantor,”Ponsel kok ditinggal di kantor.”katanya sambil mengangkat ponsel milik Nara yang ada di atas meja.“Mbak Nara sudah pulang?” tanya Galang, ”Apa kalau enggak kita titip ke mas Arka saja? Mungkin mas Arka belum pulang.” sarannya sambil menunjuk ke arah bangunan sebelah.“Tapi teleponnya mas Arka enggak diangkat nih.” kata Zia saat mencoba menelepon Arka dengan menggunakan ponsel milik sahabatnya itu.#“Arka belum selesai ya.” gumam Ara begitu keluar dari ruang operasi, ”Mau pulang? Apa makan dulu ya? Kenapa aku jadi bingung begini.” ujarnya pada dirinya sendiri, ”Itu anak lagi ngapain ya? Kok bisa sih sudah seminggu dia benar-benar enggak nyariin aku.” keluh Ara tanpa sadar sambil menatap ponselnya.#“Halo?” jawab Ara tanpa sadar malah tersenyum lebar begitu melihat siapa yang meneleponnya.“Halo mas!” balas Zia cepat.Begitu mendengar suara Zia yang menjawab,
“Kok kamu enggak tanya apa-apa?” tanya Ara begitu duduk berhadapan dengan Davina.“Memang ada apa lagi yang bisa aku tanya?” balas Davina sedikit ketus, ”Bisa-bisanya dirimu enggak cerita sama sekali.” omelnya lagi.“Maaf aku juga bingung harus bagaimana ceritanya.” jelas Ara memberi alasan.“Kamu sih benar-benar bikin aku malu di depan keluargamu. Mana baru pertama kali ketemu lagi.” keluh Davina sambil menahan senyum.Melihat kekasihnya itu tidak jadi marah Ara pun menghela napas lega.#“Kamu benaran mau pergi?” tanya Embun begitu melihat Nara menutup teleponnya.Nara menghela napas panjang, ”Memang aku punya pilihan untuk enggak pergi?” jawabnya.“Kayaknya tante Ratih tahu apa enggak, enggak banyak pengaruhnya.” komentar Zia menanggapi.#“Mama yang benar saja? Kalau mas tahu bagaimana?” oceh Nathan begitu tahu kalau ibu Ratih habis menelepon Nara.“Mama kan kangen sama Nara.” kata ibu Ratih m
“Mbak! Itu tante Ratih datang.” ujar Nadira sambil berlari ke arah dalam kedai.“Ini kedai punya anaknya, sudah jelas tante Ratih pasti datang.” jawab Nara berusaha terdengar setenang mungkin padahal jantungnya tidak berhenti berdegup, apa lagi saat mendengar kalau kedua orangtuanya begitu bersemangat untuk menerima undangan dari Nathan.“Mbak! Tante Linda sama om Yono balik ke sini lagi sama mas Arka kapan?” kata Galang yang muncul dengan wajah panik beberapa saat kemudian, ”Itu tante Ratih sudah di depan.” katanya lagi tiba-tiba dengan suara berbisik.“Kamu telat.” balas Nadira cepat.#“Kok kalian masih di sini?” tanya Ara begitu melihat Zia sambil menunjuk penghuni kantor Nara yang lainnya.“Kami di sini sih enggak masalah mas.” jawab Zia dengan wajah cemas, ”Yang repot itu nanti tante Linda sama om Yono balik lagi sama mas Arka.” jelasnya cepat.Mendengar itu dalam hitungan detik Ara segera menghilang dari hadapan Z
“Kamu serius?” tanya Nathan memastikan begitu mendapat kabar dari Zinnia, rekan usahanya yang juga merupakan adik teman baiknya sejak masa SMA.“Iya mas. Bagaimana nih? Acaranya kan tinggal tiga hari lagi.” Jawab Zin cemas.Nathan mengetuk bagian belakang ponselnya sambil berpikir, ”Nanti biar aku yang coba cari gantinya.” kata Nathan akhirnya.#Ara dan Nara cukup lama saling berpandangan, keduanya tidak bisa langsung menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Arka. Untung saja Dewi dengan cepat membaca kepanikkan dua Nara itu, ”Sayang, sudah malam nih. Besok kan kamu juga ada jadwal operasi pagi.” katanya sambil mengapit lengan Arka, “Ayo kita pulang.” ajak Dewi dengan setengah memaksa sambil memberi isyarat pada Nara dengan menggerakkan kepalanya.“Iya mas sudah malam. Kami juga pulang dulu ya.” ujar Nara cepat segera menarik lengan Ara yang masih berdiri mematung dengan wajah kaku.#“Mas! Mas
