Rani dan anaknya Naufal berdiri di teras untuk mengantarkan mertuanya pulang. Walau kesal dengan mertuanya tak sepantasnya diam-diaman, kan. "Mas jalan dulu, ya! Naufal, jaga Mama di rumah ya, Nak?""Beres, Yah!" balas anak kecil berusia 8 tahun itu.Irwan mengusap kepala anaknya."Ayo salim, Nak, sama Nenek!" ujar Rani kepada anaknya. Rani tak ingin anaknya tau perselisihannya dengan neneknya. Rani selalu mengajarkan kepada Naufal, walau neneknya tak pernah mengajaknya bermain atau tak pernah memberikan dia sesuatu jangan pernah sekalipun ada perasaan iri hati.Pernah waktu itu sepupu Naufal yang lain mendapatkan hadiah baju dari Bu Husna, namanya anak kecil pasti ada sedikit rasa iri dan ingin diperlakukan seperti itu juga."Nek, Naufal mau baju juga dong, kaya kakak!" pinta bocah itu dengan polos."Nenek cuma ada 1, Naufal! Naufal, kan nggak ulang tahun jadi kakak dulu, ya yang dapat!"Anak kecil itu terlihat sendu mendapati jawaban seperti itu dari neneknya."Naufal, hari ini 'kan
"Jangan-jangan apa?" Yang lain penasaran dengan ucapan Bu Susi. "Jangan-jangan dia itu kerja yang begitu-begitu." Bu Susi mengangkat jarinya membentuk tanda kutip. "Yang begitu-begitu, gimana maksudnya?!" Bu Rosma tak paham. Memang di dalam gengnya Bu Tut, Bu Rosma orang yang lambat dalam menangkap arah percakapan. "Nggak! Yanti nggak begitu." Tiba-tiba Bu Irma bersuara. Yang lain memandang ke arahnya dengan pandangan meminta penjelasan. "Memang kamu tau dia kerja apa?" tanya Bu Susi. "Saya sih, nggak tau dia kerja apa. Cuma katanya dia kerja di sebuah perusahaan.""Alah... Kerja di perusahaan apa? Wong tiap hari orangnya diam di rumah." Bu Tut langsung menyambar dengan mulut yang masih penuh. "Dia itu katanya anak buah kesayangan bos, makanya dia kerja nggak perlu masuk kantor. Kecuali sesekali. Mungkin tadi dia pergi juga palingan menemui bosnya," Bu Irma kembali berujar. "Hebat banget dia bisa jadi kesayangan bos, ya?" puji Bu Susi. "Iya, makanya saya pengen minta tolong s
Yanti celingak-celinguk melihat keadaan. Saat melihat kios Irwan terlihat sepi, ia mulai melancarkan aksinya apalagi mengetahui Rani akan datang. "Benar-benar kesempatan bagus!" batinnya. Yanti perlahan masuk berpura-pura melihat-lihat rak kebutuhan. Saat menemukan waktu yang pas ia segera melakukan aksinya untuk merayu Irwan. "Mas, tolong ambilkan yang itu, dong!" Ia menunjuk sebuah kotak puding instan di rak paling atas.Irwan mencari kursi untuk mengambilkan barang yang dipinta Yanti. "Mba Yanti bisa geseran sedikit?" tanyanya tanpa menatap Yanti. Yanti menggeser tubuhnya sedikit. Saat Irwan naik ke atas kursi, ia sengaja menggoyang kursi itu sehingga Irwan oleng dan terjatuh menimpa tubuh Yanti. Brugghh..... Suara gedubuk itu sangat kencang, Yanti sampai meringis dibuatnya. Namun, posisinya dengan Irwan sekarang membuatnya senang ditambah lagi saat Rani melihat posisi ini sudah bisa dipastikan ia akan salah paham dan pasangan suami istri itu akan bertengkar. Yanti melihat d
Mohon maaf kemarin ke double up bab 15. *******"Bohong! Wanita itu berkata bohong, Pak!" Terdengar suara seorang wanita berteriak. Yanti gemetaran ketika wanita itu bersuara. "Mbak Rani, apa yang dikatakan Mas Irwan bisa saja benar," ucap wanita itu. "Saya tidak mengerti dengan maksud Ibu!""Begini, Mbak Rani. Apa yang sudah dikatakan wanita ini sebenarnya hanya bohong. Saya tidak tau apa yang sebenarnya dia inginkan tapi, sejak kedatangannya ke kios Mas Irwan wanita ini." Tunjuknya kepada Yanti. "Saya melihat ia tengah celingak-celinguk melihat keadaan. Awalnya, saya pikir dia mau mencuri. Namun, kemudian ada suara gedebruk benda jatuh yang sedikit kencang sebelum Mbak Rani sampai. Setelah itu saya tak tahu lagi karena sedang ada pelanggan. Sampai saat Mbak Rani berteriak." Wanita yang berumur hampir setengah baya itu menyampaikan kesaksiannya. Bagai menemukan air di gurun pasir yang tandus. Wajah Irwan terlihat sumringah setelah mendengarkan kesaksian wanita itu. Yanti yang tak
