Share

Ch. 2

Penulis: Sity Mariah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-15 23:25:45

**

Meninggalkan ruang makan, kini aku sudah masuk ke kamar. Di mana si kembar tertidur dengan pulas di dalam box kayu yang sama.

Kututup pintu yang sejak tadi dibiarkan terbuka. Aku menempelkan punggung di balik daun pintu. Memejamkan netraku demi menguatkan hati.

Jika bukan karena si kembar. Aku tidak akan kuat sampai detik ini. Si kembar lah, obat yang menetralisir racun dari ucapan menusuk di relung hati ini setiap harinya.

Saat membuka mata, aku melihat kartu undangan tergeletak di atas meja penyimpanan samping lemari.

Aku menjauh dari daun pintu. Lalu mengambil kartu undangan tersebut, dan mulai membacanya.

Ternyata undangan acara family gathering di perusahaan tempat Yuda bekerja. Acara diadakan di ballroom hotel mewah di pusat kota ini.

Di situ tertulis, jika undangan ditujukan pada kepala divisi keuangan dan juga istri. Artinya, undangan untuk Yuda dan tentunya aku.

Karena kantor tempat Yuda bekerja sudah mengetahui kabar kematian Khanza, dan pernikahan Yuda denganku yang digelar sangat sederhana tiga bulan lalu.

Klek!

Pintu kamar yang tidak terkunci dibuka dari luar. Aku menengok sekilas sebelum akhirnya membuang pandangan. Kusimpan kartu undangan kembali ke tempatnya.

Lalu bergegas ke box kayu untuk mengecek si kembar, yang ternyata masih lelap menyelami alam mimpi mereka.

"Kamu sudah membaca undangan ini 'kan?" tanya laki-laki bersuara bariton itu di dekat pintu sana.

Aku hanya mengangguk tanpa berbalik badan dari ranjang kayu si kembar.

"Jangan mimpi aku akan membawa kamu!" tukasnya.

Aku memejamkan mata sejenak. Menenangkan gemuruh riuh dalam hati. Aku memilih tak menggubris suara sumbangnya itu.

Tanpa ingin melihatnya, aku bergeser dari ranjang tidur si kembar. Beringsut naik ke sofa putih panjang tanpa mempedulikan laki-laki bermanik hazel itu.

Berbaring menghadap box berisi si kembar sambil memasangkan selimut menutup hingga dada. Membenahi posisiku dan memejamkan mata kemudian.

Terdengar pintu yang ditutup kemudian disusul derap langkah. Aku tidak tahu lagi, apa yang dilakukan laki-laki penuh keangkuhan itu.

Namun dari derap langkahnya yang bisa ditangkap telinga. Sepertinya dia tengah melihat putra kembarnya di box kayu.

Aku masih memejamkan mataku. Pura-pura tertidur adalah lebih baik. Dari pada harus berdebat lagi dengan Yuda. Laki-laki angkuh yang sayangnya adalah suamiku sendiri.

Derap langkahnya kembali terdengar, diikuti suara decitan dari springbed kings size di kamar ini yang ada di sebrang box kayu si kembar.

Aku masih memejamkan mataku, walau sebenarnya tidak mengantuk sama sekali. Entah kapan aku akan tertidur, tapi yang pasti, berpura-pura tertidur adalah lebih baik.

Tiga bulan pernikahan, aku dan Yuda memang tidur dalam kamar yang sama, tapi tidur terpisah.

Aku di sofa dan dia di ranjangnya.

Kami tidur terhalang box kayu si kembar.

Tidak ada malam pengantin yang seharusnya. Tidak ada bulan madu nan indah pasca hari pernikahanku dengannya.

Pernikahan yang seharusnya menjadi ladang ibadah bagi sepasang suami istri, tidak berlaku dalam pernikahanku.

Semuanya beku. Semuanya pahit. Tanpa cinta hanya kehampaan yang terasa.

Namun demi si kembar, aku tetap bertahan.

Entah sampai kapan, aku tidak tahu pastinya. Aku hanya serahkan pada sang pemilik takdir kehidupan.

"Assalamualaikum …."

"Wa'alaikumsalam …."

Suara Ibu mertua terdengar memasuki rumah. Aku baru saja selesai memandikan si kembar. Arka sudah rapi dan wangi, karena aku mendahulukannya. Tinggal Arsa yang sedang kupasangi bajunya

"Wah, cucu cucu Oma udah mandi ya? Adudu … tampan sekali …."

Bu Aida—Ibunya Yuda—mengambil Arka dari atas tempat tidur.

Aku memandikan mereka bergantian. Kini Arsa pun sudah selesai kupakaian baju yang sama dengan Arka.

Bu Aida menggendong Arka keluar dari kamar. Sedangkan aku membawa Arsa. Kami sama-sama keluar dari kamar.

Lalu bersama-sama mengisi ruang bermain dengan memangku si kembar.

Tak lama, Pak Candra nampak melewati ruang bermain ini sambil menjinjing kresek putih lalu menaruhnya. Kemudian melanjutkan berjalan memasuki dapur.

Kedua mertuaku ini memang akan datang saat pagi atau sore hari. Berkunjung saat pagi dengan membawa sarapan pagi yang akan kami nikmati bersama.

Begitu juga jika datang sore hari. Tidak pernah datang dengan tangan kosong.

Pak Candra kembali dari dapur dengan membawa perlengkapan makan.

"Pak, biar aku saja yang siapkan," ucapku saat Pak Candra membongkar kresek yang tadi dibawanya. Hendak menyalin pada piring makan yang juga dibawanya dari dapur.

"Biar bapak saja, kamu 'kan lagi pegang Arsa," tolaknya dengan tangan cekatan menyalin lontong ayam yang wanginya menggugah selera.

Hingga empat piring berisi lontong ayam telah tersaji kini.

"Nak Hilma, sarapan sudah siap, sekarang kita sarapan dulu," ajak Bu Aida.

Dipindahkannya Arka ke dalam bouncer, hingga terayun pelan, dan Arka tenang di dalamnya.

Begitu juga dengan Arsa yang turut kupindahkan pada bouncer yang berbeda dan disimpan bersebelahan dengan Abangnya.

Kami duduk melingkar di ruang bermain saat ini. Pak Candra sudah menyiapkan piring sarapan di tengah kami. Juga dengan gelas air mineral.

Seperti ini setiap harinya. Jika tidak orang tua Yuda yang datang, maka terkadang orang tuaku. Kadang juga datang berbarengan dan sore hari tidak ada yang datang.

Andai Khanza masih hidup, dia pasti akan menjadi wanita paling beruntung memiliki mertua seperti Bu Aida dan Pak Candra ini.

Tiga bulan aku menjadi menantu barunya, mereka begitu hangat dan tulus terhadapku. Apalagi terhadap cucunya, Arka dan Arsa.

Yuda merupakan anak bungsu laki-laki di keluarga ini. Dua kakaknya perempuan, terlahir kembar seperti Arka dan Arsa.

Kak Naisha dan Natya. Mereka tinggal jauh dari sini bersama keluarga kecilnya.

Sementara rumah ini, bisa ditempuh dengan lima belas menit berkendara menggunakan roda empat dari rumah orang tua Yuda. Sehingga membuat mereka setiap hari datang ke mari.

"Yud, mau ke mana? Sarapan dulu, Bapak bawa lontong ayam kesukaan kamu ini, Yud!" ajak Pak Candra pada anak bontotnya yang baru menginjak ruang bermain ini.

Aku melirik sekilas pada ayah kandung si kembar itu.

Dia sudah rapi. Rambutnya tersisir klimis. Pakaiannya selalu wangi dan bersih. Pagi ini dia memakai kemeja putih lengan pendek, dibalut vest rajut navy dan celana panjang warna senada.

Dia memang tampan. Aku mengakuinya. Sangat serasi dengan Khanza yang cantik dan modis. Tidak denganku. Aku sangat menyadarinya.

"Aku sarapan di luar aja, Pak. Aku buru-buru, ada acara!" jawabnya hendak meraih tangan Pak Candra untuk diciumnya.

"Acara apa? Baru juga jam tujuh ini, Yud! Kita sarapan bareng dululah!" pinta Pak Candra kembali.

"Iya, Yud! Kamu ada acara apa sampai buru-buru kayak gitu?" Kali ini Bu Aida yang berbicara.

Yuda nampak berjalan ke arah bouncer. Menciumi kedua putra kembarnya bergantian. Sekilas aku bisa melihat dia tersenyum pada anaknya.

Senyum yang menjadi sangat mahal untukku.

"Acara kantor, Pak, Bu, makanya aku buru-buru. Aku berangkat sekarang, ya!" Yuda meraih tangan Ibunya kali ini, menciumnya takzim dan hendak berangkat. Namun Bu Aida menahannya cepat.

"Acara apa atuh, Yud? Kalau acara kantor, biasanya family gathering, itu berarti kamu harus pergi sama keluarga kamu. Terus kenapa kamu pergi sendiri? Hilma gak kamu ajak?!" cecar Bu Aida pada anak bontotnya itu.

Aku menundukkan kepalaku dan melanjutkan sarapan pagiku.

"Aku pergi sendiri ajalah, Bu. Hilma 'kan harus jaga si kembar. Gak mungkin aku bawa dia," sahut Yuda dengan nada merendahkan.

"Lho kamu kok gitu. Mana ada family gathering Dateng sendiri," sahut Pak Candra.

"Ya terus gimana, Pak? Acaranya di hotel. Gak mungkin si kembar aku bawa. Di sana banyak orang. Takutnya dia gak nyaman, terus rewel, kan kasian. Jadi mendingan aku pergi sendirian, Pak, Bu!" timpal Yuda pada kedua orangtuanya.

"Nak Hilma, kamu siap-siap sana! Kamu dampingi Yuda. Si kembar biar ibu sama Bapak yang jaga!" Aku mendongak mendengar ucapan Bu Aida.

"Bu! Aku enggak akan ajak Hilma, Bu!" sengit Yuda pada ibunya.

Bu Aida nampak tak mempedulikan putranya. Dia mengangguk padaku yang masih menatapnya tak percaya. "Cepat, Nak!" titahnya padaku.

"Bu! Aku pergi sekarang!" tukas Yuda serta angkat kaki.

"Tunggu istri kamu, Yud! Biarkan Nak Hilma siap-siap sebentar. Kamu kenapa seperti ini? Sekarang Nak Hilma ini istri kamu. Jadi dia yang akan mendampingi kamu ke mana-mana!" sergah Pak Candra.

Secepatnya aku meneguk air minum karena sarapanku telah habis. "Pak, Bu, aku gak ikut. Mas Yuda mau berangkat sendiri, semalam kami sudah sepakat. Kasian si kembar kalau ditinggal atau dibawa," jelasku akhirnya.

"Si kembar biar ibu sama Bapak yang jagain. Kamu pergilah, Nak! Dampingi Yuda seperti seharusnya!" tukas Bu Aida. Kukuh ingin aku pergi ke acara kantor putranya itu.

"Iya, Nak Hilma. Jangan khawatirkan si kembar, mereka 'kan dijaga opa sama Omanya. Kamu pergi saja dengan Yuda. Aneh rasanya kalau Yuda pergi sendiri," sambung Pak Candra.

"Iya, sana kamu siap-siap dulu! Kamu, Yud, tunggu istri kamu!" titah Bu Aida kembali.

Terdengar hembusan napas berat dari ayah si kembar. "Aku tunggu di mobil! Jangan lelet!" tukasnya seraya melangkah pergi dari ruangan ini.

Bu Aida memintaku segera bersiap. Kutarik napas sepenuh dada. Beranjak dari karpet yang kududuki dan bergegas ke kamar.

Tiga puluh menit dari rumah. Honda Brio merah yang dikendarai Yuda akhirnya menepi di parkiran hotel bintang lima pusat kota.

Sepanjang perjalanan tadi, hanya keheningan yang tercipta. Tapi itu jauh lebih baik, dibandingkan harus berdebat seperti biasanya.

Hingga Yuda turun lebih dulu dari mobil tanpa sepatah kata pun terucap. Sementara aku baru melepaskan seatbelt yang terpasang lalu keluar dari mobil.

Parkiran ini sudah dipenuhi jejeran kendaraan roda empat. Aku membenahi dress navy serta kerudung pashmina yang kukenakan pagi ini. Juga tas slempang yang tersampir.

Sedangkan Yuda, dia telah lebih dulu berjalan ke arah pintu masuk hotel. Tanpa memperdulikanku yang masih berdiri di dekat mobil saat ini.

"Hilma?"

Sapaan seseorang membuat kaki yang baru saja akan melangkah berhenti.

Aku memutar badan untuk melihat pada pemilik suara.

"Azmi?"

Aku tertegun melihat sosoknya di hadapanku.

Laki-laki di hadapanku saat ini membungkuk dengan kedua tangan yang menangkup. Sebagai ucapan salam tanpa harus berjabat tangan.

Aku pun membalas salamnya. Meski sejujurnya tak menyangka dapat bertemu dengan dia di sini. Karena setahuku, dia tinggal di Kairo untuk melanjutkan pendidikannya.

Laki-laki jangkung ini bahkan tak sungkan dengan sarung yang dipakainya. Sarung sebagai pelengkap kemeja hitamnya.

Dia masih anggota keluarga dari dewan yayasan tempatku mengajar dan mondok.

Dialah, laki-laki yang namanya diam-diam kuselipkan di sepertiga malam. Namun, takdir kami seakan tak pernah tertulis di lauhul mahfudz.

"Apa kabar?" tanyanya lembut. Suaranya seperti mata air yang menyejukkan di tengah teriknya gurun pasir.

"Alhamdulillah, baik, Mi. Kamu sendiri?" tanyaku kembali.

"Aku juga baik. Kamu ada acara di hotel ini?"

Aku mengangguk pelan. "Kamu di sini juga? Emm … mana Teh Diba?" tanyaku sembari celingukan. Mencari-cari perempuan yang menjadi istri dari laki-laki di hadapanku saat ini.

"Adiba? Kamu tidak tahu berita tentang Adiba?" Azmi balik bertanya.

Aku menggeleng. "Berita apa?"

"Ehhem! Kamu masih di sini? Sebentar lagi acara dimulai. Ayok kita masuk!"

Tiba-tiba Yuda datang dan aku tersentak, karena tangannya yang merangkul pinggangku tanpa permisi. Suaranya pun terdengar lembut. Tidak tajam seperti biasanya.

Ingin aku menepis dengan kasar tapi aku tersadar, jika dia suamiku yang sah.

Kulihat raut wajah Azmi yang keheranan. Sedangkan Yuda semakin merangkulku erat. Hingga tubuhku rapat dengannya.

Jantungku dibuat berdegup hebat. Karena Yuda tak pernah seperti ini.

"Mari!" Yuda berpamitan pada Azmi. Tangannya masih melingkar di pinggangku. Membawaku berjalan beriringan memasuki lobby hotel.

Aku yang masih terkejut dengan perlakuannya, bahkan sampai lupa telah meninggalkan Azmi di belakang sana.

Komen (10)
goodnovel comment avatar
warung keans
laki2 harus di kaasih pelajaran
goodnovel comment avatar
Ariny arni
Jadi Hilam hanya buat merawat anak² nya Yuda aja kah? Duuhh...kasihan kamu Hilma..kamu menyia²ak hidupmu..
goodnovel comment avatar
Indah Syi
kalau ada saingan gini serruuu banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Naik Ranjang   Ch. 3

    ***Pintu ballroom tempat berlangsungnya acara terbuka lebar.Akan tetapi Yuda tak membawaku masuk. Tangannya masih melingkari pinggangku. Dia membawaku, setengah menyeret lebih tepatnya, ke arah teras samping hotel yang sepi, menghadap ke arah luar.Dia menghempas pegangan tangannya di pinggangku. Berganti merangkul pundakku cukup keras"Jaga sikap! Di sini, kamu dipandang sebagai istriku. Istri seorang kepala divisi! Sekali pun aku memang tidak mencintai kamu. Tapi semua tahu kamu istriku sekarang. Bersikaplah seakan hubungan kita baik-baik saja!" desisnya tepat di telingaku.Aku menyentak pundak yang dirangkulnya, tetapi Yuda menahannya kuat. Aku menatapnya sengit. Yuda pun tak kalah tajam menatapku."Egois!" tukasku dengan nada menekan."Aku tidak perduli. Aku hanya menjaga nama baik. Cukup dengan mendiang Khanza, aku sering melihatnya begitu akrab dengan lawan jenis, dan itu membuat hatiku teriris. Sekarang kamu berbalik! Pegang tanganku dan bersikap seperti istri sesungguhnya!"

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-15
  • Naik Ranjang   Ch.4

    NAIK RANJANG (4)***"Hil, Yuda masih tidur?" tanya Ibuku.Aku mengangguk mengiyakan pertanyaannya. Pagi ini, Ibu diantar taksi online berkunjung ke rumah. Biasanya akan datang bersama Bapak, tetapi sepertinya Bapak sibuk di toko kain miliknya. Sehingga Ibu datang sendiri pagi ini.Aku hanya dua bersaudara.Aku dan Khanza. Dua anak perempuan Ibu serta Bapak.Setelah Khanza tutup usia, hanya aku anak mereka satu-satunya.Kepergian Khanza membuat Ibu dirundung kesedihan begitu hebat.Bahkan sebelum tujuh hari kematian si bungsu. Ibu hanya tergolek dan bersedih di ranjangnya.Sama sepertiku, si kembar lah penguat dan pelipur lara hati Ibu. Perlahan Ibu mulai bangkit dan mencoba menerima kenyataan.Ibu begitu menyayangi si kembar. Ibu tidak mau jauh dan terpisah lagi dengan cucu pertamanya. Bahkan awalnya, dia meminta Yuda untuk tinggal di rumah kami. Sehingga Ibu bisa merawat cucunya dua puluh empat jam.Orang tua Yuda tentunya tidak setuju. Karena si kembar bukan hanya cucu Ibu dan Bapa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-15
  • Naik Ranjang   Ch.5

    Naik Ranjang (5)-POV Yuda-Aku hanya bisa menatap nanar punggung Hilma yang semakin jauh di depan sana. Perempuan dengan gamis merah marun itu melangkah begitu cepatnya. Meninggalkanku yang mematung di samping motor matic ini.Motor yang sengaja kukendarai untuk menyusulnya. Tapi setidaknya, dengan Hilma pulang ke rumah, aku sudah berhasil menjauhkannya dari laki-laki yang ternyata bernama Azmi itu.Melihat Hilma bersama dengan Azmi. Entah kenapa hati ini terasa meradang. Aku sendiri pun tidak tahu, sejak kapan tepatnya Hilma telah mengusik tempat yang hanya kusediakan untuk Khanza.Aku menggeleng cepat. Beranjak dari kebekuan yang mendera dan kembali duduk di jok motor. Lalu mengecek beberapa kantong kresek yang tadi dibawa Hilma.Isinya ternyata bahan masakan mentah. Mulai dari bumbu dapur hingga sayur dan daging. Lengkap meski hanya dalam porsi sedikit sedikit.Kuhela napas kasar.Hilma dan Khanza memang dua bersaudara. Mereka kakak adik. Tetapi mereka sangat sangat berbeda.Dua t

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Naik Ranjang   Ch.6

    Sore hari ibu mertua baru pulang dari rumah ini. Aku mengantarnya dan kini sudah kembali ke rumah. Sama seperti Ibu dan Bapakku, jika datang ke mari pasti akan berlama-lama karena ingin menghabiskan waktu bersama si kembar.Masuk ke dalam rumah, nampak Hilma tengah menyuapi kedua putraku bergantian. Mereka memang sudah memasuki usia enam bulan. Sehingga sudah harus diberi makanan pendamping dari sufornnya.Hilma terlihat begitu telaten. Dia memang begitu menyayangi si kembar. Dua keponakan yang sudah seperti anaknya sendiri.Kesehariannya di rumah ini. Pengabdiannya merawat si kembar sepenuh hati. Perlahan mengikis benteng kebencian yang kubangun tinggi.Aku tidak ingin menganggu waktunya menyuapi si kembar. Hingga makanan si kembar telah habis dan Hilma masuk ke dapur. Barulah aku duduk di depan bouncer berisi si kembar.Arkana dan Arsaka. Si kembar identik yang tumbuh sehat dan tampan dalam asuhan Hilma.Pipi mereka gembul dan mereka nampak begitu riang. Kualihkan pandangan ke arah

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Naik Ranjang   Ch.7

    Naik Ranjang (7)***POV Yuda***"Sayang … bagaimana kalau aku mencintai Kakakmu? Apa itu tidak akan menyakiti kamu, Sayang?" tanyaku seorang diri yang masih berjongkok di samping pusara Khanza.Awalnya, aku memang membenci Hilma. Tidak akan ada tempat di hatiku untuknya. Tidak akan pernah kuberikan.Namun, tiga bulan tinggal bersama. Aku nyaris tidak menemukan cela dalam diri perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dariku itu.Dia … nyaris sempurna.Awalnya hatiku tertutup rapat entah untuk siapa pun itu. Akan tetapi, Hilma yang bertahan dalam pernikahan ini membuat dinding hatiku melunak.Padahal, tidak ada yang Hilma lakukan untuk meluluhkannya. Malah sebaliknya, aku yang sering mencoba menghancurkan benteng pertahanannya dalam membina pernikahan ini.Namun keadaan seakan berbalik. Kebencian yang aku tanam sejak awal pernikahan dengannya. Nestapa yang kujanjikan saat hubungan ini sah terikat. Menguap begitu saja karena Hilma tak gentar menghadapiku.Aku mendesah pelan.Hakikatnya

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Naik Ranjang   Ch.8

    Naik Ranjang (8)POV Hilma–"Nak Hilma, kamu kenapa, Nak? Kamu lagi sakit? Kurang tidur?"Pagi ini, Ibu Mertuaku kembali datang. Namun hanya Ibu saja tanpa Pak Candra. Ibu datan ke mari diantarkan sopir pribadi keluarganya.Kami tengah sarapan di ruang bermain seperti biasanya. Namun, tiba-tiba saja Bu Aida bertanya seperti barusan."Aku sehat kok, Bu. Tidur cukup juga semalam," jawabku apa adanya.Bu Aida nampak memindai wajahku. Membuatku kembali menundukkan kepala dan melanjutkan sarapan dengan nasi uduk yang katanya beliau buat sendiri"Bener? Mata kamu sembab, Nak. Merah juga. Kamu menangis semalaman?"Aku lantas mempercepat makanku hingga akhirnya habis. Sehingga aku bisa mengobrol dengan Ibu mertuaku ini. Kemudian aku menuntaskan dengan meneguk segelas air.Apa mungkin mataku berjejak? Semalam, sehabis shalat tahajud, aku meninggalkan mushola lalu masuk ke kamar kedua.Mengurung diri di dalamnya dan menangis sendirian hingga waktu Subuh tiba.Aku merasa sudah sangat lelah deng

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Naik Ranjang   Ch.9

    –Yuda masih meniup bergantian kedua mataku. Dapat kurasakan terpaan lembut napasnya mengenai kedua netra ini.Apa yang sebenarnya dia lakukan? Apa dia ingin mengobati mataku yang memerah? Aku masih membeku dengan perlakuannya pagi ini.Kami bertukar tatap.Manik hazelnya akhirnya membuatku tersadar. Cepat-cepat aku menunduk dan menepis jemari Yuda yang masih menyentuh pipiku, saat ia telah berhenti meniup kedua netraku.Aku memalingkan wajah darinya dan kembali memandangi si kembar. Lalu mengusap netraku dengan punggung tangan."Ehhh si Yuda, disuruh beli tetes mata malah ditiup-tiup gitu matanya Hilma. Nanti atuh ah mau tiup meniup mah kalau malam. Ini masih pagi, Yud!" Bu Aida terkekeh."Apa sih, Bu. Kan kata Ibu matanya Hilma merah. Aku refleks aja kok niupin. Udah Bu, aku berangkat kerja dulu." Yuda meraih tangan Bu Aida lalu menciumnya.Aku kembali memandangi si kembar. Terutama Arsa yang kini ada dalam bouncer di hadapanku.Yuda berpamitan pada kedua putra kembarnya. Si kembar

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31
  • Naik Ranjang   Ch.10

    Siang hari tadi Ibu mertuaku pulang lebih awal. Karena ada jadwal pengajian di komplek perumahannya. Sehingga sore ini, ia sudah tidak ada lagi di rumah ini. Membuatku hanya berdua bersama si kembar. Yuda biasanya akan pulang saat menjelang magrib nanti.Sore ini aku membawa stroller yang diisi Arka. Sementara Arsa, ada dalam gendongan. Jika di rumah tidak ada lagi orang, maka aku biasanya membawa si kembar jalan-jalan sore. Meski hanya jalan kaki.Sebenarnya cukup repot, tapi aku menikmatinya. Menikmati peran yang seharusnya dijalankan oleh Khanza. Bukan aku.Aku membawa si kembar sekedar berkeliling komplek. Sampai di gapura dan melewatinya. Berjalan di pinggiran jalan raya lalu berbelok ke arah komplek perumahan sebelah.Di komplek perumahan sebelah ini, ada satu taman umum serta lapangan. Jika sore hari biasanya ramai oleh anak-anak yang bermain. Ada juga penjual jajanan makanan. Berbeda dengan taman serta lapangan di komplek tempatku tinggal yang tidak begitu ramai dan nyaris sep

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-31

Bab terbaru

  • Naik Ranjang   263

    Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak

  • Naik Ranjang   262

    Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te

  • Naik Ranjang   261

    Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (260)

    260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.“Jangan pergi …,” ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.“Aku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,” sahutnya membuatku menggeleng.“Gak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,” jawabku tanpa melepaskan dekapan.“Ehhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?” Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (259)

    259.Zulfikar mendengkus. “Mas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masa’ istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?”Aku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, “Mas gak tahu, Fik.”“Emangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?”Aku menggeleng pelan. “Gak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.”“Ya ampun … Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.”Aku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. “Tolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,” pintaku pada adik bontotku tersebut.“Mau ngapain, Mas?”“Ya bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.“Mas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!”Aku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (258)

    258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.“Fiuhh …’’ Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. “Jam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,” gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (257)

    257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.“Mas?”Aku menggeleng cepat. “Mau kamu ini sebenarnya apa?” tanyaku sambil menatapnya sengit.“M— mas?”Aku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. “Di saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 (256)

    256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.“Bisa kamu ulangi?” ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. “Kita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.”Aku terdiam menatapnya.“Kamu mengigau?” tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. “Aku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!” tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. “ya sudah, kalau kamu mau kita berjamaah—““Aku tunggu di atas ya, Mas!” Halwa berucap cepat memotong perkataanku.“E—“ Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk

  • Naik Ranjang   NR - SEASON 5 BAB 255

    *“Ada remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,” ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.“lain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,” sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y

DMCA.com Protection Status