Untuk kesekian kalinya dalam beberapa waktu belakangan ini Nara kembali muncul di kantor dengan wajah lelah.
“Itu muka kenapa lagi?” tanya Embun yang melihat rekan bisnisnya itu menopak wajah dengan kedua tangan sambil memejamkan mata. Dengan perlahan Nara membuka matanya kemudian ia menghela napas panjang, ”Tadi malam itu hampir saja kami ketahuan mas Arka.” katanya mulai bercerita. Kedua alis Embun terangkat karena bingung, ”Ketahuan? Kami?” ulangnya karena tidak menangkap kata-kata yang Nara ucapkan. “Ketahuan apa?” tanya Zia yang baru tiba dengan tangan menenteng sarapannya. Nara dengan spontan menutup hidungnya, ”Itu apaan? Kenapa bau pedasnya tercium sampai ke sini.” ujarmya heran. “Mi goreng.” sahut Zia cepat, ”Jadi apa yang ketahuan?” ulang penasaran. “Setengah piring mi setengah piring saBaru lepas dari kecurigaan Arka sekarang muncul masalah baru lagi. Kira-kira bagaimana ya Nara mengatasinya? Jangan lupa vote dan reviewnya ya 😁❤♥ Terima kasih
“Mbak kok rasanya ada yang kurang ya?” gumam Zia tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan menatap Embun.Embun mengangkat kedua alisnya, ”Apa yang kurang?” tanyanya heran, ”Sarapanmu tadi pagi?” tebaknya setengah bercanda.Zia menghela napas pelan, ”Bukan. Ini enggak ada hubungannya sama sarapanku tadi.” sahutnya cepat, ”Itu mbak soal undangan yang dititip sama mbak Alya kemarin.” kata Zia menyampaikan maksudnya.“Apa yang aneh? Alya kan memang tahunya dua Nara itu pasangan.” sahut Embun begitu menangkap hal yang dimaksud oleh rekannya itu.“Justru itu mbak!!” seru Zia tiba-tiba dengan nada meninggi hingga membuat Embun tanpa sadar memeluk dirinya sendiri.“Kamu bikin kaget orang saja!” omel Embun kaget.“Mbak bisa bayangin kalau seandainya mereka semua enggak sengaja ke kumpul jadi satu.” ujar Zia kini malah dengan suara berbisik seakan ada yang bisa mendengar pembicaran dirinya dan Embun.Embun me
“Sus dokter Nara mana ya?” tanya Arka begitu hanya menemukan perawat waktu membuka ruang praktek sahabatnya itu.Perawat yang bertugas di ruang praktek Ara memutar mata, ”Harusnya sih sebentar lagi datang dok.” jawabnya,”Enggak bilang akan telat sih dok.”jelasnya lagi.Arka mengeluarkan ponsel dari saku jas kerjanya lalu menghubungi sahabatnya itu, ”Kok enggak ada sinyal?” gumamnya sambil memandang layar ponselnya, ”Lagi ke mana itu anak? Di dalam gua?” tanyanya heran.#“Sekarang kita sudah di dalam mobil. Terus kamu mau terus ngelihatin aku kayak begitu?” tanya Ara sambil memiringkan kepalanya.Nara menghela napas lelah karena harus memakan waktu cukup lama untuk bisa menyeret pria satu ini, padahal dialah yang menjadi penyebab dari semua masalah ini.“Mas tahu enggak siapa teman mbak Davina yang menikah minggu ini?” tanya Nara akhirnya.Ara menggelengkan kepalanya, ”Kirain ada hal penting apa yang mau diomongin. Ya jelas en
"Itu anak sudah putus asa ya?" tanya Embun yang langkahnya terhenti saat hendak keluar untuk mengambil air minum.Zia memutar mata, "Iya nih. Jeng satu itu bahkan bilang kalau perlu akan daftar dulu untuk ketemu sama mas Ara." ujarnya, "Aku tuh selama bertahun-tahun kenal Nara, baru kali ini lihat dia mau repot karena urusan macam begini." komentarnya lagi."Enggak kamu doang kali. Aku juga baru kali ini, lihat itu anak jadi aneh begini." tambah Embun menanggapi.#“Tunggu yang jadi masalahkan kalau kita ketemu sama Davina dan Alya tapi kan minggu ini kamu kerja di tempat lain?” sahut Ara santai begitu selesai mendengar kekhawatiran yang disampaikan oleh adik sahabatnya itu. Nara memutar matanya, "Ya benar juga sih kata mas tapi kan bisa saja ada kemungkinan terburuk yang bisa terjadi tiba-tiba." ujarnya berandai-andai."Kamu lagi belajar nulis cerita ya?" tanya Ara sambil memutar matanya, "Maksudmu bisa saja ada kejadian ya
“Galang kena diare? Aduh?! Apa enggak dibawa ke dokter saja?” tanya Alya dengan wajah cemas begitu Zia memberitahukan mengenai keadaan pegawainya itu.“Sudah langsung ke rumah sakit tadi pagi mbak.” tambah Zia lagi, ”Jadi nanti Nara yang akan kemari.” jelasnya lagi.“Enggak apa-apa sih. Lagi pula kan acara pagi kita juga tidak terlalu banyak.” ujar Devan menanggapi dengan wajah tenang, “Yang penting sekarang keadaan Galang sudah mendapat perawatan dengan baik.” Katanya lega.Zia menarik napas lega mendengar kedua kliennya yang tidak panik, bahkan Alya dan Devan terdengar jauh lebih tenang daripada dirinya.#Nara tiba di lokasi resepsi Alya dan Devan sekitar pukul sebelas siang, ia masuk dengan tergesa-gesa setengah berlari menuju lift, ”Semoga saja semua bisa berjalan dengan baik.” harapnya cemas.Begitu pintu lift terbuka Nara melihat sahabatnya melintas, berlari dengan kecepataan penuh. Zia yang tidak sadar kalau Nara sudah da
Suasana dekorasi di ruang resepsi Alya dan Devan sangat meriah. Sekitar pukul tujuh malam perlahan para tamu undangan mulai berdatangan memenuhi ruangan.Nara yang kini sedang mengawasi keadaan di ruangan berharap-harap cemas agar Ara tidak tiba-tiba muncul di hadapannya.“Lagi cari apa sih dirimu?” tanya Zia yang tanpa sadar jadi ikut memandang ke arah pintu ruang resepsi tempat para tamu mulai bermunculan.“Bukan cari apa tapi siapa.” sahut Nara masih terus menatap ke arah yang sama.Zia memutar mata, “Memang siapa yang dirimu cari?” katanya lagi mengkoreksi pertanyaannya.“Siapa lagi?” sahut Nara malah balik bertanya.“Eh! Itu kan mbak Davina!” seru Zia tiba-tiba dan dengan spontan menunjuk dengan jari telunjuknya, “Aduh mbak satu itu keren banget ya. Selalu kekinian.”komentarnya.Dengan cepat Nara menurunkan tangan sahabatnya itu, ”Jangan ditunjuk!” ujarnya lalu bergegas pura-pura sibuk membuka lembaran kertas
Nara keluar dari kamarnya sambil menguap lebar dan berjalan menuruni tangga dengan mata yang nyaris tertutup.“Kamu itu sudah bangun apa belum sih? Ini sudah siang, bisa-bisa nanti ditinggal mas mu.” tegur ibu Linda yang melihat anak gadisnya yang sedang turun dengan langkah terseret.“Aku enggak bisa tidur ma.” jawab Nara pelan sambil mendorong pintu kamar mandi. Setelah pembicaraan aneh tadi malam dengan Arka, entah kenapa Nara jadi merasa kalau hari ini sesuatu sudah menunggu dirinya.#“Kamu itu sudah besar kenapa masih saja kalau minum berantakan?!” omel ibu Ratih sambil menyodorkan serbet pada putera bungsunya.“Mama ini bukan berantakan tapi keluar semua isi mulutku!” protes Nathan yang kesal karena ibunya tidak merasa kalau dirinya lah yang sudah menjadi penyebab semua kejadian konyol di meja makan pagi ini.“Yang penting nanti kamu jangan lupa ya suruh Nara kemari.” kata ibu Ratih lagi sambil menoleh menatap Ara, tan
“Halo mas!” sapa Danu begitu berpapasan dengan Arka di parkiran rumah sakit.“Eh kamu ke sini mau jemput dokter Tio?” tanya Arka begitu menyadari siapa yang menyapanya.Danu mengangguk santai, ”Wah pemasukan jadi dokter ternyata lumayan juga ya?” komentarnya sambil menunjuk mobil di hadapan mereka.“Ini mobil punya Nara.” ralat Arka cepat begitu menangkap maksud Danu, ”Aku baru kasih makan satu kali saja sudah kapok.” tambahnya sambil tertawa.“Mas Nara itu jadi dokter hanya untuk hobi ya?” canda Danu wajah yang sengaja dibuat-buat.“Yang pasti Nara jadi dokter karena lulus kuliah kedokteran.” jelas Arka membalas candaan Danu.Danu ikut tertawa geli, ”Iya juga sih mas. Masa lulus kuliah kedokteran jadi koki.” sahutnya.“Sudah ya! Aku mau pulangin ini mobil dulu.” pamit Arka sambil hendak membuka pintu mobil.#“Aku sudah selesai. Aku kembali ke kamar ya.” pamit Ara berusaha melarikan diri.“Kam
“Kalian itu kemarin seharian ke mana?” tegur Embun begitu sampai di kantor, ”Memang kantornya mas Baro sudah pindah ke Hong Kong?” omelnya lagi.Nara hanya bisa tersenyum dengan wajah lelahnya, karena sudah dua malam dirinya tidak bisa tidur. Ia menarik kursi kosong di sebelah Zia yang sedang sarapan dan langsung meletakan kepalanya di atas meja panjang di tengah kantor.“Maaf mbak, kemarin itu kami kena macet parah banget.” sahut Zia dengan wajah yang tidak jauh berbeda lelahnya, “Setelah itu kami harus menghadapi kisah menakutkan pakai banget mbak.” ujarnya lagi.“Jadi mbak kemarin pergi nonton film horor?” tebak Nadira dari meja kerjanya dengan wajah bingung.“Nadira sayang, sejak kapan kami pernah tiba-tiba pergi nonton film di tengah-tengah jam kerja? Apa lagi kemarin itu aku perginya sama Nara.” sahut Zia menjelaskan.Mendengar komentar sahabatnya spontan Nara langsung menoleh lalu mencibir tanpa suara.“Jadi ada keja
“Mas dokter!” panggil pak Asep begitu melihat Ara.“Pak Asep? Apa kabar pak?” sahut Ara sambil tersenyum ramah, ”Sama siapa pak?” tanyanya.Pak Asep ikut tersenyum, ”Baik mas dokter.” jawabnya sambil menunjuk ke arah belakang punggung Ara, ”Menemani Indah bawa si kembar periksa.” jelasnya.Begitu menoleh Ara melihat sepasang anak berusia empat tahun sedang berlari ke arah mereka.“Siang mas dokter, sudah lama sekali. Apa kabar?” sapa Indah.Ara tersenyum begitu melihat Indah, ”Wah mereka sudah besar ya.” ujarnya sambil berjongkok menyapa si kembar, ”Kalian Nara kan?” tanyanya sambil tertawa.#“Nara belum datang?” tanya Arka sambil menganggukkan kepala begitu melihat pak Asep dan Indah.Ara melirik jam di pergelangan tangannya, ”Harusnya sudah di sini.” jawabnya sambil mencari, ”Itu dia.” katanya sambil menunjuk ke arah lift.#“Jalanan macet banget tadi.” jelas Nara napas terengah-engah.“Y
“Ya ampun ini jeng satu.” ujar Zia begitu tiba di kantor,”Ponsel kok ditinggal di kantor.”katanya sambil mengangkat ponsel milik Nara yang ada di atas meja.“Mbak Nara sudah pulang?” tanya Galang, ”Apa kalau enggak kita titip ke mas Arka saja? Mungkin mas Arka belum pulang.” sarannya sambil menunjuk ke arah bangunan sebelah.“Tapi teleponnya mas Arka enggak diangkat nih.” kata Zia saat mencoba menelepon Arka dengan menggunakan ponsel milik sahabatnya itu.#“Arka belum selesai ya.” gumam Ara begitu keluar dari ruang operasi, ”Mau pulang? Apa makan dulu ya? Kenapa aku jadi bingung begini.” ujarnya pada dirinya sendiri, ”Itu anak lagi ngapain ya? Kok bisa sih sudah seminggu dia benar-benar enggak nyariin aku.” keluh Ara tanpa sadar sambil menatap ponselnya.#“Halo?” jawab Ara tanpa sadar malah tersenyum lebar begitu melihat siapa yang meneleponnya.“Halo mas!” balas Zia cepat.Begitu mendengar suara Zia yang menjawab,
“Kok kamu enggak tanya apa-apa?” tanya Ara begitu duduk berhadapan dengan Davina.“Memang ada apa lagi yang bisa aku tanya?” balas Davina sedikit ketus, ”Bisa-bisanya dirimu enggak cerita sama sekali.” omelnya lagi.“Maaf aku juga bingung harus bagaimana ceritanya.” jelas Ara memberi alasan.“Kamu sih benar-benar bikin aku malu di depan keluargamu. Mana baru pertama kali ketemu lagi.” keluh Davina sambil menahan senyum.Melihat kekasihnya itu tidak jadi marah Ara pun menghela napas lega.#“Kamu benaran mau pergi?” tanya Embun begitu melihat Nara menutup teleponnya.Nara menghela napas panjang, ”Memang aku punya pilihan untuk enggak pergi?” jawabnya.“Kayaknya tante Ratih tahu apa enggak, enggak banyak pengaruhnya.” komentar Zia menanggapi.#“Mama yang benar saja? Kalau mas tahu bagaimana?” oceh Nathan begitu tahu kalau ibu Ratih habis menelepon Nara.“Mama kan kangen sama Nara.” kata ibu Ratih m
“Mbak! Itu tante Ratih datang.” ujar Nadira sambil berlari ke arah dalam kedai.“Ini kedai punya anaknya, sudah jelas tante Ratih pasti datang.” jawab Nara berusaha terdengar setenang mungkin padahal jantungnya tidak berhenti berdegup, apa lagi saat mendengar kalau kedua orangtuanya begitu bersemangat untuk menerima undangan dari Nathan.“Mbak! Tante Linda sama om Yono balik ke sini lagi sama mas Arka kapan?” kata Galang yang muncul dengan wajah panik beberapa saat kemudian, ”Itu tante Ratih sudah di depan.” katanya lagi tiba-tiba dengan suara berbisik.“Kamu telat.” balas Nadira cepat.#“Kok kalian masih di sini?” tanya Ara begitu melihat Zia sambil menunjuk penghuni kantor Nara yang lainnya.“Kami di sini sih enggak masalah mas.” jawab Zia dengan wajah cemas, ”Yang repot itu nanti tante Linda sama om Yono balik lagi sama mas Arka.” jelasnya cepat.Mendengar itu dalam hitungan detik Ara segera menghilang dari hadapan Z
“Kamu serius?” tanya Nathan memastikan begitu mendapat kabar dari Zinnia, rekan usahanya yang juga merupakan adik teman baiknya sejak masa SMA.“Iya mas. Bagaimana nih? Acaranya kan tinggal tiga hari lagi.” Jawab Zin cemas.Nathan mengetuk bagian belakang ponselnya sambil berpikir, ”Nanti biar aku yang coba cari gantinya.” kata Nathan akhirnya.#Ara dan Nara cukup lama saling berpandangan, keduanya tidak bisa langsung menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Arka. Untung saja Dewi dengan cepat membaca kepanikkan dua Nara itu, ”Sayang, sudah malam nih. Besok kan kamu juga ada jadwal operasi pagi.” katanya sambil mengapit lengan Arka, “Ayo kita pulang.” ajak Dewi dengan setengah memaksa sambil memberi isyarat pada Nara dengan menggerakkan kepalanya.“Iya mas sudah malam. Kami juga pulang dulu ya.” ujar Nara cepat segera menarik lengan Ara yang masih berdiri mematung dengan wajah kaku.#“Mas! Mas