"Masa sih, Bu? Padahal dia itu nggak pernah nyapa kami, loh! Menyapa pun kalau disapa duluan aja baru dia nyahut!" terang Irwan. "Mas Irwan sering tegur sapa sama Mbak itu?""Bukan saya, Bu. Tapi Rani. Kan rumahnya tepat di sebelah rumah kami.""Yank, ada apa?" Irwan menyentuh lengan Rani sebab dari tadi dia hanya terdiam. "Nggak, Mas! Aku hanya kepikiran ucapan Ibu tadi!" lirihnya. "Sudahlah! Nggak usah dipikirin. Itu 'kan hanya perasaan beliau aja! Memang apa sih, yang membuat orang tertarik sama Mas? Nggak ada kelebihannya Mas ini. Kalau yang mau julid mah, banyak!" candanya. "Mas, setelah dipikirkan sepertinya ada benarnya juga ucapan Ibu tadi! Dasar kamunya aja yang memang nggak peka!" batinnya. "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu!" ucap si Ibu. "Saya juga, Mas Irwan, Mbak Rani," pamit Pak RT. "Iya," sahut mereka bersamaan. Selepas kedua orang tadi pergi. Irwan memegang tangan Rani, ingin mengajaknya duduk di dalam. Namun, Irwan terkejut saat Rani menjauhkan tangann
"Anu apa, Bu?" tanya Rani. "Gini, Mbak Rani. Hehehe, a-anu," ujarnya cengengesan. "Emm," Rani berusaha sabar menunggu Bu Irma berbicara. "Iya, Bu! Ibu mau bicara apa?""Gini Mbak Rani, biar silaturahmi tidak terputus, minjam dulu tiga ratus."Rani sebenarnya sudah menduga ketika melihat gelagat Bu Irma. "Bukannya saya tidak sopan, ya, Bu! Tapi ini saya mau pergi nganter anak sekolah dulu. Takut telat! Assalamu'alaikum." Rani berlalu meninggalkan Bu Irma yang masih berdiri di depan halaman rumahnya. "Heh, dasar pelit nggak punya sopan santun lagi! Masa orang tua lagi bicara malah ditinggal," cibirnya. "Dah 'lah, kalau gitu coba minjam ke bestie-bestie aku deh, kali aja mereka mau minjemin." Bu Irma segera beranjak dari rumah Rani. Tok.. Tokk.. Tokk... "Bu Susi, Bu Susi," panggil Bu Irma. "Ya, tunggu sebentar," sahut Bu Susi dari dalam. "Eh, Bu Irma! Tumben pagi-pagi ke sini? Ada apa?" "Gini, Bu Susi! Saya ke sini sebenarnya ingin meminta tolong.""Minta tolong apa, Bu Ir?""
"Loh, kok, Bu Irma gitu ngomongnya?"Seandainya saja Bu Irma berbicara baik-baik dan benar-benar mengingat janjinya ditambah lagi tidak mengatain Rani, mungkin Rani akan biasa saja. "Yang berjanji 'kan Ibu, yang menyuruh mengingatkan juga Ibu. Kok, jadi Ibu yang marahin saya?" Tentu saja Rani yang sekarang tidak terima diperlakukan begitu. "Lagian kamu juga, cuma uang segitu ditagih!" ketusnya."Cuma, Ibu bilang?" Rani terperangah dengan ucapan Bu Irma. "Iya, kan? Uang yang sedikit itu masa kamu tagih juga?""Bukan masalah sedikit, banyaknya, Bu! Tapi di sini tanggung jawab Ibu yang nggak ada!" Raut wajah Rani menampakkan kekesalan. "Saya juga nggak akan bertanya kalau seandainya Ibu tidak meminta untuk mengingatkan dan berjanji hanya 1 minggu. Tapi ini sudah lewat 1 minggu, Ibu jangan seolah-olah amnesia," ucap Rani kesal. Entah karena takut atau sudah ingat dengan janjinya, nada suara Bu Irma pun sedikit melunak, "Iya, nanti saya bayar! Sekarang lagi nggak ada duit." Walau nada
Bu Irma tak berkutik saat banyak yang membela Rani. Ia menjadi malu. "Padahal saya berusaha menutupi kejadian kemarin saat Ibu marahin saya, loh, Bu! Eh, malah Bu Irma sendiri yang membongkar.""Kan, malah jadi mempermalukan diri sendiri jatuhnya, untung saja nggak jadi saya pinjemin tiga ratus ribu," ucap Rani. "Jadi orang yang ngutang jangan galak-galak, Bu, sama yang ngutangin! Nanti kalau kita perlu, ngga dikasih bantuan lagi baru tahu rasa," ketus yang lain. "Bu Irma orangnya emang gitu, Mbak Rani! Waktu dulu pernah minjem ke teman saya, pas ditagih malah marah-marah. Teman saya waktu itu bercerita ia juga lagi perlu duit makanya nagih, itu pun nagihnya baik-baik nggak kasar juga. Eh, malah temen saya itu yang dikasarin Bu Irma. Sampai sekarang juga nggak dibayar Bu Irma." Yang lain mengutarakan kesaksiannya akan perilaku Bu Irma yang suka ngutang. "Betul tu, Mbak Rani! Makanya nggak ada yang mau ngasih pinjaman," sahut yang lain. "Itu juga sebabnya kenapa para bestienya ngg
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi