Tak banyak bicara lagi lelaki itu langsung meninggalkan rumah dengan tas pakaian yang disandang di bahunya. Sebenarnya ada rasa hancur saat menyaksikan ia meninggalkan rumah begitu saja, tetapi aku tidak punya alasan untuk mencegahnya. Karena, untuk apa aku menahannya jika perasaannya tidak ada di sini. Hanya raga yang ada padaku tapi jiwanya ada bersama wanita itu.Percuma!Suara mobilnya terdengar dengan jelas pintu gerbang bergeser perlahan, lalu kendaraan itu menghilang begitu saja dari garasi, meninggalkan jejak suara dan sisa pertengkaran kami.*Besok hari.Setelah mengantarkan anak-anak ke sekolah aku janjian dengan temanku untuk bertemu di rumahnya, teman yang kemarin berkumpul di cafe bersamaku, berikut dengan teman teman reuni lainnya.Aku mengunjungi rumahnya dan Vina senang sekali aku mendatanginya. Dia langsung mengajakku sarapan bersama dan minum kopi rupanya dia telah menyiapkan beberapa hidangan untuk menyambutku, jadi aku merasa senang dan sedikit terhibur dengan ker
Kulangkahkan kaki turun dari motorku, kuseka wajahku yang sudah basah oleh cappucino bercampur air mata kekesalan. Suamiku panik, ia menekan kaca mobilnya agar segera tertutup, kalau bisa iya ingin segera kabur dari sana tapi lampu hijau belum juga menyala.Brak!Brak! Dengan helm, kuhantam kaca yang ada di sisinya. Juga kaca depan tepat di depan kemudi. Kaca itu retak, tapi karena dilindungi oleh kaca film anti pecah, jadi hanya lubang dan retak saja."Kurang ajar, setelah berselingkuh, memperlakukan diri ini seperti hewan, lalu kabur dari rumah ... sekarang kau mempermalukanku dengan menyiramkan kopi itu ke wajahku!""A-aku tak sengaja!""Sungguhkah!" Aku kembali memungut gelas itu, dia sendiri sama sekali tidak turun dari mobilnya sementara Mila meminta dia untuk segera tancap gas pergi meninggalkanku.Orang-orang yang kebetulan sedang menunggu lampu hijau terkesiap dengan pemandangan yang terjadi."Bu, tenang Bu, itu siapanya Bu?""Dia melanggar hukum dengan buang sampah sembara
Aku merasa cukup asing dengan dengan waktu demi waktu yang kujalani setelah kepergian mas Kevin. Ada sensasi aneh di malam pertama saat dia benar-benar telah memutuskan pergi dari rumah ini.Aku tak lagi melihat barang miliknya di kamar mandi alat cukur, sikat gigi, sabun dan handuk, aku juga tidak melihat lagi cangkir kesayangannya saat aku dan anak-anak makan malam di meja. Ingin kusembunyikan air mata yang hendak meleleh di pipi tapi aku tidak kuasa menahannya meski harus tetap tersenyum di hadapan Daffa dan sinta.Jujur saja, rasanya hatiku hampa, terlubangi dengan cara yang tragis. Sakit benar, karena aku belum menyiapkan mental untuk sebuah perpisahan yang terjadi dengan cepat...mendadak perasaan ini dilukai begitu saja olehnya. Sakitnya bukan hanya karena suamiku mencintai wanita lain lalu pergi. Lebih sakit, karena dia mencampakkanku begitu saja tanpa ada perlakuan dan kata-kata yang baik. Dia pergi tanpa bisa kubayangkan akan secepat itu. Meski aku menyalahkan diriku, bahwa
Dua minggu kepergian suamiku, sisa uang dan makanan sudah menipis, dapur mulai kekurangan stok, tagihan listrik dan air berbunyi, memaksa diri ini untuk segera membayar. Pikiran ini mulai terhimpit tentang tagihan uang sampah dan iuran wajib komplek ditambah dengan uang iuran guru mengaji anak anak di TPQ.Kubawa permasalahan ini ke ibu mertua namun aku terlalu malu. Malu karena tidak bisa mempertahankan suami dan keluarga. Lagi pula beliau sudah sering membantu kami jadi aku agak segan padanya.Jika kubawa permasalahan ini kepada Ibuku tentu sudah siang akan beliau utarakan adalah segera mengajukan gugatan perceraian dari lepas dari semua kemelut ini. Bukannya aku tidak bisa mengambil langkah cepat untuk segera bercerai ... Aku hanya butuh waktu untuk damai dengan kenyataan dan mengatasi perasaan yang belum siap untuk menyandang status janda seutuhnya.Aku masih berpikir bagaimana caraku menghadapi hari-hari serta godaan orang-orang di saat diri ini telah keluar dari rumah dalam kea
Kendati mereka masih tertawa dan mengolok-olokku aku hanya mengucapkan istighfar sambil terus mengusap dada. Berusaha melapangkan sabar bahwa apapun keputusan yang kuambil sekarang akan mendapatkan hikmah suatu saat nanti."Bunda, apa panggilan Ayah sudah berakhir?""Ya, kenapa?""Yaah... Padahal Aku ingin Ayah memesankan ayam goreng untuk kami.""Tidak perlu meminta dari ayah kita pesan saja langsung.""Bukannya uang Bunda tinggal sedikit?""Ya, Tapi Bunda masih bisa belikan." Anakku masih terlihat sibuk di ponselku, entah apa yang ia lakukan." Sudah, Daffa sudah WhatsApp ayah dan meminta ayah untuk mengirimkan sekotak ayam goreng.""Hah, masak? Lalu Ayah mau bilang apa?""Dia bilang, ok.""Baiklah, terserah kalian saja.""Meski di luar kota, Ayah tetap memesankan untuk kami dan dia bisa bayar lewat dompet digital jadi bunda tidak perlu khawatir?""Ya, ya, kalau begitu tunggulah ayam gorengnya, pergilah bermain dengan adikmu," jawabku menyerah.Aku tetap melanjutkan tontonanku sambi
Aku langsung mematikan ponsel sebelum air mataku meledak begitu saja di hadapan trotoar di mana orang-orang sedang lalu lalang. Sakit yang kupendam semalam seolah sudah sampai di puncaknya. Hingga aku tidak bisa lagi menahan kemarahan dan kesabaranku.Mungkin dia pikir aku bodoh dengan diam dan terus bersabar, mungkin dia kira aku menyerah dengan semua ini dan memilih bertahan demi anak-anak. Mungkin dia merasa bahwa aku masih mencintainya, sehingga tidak menggugatnya sampai hari ini. Lelaki itu sudah bertindak begitu jauh dan semena-mena padaku, sehingga aku tidak akan memberinya ruang lagi untuk menyakiti diri ini. Aku langsung memutar kemudi motorku untuk pergi ke bandara dan membalaskan dendam ku yang selama ini bertumpuk di dalam dada.Setelah 40 menit berkendara di flyover dan jalan yang lumayan padat, aku tiba di bandara internasional tersebut, aku langsung parkirkan motorku dan mengendap menuju tempat kerja suamiku yang arahnya cukup berjarak dari lobi utama.Kebetulan ini
Selagi lelaki itu murka, aku sengaja mengencangkan suara tangisanku dan pura-pura terlihat trauma serta ketakutan pada mas Kevin. Setiap kali mas Kevin melirik ke arah diri ini, aku pura-pura ketakutan dan mencari perhatian pada staf yang ada di dekatku. "Mbak, suami saya akan menghajar saya. terakhir kali dia murka, dia mencekik dan nyaris menghantam kepala saya ke pot bunga. Badan saya sakit, tulang-tulang saya rasanya retak dan otot saya lebam karena dia melempar saya dengan keras." Aku maunya ke air mata dengan tisu sementara mas Kevin melotot ke arahku tidak terima dengan perkataanku yang dramatis."Anda mendengar itu Anda mendengar betapa ketakutannya istri anda pada anda!" tanya Pak Kabid, staf walikota juga ada di sana dan memperhatikan mas Kevin dengan tatapan tajam."Apa Anda tidak sadar bahwa gara-gara anda kunjungan dan inspeksi wakil walikota langsung bubar dan gagal! Wah, keterluan sekali.""Saya minta maaf!""Maaf apa? Saat orang yang seharusnya jadi etalase dan k
Kalau dikatakan puas atas peristiwa hari ini, Tentu saja itu belum, aku di titik didih di mana tak akan kuberikan kesempatan lagi agar mas Kevin bisa berbuat sesuka hati. Kemarin telah kuberikan dia jeda, bahkan satu bulan lebih aku membungkam dan tidak berkata pada siapapun. Sekarang, aku bergejolak, aku tidak bisa menahannya lagi. Jika membuka semua masalah ini ke depan semua orang akan membuatku mendapatkan solusi, maka aku terpaksa melakukannya. **Kubaringkan tubuhku di kasur yang empuk, merebahkan kepalaku di nyamannya bantal, sementara pintu terkunci dan tak kubiarkan dia bergabung ke dalam kamar utama.Aku mendengar jelas suara kakinya yang mondar-mandir antara ruang keluarga dan dapur, terdengar ingin memasak sesuatu tapi aku telah menyimpan stok makanan, hanya ada makanan sisa di kulkas dan itu pun kalau dia mau memakannya. Aku akan membalaskan perbuatan pacarnya yang telah mengirimkan ayam goreng tak layak untuk kedua anakku. Aku akan membalasnya, setidaknya sampai dua m
setelah rangkaian kesulitan hidup yang susah sekali dikembalikan untuk jadi lebih baik, perlahan aku mulai berjuang untuk Mila, mulai membuka hati dan serius mencintainya. mulai menerima kenyataan bahwa Fathia bukan jodohku dan istriku sekarang adalah Mila. Aku berhenti mengejar Fatia dan berharap dia akan bersimpati padaku, aku memutuskan untuk menerima kenyataan, berdamai dengan apa yang kumiliki dan menjalani apa yang bisa kujalani. Aku tahu aku punya banyak hutang pada Mas Fadli yang itu merupakan suami Fatia, meski ingin sekali keluar dari tempat ini tapi aku terikat kontrak dengan mereka sehingga aku harus bertahan untuk melunasi semua itu sembari bertahan hidup untuk istriku. Hutang pengobatan Mila juga masih ada padaku, berikut juga dengan PR untuk memperbaiki apartemen kami serta mengembalikan sisa uang pembeli yang tempo hari membatalkan pembeliannya. hidupku seakan di lantai oleh hutang-hutang yang tidak terhitung banyaknya. jika aku menanggapi itu dengan pikiran ke rumah
Besok hari, sebelum berangkat kerja aku mampir ke rumah ibuku, Aku ingin bicara sedikit dengan beliau dan mendiskusikan tentang istriku. ucapkan salam dan kebetulan Ibu sedang ada di meja makan, beliau sedang sarapan dan menikmati secangkir kopi bersama ayah. "selamat pagi bunda?" "pagi sayang." Ibu menerima kecupan dariku, dan ayah juga kucium tangannya. "tumben mampir kemari, biasanya kau akan langsung ke gudang dan pabrik kakakmu?""Aku rindu dengan ibu karena sudah lama tidak mampir, Aku benar-benar merindukan kalian.""ah kau ini...." Ibu menepuk bahuku sambil tertawa. "Bu aku ingin bicara sedikit denganmu.""ada apa?" Ibu mengalihkan perhatian dan menatapku. "meski sulit dan menyebalkan ... tapi aku benar-benar berharap Ibu mau memaafkan kami... Tolong maafkan aku dan berilah mila kesempatan untuk jadi menantu yang baik," pintaku dengan nada yang berhati-hati. "tumben bilang begitu?" Ayah yang heran menatap diri ini dengan lekat. "kemarin itu ucapan Bunda membuat istrik
karena diusir sedemikian rupa kami tidak punya pilihan lain selain pergi. ku bawa istriku kembali lalu bersama dengannya kami menaiki mobil perusahaan untuk kembali ke rumah. "kupikir ibumu ada benarnya Mas," desah wanita itu memecah keheningan di mobil kami. "apa maksudmu?""baginya menantunya hanya Mbak Fathia, dia menyayanginya dan wanita itu memang pantas mendapatkan kasih sayang yang besar.""tapi dia bukan lagi istriku, jadi Ibuku harus menerima kenyataan bahwa kamulah satu-satunya menantu." aku menggenggam tangannya, berusaha membuat dia tenang. terasa sekali kasarnya kulit karena bekas luka bakar, membuat hati ini terenyuh. aku tahu istriku salah terlalu banyak bersikap sombong dan arogan, tapi kekesalan jadi kecemburuannya setiap hari bertemu dengan Fathia terpatik gara-gara diriku. andai aku lebih bisa menjaga hati dan perasaannya mungkin semua musibah itu tidak akan terjadi. mungkin jika istriku akan lebih tenang tidak perlu terjadi musibah yang betul-betul membuat di
"sepertinya kau terkesan dengan kebaikan fatia barusan?"tanya istriku saat aku dan dia mencuci piring dan Fathia sudah pulang. "aku terkesan karena dia mau memaafkan kita dan mau turun tangan membersihkan tempat ini untuk membantumu," jawabku. "aku sendiri terpukau dengan kebaikan mantan istrimu itu. kupikir dia akan terus memusuhi kita tapi ternyata dia punya ketulusan yang tidak kubayangkan." istriku mencuci tangannya dan mengeringkannya disobek, aku tidak mengerti maksud tetapannya tapi sepertinya dia sedikit resah. "mungkin wajar saja jika kau masih mencintai dan berharap bisa berhubungan baik dengannya."aku segera meraih tanganmu lah begitu mendengar dia mengatakan hal tersebut. tersenyum diri ini sambil mengetuk keningnya dan kupeluk dia dengan erat. "dia memang sebaik itu tapi sekarang hanya kau satu-satunya cinta di hatiku.""tidak usah menghiburku dengan kalimat itu,"jawab Mila sambil mendorong dada ini dengan ujung jemarinya, wanita yang kulit wajahnya belum begitu rata
hampir 20 menit berkendara dengan segala kegalauan hati memikirkan apakah apartemen itu masih layak dihuni atau tidak mengingat hampir 1 tahun tidak di sana kupikir sudah ada beberapa bagian yang merembes, kamar mandi juga merembes dengan cat dinding yang sudah mengelupas, beberapa bagian dinding juga retak dan tidak layak, mereka juga lembab dan jamuran tapi aku bisa apa hanya itu satu-satunya tempat yang bisa dituju untuk sementara ini. mungkin aku bisa membayar kontrakan, tapi bagaimana aku akan mencukupi pengobatan Mila, sementara uang itu juga untuk makan dan transportasi sehari-hari. aku harus berusaha mencukupi gajiku ditambah dengan potongan perusahaan yang sempat ku pinjam untuk operasi istriku. kupandangi wajah Mila dan raut kesedihan yang terlihat di matanya, dia berkaca-kaca tapi wanita itu berusaha menyembunyikan kesedihannya. rumah ibunya terlalu nyaman selama ini kami tidak pernah berpisah dengan mereka jadi mungkin istriku harus membiasakan diri dan merasakan kerin
"mau kemana?" Tanya istriku cemas."aku mau pergi, sudah terlalu lama kita diinjak-injak, aku sudah tak sanggup lagi.""tapi...." Mila nampak ragu melihatku yang terus berkemas, dia sepertinya bimbang hendak tetap berada di sini ataukah ikut dengan suaminya yang tidak berdaya ini."aku tahu aku harus menghargai mertua, Aku tahu aku harus menjunjung mereka tapi ini benar-benar keterlaluan, Mil. aku masih punya harga diri.""sebagai orang tua mami pasti terlalu mengkhawatirkanku sehingga dia berkata seperti itu.""aku juga memposisikan diriku sebagai dia. Aku membayangkan putriku harus hidup dalam kesulitan bersama suami yang dicintainya. tapi, aku akan menahan diri dari ucapan menghina orang lain," balasku Dengan hati Yang benar-benar Sakit. ingin rasanya menangis tapi aku malu pada genderku sendiri. aku laki-laki yang harus terlihat tegar tapi ada kalanya perasaan ini rapuh dan sedih. "aku sudah berusaha sekuat tenaga Tapi saat tuhan hanya memberi terbatas, aku bisa apa!! Aku juga ma
orang ke sini isinya Mertuaku begitu dia tahu kalau aku dan istriku pergi makan malam ke rumah Fatia, wanita itu mencemooh dan terus berceloteh kalau kami adalah orang-orang yang tidak punya harga diri dan rela menghamba pada keluarga Fatia. "sudah tahu kalau wanita itu yang membuatmu menderita, kini kau pergi dan menjalin hubungan baik dengannya? ada apa denganmu?!""mi, dia kan Bos kami, Jadi kami harus tunjukkan itikad baik Kalau Kami berkomitmen untuk bekerja dengan benar dan berdamai.""apa untungnya, lihat wajah, tangan dan tubuhmu yang sudah cacat itu! dengan segala keburukanmu itu kau datang padanya dan minta maaf? ke mana harga dirimu. bukankah selalu kubilang kalau kau harus menghargai dirimu sendiri sebelum menghambakan diri ke orang lain!""kami tidak menghambakan diri mami, aku dan mereka memang harus menjalin hubungan baik karena suamiku dan suaminya Fathia adalah sepupu. mereka adalah keluarga dekat dan mau tidak mau kami akan berbaur.""Tapi kau bisa menghindarinya...
sehabis makan malam Fathia dan asisten rumah tangganya membereskan Piring dan membawanya ke dapur, Mila sendiri sedang berusaha mendekatkan dirinya pada anak-anak kami, dia mengobrol dengan mereka dan mulai berusaha membangun kepercayaan kedua anakku. Mas Fadli izin sebentar karena dia ada tamu yang sedang menunggunya di depan, jadi kakak sepupuku itu membiarkan aku dan Mila duduk di ruang keluarga bersama anak anak."bentar ya aku mau minum," ucapku pada Mila."iya Mas."kulangkahkan kakiku menuju ke dapur, di sana terlihat Fathia sedang membereskan sisa makanan dan membantu asisten rumah tangganya untuk merapikan piring-piring di wastafel. "mba, Ini sisa makanan masih banyak mungkin boleh dibagikan ke orang-orang yang nongkrong di depan atau yang membutuhkan saja.""iya Bu." jawab pembantunya yang terlihat masih muda itu. "fat."panggilanku membuat dia menghentikan kegiatannya membungkus sisa makanan. "ada apa?""aku benar-benar terkejut dengan kebaikan hatimu. kupikir kau akan
"maaf, karena aku terpaksa mengikuti aturan dan permintaan bosku," ujarku saat berhasil menyusul Mila, dia pulang lebih cepat dari yang kuduga. "kurasa kita harus cari tempat lain untukmu bekerja." "iya. tapi, tunggu hutangku lunas yaa," balasku membujuk. "mau kapan lunas hutangmu, sementara uang yang kita pinjam itu ratusan juta Mas?" "jika kau tahu itu, tolong berdamailah dengan kenyataan. kita harus berjuang dan bertahan." "jadi, tidak ada pilihan lain dalam hidup kita?" "tidak ada." wanita yang masih terlihat bekas luka bakar di tangan dan tubuhnya itu hanya bisa mendesah lemah dan meneteskan air mata. dia menangis lalu memelukku. "apa yang harus kulakukan Mas?" "kita harus bertahan dan realistis, Ayo kita minta maaf dan jalin hubungan baik karena mau bagaimanapun kita tetap bergantung pada keluarganya Fathia." "pada pilihan lain?" "tetap tidak ada. berbaikanlah dengannya, toh, Aku dan Dia tidak punya hubungan lagi. wanita itu, juga kabarnya sedang hamil. ja