Rani terkejut ketika membaca sebuah pesan yang terpampang dari layar handphonenya. "Ya Allah! Ini bukan mimpi, kan?" Raut wajahnya terlihat tidak percaya. "Alhamdulillah!" serunya kegirangan, "Baru beberapa hari yang lalu uang dari hasil menulis masuk, sekarang ada lagi masuk hasil komisi dari penjualan sepeda motor orang. Lumayanlah masuk 1 juta.""Alhamdulillah, Ya Allah, rezekimu tak putus-putus," ucapnya penuh rasa syukur. "Oh, iya," Rani menepuk jidatnya. "Sampai lupa mau jemput Naufal saking girangnya. Hihihi."Rani pun segera mengambil kunci motornya. ****"Mas, malam ini kita jalan-jalan, ya?""Memang kamu mau jalan-jalan ke mana?" Mereka tengah bersantai di teras depan. "Ke mana aja 'lah, Mas! Sudah lama juga ini nggak pernah jalan-jalan," pinta Rani. "Mas, sih iya aja. Nanti habis magrib kita jalan, ya? Kamu sama Naufal siap-siap dulu, gih!""Iya, Mas!" Rani bergegas masuk ke dalam. Suaminya memang yang terbaik. Tak pernah menolak ajakannya. "Naufal....! Mandi dulu, N
"Mas, aku mau kasih ini dulu ketetangga sebelah rumah kita, ya? Bu Wati! "Iya!" Irwan segera berganti pakaian. Sementara Rani kembali keluar menuju rumah Bu Wati. Tok... Tokk... Tokk"Assalamu'alaikum, Bu Wati!" Kreet... Terlihat pintu yang hampir lapuk itu mulai terbuka. "Wa'alaikumussalam. Eh, Mbak Rani! Ada apa, Mbak?" balasnya ramah. "Ini, Bu, ada sedikit makanan untuk Ibu!" Rani menyerahkan kantung plastik berisi makanan yang sengaja ia pesan ketika mereka singgah di warung makan tadi. Sebenarnya itu bukan warung makan sih, lebih tepatnya seperti cafe yang memang menyediakan berbagai menu moderen dan tradisional. "Saya harap Bu Wati suka!" tambahnya. Bu Wati menerima kantung plastik itu dengan wajah sumringah. "Alhamdulillah, terimakasih banyak, Mbak Rani! Pasti rasanya sangat enak, dilihat saja makanan ini terlihat mahal. Anak-anak pasti suka." Rani tersenyum senang. Perasaannya seperti berbunga-bunga ketika bisa berbagi dengan orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu
𝙋𝙚𝙧𝙝𝙖𝙩𝙞𝙖𝙣! 18+𝙈𝙤𝙝𝙤𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙞𝙟𝙖𝙠𝙨𝙖𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙖𝙘𝙖! "Yang membuat Rani suka sama Mas itu apalagi kalau bukan sikap dan sifat, Mas!" ucapnya. "Memangnya, sikap Mas seperti apa?""Sebenarnya, Rani mengatakan ini tapi karena Mas seperti tidak percaya diri. Sini! Rani kasih tau." Rani merapatkan tubuhnya dengan Irwan. Dia juga mengapit lengan suaminya itu, seperti orang yang tak ingin jauh-jauh. Saat akan membuka suara, tiba-tiba terdengar bunyi guntur disertai yang bergemuruh. Duaarr... Beruntung anak mereka yang berada di kamar sebelah tak takut dengan petir, malah kalau harinya seperti ini, ia akan semakin nyenyak tidurnya. "Mas memiliki sikap yang penyayang keluarga. Mas juga orang yang bertanggung jawab. Di zaman yang semakin tua ini, banyak para suami melalaikan kewajibannya. Tak jarang, kalau mereka melihat si istri punya penghasilan mereka malah tak lagi memberi nafkah. Meminta si istri memenuhi kebutuhan rumah bahkan dengan teganya mer
"Tak salah aku mengincarmu, Rani! Melihat begitu mesranya perlakuanmu kepada suamimu, membuatku menjadi semakin berhasrat untuk memilikimu," gumamnya. Ternyata seseorang yang mengintai Rani dari balik pohon itu adalah seorang lelaki. Ia keluar dari tempat persembunyiannya tapi masih terus memandang ke arah tempat tinggal Rani. Setelah cukup puas memandang, ia kemudian memasang kacamata hitamnya dan pergi meninggalkan tempat itu. ****Rani bergegas berkemas. Ia menyelesaikan pekerjaan rumahnya begitu cepat supaya sebelum pergi mengantarkan pesanan ia sempat menulis kelanjutan novelnya. Tiga puluh menit kemudian.... "Alhamdulillah, selesai juga." Rani melihat jam di dinding. "Oh, masih ada waktu sebelum pengantaran. Mau nulis kelanjutan novel dulu, deh! Soalnya kalau ada Mas Irwan nggak bisa nulis. Mumpung juga sekarang ada ide, otak lagi lancar." Rani pun mengambil ponselnya dan mulai menulis.Saat lagi asyik-asyiknya menulis tiba-tiba sebuah pesan masuk. Tingg... [ Mbak, jam b
"Hape... Terooosss....! Baguuss, ya! Jadi istri, di rumah bukannya kerjain kerjaan rumah, malah main hape. Enak banget, ya, jadi kamu?Kerjaannya di rumah main hape aja!""Assalamu'alaikum," Rani seolah sengaja menyindir mertuanya itu. Tatapannya seperti ingin mengatakan 'Kalau masuk itu, ucapkan salam dulu!'"Wa'alaikumussalam." Bu Husna sedikit merasa malu. Tapi malunya itu tak lama. "Kamu itu, suami lagi kerja. Kamu malah enak-enakan main hape di rumah. Ngabisin uang aja!"Rani yang sudah jengkel dengan ucapan Bu Husna, saat terakhir kali mertuanya itu berkunjung langsung membalas perkataannya. Beruntung anaknya Naufal sedang tidur jadi tak mendengar tentang perdebatan nenek dan ibunya. "Oh..! Iya, Bu! Rani memang kerjaannya santai saja di rumah," sarkasnya. "Ayo! Coba sini dulu, Ibu ikut Rani!" Rani menggandeng tangan mertuanya. Pertama, Rani membawa mertuanya menuju dapur. Bu Husna bingung dengan tujuan Rani. "Kenapa, kamu membawa saya kemari?" tanya Bu Husna heran. "Ibu liat
Bu Husna berpikir untuk menyuruh Irwan dan Rani tinggal di rumahnya saja, daripada mereka mengontrak, pikirnya. "Baiklah! Nanti aku bujuk saja Irwan untuk tinggal di rumah," batinnya. "Irwan 'kan tak bisa menolak permintaanku." Rani membereskan meja makan, kemudian dia ingin mencuci piring bekas mereka makan tadi. Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Rani yang baru saja menggapai cucian dan belum memakai jilbab menjadi kerepotan. "Biar Mas saja yang ambil jemuran di depan!" Irwan menawarkan dirinya untuk membantu Rani. "Makasih ya, Sayang!" ucap Rani. Entah kenapa Irwan merasa sangat senang ketika istrinya mengatakan sayang. Dia merasa seperti remaja yang baru puber. "Sama-sama, Istriku yang cantik," balasnya. Saat Irwan ke depan dan ingin mengambil jemuran di tali. Tiba-tiba Bu Husna berteriak sementara hujan di luar masih deras, " Eh, mau ngapain kamu, Irwan?"Irwan bingung. "Mau ambilin jemuran 'lah, Bu! Emang mau ngapain lagi!""Pamali, Irwan! Rani mana? Ngapain Rani? Bukann
"Ya, adalah! Kamu 'kan tau, kamar kamu yang dulu masih kosong!"Irwan menggelengkan kepalanya. "Bukan itu maksud Irwan, Bu!"Bu Husna menyerngitkan keningnya. "Bukan tempat di rumah itu yang Irwan maksud," ucapnya. "Jadi, apa maksud kamu?""Apa ada tempat di rumah itu untuk kami? Tempat untuk kami diperlakukan sama seperti yang lain." Irwan tak tahan lagi sudah. Andai saja ibunya tak memaksa, mungkin kata-kata itu tak akan keluar dari bibirnya. Karena bagaimana pun Bu Husna memperlakukannya tak adil, ia tetap menghormati ibunya itu. Bu Husna terdiam mendengar ucapan Irwan. "Haaa...." Irwan menghela nafas. "Yang jelas Irwan nggak bisa ikut Ibu di rumah itu. Irwan sudah enak di sini bersama keluarga kecil Irwan. Irwan pengen hidup mandiri. Jangan paksa Irwan!""Dan satu lagi, Bu! Tolong! Ibu coba berdamailah dengan Rani. Dia sudah berusaha menjadi menantu yang baik untuk Ibu! Hargailah usahanya." Setelah mengatakan itu, Irwan pergi berlalu.Rani sempat syok saat mendengar suaminya
"Mau bicara apa, Mas?" Rani bertanya sekali lagi saat mereka berada di dalam kamar. "Kamu ingat kemarin, yang Mas mengatakan ada seorang pria yang terlihat tertarik sama kamu?""Yang kata Mas waktu di pasar itu?""Iya!""Ada apa memangnya, Mas?""Siang tadi, Mas ada lihat dia ada lagi, Yank!""Terus?""Dia melihat terus ke arah kios kita! Seperti lagi nyariin kamu!""Mungkin cuma kebetulan aja kali! Mas, aja yang terlalu parnoan!""Masa sih? Orang itu sampai celingak celinguk, loh!""Mungkin orang iseng aja, Mas, pengen lihat-lihat.""Sudah ah, Mas! Nggak usah dipikirin. Kalau pun orang itu beneran ngincar aku! Percayalah! Cintaku hanya untukmu!" Rani menggoda suaminya. "Jadi, Mas nggak perlu takut kalau aku tergoda. Mau setampan dan sekaya apapun dia, tetap suamiku ini yang paling tampan."Irwan sedikit tenang setelah mendengar gombalan istrinya. Entah kenapa akhir-akhir ini dia selalu terpikirkan hal yang tidak penting."Mas kelihatan banyak pikiran, makanya bawaannya negatif terus
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi