Dua hari telah berlalu.Tidak ada lagi Yuda yang menggangguku dengan datang ke rumah Ibu.Aku bermain dengan tenang bersama Arsa di dalam kamar. Setelah Azmi memporak-porandakan hatiku. Hanya kamar yang menjadi satu-satunya tempat ternyaman mengurung diri.Hari ini adalah hari terakhir waktu yang kuberikan untuk Yuda. Jika besok dia tidak datang, artinya dia memang tidak bisa menyanggupinya seperti dugaanku. Dan setelah ini, aku akan benar-benar lepas dari gangguannya.Aku akan menjalani hidupku dengan tenang dan damai. Bersama luka hati yang tengah kusembuhkan.Malam sudah sangat larut. Kutarik selimut menutupi seluruh tubuhku. Menyisakan hanya kepala dan kupejamkan mataku rapat meski tanpa rasa kantuk. Aku bahkan sudah tidak pernah merasakan tidur nyenyak setelah kejujuran Azmi hari itu.***Pagi hari, aku duduk di meja makan. Hanya sendirian tengah mengaduk sereal cokelat untuk sarapan pagiku.Aku kehilangan nafsu makan. Sehingga hanya sereal inilah yang aku konsumsi menggantikan k
"Kamu kenapa bengong lagi? Ayok!" Ibu meraih kedua pundakku. Menuntunku beranjak dari kursi.Aku kehabisan kata-kata. Sehingga aku hanya bisa mengikuti ketika ibu membawaku.Sebelum masuk ke dalam kamar. Samar aku mendengar obrolan diselingi riuh tawa dari arah ruang tamu.Suara Bu Aida dan Pak Candra. Sementara tawa keluar dari suara yang tidak kukenali.Ternyata Yuda benar ke mari.Ya Allah.Apa yang harus kulakukan?Apa aku sudah gagal mengehentikan Yuda?Bukannya menghentikan, aku seperti akan menyerahkan diri terhadapnya.Astaghfirullah.Hatiku tak hentinya beristighfar. Perkiraanku meleset.Bibirku rasanya kelu.Ibu telah mendudukkanku di kursi cermin rias. Lalu melepas kerudung di kepalaku. Membenahi rambutku, menyisirnya lalu mengikatnya dengan rapi.Ibu belum mulai mendandaniku, melainkan bergeser ke arah lemari. Kemudian kembali ke meja rias dan menggelar gamis putih di atasnya.Barulah ibu mulai mendandani wajahku.Sementara aku sendiri. Masih kesusahan mengendalikan diri.
🌻POV Yuda.Arrahmaan.Allamalqur'anKhalaqal insanAllamahul bayaanAs-syamsu walqamaru bihusbaanWannajmu wasy-syajaru yasjudaanWassamaa'a rafa'ahaa wa wada'al miizaanAyat demi ayat aku lantunkan dengan fasih. Dengan mata terpejam, aku mengingat setiap sambungan ayat dari surah yang tengah kubacakan.Bukan hal mudah, tapi aku terus fokus dan fokus. Dalam keadaan memejam, ayat-ayat Al-Qur'an yang tengah kulafalkan seakan tergambar dengan jelas. Hingga aku bisa membacanya dengan baik dan berurut.Suasana saat ini terasa begitu khidmat. Membuatku bisa tetap fokus dan melantunkan bacaanku dengan benar.Setiap ayat terasa begitu lancar keluar dari bibirku.Kubacakan satu demi satu dengan hati dan perasaan yang tenang. Juga pikiran yang jernih dan terus terfokus.Tidak ada yang kupikirkan, selain ayat-ayat yang telah berhasil kuhafal dan kini terekam jelas di kepala.Bersama Bapak, dua hariku diisi dengan mendengar dan menghafal surah ini.Sampai lupa tidur, tapi Bapak tak henti menging
"Bu Aida, saya senang sekali lho. Alhamdulillah kita kembali besanan ya, Bu.""Iya Bu Devi. Saya juga senang sekali. Akhirnya Yuda sama Hilma bersama lagi. Saya juga jadi tenang, karena si kembar ada dalam asuhan Hilma dan Ayahnya lagi. Ahh ... pokoknya saya senang dan lega, Bu Devi!"Aku hanya tersenyum mendengar kedua besan perempuan ini berbagi kebahagiaan di ruangan keluarga rumah Bu Devi.Sementara besan lelaki, menempati teras di depan sana.Hari sudah sore. Aku akan menginap satu hari di sini. Sebelum besok langsung kembali ke rumahku bersama Hilma dan tentunya kedua putraku. Karena Hilma belum membereskan perlengkapannya jika langsung pergi hari ini.Di ruangan keluarga saat ini. Hanya Hilma yang tidak ada. Tadi dia berpamitan ke kamarnya dulu. Tapi sudah hampir setengah jam, dia belum kembali. Sepertinya dia ingin aku menyusul ke dalam kamar."Bu, titip si kembar ya, aku mau ke kamar," pintaku kepada Ibuku."Aishhh, masih sore atuh Yud! Kamu gak sabaran, ini mertua kamu di si