“Mas Arka! Kok baru pulang?” tanya Nara saat keluar dari mobil dan berpapasan dengan kakaknya itu.“Habis seminar.” jawab Arka singkat, ”Kalian kenapa bisa sama-sama?” tanyanya heran.Ara yang tidak turun dari mobil hanya menurutkan kaca mobilnya, ”Mana ada seminar sampai jam sebelas malam?” tanyanya curiga.Arka tidak langsung menjawab mata-matanya bergerak-gerak cemas.“Mas kenapa malah kayak orang bingung begitu?” tanya Nara ikut menimpali.“Macet! Macet!” jawab Arka akhirnya, ”Jadi kenapa kalian bisa sama-sama?” ulangnya sengaja mengalihkan.”Terpaksa ketemu mas.” jawab Nara singkat.“Mustinya diriku yang bilang begitu.” balas Ara tidak terima, ”Tahu begitu tadi harusnya aku biarin kamu pulang sendiri.” gerutunya sebal.“Memang siapa yang suka diantarin pulang sama mas!” omel Nara dengan suara meninggi.Arka yang awalnya sempat panik dengan pertanyaan yang diajukan oleh Ara kini menarik
“Mbak! Hasil video minggu kemarin enggak bisa dibuka!” seru Galang panik langsung menerobos masuk ke dalam ruang kerja ketiga mbak bosnya itu.Sontak ketiganya langsung menoleh menatap satu-satunya pria di kantor mereka itu.“Bagaimana bisa? Punya Alya dan Devan kan kemarin semua sudah di cek. Baik-baik saja kok.” ujar Embun yakin.Galang menunjuk ke arah luar ruangan, “Yang bermasalah itu punya Lusi dan Bima mbak.” terangnya dengan wajah yang dipenuhi dengan kecemasan.Mendengar itu mata Nara langsung membesar, ”Kok bisa? Kamu yakin kemarin enggak ada salah?” tanyanya memastikan.“Yakin mbak!” jawab Galang yakin.“Kamun coba cek lagi, kalau masih enggak bisa segera pergi ambil lagi video mentahannya ke tempat mas Baro.” ujar Zia cepat.“Nanti aku yang akan kasih tahu kantor mas Baro.” tambah Nara lagi.#“Ma aku sudah bilang kan dari kemarin. Itu bukan urusan kita.” jelas Ara untuk kesekian kalinya.
“Wah! Ini hadiah ulang tahun buat mama?” tanya ibu Linda dengan mata berbinar begitu melihat batu kecil yang menghiasi kalung pemberian ke dua anaknya.Arka tanpa sadar tersenyum senang begitu melihat reaksi ibu Linda, ”Nara yang pilih ma. Terus Nara yang satu lagi kasih ide untuk kasih mama perhiasan.” jelasnya, “Wah! Aku baru tahu kalau mama suka sama benda yang satu ini.” komentar Arka yang tidak menyangka kalau ibunya akan sesenang ini.Ibu Linda yang masih memasang senyum lebar sibuk mengenakan kalung barunya, “Cuma wanita aneh yang menolak benda cantik begini.” katanya ringan.Nara yang mendengar kata-kata ibunya mau tidak mau mengingat dua kejadian waktu di mana dirinya ribut menolak pemberian Ara juga ibu Ratih.“Kamu kok malah bengong?” tegur ibu Linda sambil menyenggol lengan putrinya itu.#“Ini bagaimana dong?” keluh Zia sambil menopak dagu dengan kedua tangannya.Nara yang juga belum lama tiba di kantor ikut
Karena Arka dan Rio harus pergi menjemput dokter Tio beserta istrinya jadilah Nara dan seisi kantornya malah ikut menemani Ara di UGD, bukan menemani lebih tepatnya mereka semua penasaran kenapa para dokter itu ramai-ramai menangis.“Mas sudah jangan diam begitu kenapa? Bikin takut orang tahu.” tegur Nara pada Ara yang hanya duduk diam di sebelahnya tanpa mengatakan apa pun.Ara yang tadi sempat terisak saat menghadapi kepergian Danu hanya menghela napas panjang.“Mas enggak mau makan?” tanya Galang yang baru datang sambil menyodorkan hamburger yang baru saja dibelinya bersama Nadira dari restoran cepat saji di depan mal.Namun bukannya menanggapi Ara malah hanya mengangkat kepala menatap ke arah Galang yang berdiri di hadapannya.“Ada apa mas?” tanya Galang yang kebingungan dengan maksud tatapan yang ditujukan kepadanya.Terlihat ada rasa penyelasan di mata Ara, ”Seharusnya jangan aku angkat waktu itu.” gumamnya pelan