“Mas Arka! Kok baru pulang?” tanya Nara saat keluar dari mobil dan berpapasan dengan kakaknya itu.“Habis seminar.” jawab Arka singkat, ”Kalian kenapa bisa sama-sama?” tanyanya heran.Ara yang tidak turun dari mobil hanya menurutkan kaca mobilnya, ”Mana ada seminar sampai jam sebelas malam?” tanyanya curiga.Arka tidak langsung menjawab mata-matanya bergerak-gerak cemas.“Mas kenapa malah kayak orang bingung begitu?” tanya Nara ikut menimpali.“Macet! Macet!” jawab Arka akhirnya, ”Jadi kenapa kalian bisa sama-sama?” ulangnya sengaja mengalihkan.”Terpaksa ketemu mas.” jawab Nara singkat.“Mustinya diriku yang bilang begitu.” balas Ara tidak terima, ”Tahu begitu tadi harusnya aku biarin kamu pulang sendiri.” gerutunya sebal.“Memang siapa yang suka diantarin pulang sama mas!” omel Nara dengan suara meninggi.Arka yang awalnya sempat panik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ara kini menarik
“Mbak! Hasil video minggu kemarin enggak bisa dibuka!” seru Galang panik langsung menerobos masuk ke dalam ruang kerja ketiga mbak bosnya itu.Sontak ketiganya langsung menoleh menatap satu-satunya pria di kantor mereka itu.“Bagaimana bisa? Punya Alya dan Devan kan kemarin semua sudah di cek. Baik-baik saja kok.” ujar Embun yakin.Galang menunjuk ke arah luar ruangan, “Yang bermasalah itu punya Lusi dan Bima mbak.” terangnya dengan wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Mendengar itu mata Nara langsung membesar, ”Kok bisa? Kamu yakin kemarin enggak ada salah?” tanyanya memastikan.“Yakin mbak!” jawab Galang yakin.“Kamun coba cek lagi, kalau masih enggak bisa segera pergi ambil lagi video mentahannya ke tempat mas Baro.” ujar Zia cepat.“Nanti aku yang akan kasih tahu kantor mas Baro.” tambah Nara lagi.#“Ma aku sudah bilang kan dari kemarin. Itu bukan urusan kita.” jelas Ara untuk kesekian kalinya.
“Wah! Ini hadiah ulang tahun buat mama?” tanya ibu Linda dengan mata berbinar begitu melihat batu kecil yang menghiasi kalung pemberian ke dua anaknya.Arka tanpa sadar tersenyum senang begitu melihat reaksi ibu Linda, ”Nara yang pilih ma. Terus Nara yang satu lagi kasih ide untuk kasih mama perhiasan.” jelasnya, “Wah! Aku baru tahu kalau mama suka sama benda yang satu ini.” komentar Arka yang tidak menyangka kalau ibunya akan sesenang ini.Ibu Linda yang masih memasang senyum lebar sibuk mengenakan kalung barunya, “Cuma wanita aneh yang menolak benda cantik begini.” katanya ringan.Nara yang mendengar kata-kata ibunya mau tidak mau mengingat dua kejadian waktu di mana dirinya ribut menolak pemberian Ara juga ibu Ratih.“Kamu kok malah bengong?” tegur ibu Linda sambil menyenggol lengan putrinya itu.#“Ini bagaimana dong?” keluh Zia sambil menopak dagu dengan kedua tangannya.Nara yang juga belum lama tiba di kantor ikut
Karena Arka dan Rio harus pergi menjemput dokter Tio beserta istrinya jadilah Nara dan seisi kantornya malah ikut menemani Ara di UGD, bukan menemani lebih tepatnya mereka semua penasaran kenapa para dokter itu ramai-ramai menangis.“Mas sudah jangan diam begitu kenapa? Bikin takut orang tahu.” tegur Nara pada Ara yang hanya duduk diam di sebelahnya tanpa mengatakan apa pun.Ara yang tadi sempat terisak saat menghadapi kepergian Danu hanya menghela napas panjang.“Mas enggak mau makan?” tanya Galang yang baru datang sambil menyodorkan hamburger yang baru saja dibelinya bersama Nadira dari restoran cepat saji di depan mal.Namun bukannya menanggapi Ara malah hanya mengangkat kepala menatap ke arah Galang yang berdiri di hadapannya.“Ada apa mas?” tanya Galang yang kebingungan dengan maksud tatapan yang ditujukan kepadanya.Terlihat ada rasa penyelasan di mata Ara, ”Seharusnya jangan aku angkat waktu itu.” gumamnya pelan