"Tidak masalah. Tapi, saat nanti kamu sudah bisa mencintaiku. Aku pastikan, kamu tidak akan menemukan jalan keluar untuk berhenti menikmati rasamu terhadapku."Hilma mendecih dan tertawa kecil. Mungkin, dia tidak yakin aku bisa membuatnya jatuh cinta padaku.Kita lihat saja. Jangan panggil aku Batara Yuda, jika tidak bisa membuat Hilma bertekuk lutut nanti."Sekarang lepas. Aku mau ke luar!" pintanya kembali menarik-narik tanganku. Tetapi tetap tidak aku lepaskan.Aku mengeratkan dekapan membuat punggung Hilma semakin melekat di dada. Menimbulkan debaran indah di sebaliknya.Aku menempelkan ujung dagu di pundak Hilma. Namun Hilma semakin menundukkan wajahnya seakan menghindariku.Kuulurkan tangan meraih dagunya. Mengarahkan wajah Hilma hingga terangkat dan kini tak lagi menunduk.Wajahnya menyamping. Sehingga sebelah pipinya yang dulu chubby dan kini tirus terlihat olehku.Hilma mengarahkan pandangannya lurus ke depan. "Yud ....""Hmm?""Apa kamu sudah melupakan almarhumah Khanza?" ta
🌻POV Yuda."C-cium?" Tergagap Hilma mengulang perintahku.Aku mengangguk cepat. "Iya. Cium."Hilma menggelengkan kepalanya. "Gak mau. Aku gak mau cium kamu."Aku mendecih lalu tertawa kecil. Lucu sekali melihat ekspresi Hilma saat ini. Lantas ku eratkan kembali tanganku melingkari pinggangnya."Ya sudah kalau gak mau gak papa. Kita jadi akan lebih lama seperti ini," ucapku hingga wajah ini terasa menempel di belakang pundaknya."Tapi aku mau ke luar." Hilma berontak dan berusaha melepaskan diri dari dekapanku. Kedua bahunya bergerak-gerak tak mau diam."Ya sudah, sini aku yang cium kamu." Aku memberinya penawaran."Ishh, enggak. Gak ada cium cium." Hilma menolak cepat."Kalau gak mau juga artinya kamu emang maunya seperti ini terus," jawabku. "Yaa aku seneng seneng aja," sambungku seraya terkekeh pelan.Hilma mengerucutkan bibirnya. Aku tak kuasa menahan tawa yang akhirnya menyembur. "Ya sudah ya sudah. Kamu manyun gitu bikin aku makin gak kuat, tau gak?" ujarku sambil meredakan ta
Aku tersenyum menyeringai. "Kamu gak tahu? Aku ini punya kekuatan bisa menembus dinding. Bimsalabim, wushhhhh!"Bibir Hilma sedikit terbuka mendengar jawabanku. Lalu menggeleng pelan. Keningnya bertaut dan terus melongokkan kepalanya pada daun pintu yang tertutup rapat.Hilma pasti sedang kebingungan.Menahan tawa, aku pun melewatinya. Ku jatuhkan tubuh setengah meloncat pada springbed di depanku. Hingga berada dalam posisi tengkurap dan wangi pengharum konsentrat dari sprei serta sarung bantal dan gulingnya menyebar di hidungku.Tanpa membalikkan posisi tubuhku. Aku dapat melihat, Hilma yang berjalan Ke arah pintu.Nampak ia meraba-raba hendel pintu dan kebingungan mencari-cari anak kunci yang tadi menggantung di pintu. Terlihat Hilma sedang memeriksa pintunya itu. Dia menekan nekan knop dari pintu yang terkunci dan tidak mungkin dapat dia buka.Aku hanya tertawa kecil karenanya.Lantas membalik badan hingga kini terlentang. Sementara Hilma masih betah berdiri di dekat pintu sana.P
"Yud! Yuda!"Rasanya baru sekejap aku tertidur. Tapi bahuku sudah terasa diguncang dan dibangunkan."Yud. Bangun dulu!"Aku pun mengucek mata. Membuka mata dan ternyata Hilma yang membangunkan. Dia sudah duduk di bibir tempat tidur. Entah kapan, dia berhasil melepaskan tanganku yang memeluknya."Kenapa?" tanyaku parau."Mana kunci kamarnya? Aku mau ke luar." Hilma menengadahkan tangannya.Netraku yang belum terbuka sempurna pun menyipit. Mencari-cari jam dinding dan ternyata baru jam tiga dini hari."Mau ke mana? Ini baru jam tiga.""Mau ke mushola. Sini aja kuncinya. Kamu kalo mau lanjut tidur, ya lanjut aja. Tapi sini dulu kuncinya."Hilma pasti akan melaksanakan kebiasaan tahajudnya. Aku memang masih mengantuk, bahkan kini aku bangkit sambil menguap. Ku paksakan netraku agar segera membuka sepenuhnya. "Mana, sini?" Hilma menengadahkan telapak tangannya kembali di depanku.Aku pun menoleh. "Kita tahajud berjamaah, ya?" ajakku setelah kesadaranku terkumpul semua.Kening Hilma bertau
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y