"Tapi kalau melakukan rencana ini apakah saya harus berdekat-dekatan dengan dia juga? Saya tidak ingin mendekati dia dan tak ingin juga dia mendekati saya.""Nggak perlu sampai seperti itu, Mas! Usahakan saja jangan sampai dia memegang tubuh Mas! Aku juga nggak rela kalau itu terjadi," ucap Rani. "Setelah kita tau apa tujuannya, baru kita tangkap basah dia, supaya nggak ganggu rumah tangga kita lagi," tambahnya."Baiklah, hanya demi ini, Mas rela bersikap cuek sama kamu di depan dia.""Kalau dia melihat Mas Irwan dan Mbak Rani saling cuek, tetapi dia tak mendekati Mas Irwan secara intens berarti sudah bisa dipastikan bahwa tujuannya hanya supaya kalian bercerai saja, tanpa ada maksud yang lainnya," timpal Ibu itu. "Baiklah, Bu! Terimakasih sudah memberikan saran ini untuk kami.""Berarti kalian sudah paham, ya? Semoga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengetahui tujuan wanita itu. Saya sangat geram soalnya. Apalagi semenjak dia membuat keributan kemarin di sini.""Iya, Bu! Say
Tiga hari sudah pasangan suami istri itu mengurangi interaksi mereka bila di depan Yanti. Hari ini, dia berniat ingin mencoba mendekati Irwan. "Aku harus dandan yang cantik. Terus nyamperin Mas Irwan deh, di kiosnya. Sekalian melihat keadaan dan perkembangan hubungan mereka sudah sampai mana merenggangnya."Yanti pun bersiap dan berdandan secantik mungkin. Di depan kios Irwan, dia mencoba melihat ke dalam dengan mengendap-endap.Berlagak sebagai pembeli. Dia melihat-lihat barang yang terpampang di rak.Saat suasana semakin sepi, dia memberanikan diri untuk bertanya, "Mas, kok, cemberut. Lesu gitu mukanya, ada apa?"Irwan tak memandang ke arahnya. Berusaha tak mengabaikan pertanyaan Yanti. "Mas, lagi berantem sama Rani, ya?"Irwan tak langsung menjawab. Sekitar 3 menit dia terdiam, baru ia menjawab. "Kok, kamu tau? Kamu memata-matai rumah kami, ya?""Nggak, kok, Mas!" bantahnya dengan cepat. Ia terdiam sejenak. "Apa karena masalah kemarin?""Masalah apa?" tanya Irwan sinis. Ia bern
Seperti biasa, hari ini Irwan pulang pukul 3 sore. Dia sudah tak sabar lagi menunjukkan rekaman suara itu kepada istrinya dan membongkar semua rencana Yanti. Ia ingin sekali terlepas dari rencana yang membuatnya tidak bebas. "Assalamu'alaikum," Sudah menjadi kebiasaan di keluarga itu, keluar masuk mengucapkan salam. "Wa'alaikumussalam." Irwan menutup pintu rumah, baru 'lah setelahnya Rani mencium punggung tangan suaminya itu. "Minum dulu, Mas!" Rani sudah menyiapkan secangkir teh hangat kesukaannya. Memang sangat pengertian sekali istrinya itu, dia pun kemudian menyesap teh yang dibuatkan Rani tadi. "Alhamdulillah! Makasih ya, Sayang!" ucapnya tulus. Rani tersenyum dan mengangguk. "Yank..! Sini! Duduk di samping, Mas!" Irwan menepuk-nepuk tempat di sampingnya, meminta Rani untuk duduk mendekatinya. Rani pun menghampiri. Irwan juga mendekap Rani yang duduk di sampingnya kemudian mencium keningnya. Irwan menyodorkan hapenya. Rani paham apa maksud suaminya, lalu mereka mendengark
Sekitar lima belas menit kemudian, Andra sampai di rumah kakaknya itu. "Assalamu'alaikum," ujarnya mengucap salam. "Wa'alaikumussalam." Rani membuka pintu, nampaklah sosok adeknya yang tengah menenteng plastik berisi makanan. "Ini, Kak! Makanannya.""Terimakasih! Kamu mau masuk dulu?""Kakak sakit, ya? Wajah Kakak, kok, pucat banget!""Hanya sakit kepala, dari kemarin sakit kepala terus. Makanya minta tolong kamu beliin makanan ini!""Kakak sendirian? Mas Irwan ke mana?""Mas Irwan lagi kerja, kamu masuk dulu, gih!"Andra yang merasa khawatir dengan keadaan kakaknya, memutuskan untuk masuk sebentar. Kejadian itu, kebetulan sekali disaksikan oleh si Yanti. Pas sekali dia hanya mendengar kalimat Andra yang menanyakan keberadaan Irwan. "Wah, parah banget sudah si Rani ini! Dengan beraninya dia menyuruh laki-laki itu masuk, di saat Mas Irwan lagi nggak ada di rumah," lirihnya. "Pasti mereka mau berbuat hal yang tidak-tidak. Mereka memanfaatkan situasi yang sepi ini.""Ini warga pada
Tangan Rani gemetar memegang benda tipis itu. Matanya berkaca-kaca ketika melihat 2 garis merah yang muncul. "Alhamdulillah," Rasa bahagia di hatinya tak dapat digambarkan. Ia meletakan alat itu kembali ke dalam plastiknya dan meletakkannya di rak sabun, kemudian mengambil wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Saat Irwan pulang dari mesjid, Rani pun juga selesai melaksanakan sholatnya. "Mas, lihat ini!" Rani pergi ke kamar mandi berniat ingin mengambil testpack tadi dan menunjukkan hasilnya kepada Irwan. Irwan menunggu di dalam kamar. Rani kembali dengan sesuatu di tangannya. "Apa itu, Yank?" tanyanya. "Hasil tes tadi! Coba Mas lihat!"Irwan tersenyum lebar saat melihat hasil yang ditunjukkan istrinya tadi. "Alhamdulillah! Ini beneran 'kan hasilnya?""Insya Allah, Mas! Waktu hamil Naufal juga kayak gitu hasilnya.""Alhamdulillah, Yank! Akhirnya Naufal punya adek juga!" ucapnya senang. "Pantes berapa hari ini kamu sering sakit kepala! Rupanya ini penyebabnya. Nanti, sore kita per
Sekarang Rani tau siapa yang sudah mengirimkan pesan ini. "Dasar emang ulat bulu gatel. Tenang saja! Setelah ini aku akan pastikan kau tidak akan berani mendekati Mas Irwan, bahkan sekedar berkirim pesan," ucapnya dengan seringai yang sulit diartikan. Rani berniat ingin mengerjai Yanti dan ingin membuka semua kebusukannya, supaya dia berhenti mengganggu rumah tangganya. Yanti terlihat senang, ketika melihat pesannya sudah dibaca dan Irwan sedang mengetik balasan. "Aa...! Mas Irwan sudah baca dan mau balas juga. Pasti Mas Irwan tergoda karena melihat tubuhku," ucapnya. "Mungkin dia ingin meminta fotoku lagi."Ting... Pesan balasan dari Irwan yang sebenarnya diketik oleh Rani, masuk ke ponsel Yanti. [Wah, ternyata kamu, Yanti? Sexy juga, ya, tubuhmu!]"Nah...! Benarkan? Tadi saja, kamu sok cuek dan galak,Mas! Sudah dikasih liat tubuhku yang memakai lingerie saja, kamu langsung berubah pikiran. Apalagi, kalau kamu melihat aku tanpa sehelai benang pun yang melekat, pasti kamu sepert
Teriakan Rani membuat Irwan terkejut dan segera mendatangi Rani ke dalam kamar. "Kenapa, Yank?" Melihat Rani yang gemetar Irwan menjadi panik. "Yank?" panggilnya lagi. Tapi, Rani tak merespon apapun. Tangannya masih saja gemetaran. Mata Rani yang masih tertuju pada ponselnya membuat Irwan memegang tangan istrinya itu. "Kamu habis liat apa, sih?" Tangan Irwan terulur untuk mengambil ponsel Rani. Namun, dengan sigap Rani menghentikan tangannya. "Mas, jangan lihat!" "Kenapa? Ada apa? Apa kamu melihat sesuatu yang mengerikan sampai berteriak seperti tadi?""Iya, Mas! Sangat mengerikan, makanya Mas jangan lihat.""Apa sih yang kamu lihat? Film horor?""Ini lebih mengerikan dari film horor, Mas!""Kalau kamu nggak mau kasih lihat, coba ceritakan apa yang kamu lihat sampai gemetaran seperti ini?""Aku nggak bisa cerita sama Mas! Takutnya, Mas nanti terbayang-bayang.""Cerita saja! Mas khawatir sama keadaan kamu!""Ini tentang Yanti, Mas!""Memangnya apa yang dia lakukan? Dia mengancamm
"Ke rumahku, Mas!" bisiknya. "Aku akan bantu, Mas, membalas perbuatan Rani karena sudah menyelingkuhi, Mas!""Emmm, kita lihat saja nanti!""Aku tunggu, ya, Mas?""Iya, tunggu saja! Sekarang bisakah kamu pergi? Saya lagi banyak pelanggan.""Iya, Sayangku!"Irwan jijik mendengar kata-kata itu dari mulut seseorang yang bukan istrinya. "Rani! Sebentar lagi, suamimu ini akan jatuh ke pelukanku. Setelah ini, kamu akan merasakan sakit yang sangat luar biasa," batinnya. Yanti pun berjalan dengan meliuk-liukan pinggulnya. Irwan segera mengirimkan rekaman suara itu kepada istrinya. [Yank! Dugaan kamu benar! Ulat bulu itu datang ke sini lagi, ia ngajakin ke rumahnya.]Rani membuka pesan yang baru saja dikirimkan suaminya. Ia benar-benar sudah menyangka akan hal itu. [Bagus, Mas! Nanti kalau ia melihat Mas pulang, pasti akan mengirimi pesan lagi. Saat itu kita akan jalankan rencana.][Ok! ]****Hari sudah menjelang sore, Irwan memutuskan untuk pulang. Tepat saat akan memasuki rumah, tiba-t
"Kenapa wajah kamu bisa hancur gitu?" Pertanyaan Bu Tut begitu mengintimidasi. Ratih menjadi gugup. "A-anu, Bu... Anu..." Ratih bingung memberikan jawaban. "Anu apa? Kenapa wajah kamu bisa seperti ini?" Melihat luka di wajah Ratih yang sama persis seperti foto pelakor yang ditunjukkan oleh Bu Susi, Bu Tut menjadi yakin kalau wanita itu memang benar anaknya. "A-anu, Bu! Tadi Ratih jatuh waktu di tempat kerja.""Jatuh di mana?""Jatuh dari tangga, Bu!" Ratih tersenyum kikuk. "Kamu naik tangga? Bukannya kamu kerja di perusahaan? Kok, naik tangga? Sekelas mall kecil aja pakai lift, kok, perusahaan tempat kamu bekerja malah nggak ada lift?""Liftnya lagi rusak, Bu! Jadi Ratih pakai tangga."Bu Tut mendekati Ratih dengan pandangan tajam. "Nggak usah bohong kamu! Kamu habis jalan sama om-om 'kan?" Bu Tut langsung berkata ke intinya. "Nggak, kok! Bu! Ratih kerja." Tubuh Ratih sudah mengucur keringat dingin. "Kerja, kerja! Nggak usah bohong kamu! Ibu sudah tau semuanya. Ibu sudah lihat
Bu Susi memperlihatkan video seorang wanita yang digrebek di kamar hotel dan di serang oleh istri sahnya."Sini coba saya lihat!" Bu Tut mengambil ponsel Bu Susi untuk melihat video itu dengan lebih jelas.Awalnya dia biasa saja bahkan ikut geram dan mengumpat sebelum tau bahwa wanita yang jadi pelakor di video itu adalah anaknya."Bagus! Hajar aja! Geram banget sama pelakor dan lakinya ini! Terus, Bu! Jangan kasih ampun!" ujar Bu Tut bersemangat.Bu Susi heran kenapa Bu Tut malah ikutan geram dengan video itu? Bukannya terkejut atau berteriak histeris.Bukan karena hasil videonya yang jelek, tapi Bu Tut tidak mengenali pelakor itu karena wajahnya sudah terdapat luka-luka."Terus! Hajar! Kalau perlu potong aja b*tang suaminya dan kasihin ke binat*ng! Masukin cabe juga ke dalam lub*ng buaya si pelakornya! Dasar bin*t*ng kedua orang itu!" ujarnya mengumpat dengan semangat."Loh, Bu Tut, kok nggak kaget? Malah ikutan mengumpat?" tanya Bu Susi heran."Kenapa kamu heran? Bukannya reaksi sa
"Ma-mamah!" ucap Om Heri terbata-bata. BRAKK... Wanita yang ternyata istri dari Om Heri itu menggebrak pintu. Ratih yang terkejut, menyusul keluar. "Siapa, Om?" tanya Ratih. Dia menutupi dirinya dengan selimut hotel dan berjalan keluar. Ratih tak kalah terkejutnya melihat ramainya orang berada di pintu kamarnya. Istri Om Heri memandang Ratih dari ujung kepala sampai kaki. Menatapnya dengan pandangan tajam. "Jadi ini wanita peliharaanmu?" ujarnya pedas. "Mama ngapain ke sini?""Mama? Apa wanita ini istri Om Heri? Tapi, kata Om kemarin dia seorang duda?" Ratih bertanya dalam hati. "Ngapain katamu?" teriak wanita itu. Teriakannya membuat orang-orang keluar dari kamar mereka dan beramai-ramai melihat. "Puas kamu, ya! Sudah main berapa kali dengan wanita ini?" tunjuk nya pada Ratih. "Dasar laki-laki buaya! Perempuan gatal! Kub*n*h kalian!" Istri Om Heri mencoba meraih Ratih, namun dihalangi oleh Om Heri. "Mah, jangan begini dong! Malu dilihat sama orang!" bisik Om Heri. "Apa?
"Tadi itu aku lihat Ratih loh, Mas!""Ratih siapa? Temen kamu?""Ih, bukan! Itu loh, Ratih anaknya Bu Tut.""Terus kenapa kalau kamu lihat dia? Kayak nggak pernah lihat aja sampai heboh begitu!" Sambil berjalan, sesekali Irwan bercanda dengan anaknya. "Tadi itu dia sama seorang laki-laki, Mas! Om-om gitu! Gandengan pula! Mesra banget.""Kamu yakin kalau itu dia? Jangan asal tuduh loh, Yank!""Iya, Mas! Aku yakin! Aku nggak bakalan lupa sama wajah wanita yang sudah mencoba menggoda suami aku.""Kemarin, Bu Tut bilang kalau Ratih itu kerja sebagai asisten bos. Apa iya, ya Mas? Kok, lebih kayak sugar baby gitu?""Sugar baby? Apa itu, Yank?""Itu loh, Mas! Simpanan om-om!""Astaghfirullah! Hush, udah! Kami nggak usah kepo! Dosa tau mencari aib orang!""Astaghfirullah! Maaf, Mas! Habisnya aku kepo!" ujar Rani sambil nyengir meski suaminya tidak melihat karena tertutup masker."Biarkan saja dia! Kamu nggak usah ikut campur. Meski ibu dan dia pernah membuat kita kesal dan pernah memfitnah k
"Ah, iya nih, Bu! Bagus nggak?""Wah, bagus Bu Tut. Kayaknya habis dapat rejeki nomplok nih sampai bisa beli cincin.""Iya, Bu! Saya habis dikasih sama Ratih. Kemarin dia habis gajian dan ngasih saya satu juta. Makanya saya bisa beli cincin sebagus ini," ujar Bu Tut."Beruntung banget ya, Bu Tut. Coba saja anak saya bisa ngasih saya uang banyak kayak gitu.""Iya, Bu! Akhirnya Ratih bisa berbakti juga sama orang tua. Semenjak dia cerai bahkan masih sama suaminya saja, kami orang tuanya yang ngasih makan.""Hah, yang bener, Bu?""Iya! Makanya, waktu si Jono terkena kasus, saya suruh cerai aja sekalian. Punya suami nggak bisa diandelin, buat apa?""Bener, Bu! Zaman sekarang makan cinta mah, nggak bakalan kenyang.""Nah, makanya itu. Laki zaman sekarang pengennya punya istri cantik. Padahal dia sendirinya cuma laki-laki kere. Nggak bisa memenuhi keperluan istrinya. Dia kira makan tampang aja kenyang?""Bener tuh, Bu Tut!""Ya, sudah! Saya pulang dulu ya, Bu-ibu!""Iya, Bu!""Enak ya, Bu T
"Ma-maksud, Om! Melayani apa? Menyediakan makan minum untuk Om, gitu?""Jangan pura-pura nggak tau, Ratih! Kita sudah sama-sama dewasa. Kamu ngerti apa yang saya maksud!" Om Heri menyesap rok*k yang terjepit di jarinya. "Tapi... Saya..." Ratih seakan ragu. Namun, tak dipungkiri dia sangat tergiur dengan uang itu. "Kalau kamu mau, uang sebesar sepuluh juta yang ada di amplop itu akan menjadi milikmu! Tetapi... Kalau kamu nggak mau, tidak apa-apa! Saya tidak keberatan tapi uang ini saya ambil kembali."Ratih menelan salivanya. Dia bingung dan juga bimbang, antara menerima atau menolak tawaran itu. "Saya tidak akan memberikan tawaran ini dia kali. Dan kalau kamu menolak uang ini, saya rasa kamu akan menjadi orang yang paling rugi." Om Heri mencoba menggoyahkan pertahanan Ratih. "Kamu tau? Sekarang susah untuk mendapatkan pekerjaan mudah dalam waktu yang singkat. Tidak mudah pula mendapatkan uang sebesar ini dalam satu hari. Apa kamu yakin mau menolak tawaran ini?" Lagi, Om Heri semak
"Awas kamu, Rani!" Bu Tut menggerutu setelah mendapatkan vonis hukuman dari Pak RT. "Sialan banget. Ini semua salah kamu, Winda!" ketus Bu Irma. "Loh, kok, Bu Irma nyalahin saya sih?" Winda tentu saja tidak terima dengan tuduhan itu. "Kan, yang ngajakin ke rumah Rani, kalian bertiga, kok, malah salah saya?""Iya! Salah kamu! Seandainya saja kamu memberikan informasi yang benar tidak akan seperti ini kejadiannya," bentak Bu Tut. "Kamu sengaja 'kan? Kamu hanya ingin memanfaatkan kami supaya bisa menuluskan niat jahatmu untuk merebut Irwan dari Rani," cetus Bu Tut. Mata Winda terbelalak karena tebakan Bu Tut memang benar. Namun, dia berusaha mengelak. "Enak saja! Memangnya selama ini saya pernah ngajakin ibu-ibu untuk membenci Rani? Bukannya kebalik? Kan, kalian yang ngajakin saya untuk membenci dia. Saya baru datang lagi kemari, malah kalian yang ngomongin dia yang jelek-jelek.""Tetap saja! Ini semua salah kamu! Kalau saja, kami tidak terhasut oleh omonganmu barusan tidak akan kam
"Aaaakkkhhh!" pekik ke empat orang itu. "Heh...! Kenapa kamu menyiram kami?" pekik Winda. "Apa lagi? Saya menyiram supaya jin dan roh jahat yang melekat di tubuh kalian semua pada kabur!" ketus Rani. "Apa kamu bilang?" Bu Tut dan Winda maju, ingin menjambak Rani, namun segera di tepis oleh Irwan. Dia mendorong Bu Tut yang berada di depan dan menumbruk tubuh Winda yang ada di belakang. "Aakkhh..." pekik Bu Tut, yang terduduk menimpa tubuh Winda. "Auwww!" Winda merintih karena ditindih oleh badan Bu Tut yang dua kali lebih besar darinya. "Hei, kurang ajar ya kamu, Irwan!" teriak Bu Tut. "Mas, kok, kamu malah mendorong kami sih?" Winda berkata manja. "Tolongin, dong!""Cih, buat apa? Kalian memang pantas menerima hal itu.""Kok, kamu jahat gini sih, Mas, sama aku?""Memangnya saya wajib gitu baik sama kamu?" sinisnya. "Pak RT, tolong usir saja mereka ini! Terutama wanita ini! Dia selalu mengganggu istri saya!" tunjuk Irwan kepada Winda. "Sudah! Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Mbak
"Kamu berani mengancam? Apa kamu takut kelakuan busukmu itu terbongkar, ha?""Yang busuk itu bukan kelakuan saya! Tapi, pikiran kalian yang busuk!" cetus Rani. "Sudahlah, Rani! Kamu tidak usah mengelak. Kamu begitu tega mempermainkan Mas Irwan. Sampai hati kamu berbuat begitu. Sudah jelas-jelas kalau kamu selingkuh, bahkan pria ini berani mendatangi rumah kamu," ujarnya seolah prihatin dengan Irwan. "Lihat? Anakmu ini sangat mirip dengan lelaki ini? Ini sudah ada buktinya 'kan?" Winda kembali menimpali. "Dia tidak mirip denganmu atau pun Mas Irwan.""Hahaha...." Rani dan Andra tertawa berbarengan. Membuat Bu Tut, Bu Irma, Bu Susi dan Winda bingung. "Kamu lihat 'kan, Mas! Dia pasti tak bisa mengelak lagi makanya tertawa. Mas Irwan bisa kok, dapetin yang lebih baik lagi dari Mbak Rani. Masih banyak wanita yang ingin menjadi istri kamu, jadi tidak perlu menutupi kelakuan buruk Mbak Rani.""Termasuk kamu gitu? Yang mau jadi istri Mas Irwan? Kamu 'lah wanita baik itu, begitu 'kan?" cibi