Tangan Yuda kembali turun dari dadaku. Menyusuri perut dan telah meraba-raba pahaku."Hmmb!" Aku memekik tertahan. Refleks aku memukul lengan Yuda, saat jari-jari tangannya berhasil menyibak ujung kain pakaian tidurku dan menyusup ke dalamnya.Yuda mencengkram tanganku lalu dengan cepat tangannya bergerak kembali membelai pahaku.Tubuhku menegang karena sentuhan darinya. Ditambah ciumannya yang semakin menekan dan intens. Lebih seduktif dan cepat.Aku kelabakan.Sepertinya, Yuda memang akan benar-benar melaksanakannya malam ini.Duh ... bagaimana ini?Drrrt Drrrt Drrrt Drrrt!!!Ponsel berdering disertai vibrasinya. Yuda menarik dirinya dariku. Dia menegakkan tubuhnya dan melirik ke atas nakas. Meraih ponselnya itu dan melihat pada layar."Hhh ... Ibu?" gumamnya di depan layar ponsel."Ya, Bu? Kenapa?" Yuda mengangkat telepon dari Ibunya. Berbicara dengan napas yang masih naik turun.Aku lalu bangkit dengan cepat. Beringsut turun dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu. Lalu buru-
"Jadi kamu ...?" tanyanya terjeda yang langsung kubalas dengan anggukan kepala.Kedua bahu Yuda merosot diikuti hembusan napas berat. Dia mundur hingga tak lagi rapat dengan tubuhku."Kenapa kamu ga bilang dari tadi?" tanyanya lesu. Lalu meluruhkan badannya tepat di sisiku.Aku bangkit saat Yuda telah berbaring."Ya kamu dari tadi mepet terus. Aku mau ngomong kamu potong terus. Aku juga 'kan udah bilang, gak bisa malam ini."Yuda meraup wajahnya kasar. "Kenapa gak bilang dari tadi sore?""Lahh, dapatnya aja barusan," jawabku ketus."Terus biasanya berapa lama?" tanya bernada lesu."Paling cepet tiga hari.""Huhhhh ... sabar sabar sabar." Yuda lalu bangkit dan merangkak naik ke tempat tidur. Menjatuhkan tubuhnya dalam keadaan tengkurap dengan wajah tenggelam di atas bantal.Aku mengatupkan mulut menahan tawa melihatnya.Malam ini dan mungkin tiga hari ke depan, aku masih bisa terhindar darinya.Tapi sepertinya ... aku sudah mulai candu dengan ciuman-ciumannya.Duh.***Keluar dari kama
🌻POV Yuda"Kenapa wajah lo kusut banget, Bro?" Fahreza langsung menghadangku saat sampai di parkiran kantor. Aku baru saja sampai dan baru melepaskan helm di kepala. Tapi Fahreza sudah menodongku dengan pertanyaan barusan. Fahreza yang datang juga dengan motornya, mengambil parkir tepat di sebelah motorku. Sehingga kami bertemu di parkiran ini.Kubenahi rambut yang sedikit berantakan setelah melepas helm, sembari mematut di kaca spion. "Kusut apa sih, lo? Wajah gue ganteng begini!" jawabku padanya.Kini aku dengannya berjalan bersamaan memasuki bangunan kantor. Fahreza di sebelahku mendecak. "Iya, gue tahu kalau elo ganteng. Tapi hari ini beda raut wajah lo. Kek ada beban mengganjal yang gak tersalurkan," celetuknya."Masa, sih?" tanyaku penasaran. Entah apa yang dia maksud dengan mengganjal dan tak tersalurkan. Tapi dari arahnya, sepertinya obrolan ini akan mengarah pada aktivitas ranjang."Hu'um. Tuh urat-urat di dahi lo kenceng banget keliatan. Darah putih lo naek, terus kumpul se
Aku menggeleng cepat. Memfokuskan kembali pikiranku lalu menghadap pada layar laptop.Jika terus mengingatnya, yang ada aku ingin segera pulang. Meski tiga hari ke depan. Aku masih harus berpuasa.Memang nasib.*** ***Lima hari berlalu.Kantor sedang mendapatkan proyek besar. Seluruh staff diharuskan lembur. Sudah lima hari, aku pulang ke rumah menyentuh di angka sembilan.Aku bahkan melupakan, malam pertama yang sudah terlewat beberapa hari. Ditambah Hilma yang sedang datang bulan. Membuatku tidak lagi terlalu mengingat. Tubuhku selalu lelah saat tiba di rumah. Disambut makan malam oleh masakannya yang memanjakan lidah, membuatku jadi lebih cepat tidur.Seperti malam ini. Arloji di tanganku sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Pekerjaan belum selesai, dan sepertinya aku akan telat pulang.Pundakku sudah lelah. Tapi aku terus menyelesaikan pekerjaanku. Karena besok libur dan pekerjaan harus selesai malam ini.Jariku bergerak cepat sambil teliti dengan laporan di depan layar. Hi
"Yud? Yuda?" Aku tersadar karena kibasan tangan Hilma di depanku."Y-ya?""Kamu udah pulang?" tanyanya lagi.Aku mengangguk seraya berdiri.Aduh. Aku makin menelan ludah sesudah berdiri kini. Karena pandangan ke arah bawah disuguhkan oleh belahan dada yang begitu menggoda.Aku berdehem sembari memalingkan wajah. Walau pada akhirnya, penglihatanku kembali ke sana. "U—udah. Aku ... baru aja pulang." Aku diserang rasa gugup.Hilma nampak mengangguk dan turut berdiri. Membuat pemandangan indah itu semakin nyata."Ehhm. Kamu ... ngapain di sini?" tanyaku kemudian.Hilma tersenyum. Dia menuntun tubuhku lalu mendudukkanku di kursi makan. Sementara Hilma, berdiri menghadapku dengan bobot yang bertumpu di pinggiran meja makan. Aku melirik pada ujung gaun tidurnya yang di atas lutut. Memperlihatkan betis serta lututnya yang putih bersih bak pualam.Aku ... sesak napas.Kutelan ludah. Lalu melepaskan kancing atas kemejaku hingga sedikit longgar."Aku ... tadinya menyiapkan makan malam buat kamu.
🌻POV YudaAku menunduk, lantas menyambar bibir ranumnya itu. Menciumnya pelan dan lembut. Kedua netraku seketika memejam. Merasai manisnya bibir yang tengah kucium ini.Menyesapnya tanpa jeda. Serta melumatnya tak sabar.Berbeda dengan saat aku menciumnya pertama kali. Malam ini, kurasakan Hilma membalas ciumanku.Dia balas dengan memagut bibirku. Membuat hasratku lebih cepat naik.Duh. Hilma benar-benar memberiku kejutan luar biasa.Aku menciumnya semakin dalam. Kedua tanganku turun merengkuh pinggangnya. Merapatkan tubuhnya denganku. Aku terheran, karena Hilma benar-benar bisa menyamai permainan bibirku.Kugigit kecil bibir bawahnya sebelum kulepas."Kamu membalas ciumanku? Sejak kapan kamu bisa berciuman?" tanyaku di antara deru napas yang memburu.Hilma tersenyum. Kedua tangannya bergerak memeluk tengkuk leherku. Menundukkan kepalaku dan dia membuat kening kami beradu."Aku ... belajar," bisiknya pelan."Belajar? Dari mana?" tanyaku masih dengan keheranan yang meliputi.Bibir itu
Hilma yang berada di bawah kungkungan tubuhku ini menggeleng. Tangannya terulur menyentuh kedua pipiku dan menangkupnya."Kamu tidak sedang bermimpi, Yud. Ini ... nyata. Apa kamu tidak bisa membedakan mana kenyataan mana hanya mimpi?" ucapnya lembut.Kuraih tangan kanannya di pipiku, lalu menciumi telapak tangannya yang mulus. "Ini ... terlalu indah."Hilma tersenyum tipis. "Kamu ... berhak atas diriku sebagai seorang istri. Aku ridho atas apa yang akan kamu ambil dariku malam ini, Yud."Hatiku bergetar hebat. Ternyata semua memang hanya soal waktu. Tak hentinya aku menciumi tangan Hilma. "Boleh aku meminta sesuatu, sebelum kita menunaikan ibadah kita malam ini?""Ya, apa?""Panggil aku Honey, Beib, Darling, atau apalah, jangan cuma Yud." Aku merengek pada Hilma.Perempuan berparas teduh ini tertawa kecil. "Apalah arti dari sebuah panggilan?" Hilma bertanya sekenanya."Emm, bagiku tentu sangat berarti.""Begitu?""Hu'um.""Ya sudah, emmm ...." Hilma nampak seperti berpikir."Aku akan
Kuambil body lotion dan menggunakannya sebagai pelumas. Setelah kurasa cukup licin, aku pun bergegas kembali ke atas tempat tidur.Menyusup ke dalam selimut yang sama dengan Hilma dan mengungkung tubuhnya kembali."Izinkan aku mencobanya lagi, ya?" bisikku pada Hilma, meminta izin karena tak tega melihatnya kesakitan seperti tadi.Hilma melirikku dan menganggukkan kepalanya pelan.Setelah mendapat izinnya, kuarahkan tombak milikku kembali pada benteng takeshi yang masih kokoh.Mencoba membobolnya kembali setelah tidak berhasil sejak tadi.Aku kembali menggerakkan tubuh bawahku. Mencoba membuka segel yang masih sangat rapat ini.Sekali, dua kali, masih sulit.Kutarik napas panjang dan dalam. Mengumpulkan tenaga dan mengambil ancang-ancang.Kucoba lagi.Dan ....Srettt!"Awkhhhh ...."Tombak pusaka ku seakan telah merobek sesuatu. Dibarengi dengan jeritan tertahan dari bibir Hilma.Lalu setelahnya, tombak milikku itu mulai bisa ku gerakkan. Meski sempit dan juga terhimpit.Aku menatap H