Mohon maaf kemarin ke double up bab 15. *******"Bohong! Wanita itu berkata bohong, Pak!" Terdengar suara seorang wanita berteriak. Yanti gemetaran ketika wanita itu bersuara. "Mbak Rani, apa yang dikatakan Mas Irwan bisa saja benar," ucap wanita itu. "Saya tidak mengerti dengan maksud Ibu!""Begini, Mbak Rani. Apa yang sudah dikatakan wanita ini sebenarnya hanya bohong. Saya tidak tau apa yang sebenarnya dia inginkan tapi, sejak kedatangannya ke kios Mas Irwan wanita ini." Tunjuknya kepada Yanti. "Saya melihat ia tengah celingak-celinguk melihat keadaan. Awalnya, saya pikir dia mau mencuri. Namun, kemudian ada suara gedebruk benda jatuh yang sedikit kencang sebelum Mbak Rani sampai. Setelah itu saya tak tahu lagi karena sedang ada pelanggan. Sampai saat Mbak Rani berteriak." Wanita yang berumur hampir setengah baya itu menyampaikan kesaksiannya. Bagai menemukan air di gurun pasir yang tandus. Wajah Irwan terlihat sumringah setelah mendengarkan kesaksian wanita itu. Yanti yang tak
"Masa sih, Bu? Padahal dia itu nggak pernah nyapa kami, loh! Menyapa pun kalau disapa duluan aja baru dia nyahut!" terang Irwan. "Mas Irwan sering tegur sapa sama Mbak itu?""Bukan saya, Bu. Tapi Rani. Kan rumahnya tepat di sebelah rumah kami.""Yank, ada apa?" Irwan menyentuh lengan Rani sebab dari tadi dia hanya terdiam. "Nggak, Mas! Aku hanya kepikiran ucapan Ibu tadi!" lirihnya. "Sudahlah! Nggak usah dipikirin. Itu 'kan hanya perasaan beliau aja! Memang apa sih, yang membuat orang tertarik sama Mas? Nggak ada kelebihannya Mas ini. Kalau yang mau julid mah, banyak!" candanya. "Mas, setelah dipikirkan sepertinya ada benarnya juga ucapan Ibu tadi! Dasar kamunya aja yang memang nggak peka!" batinnya. "Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu!" ucap si Ibu. "Saya juga, Mas Irwan, Mbak Rani," pamit Pak RT. "Iya," sahut mereka bersamaan. Selepas kedua orang tadi pergi. Irwan memegang tangan Rani, ingin mengajaknya duduk di dalam. Namun, Irwan terkejut saat Rani menjauhkan tangann
"Anu apa, Bu?" tanya Rani. "Gini, Mbak Rani. Hehehe, a-anu," ujarnya cengengesan. "Emm," Rani berusaha sabar menunggu Bu Irma berbicara. "Iya, Bu! Ibu mau bicara apa?""Gini Mbak Rani, biar silaturahmi tidak terputus, minjam dulu tiga ratus."Rani sebenarnya sudah menduga ketika melihat gelagat Bu Irma. "Bukannya saya tidak sopan, ya, Bu! Tapi ini saya mau pergi nganter anak sekolah dulu. Takut telat! Assalamu'alaikum." Rani berlalu meninggalkan Bu Irma yang masih berdiri di depan halaman rumahnya. "Heh, dasar pelit nggak punya sopan santun lagi! Masa orang tua lagi bicara malah ditinggal," cibirnya. "Dah 'lah, kalau gitu coba minjam ke bestie-bestie aku deh, kali aja mereka mau minjemin." Bu Irma segera beranjak dari rumah Rani. Tok.. Tokk.. Tokk... "Bu Susi, Bu Susi," panggil Bu Irma. "Ya, tunggu sebentar," sahut Bu Susi dari dalam. "Eh, Bu Irma! Tumben pagi-pagi ke sini? Ada apa?" "Gini, Bu Susi! Saya ke sini sebenarnya ingin meminta tolong.""Minta tolong apa, Bu Ir?""
"Loh, kok, Bu Irma gitu ngomongnya?"Seandainya saja Bu Irma berbicara baik-baik dan benar-benar mengingat janjinya ditambah lagi tidak mengatain Rani, mungkin Rani akan biasa saja. "Yang berjanji 'kan Ibu, yang menyuruh mengingatkan juga Ibu. Kok, jadi Ibu yang marahin saya?" Tentu saja Rani yang sekarang tidak terima diperlakukan begitu. "Lagian kamu juga, cuma uang segitu ditagih!" ketusnya."Cuma, Ibu bilang?" Rani terperangah dengan ucapan Bu Irma. "Iya, kan? Uang yang sedikit itu masa kamu tagih juga?""Bukan masalah sedikit, banyaknya, Bu! Tapi di sini tanggung jawab Ibu yang nggak ada!" Raut wajah Rani menampakkan kekesalan. "Saya juga nggak akan bertanya kalau seandainya Ibu tidak meminta untuk mengingatkan dan berjanji hanya 1 minggu. Tapi ini sudah lewat 1 minggu, Ibu jangan seolah-olah amnesia," ucap Rani kesal. Entah karena takut atau sudah ingat dengan janjinya, nada suara Bu Irma pun sedikit melunak, "Iya, nanti saya bayar! Sekarang lagi nggak ada duit." Walau nada
Bu Irma tak berkutik saat banyak yang membela Rani. Ia menjadi malu. "Padahal saya berusaha menutupi kejadian kemarin saat Ibu marahin saya, loh, Bu! Eh, malah Bu Irma sendiri yang membongkar.""Kan, malah jadi mempermalukan diri sendiri jatuhnya, untung saja nggak jadi saya pinjemin tiga ratus ribu," ucap Rani. "Jadi orang yang ngutang jangan galak-galak, Bu, sama yang ngutangin! Nanti kalau kita perlu, ngga dikasih bantuan lagi baru tahu rasa," ketus yang lain. "Bu Irma orangnya emang gitu, Mbak Rani! Waktu dulu pernah minjem ke teman saya, pas ditagih malah marah-marah. Teman saya waktu itu bercerita ia juga lagi perlu duit makanya nagih, itu pun nagihnya baik-baik nggak kasar juga. Eh, malah temen saya itu yang dikasarin Bu Irma. Sampai sekarang juga nggak dibayar Bu Irma." Yang lain mengutarakan kesaksiannya akan perilaku Bu Irma yang suka ngutang. "Betul tu, Mbak Rani! Makanya nggak ada yang mau ngasih pinjaman," sahut yang lain. "Itu juga sebabnya kenapa para bestienya ngg
Rani terkejut ketika membaca sebuah pesan yang terpampang dari layar handphonenya. "Ya Allah! Ini bukan mimpi, kan?" Raut wajahnya terlihat tidak percaya. "Alhamdulillah!" serunya kegirangan, "Baru beberapa hari yang lalu uang dari hasil menulis masuk, sekarang ada lagi masuk hasil komisi dari penjualan sepeda motor orang. Lumayanlah masuk 1 juta.""Alhamdulillah, Ya Allah, rezekimu tak putus-putus," ucapnya penuh rasa syukur. "Oh, iya," Rani menepuk jidatnya. "Sampai lupa mau jemput Naufal saking girangnya. Hihihi."Rani pun segera mengambil kunci motornya. ****"Mas, malam ini kita jalan-jalan, ya?""Memang kamu mau jalan-jalan ke mana?" Mereka tengah bersantai di teras depan. "Ke mana aja 'lah, Mas! Sudah lama juga ini nggak pernah jalan-jalan," pinta Rani. "Mas, sih iya aja. Nanti habis magrib kita jalan, ya? Kamu sama Naufal siap-siap dulu, gih!""Iya, Mas!" Rani bergegas masuk ke dalam. Suaminya memang yang terbaik. Tak pernah menolak ajakannya. "Naufal....! Mandi dulu, N
"Mas, aku mau kasih ini dulu ketetangga sebelah rumah kita, ya? Bu Wati! "Iya!" Irwan segera berganti pakaian. Sementara Rani kembali keluar menuju rumah Bu Wati. Tok... Tokk... Tokk"Assalamu'alaikum, Bu Wati!" Kreet... Terlihat pintu yang hampir lapuk itu mulai terbuka. "Wa'alaikumussalam. Eh, Mbak Rani! Ada apa, Mbak?" balasnya ramah. "Ini, Bu, ada sedikit makanan untuk Ibu!" Rani menyerahkan kantung plastik berisi makanan yang sengaja ia pesan ketika mereka singgah di warung makan tadi. Sebenarnya itu bukan warung makan sih, lebih tepatnya seperti cafe yang memang menyediakan berbagai menu moderen dan tradisional. "Saya harap Bu Wati suka!" tambahnya. Bu Wati menerima kantung plastik itu dengan wajah sumringah. "Alhamdulillah, terimakasih banyak, Mbak Rani! Pasti rasanya sangat enak, dilihat saja makanan ini terlihat mahal. Anak-anak pasti suka." Rani tersenyum senang. Perasaannya seperti berbunga-bunga ketika bisa berbagi dengan orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu
𝙋𝙚𝙧𝙝𝙖𝙩𝙞𝙖𝙣! 18+𝙈𝙤𝙝𝙤𝙣 𝙠𝙚𝙗𝙞𝙟𝙖𝙠𝙨𝙖𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙖𝙘𝙖! "Yang membuat Rani suka sama Mas itu apalagi kalau bukan sikap dan sifat, Mas!" ucapnya. "Memangnya, sikap Mas seperti apa?""Sebenarnya, Rani mengatakan ini tapi karena Mas seperti tidak percaya diri. Sini! Rani kasih tau." Rani merapatkan tubuhnya dengan Irwan. Dia juga mengapit lengan suaminya itu, seperti orang yang tak ingin jauh-jauh. Saat akan membuka suara, tiba-tiba terdengar bunyi guntur disertai yang bergemuruh. Duaarr... Beruntung anak mereka yang berada di kamar sebelah tak takut dengan petir, malah kalau harinya seperti ini, ia akan semakin nyenyak tidurnya. "Mas memiliki sikap yang penyayang keluarga. Mas juga orang yang bertanggung jawab. Di zaman yang semakin tua ini, banyak para suami melalaikan kewajibannya. Tak jarang, kalau mereka melihat si istri punya penghasilan mereka malah tak lagi memberi nafkah. Meminta si istri memenuhi kebutuhan rumah bahkan dengan teganya mer