**Meninggalkan ruang makan, kini aku sudah masuk ke kamar. Di mana si kembar tertidur dengan pulas di dalam box kayu yang sama.Kututup pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka. Aku menempelkan punggung di balik daun pintu. Memejamkan netraku demi menguatkan hati.Jika bukan karena si kembar. Aku tidak akan kuat sampai detik ini. Si kembar lah, obat yang menetralisir racun dari ucapan menusuk di relung hati ini setiap harinya.Saat membuka mata, aku melihat kartu undangan tergeletak di atas meja penyimpanan samping lemari.Aku menjauh dari daun pintu. Lalu mengambil kartu undangan tersebut, dan mulai membacanya.Ternyata undangan acara family gathering di perusahaan tempat Yuda bekerja. Acara diadakan di ballroom hotel mewah di pusat kota ini.Di situ tertulis, jika undangan ditujukan pada kepala divisi keuangan dan juga istri. Artinya, undangan untuk Yuda dan tentunya aku.Karena kantor tempat Yuda bekerja sudah mengetahui kabar kematian Khanza, dan pernikahan Yuda denganku yang dige
***Pintu ballroom tempat berlangsungnya acara terbuka lebar.Akan tetapi Yuda tak membawaku masuk. Tangannya masih melingkari pinggangku. Dia membawaku, setengah menyeret lebih tepatnya, ke arah teras samping hotel yang sepi, menghadap ke arah luar.Dia menghempas pegangan tangannya di pinggangku. Berganti merangkul pundakku cukup keras"Jaga sikap! Di sini, kamu dipandang sebagai istriku. Istri seorang kepala divisi! Sekali pun aku memang tidak mencintai kamu. Tapi semua tahu kamu istriku sekarang. Bersikaplah seakan hubungan kita baik-baik saja!" desisnya tepat di telingaku.Aku menyentak pundak yang dirangkulnya, tetapi Yuda menahannya kuat. Aku menatapnya sengit. Yuda pun tak kalah tajam menatapku."Egois!" tukasku dengan nada menekan."Aku tidak perduli. Aku hanya menjaga nama baik. Cukup dengan mendiang Khanza, aku sering melihatnya begitu akrab dengan lawan jenis, dan itu membuat hatiku teriris. Sekarang kamu berbalik! Pegang tanganku dan bersikap seperti istri sesungguhnya!"
NAIK RANJANG (4)***"Hil, Yuda masih tidur?" tanya Ibuku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Pagi ini, Ibu diantar taksi online berkunjung ke rumah. Biasanya akan datang bersama Bapak, tetapi sepertinya Bapak sibuk di toko kain miliknya. Sehingga Ibu datang sendiri pagi ini.Aku hanya dua bersaudara.Aku dan Khanza. Dua anak perempuan Ibu serta Bapak.Setelah Khanza tutup usia, hanya aku anak mereka satu-satunya.Kepergian Khanza membuat Ibu dirundung kesedihan begitu hebat.Bahkan sebelum tujuh hari kematian si bungsu. Ibu hanya tergolek dan bersedih di ranjangnya.Sama sepertiku, si kembar lah penguat dan pelipur lara hati Ibu. Perlahan Ibu mulai bangkit dan mencoba menerima kenyataan.Ibu begitu menyayangi si kembar. Ibu tidak mau jauh dan terpisah lagi dengan cucu pertamanya. Bahkan awalnya, dia meminta Yuda untuk tinggal di rumah kami. Sehingga Ibu bisa merawat cucunya dua puluh empat jam.Orang tua Yuda tentunya tidak setuju. Karena si kembar bukan hanya cucu Ibu dan Bapa
Naik Ranjang (5)-POV Yuda-Aku hanya bisa menatap nanar punggung Hilma yang semakin jauh di depan sana. Perempuan dengan gamis merah marun itu melangkah begitu cepatnya. Meninggalkanku yang mematung di samping motor matic ini.Motor yang sengaja kukendarai untuk menyusulnya. Tapi setidaknya, dengan Hilma pulang ke rumah, aku sudah berhasil menjauhkannya dari laki-laki yang ternyata bernama Azmi itu.Melihat Hilma bersama dengan Azmi. Entah kenapa hati ini terasa meradang. Aku sendiri pun tidak tahu, sejak kapan tepatnya Hilma telah mengusik tempat yang hanya kusediakan untuk Khanza.Aku menggeleng cepat. Beranjak dari kebekuan yang mendera dan kembali duduk di jok motor. Lalu mengecek beberapa kantong kresek yang tadi dibawa Hilma.Isinya ternyata bahan masakan mentah. Mulai dari bumbu dapur hingga sayur dan daging. Lengkap meski hanya dalam porsi sedikit sedikit.Kuhela napas kasar.Hilma dan Khanza memang dua bersaudara. Mereka kakak adik. Tetapi mereka sangat sangat berbeda.Dua t
Sore hari ibu mertua baru pulang dari rumah ini. Aku mengantarnya dan kini sudah kembali ke rumah. Sama seperti Ibu dan Bapakku, jika datang ke mari pasti akan berlama-lama karena ingin menghabiskan waktu bersama si kembar.Masuk ke dalam rumah, nampak Hilma tengah menyuapi kedua putraku bergantian. Mereka memang sudah memasuki usia enam bulan. Sehingga sudah harus diberi makanan pendamping dari sufornnya.Hilma terlihat begitu telaten. Dia memang begitu menyayangi si kembar. Dua keponakan yang sudah seperti anaknya sendiri.Kesehariannya di rumah ini. Pengabdiannya merawat si kembar sepenuh hati. Perlahan mengikis benteng kebencian yang kubangun tinggi.Aku tidak ingin menganggu waktunya menyuapi si kembar. Hingga makanan si kembar telah habis dan Hilma masuk ke dapur. Barulah aku duduk di depan bouncer berisi si kembar.Arkana dan Arsaka. Si kembar identik yang tumbuh sehat dan tampan dalam asuhan Hilma.Pipi mereka gembul dan mereka nampak begitu riang. Kualihkan pandangan ke arah
Naik Ranjang (7)***POV Yuda***"Sayang … bagaimana kalau aku mencintai Kakakmu? Apa itu tidak akan menyakiti kamu, Sayang?" tanyaku seorang diri yang masih berjongkok di samping pusara Khanza.Awalnya, aku memang membenci Hilma. Tidak akan ada tempat di hatiku untuknya. Tidak akan pernah kuberikan.Namun, tiga bulan tinggal bersama. Aku nyaris tidak menemukan cela dalam diri perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dariku itu.Dia … nyaris sempurna.Awalnya hatiku tertutup rapat entah untuk siapa pun itu. Akan tetapi, Hilma yang bertahan dalam pernikahan ini membuat dinding hatiku melunak.Padahal, tidak ada yang Hilma lakukan untuk meluluhkannya. Malah sebaliknya, aku yang sering mencoba menghancurkan benteng pertahanannya dalam membina pernikahan ini.Namun keadaan seakan berbalik. Kebencian yang aku tanam sejak awal pernikahan dengannya. Nestapa yang kujanjikan saat hubungan ini sah terikat. Menguap begitu saja karena Hilma tak gentar menghadapiku.Aku mendesah pelan.Hakikatnya
Naik Ranjang (8)POV Hilma–"Nak Hilma, kamu kenapa, Nak? Kamu lagi sakit? Kurang tidur?"Pagi ini, Ibu Mertuaku kembali datang. Namun hanya Ibu saja tanpa Pak Candra. Ibu datan ke mari diantarkan sopir pribadi keluarganya.Kami tengah sarapan di ruang bermain seperti biasanya. Namun, tiba-tiba saja Bu Aida bertanya seperti barusan."Aku sehat kok, Bu. Tidur cukup juga semalam," jawabku apa adanya.Bu Aida nampak memindai wajahku. Membuatku kembali menundukkan kepala dan melanjutkan sarapan dengan nasi uduk yang katanya beliau buat sendiri"Bener? Mata kamu sembab, Nak. Merah juga. Kamu menangis semalaman?"Aku lantas mempercepat makanku hingga akhirnya habis. Sehingga aku bisa mengobrol dengan Ibu mertuaku ini. Kemudian aku menuntaskan dengan meneguk segelas air.Apa mungkin mataku berjejak? Semalam, sehabis shalat tahajud, aku meninggalkan mushola lalu masuk ke kamar kedua.Mengurung diri di dalamnya dan menangis sendirian hingga waktu Subuh tiba.Aku merasa sudah sangat lelah deng
–Yuda masih meniup bergantian kedua mataku. Dapat kurasakan terpaan lembut napasnya mengenai kedua netra ini.Apa yang sebenarnya dia lakukan? Apa dia ingin mengobati mataku yang memerah? Aku masih membeku dengan perlakuannya pagi ini.Kami bertukar tatap.Manik hazelnya akhirnya membuatku tersadar. Cepat-cepat aku menunduk dan menepis jemari Yuda yang masih menyentuh pipiku, saat ia telah berhenti meniup kedua netraku.Aku memalingkan wajah darinya dan kembali memandangi si kembar. Lalu mengusap netraku dengan punggung tangan."Ehhh si Yuda, disuruh beli tetes mata malah ditiup-tiup gitu matanya Hilma. Nanti atuh ah mau tiup meniup mah kalau malam. Ini masih pagi, Yud!" Bu Aida terkekeh."Apa sih, Bu. Kan kata Ibu matanya Hilma merah. Aku refleks aja kok niupin. Udah Bu, aku berangkat kerja dulu." Yuda meraih tangan Bu Aida lalu menciumnya.Aku kembali memandangi si kembar. Terutama Arsa yang kini ada dalam bouncer di hadapanku.Yuda berpamitan pada kedua putra kembarnya. Si kembar
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y